Anda di halaman 1dari 6

Adab Menuntut Ilmu

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah menerangkan tentang Islam,


termasuk di dalamnya masalah adab. Seorang penuntut ilmu harus menghiasi
dirinya dengan adab dan akhlak mulia. Dia harus mengamalkan ilmunya
dengan menerapkan akhlak yang mulia, baik terhadap dirinya maupun kepada
orang lain.

By Zulfa Sinta Filavati April 13, 2015


85 8007 3

Bismillahirrahmaanirrahim

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah menerangkan tentang Islam, termasuk di


dalamnya masalah adab. Seorang penuntut ilmu harus menghiasi dirinya dengan adab dan akhlak
mulia. Dia harus mengamalkan ilmunya dengan menerapkan akhlak yang mulia, baik terhadap
dirinya maupun kepada orang lain.

Berikut diantara adab-adab yang selayaknya diperhatikan ketika seseorang menuntut ilmu syari,

Pertama, Mengikhlaskan niat dalam menuntut ilmu

Dalam menuntut ilmu kita harus ikhlas karena Allah Taala dan seseorang tidak akan mendapat
ilmu yang bermanfaat jika ia tidak ikhlas karena Allah. Padahal mereka tidak disuruh kecuali
agar beribadah hanya kepada Allah dengan memurnikan ketaatan hanya kepadaNya dalam
(menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan memurnikan zakat;
dan yang demikian itulah agama yang lurus. (QS. Al-Bayyinah:5)

Orang yang menuntut ilmu bukan karena mengharap wajah Allah termasuk orang yang pertama
kali dipanaskan api neraka untuknya. Rasulallah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
Barangsiapa yang menuntut ilmu syari yang semestinya ia lakukan untuk mencari wajah Allah
dengan ikhlas, namun ia tidak melakukannya melainkan untuk mencari keuntungan duniawi,
maka ia tidak akan mendapat harumnya aroma surga pada hari kiamat. (HR. Ahmad)

Kedua, Rajin berdoa kepada Allah Taala, memohon ilmu yang bermanfaat

Hendaknya setiap penuntut ilmu senantiasa memohon ilmu yang bermanfaat kepada Allah
Taala dan memohon pertolongan kepadaNya dalam mencari ilmu serta selalu merasa butuh
kepadaNya.

Rasulallah shallallahu alaihi wa sallam menganjurkan kita untuk selalu memohon ilmu yang
bermanfaat kepada Allah Taala dan berlindung kepadaNya dari ilmu yang tidak bermanfaat,
karena banyak kaum Muslimin yang justru mempelajari ilmu yang tidak bermanfaat, seperti
mempelajari ilmu filsafat, ilmu kalam ilmu hukum sekuler, dan lainnya.

Ketiga, Bersungguh-sungguh dalam belajar dan selalu merasa haus ilmu

Dalam menuntut ilmu syari diperlukan kesungguhan. Tidak layak para penuntut ilmu bermalas-
malasan dalam mencarinya. Kita akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat dengan izin Allah
apabila kita bersungguh-sungguh dalam menuntutnya.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam barsabda, Dua orang yang rakus yang tidak pernah
kenyang: yaitu (1) orang yang rakus terhdap ilmu dan tidak pernah kenyang dengannya dan (2)
orang yang rakus terhadap dunia dan tidak pernah kenyang dengannya. (HR. Al-Baihaqi)

Keempat, Menjauhkan diri dari dosa dan maksiat dengan bertaqwa kepada Allah Taala

Seseorang terhalang dari ilmu yang bermanfaat disebabkan banyak melakukan dosa dan maksiat.
Sesungguhnya dosa dan maksiat dapat menghalangi ilmu yang bermanfaat, bahkan dapat
mematikan hati, merusak kehidupan dan mendatangkan siksa Allah Taala.

Kelima, Tidak boleh sombong dan tidak boleh malu dalam menuntut ilmu

Sombong dan malu menyebabkan pelakunya tidak akan mendapatkan ilmu selama kedua sifat itu
masih ada dalam dirinya.

