Anda di halaman 1dari 5

ADAB TERHADAP GURU

Sesungguhnya adab yang mulia adalah salah satu faktor penentu kebahagiaan dan keberhasilan seseorang. Begitu juga
sebaliknya, kurang adab atau tidak beradab adalah alamat (tanda) keburukan dan jurang kehancurannya. Tidaklah
kebaikan dunia dan akhirat kecuali dapat diraih dengan adab, dan tidaklah tercegah kebaikan dunia dan akhirat melainkan
karena kurangnya adab. (MadarijusSalikin, 2/39)Di antara adab-adab yang telah disepakati adalah adab murid kepada
syaikh atau gurunya. Imam Ibnu Hazm berkata: “Para ulama bersepakat, wajibnya memuliakan ahli al-Qur’an, ahli Islam
dan Nabi. Demikian pula wajib memuliakan kholifah, orang yang punya keutamaan dan orang yang berilmu.” (al-Adab as-
Syar’iah 1/408)Berikut ini beberapa adab yang selayaknya dimiliki oleh penuntut ilmu ketika menimba ilmu kepada gurunya.

1. IKHLAS SEBELUM MELANGKAH

Pertama kali sebelum melangkah untuk menuntut ilmu hendaknya kita berusaha selalu mengikhlaskan niat. Sebagaimana
telah jelas niat adalah faktor penentu diterimanya sebuah amalan. Ilmu yang kita pelajari adalah ibadah, amalan yang mu-
lia, maka sudah barang tentu perlu niat yang ikhlas dalam menjalaninya. Belajar bukan karena ingin disebut sebagai pak
ustadz,orang alim atau ingin meraih ba-iian dunia yang menipu.
Dalil akan pentingnya ikhlas beramal di antaranya firman Allah:

‫ِصينَ لَهُ الدِينَ ُحنَفَاء‬ َ ‫َو َما أُمِ ُروا إِ اَّل ِليَ ْعبُدُوا ا‬
ِ ‫َّللا ُم ْخل‬

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya
dalam(menjalankan) agama yang lurus… (QS. al-Bayyinah [98]: 5)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:


Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk membantah orang bodoh, atau berbangga di hadapan ulama atau mencari
perhatian manusia, maka dia masuk neraka. (HR. Ibnu Majah 253, Syaikh al-Albani menyatakan hadits ini hasan dalam al-
Misykah 225)

2. JANGAN MENCARI GURU SEMBARANGAN

Ibnu Jama’ah al-Kinani berkata: “Hendaklah penuntut ilmu mendahulukan pandangannya, istikharah kepada Allah untuk
memilih kepada siapa dia berguru. Hendaklah dia memilih guru yang benar-benar ahli, benar-benar lembut dan terjaga
kehormatannya. Hendaklah murid memilih guru yang paling bagus dalam mengajar dan paling bagus dalam memberi
pemahaman. Janganlah dia berguru kepada orang yang sedikit sifat wara’nya atau agamanya atau tidak punya akhlak yang
bagus.” (Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim hal. 86)
Bukan sebuah aib apabila kita menuntut ilmu dari orang alim yang masih muda. Imam Ibnu Muflih berkata: “Fasal mengam-
bil ilmu dari ahlinya sekalipun masih berusia muda.” (al-Adab asy-Syari’ah 2/214)

Faedah: Orang berilmu tetap dikatakan alim sekalipun masih muda.


Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Perhatikanlah, agamamu. Lihatlah dari mana kamu mengambil ilmu. Ambillah
ilmu dari orang yang istiqamah, jangan kamu mengambilnya dari orang yang menyimpang.” (al-Kifayah oleh Khothib al-
Baghdadihal. 149)

3. M ENGAGUNGKAN GURU

Mengagungkan orang yang berilmu termasuk perkara yang dianjurkan. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda;
Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Hendaklah seorang murid memperhatikan gurunya dengan pandangan
penghormatan. Hendaklah ia meyakini keahlian gurunya dibandingkan yang lain. Karena hal itu akan menghantarkan
seorang murid untuk banyak mengambil manfaat darinya, dan lebih memberi kesan dalam hati terhadap apa yang ia
dengar dari gurunya tersebut.” (al-Majmu’ 1/84)

Bolehkah mencium kepala atau tangan guru?

