Anda di halaman 1dari 4

ADAB MENCARI ILMU MENURUT IBNU JAMAAH

Naasumber : DR. Akhmad Alim, Lc., MA.

Materi adab yang dibahas merujuk kepada kitab yang sangat populer yaitu Tadzkirotu As-
Saami’ Wa Al-Mutakallim Fii Adab Al-Ilmi Wa Al-Muta’allim karya Ibnu Jamaah. Namun,
sebelum melanjutkan pembahasan, terlebih dahulu kita mengetahui apa hakekat adab di dalam islam.
Adab dalam islam memiliki makna Husnul Khuluk yaitu akhlak yang mulia. Jadi, Akhlak
yang paling baik atau hasan itulah yang disebut adab. Sebagian ulama mendefenisikan adab sebagai
Al-Jaami’ Lihishali Al-Khair yaitu hal yang mencakup segala kebaikan. Kalau dikaitkan dengan
dunia pendidikan, adab merupakan qord atau inti dari tujuan mencari ilmu. Sehingga orang yang
mencari ilmu adalah mereka yang berproses dalam rangka melahirkan manusia yang beradab.
Pokok permasalahan umat sekarang adalah hilangnya adab, sebagaimana yang disebut Prof.
Naquib Al-Attas sebagai The Lost of Adab. Oleh karena itu, hendaknya orang yang mencari ilmu
tidak hanya sekedar transfer ilmu, pemahaman atau pengetahuan, akan tetapi harus ada internalisasi
nilai-nilai adab agar ilmu yang didapatkan bermanfaat. karena ilmu tanpa adab tidak akan melahirkan
manusia yang beradab dan tidak akan melahirkan ilmu yang bermanfaat.
Rasulullah SAW diperintahkan untuk senantiasa meminta tambahan ilmu yang bermanfaat
sebagaimana yang disebutkan dalam surat Thaha : 114 sebagai berikut.
‫ وَ ﻗُﻞ رﱠبﱢ ِز ْدﻧِﻰ ِﻋ ْﻠﻤًﺎ‬. . .
“. . . Wahai robku tambahkan untuku ilmu”. (QS. Thaha : 114)
Ilmu yang dimaksudkan di atas adalah ilmu yang bermanfaat. Nabi Muhammad SAW tidak
diperintahkan untuk meminta tambahan apapun kecuali tambahan ilmu, dan itu juga ilmu yang
bermanfaat. beliau mengajarkan untuk senantiasa berdoa meminta tambahan ilmu yang bermanfaat
sebagaimana hadits beliau sebagau berikut.
ً ‫اَﻟﻠﱠﮭُ ﱠﻢ ا ْﻧﻔَ ْﻌﻨِﻲْ ﻣَﺎ َﻋﻠﱠ ْﻤﺘَﻨِﻲْ وَ َﻋﻠﱢ ْﻤﻨِﻲْ ﻣَﺎ ﯾَ ْﻨﻔَ ُﻌﻨِﻲْ وَ ِز ْدﻧِﻲْ ِﻋﻠْﻤﺎ‬
“Ya Allah berikan manfaat atas ilmu yang telah engkau ajarkan, dan ajarkan aku terhadap apa yang
membawa manfaat kepadaku, dan tambahkan ilmu”. (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Jadi, inti dari orang mencari ilmu bukan masalah banyak atau sedikit, keren atau tidak, mahal
atau murah, akan tetapi intinya adalah ilmu yang bermanfaat, memiliki ciri khas adab, dan
menjadikan manusia yang beradab.
Ilmu yang bermanfaat akan mendatangkan sifat Khasyyah atau rasa takut kepada Allah SWT
dan mendekatkan diri kepadaNya. Para ulama sangat identik dengan sifat Khasyyah sebagaimana
yang disebutkan dalam surat Fatir : 28 berikut.
. . . ۟‫ إِﻧﱠﻤَﺎ ﯾَﺨْ ﺸَﻰ ٱ ﱠ َ ﻣِﻦْ ِﻋﺒَﺎ ِد ِه ٱ ْﻟ ُﻌﻠَ َٰ ٓﻤﺆُا‬. . .