Imam Mujahid mengatakan,

Dua orang yang tidak belajar ilmu: orang pemalu dan orang yang sombong (HR. Bukhari
secara muallaq)

Keenam, Mendengarkan baik-baik pelajaran yang disampaikan ustadz, syaikh atau guru

Allah Taala berfirman, sebab itu sampaikanlah berita gembira itu kepada hamba-
hambaKu, (yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik
diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan merekalah orang-
orang yang mempunyai akal sehat. (QS. Az-Zumar: 17-18)

Ketujuh, Diam ketika pelajaran disampaikan

Ketika belajar dan mengkaji ilmu syari tidak boleh berbicara yang tidak bermanfaat, tanpa ada
keperluan, dan tidak ada hubungannya dengan ilmu syari yang disampaikan, tidak boleh
ngobrol. Allah Taala berfirman, dan apabila dibacakan Al-Quran, maka dengarkanlah dan
diamlah agar kamu mendapat rahmat. (QS. Al-Araaf: 204)

Kedelapan, Berusaha memahami ilmu syari yang disampaikan

Kiat memahami pelajaran yang disampaikan: mencari tempat duduk yang tepat di hadaapan
guru, memperhatikan penjelasan guru dan bacaan murid yang berpengalama. Bersungguh-
sungguh untuk mengikat (mencatat) faedah-faedah pelajaran, tidak banyak bertanya saat
pelajaran disampaikan, tidak membaca satu kitab kepada banyak guru pada waktu yang sama,
mengulang pelajaran setelah kajian selesai dan bersungguh-sungguh mengamalkan ilmu yang
telah dipelajari.

Kesembilan, Menghafalkan ilmu syari yang disampaikan

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Semoga Allah memberikan cahaya kepada wajah orang yang mendengar perkataanku,
kemudian ia memahaminya, menghafalkannya, dan menyampaikannya. Banyak orang yang
membawa fiqih kepada orang yang lebih faham daripadanya (HR. At-Tirmidzi).

Dalam hadits tersebut Nabi shallallahu alaihi wa sallam berdoa kepada Allah Taala agar Dia
memberikan cahaya pada wajah orang-orang yang mendengar, memahami, menghafal, dan
mengamalkan sabda beliau shallallahu alaihi wa sallam. Maka kita pun diperintahkan untuk
menghafal pelajaran-pelajaran yang bersumber dari Al-Quran dan hadits-hadits Nabi shallallahu
alaihi wa sallam.

Kesepuluh, Mengikat ilmu atau pelajaran dengan tulisan

Ketika belajar, seorang penuntut ilmu harus mencatat pelajaran, poin-poin penting, fawaa-id
(faedah dan manfaat) dari ayat, hadits dan perkataan para sahabat serta ulama, atau berbagai dalil
bagi suatu permasalahan yang dibawa kan oleh syaikh atau gurunya. Agar ilmu yang
disampaikannya tidak hilang dan terus tertancap dalam ingatannya setiap kali ia mengulangi
pelajarannya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Ikatlah ilmu dengan tulisan
(HR. Ibnu Abdil Barr)

Kesebelas, Mengamalkan ilmu syari yang telah dipelajari

Menuntut ilmu syari bukanlah tujuan akhir, tetapi sebagai pengantar kepada tujuan yang agung,
yaitu adanya rasa takut kepada Allah, merasa diawasi oleh-Nya, taqwa kepada-Nya, dan
mengamalkan tuntutan dari ilmu tersebut. Dengan demikian, barang siapa saja yang menuntut
ilmu bukan untuk diamalkan, niscaya ia diharamkan dari keberkahan ilmu, kemuliaan, dan
ganjaran pahalanya yang besar.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Perumpamaan seorang alim yang mengajarkan
kebaikan kepada manusia, kemudian ia melupakan dirinya (tidak mengamalkan ilmunya) adalah
seperti lampu (lilin) yang menerangi manusia, namun membakar dirinya sendiri. (HR Ath-
Thabrani)

Kedua belas, Berusaha mendakwahkan ilmu

Objek dakwah yang paling utama adalah keluarga dan kerabat kita, Allah Taala berfirman,
Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang
bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras,
yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. At-Tahriim: 6).

