Adab merupakan hal yang sangat penting dalam agama islam untuk kita pelajari dan kita
amalkan. Ia bukan sekedar perilaku dzahir, melainkan juga merupakan aktivitas jiwa dan
akal. Prof. Syed Naquib al Attas mengatakan bahwa krisis yang dialami umat Islam sangat
kompleks dan beragam, kemudian beliau menyebutkan bahwa akarnya ada di loss of adab.
Bahkan, beberapa perkataan para ulama salaf menunjukkan sikap mendahulukan adab
sebelum ilmu. Di antara beberapa contohnya adalah; Imam Darul Hijrah, Imam Malik
rahimahullah berkata pada seorang pemuda Quraisy, “Pelajarilah adab sebelum mempelajari
suatu ilmu.”. Imam Malik rahimahullah juga memberi kesakisan bahwa, “dahulu ibuku
menyuruhku untuk duduk bermajelis dengan Robi’ah Ibnu Abi ‘Abdirrahman -seorang fakih
di kota Madinah di masanya-. Ibuku berkata, ‘Pelajarilah adab darinya sebelum mengambil
ilmunya.’”,kemudian muridnya beliau rahimahullah, Adabdurrahman bin al-Qosim seorang
ahli fikih madzhab Maliki dari Mesir yang disebut menjadi murid utama Imam Malik
mengatakan, “Aku berkhidmat kepada imam Malik radhiallahu ‘anhu selama dua puluh
tahun. Selama itu, dua tahun aku belajar ilmu, dan delapan belas tahun belajar adab.
Seandainya aku jadikan semua rentang waktu tersebut untuk belajar adab”. Imam Malik
pernah menasihati imam Syafi’i radhiallahu ‘anhuma: “Wahai Muhammad (Muhammad bin
Idris As-Syafii), jadikanlah ilmu kamu sebagai garam dan adab mu sebagai
tepung”.Kemudian Ibnul Mubarok mengatakan , “Kami mempelajari masalah adab itu selama
30 tahun sedangkan kami mempelajari ilmu selama 20 tahun.”.Imam Abu Hanifah juga
mengataka hal senada terkait perkara adab, beliau rahimahullah menyampaikan, “Kisah-kisah
para ulama dan duduk bersama mereka lebih aku sukai daripada menguasai beberapa bab
fiqih. Karena dalam kisah mereka diajarkan berbagai adab dan akhlaq luhur mereka.” (Al
Madkhol, 1: 164).
Oleh Karenanya, banyak dari para ulama menulis bab-bab atau kitab tentang adab dengan
landasan pemikiran pentingnya perkara adab dalam agama. Misalnya, ada kitab “Ta’lim al-
Muta’allim Thoriq al-Ta’lim” karya imam al-Zarnuji. Imam al-Bukhari menulis suatu
kumpulan hadis bernama “Adabul Mufrad”.Ibnu Muqaffa’ menulis kitab “al-Adab as-
Shaghir” dan “al-Adab al-Kabir”, yang disebut Rosailu al-Bulagho’. Imam al-Ghazali
memiliki risalah kecil berjudul “Kitabul Adab” yang kemudian dimasukkan dalam kitab
beliau “Roudhotut Thoalibin wa ‘Umdatus Salikin”.
Ibnul Jama’ah memiliki karya “Tadzkirotu as-Sami’ wa al-Mutakallim fi Adabi al’Alim wa
al-Muta’allim”. Dan dari Ulama Nusantara, yang kita muliakan KH. Hasyim Asy’ari menulis
kitab yang judulnya sedikit mirip dengan judul kitab Ibnul Jama’ah yaitu “Adabul ‘Alim wal
Muta’allim”.
Sebegitu pentingkahadab, sehingga para ulama salaf menaruh perhatian terhadap adab ini?
kita bisa lihat hadist berikut :
Suatu hari seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seraya
berkata, “Ya Rasulullah! Sungguh si fulanah itu terkenal banyak shalat, puasa, dan
sedekahnya. Akan tetapi ia menyakiti tetangga-tetangga dengan mulutnya.”. Maka berkatalah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sungguh ia termasuk ahli Neraka.”
Kemudian laki-laki itu berkata lagi, “Kalau Si Fulanah yang satu lagi terkenal sedikit shalat,
puasa dan sedekahnya, akan tetapi ia tidak pernah menyakiti tetangganya.” Maka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Sungguh ia termasuk ahli Surga.”
(HR.Muslim).
Allahu akbar ! adab yang baik menjadi salah satu sebab seseorang masuk syurga, pun juga
sebaiknya.
Kemudian bagaimana dengan adab berjama’ah?, adab secara umum merupakan hal penting
dalam agama ini. Begitu juga adab berjama’ah. Dalam berinteraksi dengan sesebuah jamaah,
pastilah banyak dinamika, dan halangan yang akan kita hadapi. Oleh karenanya, kita
memerlukan ilmu yang cukup untuk mewujudkan suasana amal jama’i yang ideal.
Diantaranya kita harus memahami bagaimana adab dalam jama’ah. Berikut beberapa dalil
perintah menetapi jama’ah.
