Anda di halaman 1dari 5

Keutamaan Adab Sebelum Ilmu

3 September 2021

Oleh : Ustaz Joko Winarno (Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Bantul)

Ma’asyiral Muslimin, Rahimakumullah

Marilah kita senantiasa mengucapkan puji syukur kepada Allah atas banyaknya nikmat yang
telah dicurahkan kepada kita semua, berupa kesehatan, umur panjang; terlebih nikmat hidayah
iman – Islam yang akan mengantarkan kita menemukan kebahagiaan hidup hakiki.

Shalawat dan salam kita sanjungkan kepada Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Rasul akhir zaman yang menjadi uswah hasanah dan penyebar risalah rahmatan lil-‘alamin, dan
semoga terlimpah kepada segenap keluarga, para sahabat dan seluruh umatnya hingga akhir
zaman.

Sebagai khatib tidak lupa mengingatkan untuk senantiasa bertaqwa kepada Allah dengan
sebenar-benar takwa. Takwa dengan menaati Allah berdasarkan petunjuk dari Allah dengan
berharap pahala dari-Nya. Meninggalkan perbuatan maksiat berdasarkan petunjuk dari Allah
dengan rasa takut akan adzab Allah. Sebab hanya dengan ketakwaan itulah seseorang akan
mendapatkan derajat terhormat atau berharga :

‫ِإَّن َأْك َر َم ُكْم ِعنَد ِهَّللا َأْتَقاُكْم‬

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertakwa di antara kamu. (Qs. Al Hujurat: 13)

Ma’asyiral Muslimin, Rahimakumullah


Zaman ini adalah zaman kemudahan dalam berbagai pemenuhan hidup manusia. Kemajuan
teknologi informasi telah menjadikan semua urusan menjadi terasa mudah. Dunia seolah ada
dalam genggaman. Mulai dari dunia kerja, pergaulan, hiburan, pendidikan dan dakwah.

Kemajuan peradaban manusia dengan segala sarana canggihnya, telah membuat orang saat ini
begitu mudah meraih apa yang diinginkannya. Dari belanja online, nonton film, konser musik,
bahkan sekolah. Dalam dunia pendidikan, sangat mudah melacak sumber ilmu, artikel, buku,
atau berita.

Acara-acara ilmiah online bisa diikuti sebanyak 5 hingga 10 macam kegiatan dalam sehari, mulai
dari bentuk webinar, workshop, pelatihan bahkan pengajian online. Bahkan itu acara nasional atu
mungkin internasional. Luar biasa!!

Saat ini gelar-gelar akademik seperti mudah diraih. Para doktor (dari studi jenjang S-3) sekarang
telah banyak bertebaran di masyarakat, bahkan gelar Magister (studi S-2) sudah banyak
bertaburan, padahal zaman dahulu itu sudah termasuk gelar yang bergengsi. Sementara saat ini
gelar Sarjana (S-1) seolah sangat biasa, ibarat barang dagangan seperti kacang goreng,
layaknya.

Kaum terdidik telah banyak mewarnai ruang publik, mulai dari lulusan dalam maupun luar
negeri. Alumni pendidikan barat ataupun Timur Tengah. Semua sudah ada berserakan di tengah
kita. Saat ini masyarakat kita sudah terdidik dan mengenal dunia pendidikan tinggi.

Hanya saja, ada satu celah yang masih menjadi sisi keprihatinan kita semua, yaitu bagaimana
menguatkan dan meningkatkan aspek moral, etika atau akhlak! Sebab, kita masih banyak
menjumpai adanya fenomena yang ironis dan menyedihkan di tengah masyarakat. Padahal
katanya sudah maju, terdidik atau berperadaban.

Islam datang sebenarnyalah untuk memperbaiki akhlak manusia. Rasulullah Shallallahu’alaihi


Wasallam bersabda:

‫ِإَّنَم اُبِع ْثُت ُأِلَتِّم َم َص اِلَح اَأْلْخ اَل ِق‬

“Sesungguhnya aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (HR. Ahmad, Al
Hakim dan Al Bukhari)

Kenyataannya, saat ini kita mendapati kegersangan akhlak dari orang-orang berilmu dan intelek.
Masih banyak kita jumpai adanya ustadz, da’i atau muballigh yang kurang menunjukkan
akhlaknya yang terpuji. Saat berdakwah, ceramah atau memberi taushiyah kepada masyarakat
justru sering disertai dengan tingkah laku sombong dan kasar, sering mentahdzir, mencaci maki
kelompok lain dan menganggap dirinya yang paling benar. Menjadikan kelompok lain sebagai
bahan lelucon, meremehkan dan menganggap bodoh. Hal ini sungguh tidak mendidik umat.

