Anda di halaman 1dari 9

BAB VI

NASIHAT DAN IHSAN

A. Nasihat

1. Pengertian Nasihat

Nasihat berasal dari Bahasa Arab yang berarti madu murni, yaitu madu
yang paling baik yang sudah dipilih di antara madu yang banyak. Secara istilah
kata nasihat berarti mencari dan memilah sebuah perbuatan ataupun perkataan
yang mendatangkan maslahat bagi sahabatnya. Nasihat yang baik hanyalah
nasihat yang bermuatan positif dan sudah melalui proses pemilahan kata atau
tindakan yang tepat dan bisa memberikan manfaat bagi yang menerimanya,
bukan justru kebalikannya.
Dengan demikian, memberikan nasihat bukanlah hal yang mudah, karena
harus mempertimbangkan dan memilah beberapa hal sehingga nasihat bisa
diterima dengan baik oleh yang menerima sehingga tidak menimbulkan
prasangka buruk dan kebencian. Oleh karena itu sebelum menyampaikan
nasihat, harus diperhatikan cara penyampaian, media yang digunakan dan adab
dalam penyampaian nasihat.
Firman Allah swt. :

Artinya : “Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah


melampaui batas, maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata
yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”. (Q.S. Thahaa/20 : 43-
44)

2. Hakekat Nasihat

Dalam usaha untuk merubah sikap orang lain agar lebih baik, seseorang
menyampaikan nasihat yang berisi kebaikan-kebaikan sehingga membawa
akibat baik pula. Bisa terjadi nasihat tersebut berisi hal-hal yang tidak baik atau
membawa akibat tidak baik bagi orang yang menerima nasihat. Memberi nasihat
adalah perintah agama, sesuai firman Allah (QS Ali Imran(3): 104 yang
Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang
munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. (Q.S. Ali Imran/3 : 104)

Dalam buku :Al-Mujalasah WaJawahirul ‘Ilm” karya Imam Abu Bakar


Ahmad bin Marwan: 3/364), Disampaikan bahwa nasihat harus berupa ucapan
yang mampu meluluhkan hati penerimanya dan menyadarkannya dari kesalahan.
maka janganlah kecewa jika nasihat itu tidak ditaati.

70
.
Dalam konteks ini, Imam Ibnu Qayyim dalam kitab Ar-Ruh
membedakan antara pembicaraan yang bermuatan nasihat dengan pembicaraan
yang berunsur “ta’nib atau ta’yir” (pembicaraan yang berkonotasi negatif untuk
mengaibkan orang dan menelanjangi kejelekannya),menurutnya nasihat
merupakan sebuah kebaikan yang disampaikan kepada seseorang dengan cara
yang santun, bijak dan baik serta penuh rasa kasih sayang serta tulus hanya
mengharapkan ridho Allah swt dan kebaikan pada diri penerima nasihat.
Sedangkan ta’nib atau ta’yir bertujuan menghinakan dan menjelekkan seseorang
meskipun dengan cara seolah-olah sedang memberi nasihat.
Menurut Imam Syafi’i uslub/cara yang terbaik dalam menyampaikan
nasihat adalah dalam kesendirian dan menghindari (menyampaikan) nasihat di
perkumpulan orang banyak. Karena sesungguhnya nasihat di tengah orang
banyak merupakan salah satu bentuk penghinaan yang kemungkinan penerima
nasihat tidak rela. Apabila hal itu disalahi dan dilanggar, maka janganlah kecewa
(kesal) jika tidak ditaati nasihat itu.
Di sinilah akan nampak perbedaan antara seorang mukmin yang tulus
memberi nasihat dengan seorang yang disebut sebagai Al-fajir yang mempunyai
motifasi negatif dalam nasihatnya.

“Seorang mukmin itu selalu berusaha menutupi kesalahan orang lain lalu
menasihatinya, sedangkan seorang pelaku maksiat cenderung berusaha
membongkar aib orang lain dan menghinakannya”.

