Kata halaqah berasal dari bahasa arab yaitu halaqah atau halqah yang berarti lingkaran. Kalimat halqah
min al-nas artinya kumpulan orang yang duduk.
Halaqah sendiri dikenal dalam berbagai istilah, ada yang menyebutnya dengan usrah(keluarga), karena
metode halaqah ini lebih bersifat kekeluargaan. Ada pula yang menyebutnya dengan liqa’. Sedangkan
dalam bahasa Jawa, halaqah ini lebih dikenal dengan wetonan atau bandongan.
Sebelum ke halaqah itu sendiri, bagi orang awam tentu kita patut bertanya, seperti apa bentuk dari
kegiatan halaqah ini?
Jawaban dari pertanyaan ini tentu saja akan berkenaan dengan adab, yang mana adab di sini merupakan
salah satu hal yang penting dalam mencari ilmu atau bahkan dalam melakukan pekerjaan.
Coba temen-temen kembali telaah, di era modern seperti saat ini, tidak jarang kita menemukan banyak
orang berilmu namun tidak memiliki akhlaq yang baik. Sebagai contoh, para pemimpin negeri ini yang
notabene berasal dari kalangan intelektual malah terlibat kasus korupsi yang jelas jelas mencuri uang
rakyat. Hal ini memiliki arti bahwa pendidikan tinggi tidak selalu otomatis menjadikan seseorang
menjadi beradab.
“Hai anakku, datangilah para fuqaha dan para ulama. Timbalah ilmu dari mereka. Seraplah adab, akhlaq
dan hidayah mereka. Hal itu lebih aku sukai daripada mencari banyak hadits.” (Al Khatib Al Baghdadi, Al
Jami’ li Akhlaq ar Rawi wa Adab As Sami’, tahqiq DR Mahmud Ath Thahhan 1/80)
Ketahuilah bahwa ulama salaf sangat perhatian sekali pada masalah adab dan akhlak. Mereka pun
mengarahkan murid-muridnya mempelajari adab sebelum menggeluti suatu bidang ilmu dan
menemukan berbagai macam khilaf ulama. Imam Darul Hijrah, Imam Malik rahimahullah pernah berkata
pada seorang pemuda Quraisy,
Kenapa sampai para ulama mendahulukan mempelajari adab? Sebagaimana Yusuf bin Al Husain
berkata,
Guru penulis, Syaikh Sholeh Al ‘Ushoimi berkata, “Dengan memperhatikan adab maka akan mudah
meraih ilmu. Sedikit perhatian pada adab, maka ilmu akan disia-siakan.”
“Kami mempelajari masalah adab itu selama 30 tahun sedangkan kami mempelajari ilmu selama 20
tahun.”
“Mereka -para ulama- dahulu mempelajari petunjuk (adab) sebagaimana mereka menguasai suatu
ilmu.”
“Kami lebih butuh dalam mempelajari adab daripada banyak menguasai hadits.” Ini yang terjadi di
zaman beliau, tentu di zaman kita ini adab dan akhlak seharusnya lebih serius dipelajari.
Dalam Siyar A’lamin Nubala’ karya Adz Dzahabi disebutkan bahwa ‘Abdullah bin Wahab berkata,
“Yang kami nukil dari (Imam) Malik lebih banyak dalam hal adab dibanding ilmunya.” –
Imam Malik juga pernah berkata, “Dulu ibuku menyuruhku untuk duduk bermajelis dengan Robi’ah Ibnu
Abi ‘Abdirrahman -seorang fakih di kota Madinah di masanya-. Ibuku berkata,
Imam Abu Hanifah lebih senang mempelajari kisah-kisah para ulama dibanding menguasai bab fiqih.