Betapa kita merindukan sosok da’i atau ulama yang menghiasi diri dengan adab atau akhlak
yang terpuji. Ulama yang penuh kelembutan dan bijak dalam berkata-kata, bersikap dan
perilaku. Apalah artinya banyaknya ilmu jika pemiliknya tidak memiliki akhlak dan menjadi
contoh suri tauladan?

Dunia pendidikan pun saat ini cukup memprihatinkan. Adab Islami yang telah diwariskan oleh
para leluhur tidak mendapatkan porsi yang cukup untuk diajarkan dan ditanamkan kepada
peserta didik. Konsekuensinya terjadilah fenomena gunung es, hilangnya adab dari para
penuntut ilmu. Dalam beberapa tahun terakhir beragam kasus kriminal memuncak dan menuai
respon para pakar dan praktisi pendidikan.

Di antaranya: kekerasan seorang guru terhadap murid yang berakibat anak itu menyeret sang
guru ke meja hijau. Ada murid memukul guru; seorang mahasiswa membunuh dosen sendiri.
Kira-kira apa jadinya dengan pendidikan yang dilaksanakan pada masa pandemi Covid-19?
Bagaimana akhlak para siswa, sementara mereka tidak secara langsung bertemu, dibimbing dan
memperoleh keteladanan dari guru secara langsung?
Ma’asyiral Muslimin, Rahimakumullah

Dalam dunia pendidikan, aspek akhlak, adab atau budi pekerti menjadi unsur yang paling
penting, dan lebih penting daripada ilmu itu sendiri. Sehingga berlaku kaidah hukum yang
disepakati para ulama, yaitu: adab sebelum ilmu. Artinya seorang murid harus belajar adab
terlebih dahulu sebelum mencari ilmu. Seorang guru harus memiliki adab sebelum
menyampaikan ilmu. Bahkan seorang murid belajar adab terlebih dahulu terhadap gurunya
sebelum belajar ilmu. Allah SWT berfirman:

‫َّٰظ‬
٥ ‫َم َثُل ٱَّلِذيَن ُحِّم ُلوْا ٱلَّتۡو َر ٰى َة ُثَّم َلۡم َيۡح ِم ُلوَها َكَم َثِل ٱۡل ِح َم اِر َيۡح ِم ُل َأۡس َفاَۢر ۚا ِبۡئ َس َم َثُل ٱۡل َقۡو ِم ٱَّلِذيَن َكَّذُبوْا ِبَٔـاَٰي ِت ٱِۚهَّلل َو ٱُهَّلل اَل َيۡه ِدي ٱۡل َقۡو َم ٱل ِلِم يَن‬

Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada


memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya
perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk
kepada kaum yang zalim. (QS Al Jumu’ah : 5)

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa ada ahli ilmu (dalam hal ini dicontohkan ahli taurat), tetapi tidak
mengerti hakikat tanggung jawabnya untuk menjadi teladan, maka mereka diibaratkan seperti
keledai. Bagi masyarakat Arab, keledai merupakan binatang lambang kebodohan, tidak bisa
diajari apa-apa.

Dari sinilah maka akhlak keteladanan seorang guru menjadi sesuatu yang bukan merupakan
pilihan, tapi sebuah keharusan (bahkan prasyarat).

Ma’asyiral Muslimin, Rahimakumullah

Keteladanan memiliki banyak keutamaan. Keteladanan merupakan perkara yang dipelajari oleh
murid sebelum dia belajar ilmu. Abdullah bin Al-Mubarak seorang ulama salaf (generasi tabi’it-
tabi’in abad II Hijriyah), pernah berkata:

‫ َو َكاُنْو ا َيْطُلُبْو َن اَألَدَب َقْبَل الِع ْلِم‬,‫ َو َطَلْبُت الِع ْلَم ِع ْش ِر ْيَن َسَنًة‬، ‫َطَلْبُت اَألَدَب َثَالِثْيَن َسَنًة‬

“Aku belajar tentang adab selama 30 tahun, sementara mencari (mempelajari) Ilmu selama 20
tahun. Mereka (para Salaf) mempelajari adab sebelum mencari ilmu”

Masya Allah. Beliau belajar tentang keteladanan dari para gurunya, meniru mereka, mempelajari
akhlak mereka 30 tahun lamanya. Sedangkan belajar ilmu hanya 20 tahun !

