Anda di halaman 1dari 12

Edisi 48 Tahun 16

“Introspeksi Diri,
Akhlak yang Terlupa”
Seseorang tidak lepas dari kesalahan dan dosa akibat menuruti hawa
nafsu. Di waktu lain, terkadang seseorang menyelisihi kebenaran. Agar
seseorang kembali kepada kebenaran, sangat diperlukan untuk mem-
perbaiki (koreksi) diri.

Sarana memperbaiki dan mengoreksi diri seseorang, di antaranya:

1. Tidak menutup diri dari saran pihak lain.


2. Bersahabat dengan rekan yang shalih.
3. Menyendiri untuk melakukan muhasabah

Faidah introspeksi diri, di antaranya:

1. Musibah terangkat dan hisab diringankan.


2. Hati lapang terhadap kebaikan dan mengutamakan akhirat
daripada dunia.
3. Memperbaiki hubungan diantara sesama manusia.
4. Terbebas dari sifat munafik.

Q.S. Al-Ra`d: 11
Allah tidak akan mengubah kondisi suatu kaum sampai
mereka mengubahnya sendiri
D alam perjalanan hidup di dunia, tentunya seo-
rang muslim tidak akan lepas dari kesalahan dan
dosa sebagai akibat hawa nafsu yang diperturutkan.
Selain itu, buah pemikiran (kecerdasan) yang dihasil-
kan manusia, yang dibangga-banggakan oleh pemi-
liknya, tidak jarang yang menyelisihi kebenaran yaitu
bertentangan dengan ajaran yang ditetapkan oleh
Allah dan rasul-Nya.
Oleh karenanya, seiring waktu yang diberikan
Allah kepada manusia di dunia, sepatutnya sebagian-
nya dipergunakan untuk mengintrospeksi segala
perilaku dan pemikiran yang dia miliki, sehingga men-
dorongnya untuk mengoreksi diri ke arah yang lebih
baik.

Introspeksi, pintu untuk mengoreksi


diri
Imam Bukhari di dalam kitab Shahih-nya, mem-
buat salah satu bab dalam kitab ash-Shaum dengan
perkataan Abu az-Zinad,
“Sesungguhnya mayoritas sunnah dan kebenar-
an bertentangan dengan pendapat pribadi” (H.R.
Bukhari).
Memang benar apa yang dikatakan beliau, betapa
seringnya seseorang enggan menerima kebenaran
2
karena bertentangan dengan pendapat dan tendensi
pribadi. Bukankah dakwah tauhid yang ditawarkan
nabi kepada kaum musyrikin, ditolak karena bertolak
belakang dengan keinginan pribadi mereka, terutama
tokoh-tokoh terpandang di kalangan kaum musyrikin
seperti Abu Jahal. Hal ini juga yang dialami Nabi Musa
kepada Fir’aun.
Kita bisa mengambil pelajaran dari pengusiran
para malaikat terhadap umat Rasulullah yang hen-
dak datang ke telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam di hari kiamat (al-Haudh). Mereka tidak bisa
mendatangi al-Haudh dikarenakan dahulu di dunia
mereka termasuk kalangan yang bersikukuh untuk
berpegang pada kekeliruan, kesalahan dan kesesatan,
padahal kebenaran telah jelas di hadapan mereka.
Hal ini ditunjukkan dalam hadits, ketika para malaikat
memberikan alasan kepada nabi,
“Mereka telah membuat ajaran baru sepeninggal-
mu”. Maka kataku, ‘Menjauhlah sana… menjauhlah
sana (kalau begitu)” (H.R. Ibnu Majah. Dishahihkan
oleh Syaikh Albani).

3
Sarana-sarana untuk Mengevaluasi
Diri
Di antara sarana yang dapat membantu seseorang
untuk mengevaluasi diri adalah sebagai berikut:
Pertama, tidak menutup diri dari saran pihak
lain
Seorang dapat terbantu untuk mengevaluasi diri
dengan bermusyawarah bersama rekan dengan niat
untuk mencari kebenaran. Imam Bukhari mengelu-
arkan suatu riwayat yang menceritakan usul Umar
kepada Abu Bakar radhiyallahu ‘anhuma untuk meng-
umpulkan al-Quran. Tatkala itu Abu Bakar menolak
usul tersebut, namun Umar terus mendesak beliau
dan mengatakan bahwa hal itu merupakan kebaikan.
Pada akhirnya Abu Bakar pun menerima dan menga-
takan,
“Umar senantiasa membujukku untuk mengeval-
uasi pendapatku dalam permasalahan itu hingga
Allah melapangkan hatiku dan aku pun berpendapat
sebagaimana pendapat Umar” (H.R. Bukhari).
Abu Bakar tidak bersikukuh dengan pendapatnya
ketika terdapat usulan yang lebih baik. Dan kedudu-
kan beliau yang lebih tinggi tidaklah menghalangi un-

