A. Nasihat
1. Pengertian Nasihat
Nasihat berasal dari Bahasa Arab yang berarti madu murni, yaitu madu
yang paling baik yang sudah dipilih di antara madu yang banyak. Secara istilah
kata nasihat berarti mencari dan memilah sebuah perbuatan ataupun perkataan
yang mendatangkan maslahat bagi sahabatnya. Nasihat yang baik hanyalah
nasihat yang bermuatan positif dan sudah melalui proses pemilahan kata atau
tindakan yang tepat dan bisa memberikan manfaat bagi yang menerimanya,
bukan justru kebalikannya.
Dengan demikian, memberikan nasihat bukanlah hal yang mudah, karena
harus mempertimbangkan dan memilah beberapa hal sehingga nasihat bisa
diterima dengan baik oleh yang menerima sehingga tidak menimbulkan
prasangka buruk dan kebencian. Oleh karena itu sebelum menyampaikan
nasihat, harus diperhatikan cara penyampaian, media yang digunakan dan adab
dalam penyampaian nasihat.
Firman Allah swt. :
2. Hakekat Nasihat
Dalam usaha untuk merubah sikap orang lain agar lebih baik, seseorang
menyampaikan nasihat yang berisi kebaikan-kebaikan sehingga membawa
akibat baik pula. Bisa terjadi nasihat tersebut berisi hal-hal yang tidak baik atau
membawa akibat tidak baik bagi orang yang menerima nasihat. Memberi nasihat
adalah perintah agama, sesuai firman Allah (QS Ali Imran(3): 104 yang
Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang
munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. (Q.S. Ali Imran/3 : 104)
70
.
Dalam konteks ini, Imam Ibnu Qayyim dalam kitab Ar-Ruh
membedakan antara pembicaraan yang bermuatan nasihat dengan pembicaraan
yang berunsur “ta’nib atau ta’yir” (pembicaraan yang berkonotasi negatif untuk
mengaibkan orang dan menelanjangi kejelekannya),menurutnya nasihat
merupakan sebuah kebaikan yang disampaikan kepada seseorang dengan cara
yang santun, bijak dan baik serta penuh rasa kasih sayang serta tulus hanya
mengharapkan ridho Allah swt dan kebaikan pada diri penerima nasihat.
Sedangkan ta’nib atau ta’yir bertujuan menghinakan dan menjelekkan seseorang
meskipun dengan cara seolah-olah sedang memberi nasihat.
Menurut Imam Syafi’i uslub/cara yang terbaik dalam menyampaikan
nasihat adalah dalam kesendirian dan menghindari (menyampaikan) nasihat di
perkumpulan orang banyak. Karena sesungguhnya nasihat di tengah orang
banyak merupakan salah satu bentuk penghinaan yang kemungkinan penerima
nasihat tidak rela. Apabila hal itu disalahi dan dilanggar, maka janganlah kecewa
(kesal) jika tidak ditaati nasihat itu.
Di sinilah akan nampak perbedaan antara seorang mukmin yang tulus
memberi nasihat dengan seorang yang disebut sebagai Al-fajir yang mempunyai
motifasi negatif dalam nasihatnya.
“Seorang mukmin itu selalu berusaha menutupi kesalahan orang lain lalu
menasihatinya, sedangkan seorang pelaku maksiat cenderung berusaha
membongkar aib orang lain dan menghinakannya”.