Sering kita jumpai seorang murid mencium tangan gurunya sebagai bentuk penghormatan dan pengagungan. Apakah
perkara ini dibolehkan?
Shuhaib Maula Ibnu Abbas berkata: “Aku melihat sahabat Ali mencium tangan dan kedua kaki al-Abbas.” (HR. Bukhori
dalam al-Adab al-Mufrad no. 976)

Imam Ibnu Muflih berkata: “Dibolehkan berpelukan, mencium tangan dan kepala, apabila karena perkara agama, atau demi
pemuliaan dan penghormatan dan selamat dari syahwat. Dhahirnya hal ini tidak dibolehkan apabila karena urusan dunia.”
(al-Adab asy-Syar’iah 2/377)
Perhatian: Apabila seseorang memulai dengan menjulurkan tangannya kepada manusia agar mereka mencium, maka ini
terlarang secara tegas tanpa ada perselisihan dan siapa pun dia orangnya. Berbeda apabila orang yang mencium dia yang
memulai untuk mencium (maka boleh).” (Adab at-Tatalmudz hal. 21)

4. AKUILAH KEUTAMAAN GURUMU

Khathib al-Baghdadi berkata: “Wajib bagi seorang murid untuk mengakui keutamaan gurunya yang faqih dan hendaklah
pula menyadari bahwa dirinya banyak mengambil ilmu dari gurunya.” (al-Faqih wal Mutafaqqih 1/196)
Ibnu Jamaah al-Kinani berkata: “Hendaklah seorang murid mengenal hak gurunya, jangan dilupakan semua jasanya.”
(Tadzkiratus Sami’ hal. 90)

5. DO’AKAN KEBAIKAN KEPADA GURU

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;


Apabila ada yang berbuat baik kepadamu maka balaslah denganbalasan yang setimpal. Apabila kamu tidak bisa
membalasnya, maka doakanlah dia hingga engkau memandang telah mencukupi untuk membalas dengan balasan yang
setimpal.” (HR. Abu Dawud 1672, Nasa’i 1/358, Ahmad 2/68, Hakim 1/412 Bukhori dalam al-Adab al-Mufrod no. 216, Ibnu
Hibban 2071, Baihaqi 4/199, Abu Nu’aim dalam al-Hilyah 9/56. Lihat as-Shohihah 254)

Imam Abu Hanifah berkata: “Tidaklah aku sholat sejak kematian Hammad kecuali aku memintakan ampun untuknya dan
orang tuaku. Aku selalu memintakan ampun untuk orang yang aku belajar darinya atau yang mengajariku ilmu.” (Mana-qib
Imam Abu Hanifah. Lihat Adab at-Tatalmudz hal. 28)

Ibnu Jama’ah berkata: “Hendaklah seorang penuntut ilmu mendoakan gurunya sepanjang masa. Memperhatikan anak-
anaknya, kerabatnya dan menunaikan haknya apabila telah wafat.” (Tadzkiroh Sami’ hal. 91)

6. RENDAH DIRI KEPADA GURU

Ibnu Jama’ah rahimahullah berkata: “Hendaklah seorang murid mengetahui bahwa rendah dirinya kepada seorang guru
adalah kemuliaan, dan tunduknya adalah kebanggaan.” (Tadzkiroh Sami’ hal. 88)
al-Khothib telah meriwayatkan dalam kitab Jami’nya bahwa Ibnul Mu’taz berkata: “Orang yang rendah diri dalam belajar
adalah yang paling banyak ilmunya sebagaimana tempat yang rendah adalah tempat yang paling banyak airnya.” (Adab at-
Tatalmudz hal. 32)
Peringatan. Ibnu Jama’ah al-Kinani berkata rahimahullah: “Hendaknya seorang penuntut ilmu tidak hanya mencukupkan diri
untuk belajar kepada guru-guru yang populer saja, karena hal itu dinilai oleh al-Ghazali termasuk kesombongan dan
kebodohan. Ketahuilah bahwa kebenaran adalah seperti barang hilang yang dicari oleh seorang mukmin, dia akan
mengambilnya dimana pun dia mendapatkannya dan berterima kasih kepada orang yang memberikan kepadanya.
Demikian pula seorang penuntut ilmu, dia akan lari dari kebodohan sebagaimana dia lari dari singa. Dan orang yang lari
dari singa, dia tidak akan peduli siapa pun orangnya yang menunjukkan jalan keluar kepadanya.” (Tadzkirah Sami’ fi Adabil
Alim wal Muta’allim hal. 87)

7. MENCONTOH AKHLAKNYA

Hendaklah seorang penuntut ilmu mencontoh akhlak dan kepribadian guru. Mencontoh kebiasaan dan ibadahnya. (Tadz-
kiroh Sami’ hal. 86)
Qashim bin Salam menceritakan: “Adalah para murid Ibnu Mas’ud mereka belajar kepadanya untuk melihat akhlak, ke-
pribadian dan kemudian menirunya.” (Adab at-Tatalmudz hal. 40). Imam as-Sam’ani menceritakan bahwa majelis Imam
Ahmad bin Hanbal dihadiri lima ribu orang. Lima ratus orang menulis sedangkan selainnya hanya ingin melihat dan meniru
adab dan akhlak Imam Ahmad.” (Siyar AlamNubala11/316)