“Dan berpegang teguhlah kamu sekalian pada tali Allah seraya berjama’ah, dan
janganlah kamu berfirqah-firqah (bergolong-golongan), dan ingatlah akan ni’mat Allah atas
kamu tatkala kamu dahulu bermusuh-musuhan maka Allah jinakkan antara hati-hati kamu,
maka dengan ni’mat itu kamu menjadi bersaudara, padahal kamu dahulu nya telah berada di
tepi jurang api Neraka, tetapi Dia (Allah) menyelamatkan kamu dari padanya; begitulah
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu, supaya kamu mendapat petunjuk.”
QS Al Kahfi ayat 28
Dijelaskan oleh shahabatAli bin Abi Thalib bahwa, “Demi Allah, sunnah itu adalah sunnah
Muhamad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bid’ah itu ada lah apa-apa yang
memperselisihinya. Dan demi Allah, Al-Jama’ah itu adalah berkumpulnya ahlul haq
sekalipun mereka sedikit dan Firqoh itu adalah berkumpulnya ahlul bathil sekalipun mereka
banyak.”
Berdasarkan dalil dalil diatas, yang pertama kita lakukan adalah kita bersyukur atas
keberadaan kita di dalam jamaah. Semua ini merupakan anugerah dan karunia dari
Allah.Merupakan adab terhadap jamaah yaitu menjaga intensitas secara intensif dengan
dakwah dan semua elemen-elemen dakwah atau elemen jamaah.
Salah satu rukun ba'iah adalah ‘tajarrud’ yang maknanyakita memberikan kesetiaan,
keterikatan dan ketaatan secara total kepada jamaah.Terkadang kita memiliki kritikan-
kritikan yang konstruktif terhadap jamaah, di mana ia bukan karena kita tidak ‘tsiqah’ kepada
jamaah atau sudah cenderung kepada jamaah lain.Namun, apabila jamaah telah menilai
bahwa kita harus memutuskan ikatan dengan yayasan atau organisasi tertentu, karena dinilai
membahayakan atau tidak sesuai dengan keputusan jamaah. Kita harus menerima dan
mentaati. Kecuali bila jamaah menugaskan di lembaga atau jamaah tertentu untuk tujuan
tertentu.
Menghidupkan kebiasaan-kebiasan Islam.
Dengan menghidupkan kebiasaan kebiasaan islam atau sunnah nabi semoga kita tetap
terpelihara di dalam ruang lingkup jamaah dengan hidayah yang diberikan oleh Allah. Di
antara usaha untuk terus meningkatkan kualiti keislaman dan keimanan adalah dengan
sentiasa menghidupkan kebiasaan-kebiasaan Islam.
Pembentukan peribadi muslim di dalam jamaah dimaksudkan bukan saja untuk membentuk
seorang muslim menjadi soleh semata-mata namun dipersiapkan menjadi muslih. bukan
sekadar mengusahakan nilai-nilai kebaikan yang melekat dalam dirinya, melainkan juga
mengusahakan agar keluarga dan masyarakatnya pun diwarnai oleh nilai-nilai kebaikan
tersebut. Bahkan lebih dari itu, ia harus berusaha menjadikan keluarganya sebagai
pendukung-pendukung utama dalam dakwah.
Tsiqah.
Seorang adho dikatakan tsiqah kepada naqibnya jika ia memiliki ketenangan dan
ketenteraman jiwa terhadap apa-apa yang datang dari sang naqib Ia tidak pernah ragu- ragu
terhadap arahan yang datang darinya.
Iltizam.
Seorang adho harus mengupayakan untuk menjaga, melanggengkan iltizam atau
komitmennya kepada naqib dan jamaah dengan jalan keterbukaan menginformasikan kondisi
diri secara obyektif, sehingga terjaga pula hubungan ruhiyah dan amaliyah dalam ruang
lingkup berjamaah.
Bergerak dalam jamaah adalah tugas, tanggungjawab dan amanah yang mesti dipikul oleh
pemimpin beserta seluruh anggotanya. Kesemuanya harus dikoordinasikan dengan baik dan
rapi ibarat sebuah bangunan yang kokoh :
Ustaz Mustafa Masyhur pernah memberi taujihat yang luar biasa, beliau mengatakan “Mutu
jamaah bergantung kepada mutu ‘harakah’, dan ini bergantung kepada mutu ‘musyarakah’
(pergaulan), mutu ‘musyarakah’ bergantung kepada mutu ‘muhawarah’ (komunikatif, saling
mempunyai sikap keterbukaan) dan mutu ‘muhawarah’ bergantung kepada bagaimana
ukhuwahnya.
Memiliki sikap ihtiram kepada naqib.
Memuliakan dan menghormati mas’ul tidak hanya ditujukan kepada diri mas’ul itu sendiri
tetapi juga kerana dirinya dipandang sebagai lambang jamaah yang mengibarkan bendera
Islam untuk menyerukan hidayah kepada umat manusia. Setiap gerakan yang menimbulkan
kerugian pada kedudukan pemimpin akan merusak citra dan keutuhan jamaah.