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama”
(QS. Fatir : 28)
Jadi, antara ilmu, ulama dan khasyyah ini tidak bisa dipisahkan, karena itulah hakikat dari
ilmu yang bermanfaat. Al-Imam Asy Syafi’i Rohimahullahu mengatakan;
،‫ﻟَﯿﺲَ اﻟ ِﻌﻠ َﻢ َﻣﺎ ُﺣﻔِﻆَ وَ ﻟﻜِﻦﱠ اﻟ ِﻌﻠ َﻢ َﻣﺎ ﻧَﻔَ َﻊ‬
“Tidaklah disebut ilmu apa yang dihafal, -kalau hanya sekedar hafal, orang kafir dan
orientalis pun bisa hafal-, akan tetapi ilmu adalah yang mendatangkan manfaat”. Perkataan ini
dinukil oleh Ibnu Jama’ah dalam kitabnya Al-Jaami’. Ibnu Jama’ah mengatakan bahwa untuk
mendapatkan ilmu yang bermanfaat harus menggunakan adab ketika belajar, talaqi, ataupun
mulazamah ilmu. Pernyataan ini beliau perkuat dengan menukil satu riwayat dari Habib bin Syahid
ketika menasehati anaknya sebagai berikut.
‫ وﺧﺬ ﻣﻦ ادﺑﮭﻢ؛ ﻓﺎن ذﻟﻚ اﺣﺐ اﻟﻲ ﻣﻦ ﻛﺜﯿﺮ ﻣﻦ اﻟﺤﺪﯾﺚ‬،‫ وﺗﻌﻠﻢ ﻣﻨﮭﻢ‬،‫ اﺻﺤﺐ اﻟﻔﻘﮭﺎء واﻟﻌﻠﻤﺎء‬،‫ﯾﺎ ﺑﻨﻲ‬
“Wahai anakkku, bergaulah dengan ahli fikih dan para ulama dan ambilah adab dari
mereka, karena itu lebih aku sukai daripada hanya sekedar memperbanyak hadits”.
kaedah ini menunjukan bagaimana pentingnya ilmu dan adab dalam tradisi intelektual islam.
Sehingga banyak diantara ulama yang menulis kitab tentang adab, seperti Ibnu Sahnun menulis
Risalah Adab Al-Mu’allimin, Imam Al-Bukhari menulis Adab Al-Mufrod, Imam Al-Qabisi menulis
Risalah Mufassilah Li Ahwal Al-Muta’llimin, dll.
Para pencari ilmu, baik santri, siswa, mahasiswa atau semua kalangan harus memiliki adab
ketika mencari ilmu dan mendahulukan adab sebelum ilmu. Di dalam kitab Tadzkirotu As-Sami’. . .
Ibnu Jama’ah menjelaskan tentang adab akademik bagi pencari ilmu. Beliau membaginya menjadi
beberapa adab berikut: Adab Al-Muta’allim Fii Nafsihi, Adab Muta’allim Ma’a Syaikhihi, Adab Al-
Muta’allim Fii Durusihi, dan Adab Al-Muta’allim Ma’a Kutubihi.
1. Adab Al-Muta’alim Fii nafsihi (Adab pencari ilmu terhadap dirinya sendiri)
Adab sebelum ilmu dimulai dari dirinya sendiri. Adapun adabnya adalah sebagai berikut.
Pertama: Niat, mencakup dua hal yaitu mensucikan dari dari sifat tercela, seperti hasad, iri,
tamak, rakus dll agar mudah menyerap ilmu dan meluruskan niat dalam mencari ilmu,
jangan sampai niatnya hanya untuk kepentingan dunia, cari jabatan dll, akan tetapi untuk
mencari ridha Allah SWT. Kedua: Memanfaatkan dan menghargai waktu yang ada,
dimanfaatkan untuk tahsilul ilm atau menggapai ilmu, baik membaca, menghafal, atau
mengulang pelajaran. Ketiga: Memiliki sifat Qonaah, tidak tamak dengan urusan dunia, tidak
disibukkan dengan urusan makanan, pakaian, domisili, dan fasilitas. keterbatasan tidak
menghalangi seseorang untuk mendapatkan ilmu jika di dalam dirinya ada sifat qonaah.
Keempat: Membuat kegiatan harian secara teratur sehingga alokasi waktunya jelas, tidak
terbuang sia-sia. Ada jadwal, target, jenjang yang dilakukan agar terukur di dalam mencari
ilmu. Kelima: Memperhatikan makanan yang dikonsumsi, tidak sekedar kenyang, tapi harus
memperhatiakan halal dan toyyib, tidak berlebih-lebihan, dan tidak mubadzzir. Sebagian
ulama dahulu ketika menuntut ilmu menghindari jajanan pasar atau jajanan di pingir jalan,
karena banyak laknat yang menempel dimakanan tersebut sehingga menyebabkan
berkurangnya berkah. Keenam: Wara atau menjaga diri dari syubhat dan syahwat, hal-hal
yang syubhat atau meragukan dijauhi dan menghindari syahwat, agar fokus terhadap ilmu.