8. ETIKA BILA PELAJARAN SUDAH DIMULAI

Bila pelajaran telah dimulai hendaklah bagi seorang penuntut ilmu memperhatikan hal-hal berikut;

- Menghadirkan hati dan perhatian dengan seksama


Apabila telah hadir dalam majelis ilmu maka pusatkanlah perhatianmu untuk mendengar dan memahami pelajaran. Jangan
biarkan hati menerawang ke-mana-mana. Konsentrasi penuh, karena sikap yang demikian akan membuat pelajaran lebih
membekas dan terpahami.

Faedah. Imam Hasan al-Bashri rahimahullahberkata: “Apabila engkau bermajelis maka bersemangatlah untuk
mendengarkan daripada berbicara. Belajarlah bagaimana mendengar yang baik sebagaimana belajar berkata. Janganlah
engkau memutus pembicaraan orang.” (Adab at-Tatalmudz hal. ,43)

- Mengenakan pakaian yang bersih


Hal ini harus diperhatikan pula. Hendaklah seorang murid berpakaian yang sopan dan bersih. Ingatlah ketika malaikat Jibril
bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau sangat bersih pakaian dan keadaan dirinya. Umar bin
Khaththob mengatakan: “Ketika kami duduk di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari, tiba-tiba datang
kepada kami seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih, rambutnya sangat hitam, tidak terlihat padanya bekas
perjalanan jauh.” (HR. Muslim 8, Abu Dawud 4695, Tirmidzi 2610, Nasa’i 8/97, Ibnu Majah 63 dan selainnya.)
Karena kondisi yang bersih menandakan bahwa seorang murid siap menerima pelajaran dan ilmu. Maka jangan salah-kan
apabila ilmu tidak meresap dalam dada karena kondisi kita yang kurang siap, pakaian penuh keringat, kepanasan dan
sebagainya.

- Duduk dengan tenang


Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin berkata: “Duduklah dengan duduk penuh adab. Jangan engkau luruskan kakimu
di hadapannya, ini termasuk adab yang jelek. Jangan duduk dengan bersandar, ini juga adab yang jelek apalagi di tempat
belajar. Lain halnya jika engkau duduk di tempat umum, maka ini lebih ringan.” (at-Ta’liq as-Tsamin hal. 181)

- Bertanya kepada guru


Ilmu adalah bertanya dan menjawab. Dahulu dikatakan, “Bertanya dengan baik adalah setengah ilmu.” (Fathul Bari 1/142)
Apabila ada pelajaran yang tidak dipahami maka bertanyalah kepada guru dengan baik. Bertanya dengan tenang, tidak
tergesa-gesa dan pergunakanlah bahasa yang santun lagi sopan. Jangan guru itu dipanggil dengan namanya, katakanlah
wahai guruku dan semisalnya. Karena guru perlu dihormati, jangan disamakan dengan teman. Alloh berfirman;

‫ض ُكم َب ْعضا‬ َ ‫سو ِل َب ْينَ ُك ْم َك ُد‬


ِ ‫عاء َب ْع‬ ُ ‫الر‬ َ ‫ََّل ت َجْ َعلُوا ُد‬
‫عاء ا‬
Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang
lain) … (QS. an-Nur [24]: 63)

Ayat ini adalah pokok untuk membezakan orang yang punya kedudukan dengan orang yang biasa. Harap dibezakan
keduanya. (al-Faqih wal Mutafaqqih, Adab at-Tatalmudz hal. 52)
Perhatian. Sering kita jumpai sebagian para penuntut ilmu memaksa gurunya untuk menjawab dengan dalil atas sebuah
pertanyaan. Seolah-olah sang murid belum puas dan terus mendesak. Pahamilah wahai saudaraku, guru adalah manusia
biasa, boleh lupa dan bersalah. Apabila engkau pandang gurumu salah atau lupa dengan dalilnya maka janganlah engkau
memaksa terus dan jangan memalingkan muka darinya. Berilah waktu untuk mendatangkan dalil di kesempatan lain.
Jagalah adab ini, jangan sampai sang guru menjadi jemu, marah hanya karena melayani pertanyaanmu.