Sumber: https://muslimah.or.id/7216-adab-menuntut-ilmu.html
ADAB mencari ilmu selama ini sering diabaikan. Hubungan antara murid dan guru tak ubahnya
penjual dan pembeli. Si murid merasa telah membayar SPP dan uang gedung dengan nilai
nominal yang tidak murah sehingga penghormatan kepada guru dianggap sebagai hal yang bukan
acuan utama.

Kini, saatnya kita kembali mendulang adab-adab mencari ilmu yang telah dipanggungkan oleh
para ulama sehingga ilmu dapat memberi manfaat, bukan hanya pada tataran duniawi, namun
juga pada tataran ukhrawi.

Habib Zain bin Ibrahim bin Sumait dengan ketajaman analisa dan penanya, mementaskan empat
adab bagi pencari ilmu.

Adab pertama bagi seorang pencari ilmu ialah menyucikan hati dari segala pelanggaran-
pelanggaran yang dimurkai Allah.

Adab pertama ini memberi gambaran kepada kita bahwa sebelum memulai aktivitasnya, terlebih
dahulu seorang pencari ilmu mengevaluasi kondisi hati. Adakah penyakit hati yang masih
mengendap dalam dirinya sehingga ia harus membersihkannya terlebih dahulu?

Imam Nawawi dalam mukaddimhn Syarh Al-Muhadzdzab berkata: Seyogyanya bagi seorang
penuntut ilmu menyucikan hatinya dari kotoran-kotoran sehingga ia layak menerima ilmu,
menghafal, dan memanfaatkannya.

Imam Abdullah bin Alwi Al-Haddad memberi perumpaan yang sungguh indah tentang hati yang
kotor. Beliau mengatakan, Jika seseorang datang dengan membawa sebuah wadah kotor untuk
diisi madu di dalamnya, maka orang yang akan membeli madu tersebut pasti akan berkata,
Cucilah terlebih dahulu wadah yang kotor ini, baru kamu isi dengan madu.

Kata Imam Abdullah, Dalam masalah dunia saja, wadah yang kotor perlu dibersihkan, maka
bagaimana dapat rahasia-rahasia ilmu Allah itu justru diletakkan di dalam hati-hati yang dekil?

Pada satu kesempatan, Imam Malik memberi nasihat kepada muridnya Imam Syafi`i. Kala itu,
Sang Guru merasa takjub dengan kecerdasan yang dimiliki oleh Syafi`i. Nasihat tersebut
bunyinya, Wahai Muhammad, bertakwalah kepada Allah. Jauhilah maksiat. Sesungguhnya
Allah Subhanahu Wataala telah meletakkan cahaya di dalam hatimu maka janganlah kamu
padamkan dengan maksiat-maksiat kepada-Nya.

Adab pertama ini merupakan langkah awal bagi para pencari ilmu, tak terkecuali para guru,
untuk membersihkan hati dari penyakit-penyakit yang malah menjadi penghalang masuknya
ilmu dalam sanubari.

Ilmu tidak terletak pada ijazah, raport, dan gelar akademik semata, tapi pada manfaat dan amal
sebagai buahnya ilmu. Dan, itu tak akan mungkin terwujud tanpa hati yang bersih.

Adab kedua, menurut Habib Zain, adalah ikhlas karena Allah di dalam mencari ilmu. Seseorang
tidak diperkenankan mencari ilmu dengan kemuliaan diri yang melekat. Seorang pencari ilmu
mesti ikhlas karena Allah. Dengan modal ikhlas tersebut, ia berusaha membuat hati gurunya
ridha mengangkat dan mengakui sebagai murid setianya.