Nasihat adalah hal yang besar untuk mengubah diri, keluarga, dan bangsa
menjadi manusia yang beradab. Oleh karena itu, sudah seyogyanya kita saling
menasihati satu dengan lainnya. Barang siapa diminta nasihat oleh saudaranya
hendaklah ia penuhi, dan jangan sekali-kali menolaknya karena alasan malas
atau masih kurang ilmunya, karena itu adalah hak saudara kita. Perhatikanlah
hadits dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw.bersabda :
“Hak seorang muslim terhadap sesama muslim ada enam, yaitu bila engkau
berjumpa dengannya ucapkanlah salam, bila ia memanggilmu penuhilah, bila
dia meminta nasihat kepadamu nasihatilah, bila dia bersin dan mengucapkan
alhamdulillâh bacalah yarhamukallâh -semoga Allah memberikan rahmat
kepadamu-, bila dia sakit jenguklah dan bila dia meninggal dunia hantarkanlah
(jenazahnya)”. (HR Muslim)
71
3. Etika Memberi Nasihat
Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz melalui karyanya Ashl al-Qismu al-
Ilmi menjelaskan etika dalam memberikan nasihat, yaitu:
Pertama, hendaknya ikhlas di dalam memberikan nasihat, tidak
mengharap apapun di balik nasihat selain keridhaan Allah swt dan terlepas dari
beban kewajiban. Dan hendaknya nasihat bukan untuk tujuan riya` atau
mendapat perhatian orang atau popularitas atau menjatuhkan orang yang diberi
nasihat.
Kedua, hendaknya nasihat dengan cara yang baik dan tutur kata yang
lembut dan mudah hingga dapat berpengaruh kepada orang yang dinasihati dan
mau menerimanya. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman, “Serulah kepada
jalan Tuhanmu dengan hikmah, nasihat yang baik dan debatlah ia dengan cara
yang lebih baik”. (Q.S. al-Nahl/16: 125).
Ketiga, hendaknya orang yang dinasihati itu di saat sendirian, karena
yang demikian itu lebih mudah ia terima. Karena siapa saja yang menasihati
saudaranya di tengah-tengah orang banyak maka berarti ia telah
mencemarkannya, dan barangsiapa yang menasihatinya secara sembunyi maka
ia telah menghiasinya. Imam Syafi`i rahimahullah berkata, “Berilah aku nasihat
secara berduaan, dan jauhkan aku dari nasihatmu di tengah orang banyak; karena
nasihat di tengah-tengah orang banyak itu mengandung makna celaan yang aku
tidak suka mendengarnya”.
Keempat, hendaknya pemberi nasihat mengerti betul dengan apa yang ia
nasihatkan, dan hendaknya ia berhati-hati dalam menukil pembicaraan agar tidak
dipungkiri, dan hendaklah ia memerintah berdasarkan ilmu, karena yang
demikian itu lebih mudah untuk diterima nasihatmu.
Kelima, hendaknya orang yang memberi nasihat memperhatikan kondisi
orang yang akan dinasihatinya. Maka hendaknya tidak menasihatinya di saat ia
sedang kalut, atau di saat ia sedang bersama rekan-rekannya atau kerabatnya.
Dan hendaklah pemberi nasihat mengetahui perasaan, kedudukan, pekerjaan dan
problem yang dihadapi orang yang akan dinasihati itu.
72
Keenam, hendaknya pemberi nasihat menjadi teladan bagi orang yang
akan dinasihati, agar jangan tergolong orang yang bisa menyuruh orang lain
berbuat kebaikan sedangkan ia lupa terhadap diri sendiri. Allah Subhannahu wa
Ta’ala berfirman tentang Nabi Syu`aib, “Dan aku tidak berkehendak menyalahi
kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang” (Q.S. Hûd/11: 88). Ketujuh,
hendaknya pemberi nasihat sabar terhadap kemungkinan yang menimpanya.
Luqman berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, dirikanlah shalat dan
suruhlah (manusia) mengerjakan yang ma`ruf dan cegahlah (mereka) dari
perbuatan yang munkar dan sabarlah terhadap apa yang menimpamu”. (Q.S.
Luqmân/31: 17). Luqman menyuruh anaknya untuk sabar terhadap kemungkinan
yang terjadi karena ia memerintah orang lain mengerjakan kebaikan dan
mencegah kemunkaran.
73
dan tidak mengharamkan sesuatu melainkan Dia jadikan manusia tidak
menyukainya.”
B. Ihsan
1. Pengertian Ihsan
74
Adapun yang dimaksud ihsan bila dinisbatkan kepada peribadatan
kepada Allah adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Rasululluah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam hadits Jibril, yang artinya :
“’Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘Beliau menjawab, ‘Kamu menyembah
Allah seakan-akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak bisa beribadah seolah-
olah melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Muslim 8).