Ketujuh: Menghindari makanan yang menyebabkan kebodohan atau melemahkan hafalan,
penting untuk memperhatikan gizi dan nutrisi makanan. Kedelapan: Mengurangi waktu tidur,
jangan terlalu banyak tidur, karena akan terhalang dari faedah dan keutamaan ilmu.
Kesembilan: Menjaga pergaulan, hanya bergaul dengan orang shaleh, bukan malah
sebaliknya karena itu merusak ilmu dan semangat.
2. Adab Al-Muta’allim Ma’a Syaikhihi (Adab pencari ilmu terhadap gurunya)
Adab yang harus diperhatikan oleh pencari ilmu kepada gurunya adalah sebagai berikut.
Pertama: Memilih guru yang berkualitas, lihat bagaimana keilmuannya, akhlak dan
ideologinya karena selain menuntun ke jalan hidayah, guru juga bisa menyesatkan. Jika
gurunya benar muridnya akan ikut benar, sebalikna jika gurunya sesat muridnya juga akan
menjadi sesat. Oleh karena itu, Memilih guru harus menjadi pertimbangan penting, karena Al
Isnadu minad din, harus ada silsilah sanadnya atau mata rantai keilmuan dan itu bagian dari
agama. Kedua: Mentaati perintah dan nasehat guru, seperti seorang pasien yang sakit dia
akan mentaati perintah dokter terlebih dokter spesialis, maka seperti itulah taatnya pencari
ilmu kepada gurunya. Ketiga: Mengagungkan dan menghormati guru, seperti Al-Imam As-
Syafii terhadap gurunya Al-Imam Malik, ketika belajar dia membuka bukunya dengan pelan
tanpa terdengar suara dari lembaran kertas bukunya, karena khawatir mengganggu proses
penyampaian ilmu. sebelum belajar hendaklah selalu berdoa untuk guru agar Allah tutupkan
‘aibnya dan tidak terhalang keberkahan ilmunya. Keempat: Menjaga hak guru dan mengingat
jasanya baik ketika hidup maupun setelah wafatnya, menjaga hubangan baik, selalu didoakan,
dijaga nama baiknya, dan nama baik keluarga sebagaimana Al-Imam Ahmad selalu
mendoakan Al-Imam As-Syafii. Kelima: Sabar terhadap perlakuan guru, tidak berprasangka
buruk ketika mendapat hukuman, karena bleh jadi hukuman itu baik untuknya. Keenam:
Menunjukkan rasa terimakasih yang tak terhingga, baik dengan ucapan terimakasih,
jazakallah, ataupun perbuatan. karena guru adalah orang tua kedua, yang menanamkan
aqidah, mengajarkan ibadah dan mencontohkan akhlak. Dan tidak disebut orang yang
bersyukur bagi yang tidak pandai berterimakasih terhadap makhluk. Ketujuh: Meminta izin
terlebih dahulu jika ingin mengunjungi atau bermajelis dengannya. Kedelapan: Duduk
dengan sopan di hadapan guru, Ibnu Jama’ah mencontohkan dengan cara duduk bersila,
tenang, diam, memilih tempat yang dekat, penuh perhatian, tidak menoleh kesana kemari
tanpa keperluan. Kesembilan: Berkomunikasi secara santun dan lemah lembut, bukan bahasa
kasar, atau menggurui. Kesepuluh: Mendengar dengan penuh antusias, meskipun apa yang
disampaikan sudah pernah didengar atau bahkan dihafal. Kesebelas: Tidak terburu-buru
dalam menjawab pertanyaan, jangan mendahului guru sebelum ada isyarat atau izin.
Keduabelas: Membantu kegiatan guru dengan menggunakan tangan kanan, dalam hal
apapun ketika berinteraksi dengan guru hendaknya menggunakan tangan kanan. Ketigabelas:
Ketika membersamai guru dalam perjalanan, hendaknya murid berlaku sopan, menjaga
kondusifitas kemanan dan kenyamanan guru.