Memberi nasihat, masukan, saran dan masukan secara halus dan sembunyi-sembunyi.
Naqib adalah juga manusia yang memiliki kekurangan dan kelemahan, namun bila kita
hendak memberi masukan, terlebih dahulu harus memperhatikan adab agar martabat atau
izzahnya sebagai naqib tidak terlecehkan di hadapan orang lain.
1. Selalu husnudzon dan bahkan berusaha mencarikan hujjah untuk membelanya jika ada
orang lain yang mengujat ikhwah kita tanpa alasan yang benar.
2. Memperlihatkan mahabbah atau rasa cinta pada mereka dan berusaha menahan emosi.
“Janganlah kamu meremehkan perbuatan ma’ruf sedikitpun, walaupun sekadar
menunjukkan wajah yang berseri ketika bertemu dengan saudaramu”. (HR Muslim)
“Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain.
Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS Ali Imran : 134)
3. Mendoakan mereka ketika kita berpisah atau tidak sedang bersama mereka. Imam
Ahmad memberikan kesaksian bahwa beliau mendokaan imam As syafi’i dalam
shalatnya. Berkata Ahmad bin Al Laits: “Aku mendengar Ahmad bin Hambal berkata:
“Aku akan benar-benar mendo’akan Syafi’i dalam shalatku selama 40 tahun, aku berdoa:
”Ya Allah, ampunilah diriku dan orang tuaku, dan Muhammad bin Idris Asyafi’i.”
(Manaqib As Syafi’i lil Baihaqi, hal. 254, vol. 2). Dalam hadits disebutkan bahwa doa
seorang muslim untuk saudaranya ketika berpisah atau sedang tidak bersamanya adalah
mustajab. disisi kepalanya ada malaikat yang setiap kali ia berdoa untuk saudaranya
meminta kebaikan, berkata malaikat: Amin dan bagimu hal yang semisal itu.
4. Tanashur, saling tolong menolong sesama ikhwah sebagai realisasi ukhuwah. Dalam
riwayat dikatakan, ”tolonglah saudaramu yan berbuat zalim atau dizalimi,”. Yaitu
dengan cara, engkau menghalanginya dari berbuat zalim atau membebaskannya dari
keteraniayaan.
5. Bersyukur dan mengapresiasi segala bentuk bantuan al akh diwaktu lapang dan sempit,
serta menyadari bahwa pencapaiannya bukan hanya merupakan hasil dari upaya sendiri
melainkan usahanya beserta usaha saudara saudara yang membantunya dan merupakan
dari pertolongan Allah.
6. Tidak ridho jika saudaranya berada dalam situasi bahaya dan bersegera berbuat untuk
mencegah dan menyelamatkan saudaranya tersebut dari bahaya.
7. Memberikan tadhiyah (pengorbanan) terhadap sesama ikhwah.
Al Hasan al basr berkata, “tidak ada yang kekal dalam kehidupan ini, kecuali tiga hal;
pertama saudaramu yang kamu dapati berkelakuan baik. Kedua apabila engkau
menyimpang dari jalan kebenaran ia meluruskanmu dan mencegahmu dari keburukan.
Dan tidak ada seorang pun selainnya yang mengontrolmu. Ketiga, sholat berjamaah
menghindarkanmu dari melupakannya dan meraih ganjarannya.”
Kesimpulan
Adab dalam Islam ternyata tidak dapat dipisahkan dari kehidupan seorang Muslim, terlebih
dalam aktivitas berjamaah. Semua sarana dan rencana jamaah tidak akan berjalan ketika
hilangnya adab pada seorang al akh.
Prinsip – prinsip qiyadah wal jundiah tidak akan berjalan tanpa adanya pemahaman seorang
al akh terhadap adab. Kita cukup mengambil pelajaran dari seorang al akh yang enggan untuk
memenuhi perintah sang qiyadah, kemudian berbicara ini itu di media sosialnya.
Karenanya, kita perlu memahami adab adab didalam jamaah, diantaranya :
1. Adab terhadap dakwah
2. Adab terhadap qiyadah
3. Adab terhadap sesama ikhwah
Ada riwayat perkataan salafus asholih, dikatakan “Sesungguhnya jika engkau tidak bersama
mereka, maka engkau tidak akan bersama orang-orang selain mereka. Sementara jika mereka
tidak bersamamu, mereka tetap ada bersama yang lain.”.
Sangat mudah bagi Allah mengganti generasi ini dengan generasi yang lainnya, sangat
mudah bagi Allah untuk menggerakan para pejuang Allah, adanya kita didalam jamaah
adalah merupakan anugerah yang harus kita rawat. Diantara bentuk kita merawatnya yaitu
dengan cara memahami dan mengamalkan adab terhadap jamaah. Kita memohon kepada
Allah untuk menetapkan hati kita didalam jamaah serta membaguskan amalan - amalan kita.
Aamiin ya Robbal ‘Aalamiin
Referensi
Ta’zhimul ‘Ilmi, Syaikh Sholeh bin ‘Abdillah bin Hamad Al ‘Ushoimi, Muqorrorot Barnamij
Muhimmatil ‘Ilmi.