Suatu hari, Abdullah bin Abbas membawa tali pengikat kendaraan gurunya Ubay bin Ka`ab. Ia
tuntun kendaraan gurunya itu. Sang guru bertanya, Ada apa ini, wahai putra Abbas? Dijawab,
Demikianlah kami diperintahkan untuk menghormati guru-guru kami. Abdullah tetap
memandu jalannya kendaraan sang guru sampai ke tempat tujuan.

Sufyan bin Uyainah berkata, Saat aku berusia empat tahun, aku telah dapat membaca Al-
Qur`an. Saat berusia tujuh tahun, aku telah dapat menulis hadits. Saat berusia lima belas tahun,
ayahku berkata kepadaku:

Wahai anakku, sekarang engkau telah beranjak dewasa. Maka lakukanlah kebaikan niscaya
engkau akan termasuk sebagai ahli kebaikan. Ketahuilah, seseorang tidak akan diberi
kebahagiaan berkumpul dengan para ulama kecuali orang yang taat kepada mereka. Maka
taatilah para ulama, niscaya engkau akan memperoleh kebahagiaan. Berkhidmatlah kepada
mereka, pasti engkau akan mendapatkan ilmu mereka.

Kata Sufyan, Sejak mendengar nasihat ayahku tersebut, aku selalu condong kepada para ulama,
tidak berpaling sedikitpun dari mereka.
Adab kedua memberi pengertian bahwa pencari ilmu mesti menanggalkan kebanggaan nasab,
kedudukan, dan harta yang ia miliki. Ia lepaskan demi terjun secara total meraih ilmu lewat para
guru dan ulama dengan penuh keihlasan kepada Allah Subhanahu Wataala.

Adab ketiga yang harus ada pada diri penuntut ilmu adalah mengambil faedah (manfaat) di mana
saja berada. Pencari ilmu mesti jeli melihat, mengamati, dan meraih manfaat dari tiap jengkal
langkah hidupnya. Tidaklah berlalu sesaat dari umurnya, kecuali ia isi dengan kemanfaatan.

Abu Al-Bakhtary berkata: Duduk bersama suatu kaum yang lebih mempunyai ilmu daripada
saya, lebih saya sukai tinimbang bersama kaum yang derajat ilmunya di bawah diriku
Mengapa? Jawabnya, Karena, jika aku duduk bersama kaum yang derajat pengetahuannya di
bawahku, aku tidak bisa mengambil manfaat. Namun jika aku duduk bersama orang-orang yang
lebih berilmu dari diri saya ini, aku bisa mengambil manfaat sebanyak-banyaknya.

Adab keempat yang disebutkan oleh Habib Zain adalah bersikap sederhana dalam mengonsumsi
makanan dan minuman. Makan dan minum adalah kebiasaan siapa saja. Manusia makan dan
minum untuk hidup. Namun hal demikian tidak lantas menjadi alasan untuk berlebih-lebihan,
khususnya bagi pencari ilmu.

Bahkan, seorang ulama bernama Sahnun berkata: Ilmu tidak akan diperoleh bagi orang yang
makan hingga kekenyangan.

Dalam wasiat penuh hikmah dari Lukman Al-Hakim kepada putranya, ia berkata: Wahai
anakku, jika perut telah terisi penuh pikiran akan tertidur, hikmah akan berhenti mengalir, dan
badan akan lumpuh dari beribadah.

Imam Syafi`i berkata, Aku tidak pernah merasa kenyang sejak enam belas tahun silam. Karena
kekenyangan itu membebani badan, mengeraskan hati, menghilangkan kecerdasan, membuat
kantuk, dan melemahkan orang tersebut dari beribadah.

Demikianlah empat etika yang dipaparkan oleh Habib Zain seputar adab bagi manusia-manusia
yang menceburkan dirinya dalam lautan ilmu. Ambillah ilmu yang hendak kita miliki sebanyak-
banyaknya namun janganlah kita absen dari adab. Dengan empat adab tersebut, ilmu menjadi
berkah untuk semua.*

Anda mungkin juga menyukai