Menurut Rasulullah saw. amaliah nasihat menasihati merupakan akhlak


unggulan sehingga dari seluruh ajaran agama ini dikatakan sebagai nasihat,
“Agama itu adalah nasihat” demikian sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari, Muslim, Ahmad dan Abu Daud dari Tamim Ad-Dari. Bahkan
sahabat Jarir bin Abdullah menjadikan nasihat sebagai salah satu poin baiat
kepada Rasulullah saw: “Saya berbaiat kepada Rasulullah untuk senantiasa
mendirikan sholat, menunaikan zakat dan mengamalkan nasihat bagi setiap
muslim”. (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari)

Nasihat adalah hal yang besar untuk mengubah diri, keluarga, dan bangsa
menjadi manusia yang beradab. Oleh karena itu, sudah seyogyanya kita saling
menasihati satu dengan lainnya. Barang siapa diminta nasihat oleh saudaranya
hendaklah ia penuhi, dan jangan sekali-kali menolaknya karena alasan malas
atau masih kurang ilmunya, karena itu adalah hak saudara kita. Perhatikanlah
hadits dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw.bersabda :

“Hak seorang muslim terhadap sesama muslim ada enam, yaitu bila engkau
berjumpa dengannya ucapkanlah salam, bila ia memanggilmu penuhilah, bila
dia meminta nasihat kepadamu nasihatilah, bila dia bersin dan mengucapkan
alhamdulillâh bacalah yarhamukallâh -semoga Allah memberikan rahmat
kepadamu-, bila dia sakit jenguklah dan bila dia meninggal dunia hantarkanlah
(jenazahnya)”. (HR Muslim)

71
3. Etika Memberi Nasihat

Dalam kehidupan nyata, ada sebagian orang yang melecehkan atau


meremehkan nasihat. Mereka menganggap para pemberi nasihat sebagai tukang
dongeng yang suka membual. Sikap seperti ini hanya bagi orang yang dangkal
pemahaman agamanya. Bukannya agama itu sendiri adalah nasihat? Dari Abi
Ruqayyah Tamim Aus al-Dary Nabi Muhammad saw.bersabda, “Agama itu
nasihat,” kami berkata, “Kepada siapa? Beliau bersabda,”Kepada Allah,
Kitab-Nya, Rasul-Nya, kepada pemimpin kaum muslimin dan rakyatnya (HR
Bukhari dan Muslim). Bahkan salah satu tugas penting mereka adalah
memberikan nasihat kepada yang lainnya (umat). Sebagaimana firman Allah
Subhanhu wa Ta’ala, “…dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada
mereka nasihat (perkataan) yang berbekas pada jiwa mereka.” (Q.S. al-Nisâ’/4:
63).

Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz melalui karyanya Ashl al-Qismu al-
Ilmi menjelaskan etika dalam memberikan nasihat, yaitu:
Pertama, hendaknya ikhlas di dalam memberikan nasihat, tidak
mengharap apapun di balik nasihat selain keridhaan Allah swt dan terlepas dari
beban kewajiban. Dan hendaknya nasihat bukan untuk tujuan riya` atau
mendapat perhatian orang atau popularitas atau menjatuhkan orang yang diberi
nasihat.
Kedua, hendaknya nasihat dengan cara yang baik dan tutur kata yang
lembut dan mudah hingga dapat berpengaruh kepada orang yang dinasihati dan
mau menerimanya. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman, “Serulah kepada
jalan Tuhanmu dengan hikmah, nasihat yang baik dan debatlah ia dengan cara
yang lebih baik”. (Q.S. al-Nahl/16: 125).
Ketiga, hendaknya orang yang dinasihati itu di saat sendirian, karena
yang demikian itu lebih mudah ia terima. Karena siapa saja yang menasihati
saudaranya di tengah-tengah orang banyak maka berarti ia telah
mencemarkannya, dan barangsiapa yang menasihatinya secara sembunyi maka
ia telah menghiasinya. Imam Syafi`i rahimahullah berkata, “Berilah aku nasihat
secara berduaan, dan jauhkan aku dari nasihatmu di tengah orang banyak; karena
nasihat di tengah-tengah orang banyak itu mengandung makna celaan yang aku
tidak suka mendengarnya”.
Keempat, hendaknya pemberi nasihat mengerti betul dengan apa yang ia
nasihatkan, dan hendaknya ia berhati-hati dalam menukil pembicaraan agar tidak
dipungkiri, dan hendaklah ia memerintah berdasarkan ilmu, karena yang
demikian itu lebih mudah untuk diterima nasihatmu.
Kelima, hendaknya orang yang memberi nasihat memperhatikan kondisi
orang yang akan dinasihatinya. Maka hendaknya tidak menasihatinya di saat ia
sedang kalut, atau di saat ia sedang bersama rekan-rekannya atau kerabatnya.
Dan hendaklah pemberi nasihat mengetahui perasaan, kedudukan, pekerjaan dan
problem yang dihadapi orang yang akan dinasihati itu.