Dalam hadits Jibril, tingkatan Islam yang ketiga ini memiliki satu rukun.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan mengenai ihsan yaitu ‘Engkau
beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak
mampu beribadah seakan-akan melihat-Nya, Allah melihatmu.’ Itulah
pengertian ihsan dan rukunnya.
Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa ihsan
mencakup dua macam, yakni ihsan dalam beribadah kepada Allah dan ihsan
dalam menunaikan hak sesama makhluk. Ihsan dalam beribadah kepada Allah
maknanya beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya atau merasa diawasi
oleh-Nya. Sedangkan ihsan dalam hak makhluk adalah dengan menunaikan hak-
hak mereka. Ihsan kepada makhluk ini terbagi dua, yaitu yang wajib dan sunnah.
Yang hukumnya wajib misalnya berbakti kepada orang tua dan bersikap adil
dalam bermuamalah. Sedangkan yang sunnah misalnya memberikan bantuan
tenaga atau harta yang melebihi batas kadar kewajiban seseorang. Salah satu
bentuk ihsan yang paling utama adalah berbuat baik kepada orang yang berbuat
jelek kepada kita, baik dengan ucapan atau perbuatan. (Lihat Bahjatu Qulubil
Abrar 168-169)
2. Tingkatan Ihsan
75
Artinya : … “Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca
suatu ayat dari Al-Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu
pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu
melakukannya” (QS. Yunus/10: 61)
Kedua; Tingkatanmusyahadah
Tingkatan ini lebih tinggi dari yang pertama, yaitu seseorang senantiasa
memperhatikan sifat-sifat Allah dan mengaitkan seluruh aktifitasnya dengan
sifat-sifat tersebut. Inilah realisasi dari sabda Nabi ‘( َأنْ تَ ْعبُ َد هَّللا َ َكَأنَّ َك ت ََراهKamu
menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya).Pada tingkatan ini seseorang
beribadah kepada Allah, seakan-akan dia melihat-Nya. Perlu ditekankan, bahwa
yang dimaksudkan di sini bukanlah melihat Zat Allah, namun melihat sifat-sifat-
Nya, tidak sebagaimana keyakinan orang-orang sufi. Yang mereka sangka
dengan tingkatan musyahadah adalah melihat Zat Allah.Ini jelas merupakan
kebatilan.Yang dimaksud adalah memperhatikan sifat-sifat Allah, yakni dengan
memperhatikan pengaruh sifat-sifat Allah bagi makhluk. Apabila seorang hamba
sudah memiliki ilmu dan keyakinan yang kuat terhadap sifat-sifat Allah, dia
akan mengembalikan semua tanda kekuasaan Allah pada nama-nama dan sifat-
sifat-Nya. Dan inilah tingkatan tertinggi dalam derajat ihsan. (Lihat Syarh
Arba’in An-Nawawiyah li Syaikh Shalih Alu Syaikh 32-33)
76
Dalam ayat yang lain Allah berfirman :
Sikap ihsan ini harus berusaha kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Jika kita berbuat amalan kataatan, maka perbuatan itu selalu kita niatkan untuk
Allah. Sebaliknya jika terbersit niat di hati kita untuk berbuat keburukan, maka
kita tidak mengerjakannya karena sikap ihsan yang kita miliki.
Seseorang yang memiliki sikap ihsan yang kuat akan rajin berbuat
kebaikan karena dia berusaha membuat senang Allah yang selalu melihatnya.
Sebaliknya dia malu berbuat kejahatan karena dia selalu yakin Allah melihat
perbuatannya. Ihsan adalah puncak prestasi dalam ibadah, muamalah, dan
77
akhlak seorang hamba. Oleh karena itu, semua orang yang menyadari akan hal
ini tentu akan berusaha dengan seluruh potensi diri yang dimilikinya agar sampai
pada tingkat tersebut. Siapa pun kita, apa pun profesi kita, di mata Allah tidak
ada yang lebih mulia dari yang lain, kecuali mereka yang telah naik ke tingkat
ihsan dalam seluruh amalannya.
78