4
tuk menerima kebenaran dari pihak yang memiliki
pendapat berbeda.
Kedua, bersahabat dengan rekan yang shalih
Salah satu sarana bagi seorang muslim untuk tetap
berada di jalan yang benar adalah meminta rekan yang
shalih untuk menasehati dan mengingatkan kekeliru-
an kita, meminta masukannya tentang solusi terbaik
bagi suatu permasalahan, khususnya ketika orang lain
tidak lagi peduli untuk saling mengingatkan. Bukankah
pendapat dan pemikiran kita tidak lebih benar dan
terarah daripada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sal-
lam? Padahal beliau bersabda,
“Sesungguhnya aku hanyalah manusia seperti ka-
lian. Aku lupa sebagaimana kalian lupa. Oleh karenan-
ya, ingatkanlah aku ketika diriku lupa” (H.R. Bukhari).
Ketika budaya saling menasehati dan meng-
ingatkan tertanam dalam perilaku kaum mukminin,
maka seakan-akan mereka itu adalah cermin bagi
diri kita yang akan mendorong kita berlaku konsis-
ten. Oleh karena itu, dalam menentukan jalan dan
pendapat yang tepat, anda harus berteman dengan
seorang yang shalih. Anda jangan mengalihkan pan-
dangan kepada maddahin (kalangan penjilat) yang jus-
tru tidak akan mengingatkan kekeliruan saudaranya.
5
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika Allah menghendaki kebaikan bagi diri seo-
rang pemimpin/pejabat, maka Allah akan memberinya
seorang pendamping/pembantu yang jujur yang akan
mengingatkan jika dirinya lalai dan akan membantu
jika dirinya ingat” (H.R. Abu Dawud. Dishahihkan oleh
Syaikh Albani).
Contoh nyata akan hal ini disebutkan dalam kisah
al-Hur bin Qais, orang kepercayaan Umar bin al-Khath-
thab radhiyallahu ‘anhu. Pada saat itu, Umar murka
dan hendak memukul Uyainah bin Husn karena ber-
tindak kurang ajar kepada beliau, maka al-Hur berkata
kepada Umar,
“Wahai amir al-Mukminin, sesungguhnya Allah Ta’ala
berfirman kepada nabi-Nya, “Berikan maaf, perintah-
kan yang baik dan berpalinglah dari orang bodoh.” Se-
sungguhnya orang ini termasuk orang yang bodoh”.
Perawi hadits ini mengatakan, “Demi Allah Umar tidak
menentang ayat itu saat dibacakan karena ia adalah
orang yang senantiasa tunduk terhadap al-Quran.”
(H.R. Bukhari).
Betapa banyak kezhaliman dapat dihilangkan
dan betapa banyak tindakan yang keliru dapat diko-

6
reksi ketika rekan yang shalih menjalankan perannya,
yaitu mengingatkannya ketika berbuat keliru.
Ketiga, menyendiri untuk melakukan muhasa-
bah
Salah satu bentuk evaluasi diri yang paling bergu-
na adalah menyendiri untuk melakukan muhasabah
dan mengoreksi berbagai amalan yang telah dilaku-
kan.
Diriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab, beliau
mengatakan,
“Koreksilah diri kalian sebelum kalian dihisab dan
berhiaslah (dengan amal shalih) untuk hisab yang
dahsyat/berat (pada hari kiamat kelak)” (H.R. Tirmid-
zi).
Jika hal ini dilakukan, niscaya orang yang melak-
sanakannya akan beruntung. Bukanlah sebuah aib
untuk rujuk kepada kebenaran, karena musibah se-
benarnya adalah ketika terus-menerus melakukan
kebatilan.

Faidah Mengintrospeksi Diri


Mengintrospeksi diri memiliki beberapa faidah,
yaitu:

7
Pertama, musibah terangkat dan hisab di-
ringankan
Pada lanjutan atsar Umar di atas disebutkan bah-
wa sebab terangkatnya musibah dan diringankannya
hisab di hari kiamat adalah ketika seorang senantiasa
bermuhasabah. Umar radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
“Sesungguhnya hisab pada hari kiamat akan men-
jadi ringan hanya bagi orang yang selalu menghisab
dirinya saat hidup di dunia” (H.R. Tirmidzi).
Ketika berbagai kerusakan telah merata di seluruh
lini kehidupan, maka jalan keluar dari hal tersebut
adalah dengan kembali kepada ajaran agama se-
bagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam,
“Apabila kamu berjual beli dengan cara inah (riba),
mengambil ekor-ekor sapi (berbuat zhalim), mening-
galkan jihad (membela agama), niscaya Allah akan
menimpakan kehinaan kepada kalian, Dia tidak akan
mencabutnya sampai kalian kembali kepada ajaran
agama”
Dalam riwayat lain, disebutkan,
“Hingga mereka mengoreksi pelaksanaan ajaran
agama mereka” (H.R. Abu Dawud. Dishahihkan oleh
Syaikh Albani).
8
Anda dapat memperhatikan bahwa mengoreksi
diri merupakan langkah awal terangkatnya musibah
dan kehinaan.
Kedua, hati lapang terhadap kebaikan dan
mengutamakan akhirat daripada dunia
Demikian pula, mengoreksi kondisi jiwa dan amal
merupakan sebab dilapangkannya hati untuk me-
nerima kebaikan dan mengutamakan kehidupan yang
kekal (akhirat) daripada kehidupan yang fana (dunia).
Ketiga, memperbaiki hubungan di antara ses-
ama manusia
Introspeksi dan koreksi diri merupakan kesem-
patan untuk memperbaiki keretakan yang terjadi
di antara manusia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
“Sesungguhnya pintu-pintu surga dibuka pada hari
Senin dan Kamis, di kedua hari tersebut seluruh hamba
diampuni kecuali mereka yang memiliki permusuhan
dengan saudaranya. Maka dikatakan, “Tangguhkan
ampunan bagi kedua orang ini hingga mereka berda-
mai” (H.R. Ahmad. Dishahihkan oleh Syaikh Albani).
Perhatinkanlah bahwa bukankah penangguhan
ampunan bagi mereka yang bermusuhan, tidak lain

9
disebabkan karena mereka enggan untuk mengorek-
si diri sehingga mendorong mereka untuk berdamai?
Keempat, terbebas dari sifat munafik
Sering mengevaluasi diri untuk kemudian mengo-
reksi amalan yang telah dilakukan merupakan salah
satu sebab yang dapat menjauhkan diri dari sifat mu-
nafik.
Ibnu Abi Mulaikah berkata,
“Aku menjumpai 30 sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, merasa semua mengkhawatirkan kemu-
nafikan atas diri mereka. Tidak ada satupun dari me-
reka yang mengatakan bahwa keimanannya seperti
keimanan Jibril dan Mikail” (H.R. Bukhari).
Kesimpulannya, seorang muslim sepatutnya meng-
akui bahwa dirinya adalah tempatnya salah dan harus
mencamkan bahwa tidak mungkin dia terbebas dari
kesalahan. Pengakuan ini mesti ada di dalam diri-
nya, agar dia dapat mengakui kesalahan-kesalahan
yang dilakukannya sehingga pintu untuk mengoreksi
diri tidak tertutup bagi dirinya. Allah Ta’ala berfirman
(yang artinya),

10
“Allah tidak akan mengubah kondisi suatu kaum
sampai mereka mengubahnya sendiri” (Q.S. Al-Ra`d:
11).
Manusia merupakan makhluk yang lemah, beta-
pa seringnya dia memiliki pendirian dan sikap yang
berubah-ubah. Namun, betapa beruntungnya mere-
ka yang dinaungi ajaran agama untuk mengevalu-
asi diri agar berbuat yang tepat dan mengoreksi diri
sehingga melakukan sesuatu yang diridhai Allah. Se-
sungguhnya kembali kepada kebenaran merupakan
perilaku orang-orang yang kembali kepada Allah dan
bertaubat kepada-Nya. Semoga Allah menolong kita
semua untuk dapat memahami ilmu yang bermanfaat,
serta untuk dapat mengamalkannya.
Penulis: 
Muhammad Nur Ichwan Muslim. 
Disarikan dari artikel https://muslim.or.id/8067-intro-
speksi-diri-akhlak-yang-terlupa.html
Murajaah:
Ustaz Abu Salman, B.I.S.

11
SUSUNAN REDAKSI
Penanggung jawab Ari Wahyudi, S.Si. | Penasihat Ustadz Afifi Abdul Wadud, B.A.| Editor Ahli Ustadz Ammi Nur Baits, S.T., B.A.,
Ustadz Abu Salman, B.I.S., Ustadz Afifi Abdul Wadud, B.A. | Pemimpin redaksi Wildan S., S.Farm., Apt. | Redaktur pelaksana &
Editor Arif Muhammad N, S.Pd | Layouter Ramane musa .

ALAMAT REDAKSI
Kantor Yayasan Pendidikan Islam Al Atsari, Jalan Selokan Mataram No. 412 Sinduadi, Mlati, Sleman, D.I. Yogyakarta, Indonesia

WEBSITE | buletin.muslim.or.id @buletintauhid INFORMASI | 0852 9080 8972

Anda mungkin juga menyukai