72
Keenam, hendaknya pemberi nasihat menjadi teladan bagi orang yang
akan dinasihati, agar jangan tergolong orang yang bisa menyuruh orang lain
berbuat kebaikan sedangkan ia lupa terhadap diri sendiri. Allah Subhannahu wa
Ta’ala berfirman tentang Nabi Syu`aib, “Dan aku tidak berkehendak menyalahi
kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang” (Q.S. Hûd/11: 88). Ketujuh,
hendaknya pemberi nasihat sabar terhadap kemungkinan yang menimpanya.
Luqman berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, dirikanlah shalat dan
suruhlah (manusia) mengerjakan yang ma`ruf dan cegahlah (mereka) dari
perbuatan yang munkar dan sabarlah terhadap apa yang menimpamu”. (Q.S.
Luqmân/31: 17). Luqman menyuruh anaknya untuk sabar terhadap kemungkinan
yang terjadi karena ia memerintah orang lain mengerjakan kebaikan dan
mencegah kemunkaran.

4. Nasihat Nabi Muhammad Saw.

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw. memberi


nasihat pada Ali, “Wahai Ali, jangan engkau ikuti pandanganmu dengan
pandangan yang lain. Sesungguhnya pandangan yang pertama itu adalah
keuntunganmu, sedangkan pandangan yang kedua adalah dosa bagimu.”
Menurut al-Mâwardi, hadits ini mengandung dua interpretasi: pertama, jangan
kamu lanjutkan pandangan matamu dengan pandangan hatimu dan kedua,
jangan kamu lanjutkan pandangan pertamamu yang terjadi secara tidak sengaja
dengan pandangan keduamu yang disengaja. Isa bin Maryam a.s. berkata,
“Berhati-hatilah dengan pandangan pertama yang diikuti dengan pandangan
yang lain. Sesungguhnya ia dapat menanamkan syahwat dalam hati yang cukup
untuk mendatangkan fitnah bagi pelakunya.” Dalam kesempatan lain al-
Mâwardi mengutip perkataan Ali bin Abi Thalib r.a. ia berkata, “Mata adalah
perangkap setan.”
Imam al-Mâwardi memberikan cara untuk menundukkan syahwat, yaitu:
Pertama, menundukkan pandangan mata dari pengaruhnya dan mencegahnya
dari membantunya. Sebab pandangan mata adalah pemimpin yang
menggerakkan, sekaligus yang memusnahkan. Said bin Sinan meriwayatkan dari
Anas bin Malik bahwa Nabi saw.bersabda, “Datangkanlah kepadaku enam
perkara, maka aku akan mendatangkan surga pada kalian. Para sahabat bertanya,
“Apa itu ya Rasulullah?” Nabi menjawab, “Jika berbicara jangan berbohong,
jika berjanji janganlah mengingkari, jika diberi amanah janganlah berkhianat,
tundukkanlah pandangan mata kalian, jagalah kemaluan kalian, dan tahanlah
tangan kalian.”
Kedua, menjadikan jiwa menyukai yang halal dan memuaskannya dengan
sesuatu yang mubah sebagai pengganti dari yang haram. Sebab Allah Swt., tidak
mengharamkan sesuatu melainkan Dia juga yang akan mencukupinya dengan
hal mubah yang sejenis yang diharamkan, karena Dia mengetahui gejolak
syahwat dan komposisi fitrah manusia. Semua ini dijadikannya sebagai alat
pembantu bagi manusia untuk taat kepada-Nya dan sebagai benteng dari
melanggar perintah-Nya. Umar bin Khaththab berkata, “Allah ‘Azza wa Jalla
tidak memerintahkan sesuatu melainkan Dia juga yang membantu pelaksaannya,

73
dan tidak mengharamkan sesuatu melainkan Dia jadikan manusia tidak
menyukainya.”

Dalam hal ini Allah berfirman,

Artinya :“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik, makanan


(sembelihan) orang-orang yang diberi al-kitab itu halal bagimu, dan
makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini)
wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang
beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
orang-orang yang diberi al-kitab sebelum kamu, bila kamu telah
membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak
dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-
gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima
hukum-hukum Islam), maka hapuslah amalannya dan ia di hari
kiamat termasuk orang-orang merugi.” (Q.S. al-Mâidah/5: 5)

Ketiga, membuat jiwa merasakan ketaqwaan kepada Allah dalam


menjalankan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, menjalankan ketaatan yang
diwajibkan kepadanya, berhati-hati berbuat maksiat kepada-Nya, menegaskan
bahwa Allah mengetahui isi hati manusia, Allah berfirman, “Mereka itu adalah
orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. karena itu
berpalinglah kamu dari mereka…” (Q.S. al-Nisâ’[4]: 63).