Karena dari situ beliau banyak mempelajari adab, itulah yang kurang dari kita saat ini. Imam Abu Hanifah
berkata,
ير ِم ْن ْالفِ ْق ِه أِل َنَّهَا آدَابُ ْالقَوْ ِم َوأَ ْخاَل قُهُ ْم َّ َم أَ َحبُّ إل2ْ ات ع َْن ْال ُعلَ َما ِء َو ُم َجالَ َستِ ِه
ٍ ِي ِم ْن َكث 2ُ َْال ِحكَاي
“Kisah-kisah para ulama dan duduk bersama mereka lebih aku sukai daripada menguasai beberapa bab
fiqih. Karena dalam kisah mereka diajarkan berbagai adab dan akhlaq luhur mereka.” (Al Madkhol, 1:
164)
Lalu adab-adab apa saja yang ada dalam kegiatan halaqah/mentoring ini?
6. Adab Berbicara/Menyampaikan
• Memperbaiki niat
• Semangat dalam menuntut ilmu, termasuk fokus mendengarkan mentor ketika sedang menjelaskan
sesuatu
• Mendorong peserta lain untuk bersungguh-sungguh dalam mentoring (memotivasi sesama peserta
mentoring)
• Memberi salam
6. Adab Berbicara/Menyampaikan
• Wadih. Bila kita berbicara hendaknya kata-kata kita wadih alias jelas, tegas, lugas dan mudah dicerna
atau difahami. Hadits dari Aisyah r.a: “Adalah kata-kata Rasulullah, kata-kata yang jelas dan mudah
difahami oleh orang yang mendengar di sekitarnya”. Apalagi tujuan komunikasi yang utama adalah
memberikan pengertian atau kefahaman kepada orang yang diajak berkomunikasi Rasulullah SAW selalu
mencontohkan bagaimana berbicara dengan wadih, sampai-sampai sahabat-sahabat bisa menghitung
kata-kata yang disampaikan beliau.
• Sederhana dan tidak difasih-fasihkan. Hendaknya seorang Muslim berbicara dengan bahasa yang
sederhana, wajar tidak dilebih-lebihkan atau sok fasih. Seyogyanyalah kita melihat siapa orang yang kita
ajak bicara apakah seorang yang terdidik atau bukan. Rasulullah SAW bersabda: “Berbicalah kepada
manusia sesuai dengan kadar intelektualitas mereka”.
• Menghindari pengulangan pembicaan yang bisa menimbulkan kejenuhan. Sahabat Nabi, Abdullah bin
Mas’ud biasa memberikan taushiyah atau nasehat setiap hari kamis, sehingga sahabat yang lain pernah
berkata padanya: “Hai Abu Abdurrahman, seandainya saja engkau bisa memberi nasehat setiap hari,
niscaya kami akan senang”. Namun Ibnu Mas’ud malah menjawab, kami hanya memberikan nasehat
sekali-sekali saja, karena Rasulullah juga hanya sekali-sekali saja memberi nasehat. Pada saat kami
berada di dalam majelis.
• Kata-kata yang digunakan hendaknya hanya kata-kata yang baik dan bernilai ibadah: Hindarilah kata-
kata yang bersifat laghwi (sia-sia / tidak bermanfaat). Dalam hadits disebutkan oleh Rasulullah SAW:
“Min husnil Islamil ma’i tarku ma laa ya’ nihi”.(HR. Tirmidzi). Termasuk di dalam kebaikan keislaman
seseorang, maka ia meninggalkan hal-hal yang tidak berguna, termasuk kata-kata laghwi. Yang termasuk
kategori kata-kata baik adalah salam, tegur sapa, nasehat, kata-kata yang memberi semangat,
menghibur dan menghindari kata-kata laghwi (QS 23:3) sebagai ciri-ciri orang yang beriman.
Tambahan: ketika membuka suatu mentoring/halaqah usahakan teman-teman di sini sudah menyiapkan
kata-kata mukadimah kemudian dilanjutkan dengan memanjatkan puji dan syukur kepada Allah, dst.
Tidak harus panjang-panjang, yang penting teman-teman bisa hafal mukadimah tersebut (tanpa melihat
tentunya). Baru bisa dilanjutkan dengan tilawah, dst.