Imam Ibnu Jauzi dalam Shifatush Shafwah juga menyampaikan pernyataan Abdullah bin al-
Mubarak yang lainnya bahwa :

‫َكاَد اَألَدُب َيُكوُن ُثُلَثِي الِع ْلِم‬

“Adab itu hampir dua pertiga dari ilmu.“

Kalau seseorang ingin mendapatkan ilmu yang bermanfaat, ilmu yang banyak, dan melimpah,
maka berlajarlah adab sebelum ilmu. Begitu perhatiannya para ulama salaf pada masalah adab
dan akhlak. Mereka pun mengarahkan murid-muridnya mempelajari adab sebelum menggeluti
suatu bidang ilmu dan menemukan berbagai macam khilaf ulama. Kenapa sampai para ulama
mendahulukan mempelajari adab? Yusuf bin Al Husain berkata:

‫ َو ِباْلَعَمِل َتَناُل اْلِح ْك َم َة‬،‫ َو ِباْلِع ْلِم َيِص ُّح َلَك اْلَعَم ُل‬، ‫ِباَأْلَدِب َتْفَهُم اْلِع ْلَم‬،

“Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu, dengan ilmu amalan
menjadi benar, dengan amalan engkau akan meraih hikmah.”

Abu Zakariya Yahya bin Muhammad Al-Anbari mengatakan :

)80 /1 ‫ (الجامع ألخالق الراوي وآداب السامع‬. ‫ َو َأَدٌب ِباَل ِع ْلٍم َكُر وٍح ِباَل ِج ْسٍم‬,‫ِع ْلٌم ِباَل َأَدٍب َكَناٍر ِباَل َح َطٍب‬
Ilmu tanpa adab bagaikan api tanpa kayu bakar, dan adab tanpa ilmu bagaikan tubuh tanpa ruh.”

Imam Malik juga pernah berkata, “Dulu ibuku menyuruhku untuk duduk bermajelis dengan
Robi’ah Ibnu Abi ‘Abdirrahman -seorang fakih di kota Madinah di masanya-. Ibuku berkata,:

” ‫!َيا َم اِلِك ُخ ْذ ِم ْن َشْيِخ َك اَأْلَدِب َقْبَل اْلِع ْلِم‬.”

“Wahai Malik ambillah dari gurumu adabnya sebelum engkau menimba ilmunya”.

Ma’asyiral Muslimin, Rahimakumullah

Apakah sesungguhnya Adab itu? Ibnul-Qayyim al-Jauziyyah menyatakan:

‫ َو ِص َياَنِتِه َعِن اْلَخ َطِأ َو اْلَخ َلِل‬،‫ َو َتْح ِسْيِن َأْلَفاِظ ِه‬،‫ َو ِإَص اَبِة َمَو اِقِعِه‬،‫ ُهَو ِع ْلُم ِإْص َالِح الِّلَساِن َو اْلِخ َطاِب‬:‫ِع ْلُم اَألَدِب‬

“Ilmu adab: adalah ilmu untuk memperbaiki lisan [tutur kata], seruan, ketepatan dalam
menempatkan pada posisinya, pemilihan kata yang baik dan tepat, serta menjaganya dari
kesalahan dan cacat.” [Madarijus-Salikin, Juz II/368]

Menurut Syaikh Shalah Najib ad-Daqq, adab itu ada dua: Pertama, adab alami [thabî’i], yaitu
adab yang Allah ciptakan pada diri manusia, dengan ciri dan karakteristik itu. Kedua, adab hasil
belajar [iktisâbi], yaitu adab yang diperoleh oleh seseorang karena belajar dari orang yang
memiliki ilmu dan kemuliaan.

Keteladanan gurulah yang akan mampu menembus hati seseorang. Ketika ia mengajarkan ilmu,
maka akan sampai ke hati murid-muridnya dengan sangat tajam. Bila seorang guru ingin
menyampaikan sebuah ilmu yang baik, tapi dia sendiri tidak mengamalkannya, maka hal itu
artinya ia hanya menyampaikan dengan bibirnya, dan itu sulit menyentuh hati muridnya; karena
dia tidak menyampaikan dengan tulus dari hatinya. Kita para orangtua adalah guru bagi anak
kita sendiri.