B. Ihsan

1. Pengertian Ihsan

Kata ihsan (berbuat baik) merupakan kebalikan dari kata isaa-ah


(berbuat buruk), yakni perbuatan seseorang untuk melakukan perbuatan yang
ma’ruf dan menahan diri dari dosa. Dia mendermakan kebaikan kepada hamba
Allah yang lainnya baik melalui hartanya, kehormatannya, ilmunya, maupun
raganya.

74
Adapun yang dimaksud ihsan bila dinisbatkan kepada peribadatan
kepada Allah adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Rasululluah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam hadits Jibril, yang artinya :
 “’Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘Beliau menjawab, ‘Kamu menyembah
Allah seakan-akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak bisa beribadah seolah-
olah melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Muslim 8).
Dalam hadits Jibril, tingkatan Islam yang ketiga ini memiliki satu rukun.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan mengenai ihsan yaitu ‘Engkau
beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak
mampu beribadah seakan-akan melihat-Nya, Allah melihatmu.’ Itulah
pengertian ihsan dan rukunnya.
Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa ihsan
mencakup dua macam, yakni ihsan dalam beribadah kepada Allah dan ihsan
dalam menunaikan hak sesama makhluk. Ihsan dalam beribadah kepada Allah
maknanya beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya atau merasa diawasi
oleh-Nya. Sedangkan ihsan dalam hak makhluk adalah dengan menunaikan hak-
hak mereka. Ihsan kepada makhluk ini terbagi dua, yaitu yang wajib dan sunnah.
Yang hukumnya wajib misalnya berbakti kepada orang tua dan bersikap adil
dalam bermuamalah. Sedangkan yang sunnah misalnya memberikan bantuan
tenaga atau harta yang melebihi batas kadar kewajiban seseorang. Salah satu
bentuk ihsan yang paling utama adalah berbuat baik kepada orang yang berbuat
jelek kepada kita, baik dengan ucapan atau perbuatan. (Lihat Bahjatu Qulubil
Abrar 168-169)

2. Tingkatan Ihsan

Syaikh Shalih Alu Syaikh hafidzahullah memberikan penjelasan bahwa


inti yang dimaksud dengan ihsan adalah membaguskan amal. Batasan minimal
seseorang dapat dikatakan telah melakukan ihsan di dalam beribadah kepada
Allah yaitu apabila di dalam memperbagus amalannya niatnya ikhlas yaitu
semata-mata mengharap pahala-Nya dan melaksanakan amalannya sesuai
dengan sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah kadar ihsan yang wajib
yang harus ditunaikan oleh setiap muslim. Adapun kadar ihsan yang mustahab
(dianjurkan) di dalam beribadah kepada Allah memiliki dua tingkatan, yaitu :

Pertama; Tingkatan muraqabah.


Yakni seseorang yang beramal senantiasa merasa diawasi dan diperhatikan oleh
Allah dalam setiap aktivitasnya. Ini berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi
wa sallam‫فَِإنْ لَ ْم تَ ُكنْ تَ َراهُ فَِإنَّهُ يَ َرا َك‬  (jika kamu tidak melihat-Nya maka
sesungguhnya Dia melihatmu). Tingkatan muroqobah yaitu apabila seseorang
tidak mampu memperhatikan sifat-sifat Allah, dia yakin bahwa Allah
melihatnya. Apabila seseorang mengerjakan shalat, dia merasa Allah
memperhatikan apa yang dia lakukan, lalu dia memperbagus shalatnya tersebut.
Hal ini sebagaimana Allah firmankan dalam surat Al-Qur’an Yunus :

75
Artinya : … “Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca
suatu ayat dari Al-Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu
pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu
melakukannya” (QS. Yunus/10: 61)

Kedua; Tingkatanmusyahadah
Tingkatan ini lebih tinggi dari yang pertama, yaitu seseorang senantiasa
memperhatikan sifat-sifat Allah dan mengaitkan seluruh aktifitasnya dengan
sifat-sifat tersebut. Inilah realisasi dari sabda Nabi  ‫‘( َأنْ تَ ْعبُ َد هَّللا َ َكَأنَّ َك ت ََراه‬Kamu
menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya).Pada tingkatan ini seseorang
beribadah kepada Allah, seakan-akan dia melihat-Nya. Perlu ditekankan, bahwa
yang dimaksudkan di sini bukanlah melihat Zat Allah, namun melihat sifat-sifat-
Nya, tidak sebagaimana keyakinan orang-orang sufi. Yang mereka sangka
dengan tingkatan musyahadah adalah melihat Zat Allah.Ini jelas merupakan
kebatilan.Yang dimaksud adalah memperhatikan sifat-sifat Allah, yakni dengan
memperhatikan pengaruh sifat-sifat Allah bagi makhluk. Apabila seorang hamba
sudah memiliki ilmu dan keyakinan yang kuat terhadap sifat-sifat Allah, dia
akan mengembalikan semua tanda kekuasaan Allah pada nama-nama dan sifat-
sifat-Nya. Dan inilah tingkatan tertinggi dalam derajat ihsan. (Lihat Syarh
Arba’in An-Nawawiyah li Syaikh Shalih Alu Syaikh 32-33)