3. Adab Al-Muta’allim Fii Durusihi (Adab pencari ilmu terhadap pelajarannya)
Diantara adab terhadap pelajaran yang harus diperhatikan bagi pencari ilmu adalah sebagai
berikut. Pertama: Memulai pelajarannya dengan belajar Al-Quran, pelajaran apapun baiknya
diawali dengan tilawah Al-Quran, karena Al-Quran sebagai sumber wahyu atau sumber
ilmu. Kedua: Bagi pelajar pemula, hendaklah menghindari perkara khilafiyah, pelajari usul
terlebih dahulu sebelum furu’, dahulukan fardu ‘ain sebelum fardhu kifayah. Ketiga:
Memperbaiki bacaan sebelum menghafalkannya, ketika belajar Al-Quran, hendaknya
mentartilkan bacaannya kemudian dihafal. Keempat: Sedini mungkin menghafal hadits dan
ilmu yang berkaitan dengannya, setelah belajar Al-Quran kemudian belajar hadits. Kelima:
Memperdalam secara intensif masalah yang rumit. setelah menguasai ilmu dasar, naikkan
kepada ilmu furu’nya, setelah menguasai matan pelajari syarahnya. Keenam: Senantiasa
mulazamah guru, jangan terlalu banyak absen sehingga tertinggal dari pembahasan keilmuan.
Ketujuh: Mengucapkan salam ketika hadir dimajelis ilmu, baik ketika setelah ada guru
maupun sebelum kedatangnya. Kedelapan: Senantiasa menjaga adab majelis selama
pelajaran berlangsung, menjaga kondusifitas agar tidak menggangu. Kesembilan: Tidak malu
bertanya dalam masalah pelajaran, agar paham apa yang disampaikan. Kesepuluh:
Menungggu giliran sesuai antrian, sehingga tidak mendahului tanpa persetujuan yang lain.
Kesebelas: Duduk di hadapan guru dengan sopan dan santun. Keduabelas: Ketika tiba giliran
membaca hendaknya dimulai dengan basmallah, hamdalah, shalawat, mendokan guru,
orangtua dan semua yang hadir. Ketigabelas: Mendorong temannya untuk senantiasa antusias
belajar, membentuk iklim pembelajaran yang baik, mengajak temannya untuk semangat,
istiqomah, tidak putus asa, tidak kehilangan kesempatan, dll.
4. Adab Al-Muata’allim Ma’a Kutubihi (Adab pencari ilmu terhadap sarana pendidikan)
Adab yang harus diperhatiakan terhadap sarana ilmu adalah sebagai berikut. Pertama:
Berupaya keras untuk memperoleh buku, entah dengan membeli, menyewa, fotocopy, atau
meminjam. Kedua: Jika meminjam buku hendaknya dimanfaatkan dengan baik, dan
menjaganya agar tidak rusak. Ketiga: Ketika membaca buku hendaklah selalu rapi, tidak
dibiarkan berhamburan di lantai, tidak meletakkan mushaf sembarangan, para ulama
membagi tingakatan dalam meletakkan buku, quran harus ditempatkan di atas buku lainnya.
Keempat: Sebelum membaca buku, pastikan kebenarannya, sumber referensi yang digunakan
harus jelas. Kelima: Ketika membaca buku hendaknya dalam kondisi suci atau berwudhu,
meskipun tidak wajib, akan tetapi merupakan bagian dari adab, sebagaimana Al-Imam Al-
Bukhari ketika menulis hadits memulainya dengam berwudhu dan shalat sunnah dua rokaat.
Keenam: Memperbaiki tulisanm, tulis ilmu yang didapat dengan jelas agar mudah dibaca dan
difahami. Ketujuh: Memastikan kesahehan atau rujukan yang diambil dari sebuah kitab,
harus jelas rujukannya atau referensinya. Kedelapan: Memberikan catatan penjelas, hawamis
atau catatan kaki, agar kata yang rumit bisa diperjelas dengan catatan tambahan tersebut.
Kesembilan: Memberi catatan penjelasan terhadap kalimat yang dianggap sulit agar tidak
bingung. Kesepuluh: Membuat urutan penulisan secara tertib, dimulai dari bab, fashl,
mabhats, tanbih dst, sistimatika penulisan harus diperhatikan. Kesebelas: Melakukan
perbandingan antara terbitan yang satu dengan yang lain, sehingga dapat diketahui
kekurangan dan kelebihan naskah suatu kitab.
Itulah point-point adab pencari ilmu yang disampaikan oleh Ibnu Jama’ah, dan itu merupakan
hakekat dari psikologi pendidikan, agar pendidikan itu mencapai tingkatan ilmu yang bermanfaat,
sehingga melahirkan manusia yang bermanfaat dan beradab.

Anda mungkin juga menyukai