Pada suatu hari, Imam Syafi’i r.a. menemui khalifah Harun Ar Rasyid. Kemudian beliau diminta
memberi nasehat kepada Abu Abdis Shamad, dia adalah guru dari anak-anak sang khalifah.
Maka Imam Syafi’i ra memberi nasehat yang sangat luar biasa, dan ini adalah pelajaran
sekaligus jawaban mengapa hari ini “ilmu menjadi hilang”, mengapa generasi kita tidak istimewa
dari sisi moral, akhlaq, adab. Ternyata sumber utamanya adalah gurunya ! Kata Imam Syafi’i, :

‫ َفاْلَحَسُن ِع ْنَد ُهْم َم ا َتْسَتْح ِسُنُه‬، ‫ِلَيُكْن َأَّو ُل َم ا َتْبَد ُأ ِبِه ِم ْن ِإْص اَل ِح َأْو اَل ِد َأِم يِر اْلُم ْؤ ِم ِنيَن ِإْص اَل ُح َنْفِسَك ؛ َفِإَّن َأْعيَنُهْم َم ْعُقوَد ٌة ِبَعْيِنَك‬

“Jadikanlah permulaan perbaikan untuk anak-anak amirul mukminin adalah dengan memperbaiki
dirimu sendiri, karena mata mereka, mata murid-muridmu ini akan terikat dengan kedua
matamu. Yang baik menurut mereka adalah yang kamu anggap baik, yang buruk menurut
mereka adalah yang kamu tinggalkan.”

Ma’asyiral Muslimin, Rahimakumullah

Rasulullah SAW merupakan sosok teladan bagi seluruh umat manusia. Sebagaimana Allah SWT
Berfirman :

‫ۡل ۡل‬
‫َفِبَم ا َر ۡح َم ٖة ِّم َن ٱِهَّلل ِلنَت َلُه ۖۡم َو َلۡو ُكنَت َفًّظا َغِليَظ ٱ َق ِب ٱَلنَفُّضوْا ِم ۡن َح ۡو ِلَۖك َفٱۡع ُف َعۡن ُه ۡم َو ٱۡس َتۡغ ِفۡر َلُه ۡم َو َشاِو ۡر ُهۡم ِفي ٱَأۡلۡم ِۖر َفِإَذا َعَز ۡم َت َفَتَو َّكۡل َعَلى ٱِۚهَّلل ِإَّن ٱَهَّلل‬
‫ُيِح ُّب ٱۡل ُم َتَو ِّكِليَن‬

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya
kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.
Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah
dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal
kepada-Nya. (QS Ali Imran : 159)
Keteladanan beliau dalam akhlak yang mulia menjadikan umatnya cinta, dan musuhnya segan.
Dan bahkan orang-orang yang dahulunya menentang dan berseberangan akhirnya menjadi
pendukung dan pengikut yang setia.

‫َو اَل َتْسَتِو ي اْلَحَسَنُة َو اَل الَّسِّيَئُة اْدَفْع ِباَّلِتي ِه َي َأْح َسُن َفِإَذا اَّلِذي َبْيَنَك َو َبْيَنُه َعَداَو ٌة َكَأَّنُه َو ِلٌّي َح ِم يٌم‬

“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih
baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah
menjadi teman yang sangat setia.” (Qs. Fushilat: 34)

Inilah keteladanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan keteladanan itu akan
menghindarkan kita dari munculnya khimar (keledai) dalam pendidikan kita. Karena dengan
keteladanan itu akan sesuai dengan moral gurunya dan dengan itu mudah-mudahan di murid-
muridnya akan hadir ilmu yang bermanfaat.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan Doa supaya dianugerahi akhlak yang mulia,

‫الَّلُهَّم اْه ِدِنى َألْح َسِن اَألْخ َالِق َال َيْه ِدى َألْح َسِنَه ا ِإَّال َأْنَت َو اْص ِر ْف َعِّنى َسِّيَئَه ا َال َيْص ِر ُف َعِّنى َسِّيَئَه ا ِإَّال َأْنَت‬

Ya Allah, tunjukilah padaku akhlak yang baik, tidak ada yang dapat menunjukinya kecuali
Engkau. Dan palingkanlah kejelekan akhlak dariku, tidak ada yang memalingkannya kecuali
Engkau].” (HR. Muslim no. 771, dari ‘Ali bin Abi Tholib).

Semoga Allah membimbing kita dan seluruh generasi penerus kita memiliki akhlak dan adab
yang mulia, sehingga akan menjadikan ilmu yang dipelajari menghasilkan berkah dalam
kehidupan nyata. Amiin.

Editor: DFY

Anda mungkin juga menyukai