3. Dalil-Dalil Tentang Keutamaan Ihsan

Dalil-dali tentang ihsan yang dikemukakann penulis di antaranya firman


Allah Ta’ala:

“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-


orang yang berbuat ihsan.” (An-Nahl: 128).
Dalam ayat ini Allah menunjukkan keutamaan seorang muhsin yang
bertakwa kepada Allah, tidak meninggalkan kewajibannya dan menjauhi segala
yang dilarang-Nya. Kebersamaan Allah dalam ayat ini adalah kebersamaan yang
khusus, yakni dalam bentuk pertolongan, dukungan, danpetunjuk jalan yang
lurus sebagai tambahan dari kebersamaan Allah yang umum (yakni pengilmuan
ِ ‫ َوالَّ ِذينَ هُم ُّم ْح‬ (dan orang-orang yang
Allah). Makna dari firman Allah َ‫سنُون‬
berbuat ihsan) adalah yang mentaati Rabbnya, yakni dengan mengikhlaskan niat
dan tujuan dalam beribadah serta melaksankanan syariat Allah dengan petunjuk
yang telah dijelaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Hushulul
Ma’mul 41.)

76
Dalam ayat yang lain Allah berfirman :

“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah


kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah,
karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat ihsan.” (Al-
Baqarah/2: 195).
Ketika menafsirkan ayat ini Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan
bahwa ihsan pada ayat ini mecakup seluruh jenis ihsan.Hal ini karena tidak ada
pembatasan pada ayat ini. Maka termasuk di dalamnya ihsan dengan harta,
kemuliaan, pertolongan, perbuatan memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah
dari yang mungkar, mengajarkan ilmu yang bermanfaat, dan perbuatan ihsan
lain yang diperintahkan oleh Allah. Termasuk di dalamnya juga adalah ihsan
dalam beribadah kepada Allah. Hal ini sebagaimnan sabda Nabi:‘Kamu
menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak
melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu”. Barangsiapa yang memiliki
sifat ihsan tersebut, maka dia tergolong orang-orang yang Allah terangkan dalam
َ ‫لِلَّ ِذينَ َأ ْح‬   “Bagi orang-orang yang berbuat ihsan,
ْ ‫سنُوا ا ْل ُح‬
firman-Nya  ٌ‫سنَى َو ِزيَا َدة‬
ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (melihat wajah Allah
ta’ala).” (Yunus: 26). Allah akan bersamanya, memberinya petunjuk,
membimbingnya, serta menolongnya dalam setiap urusannya. (Taisiir Al-Kariim
Ar-Rahman  surat Al-Baqarah 195). Allah Ta’ala juga berfirman:

Artinya : “Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan


Rasulnya-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka
sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat ihsan
(kebaikan) di antaramu pahala yang besar.” (Al-Ahzab/33: 29).

4. Penerapan Makna Ihsan dalam Kehidupan

Sikap ihsan ini harus berusaha kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Jika kita berbuat amalan kataatan, maka perbuatan itu selalu kita niatkan untuk
Allah. Sebaliknya jika terbersit niat di hati kita untuk berbuat keburukan, maka
kita tidak mengerjakannya karena sikap ihsan yang kita miliki.
Seseorang yang memiliki sikap ihsan yang kuat akan rajin berbuat
kebaikan karena dia berusaha membuat senang Allah yang selalu melihatnya.
Sebaliknya dia malu berbuat kejahatan karena dia selalu yakin Allah melihat
perbuatannya. Ihsan adalah puncak prestasi dalam ibadah, muamalah, dan

77
akhlak seorang hamba. Oleh karena itu, semua orang yang menyadari akan hal
ini tentu akan berusaha dengan seluruh potensi diri yang dimilikinya agar sampai
pada tingkat tersebut. Siapa pun kita, apa pun profesi kita, di mata Allah tidak
ada yang lebih mulia dari yang lain, kecuali mereka yang telah naik ke tingkat
ihsan dalam seluruh amalannya.

78

Anda mungkin juga menyukai