9. PERHATIKAN KEADAAN GURUMU

Memperhatikan keadaan guru merupakan perkara yang penting. Karena mengajar memerlukan persiapan yang penuh.
Jangan bertanya atau meminta belajar ketika kondisi guru tidak siap, semisal sedang sibuk, banyak permasalahan, sedih
dan sebagainya.
Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Janganlah engkau meminta belajar kepadanya ketika dia sibuk, sedang sedih,
kelelahan, dan Iain-lain, karena hal itu akan menyebabkan dia malas untuk menjelaskan pelajaran kepadamu.” (al-Majmu’
1/86)

10. MEMBELA KEHORMATAN GURU

Ketahuilah selayaknya bagi siapa saja yang mendengar orang yang sedang mengghibah kehormatan seorang muslim,
hendaklah dia membantah dan menasehati orang tersebut. Apabila tidak bisa diam dengan lisan maka dengan tangan,
apabila orang yang mengghibah tidak bisa dinasehati juga dengan tangan dan lesan maka tinggalkanlah tempat tersebut.
Apabila dia mendengar orang yang mengghibah gurunya atau siapa saja yang mempunyai kedudukan, keutamaan dan
kesholihan, maka hendaklah dia lebih serius untuk membantahnya. (Shohih al-Adzkar 2/832, Adab at-Tatalmudz hal. 33)

11. JANGAN BERLEBIHAN KEPADA GURU

Guru adalah manusia biasa. Tidak harus semua perkataannya diterima mentah-mentah tanpa menimbangnya menurut
kaidah syar’iah. Orang yang selalu menurut terhadap perkataan guru, bahkan sampai membela mati-matian ucapannya
adalah termasuk sikap ghuluw (berlebih-lebihan). Apabila telah jelas kekeliruan guru maka nasehatilah, jangan diikuti
kesalahannya. Jangan seorang guru dijadikan tandingan bagi Allah dalam syariat ini. Alloh berfirman;

ََ‫ش ِر ُكون‬
ْ ُ‫ع اما ي‬ ُ ُ ‫ُون َّللاِ َو ْال َمسِي َح ابْنَ َم ْريَ َم َو َما أ‬
ُ ‫مِرواْ ِإَّلا ِليَ ْعبُدُواْ ِإلَـها َواحِ دا َّلا ِإلَـهَ ِإَّلا ه َُو‬
َ ُ ‫س ْب َحانَه‬ ِ ‫ار ُه ْم َو ُر ْهبَانَ ُه ْم أ َ ْربَابا ِمن د‬
َ َ‫ات ا َخذُواْ أَحْ ب‬
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rohib-rohib mereka se-bagai Robb-Robb selain Allah, dan (juga mereka
menjadikan Robb) Al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa; tidak ada
Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Alloh dari apa yang mereka persekutukan. (QS. at-Taubah [9]: 31)

Imam Mawardi rahimahullahmengatakan, “Sebagian para pengikut orang alim berbuat ghuluw kepada gurunya. Hingga
menjadikan perkataannya sebagai dalil sekalipun sebenarnya tidak bisa dijadikan dalil. Meyakini ucapannya sebagai hujjah
sekalipun bukan hujjah.” (Adab Dunya hal. 49, Adab at-Tatalmudz hal. 38)
12. BILA GURU BERSALAH

Sudah menjadi ketetapan yang mapan bahwasanya tidak ada seorang pun yang selamat dari kesalahan. Salah merupakan
hal yang wajar terjadi pada manusia. Rasulullah SAW bersabda;
Seluruh bani Adam banyak bersalah. Dan sebaik-baiknya orang yang banyak bersalah adalah yang bertaubat. (HR.
Tirmidzi 2499, Ibnu Majah 4251, Ahmad 3/198, ad-Darimi 273, Hakim 4/244; Lihat Shohih Jami’us Shoghir 4515)

Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Barangsiapa yang mempunyai ilmu dia akan mengetahui dengan pasti bahwa orang yang
mempunyai kemuliaan, mempunyai peran dan pengaruh dalam Islam maka hukumnya seperti ahli Islam yang lain. Kadang-
kala dia tergelincir dan bersalah. Orang yang semacam ini diberi udzur bahkan bisa diberi pahala karena ijtihadnya, tidak
boleh kesalahannya diikuti, kedudukannya tidak boleh dilecehkan di hadapan manusia.” (I’lamul Muwaqqi’in 3/295)’

Imam Hasan al-Bashri rahimahullah berkata: “Barangsiapa yahg mencari sesuatu dari ilmu ini dan menghendaki apa yang
di sisi Alloh, niscaya akan mendapatinya. Dan barangsiapa yang menghendaki dunia maka itulah bagiannya.” (HR. Darimi
254)

Demikianlah beberapa adab seorang murid kepada gurunya. Semoga kita termasuk orang-orang yang selalu , berhiaskan
akhlak yang mulia dan jauh dari akhlak yang rendahan. Amin. Wallohu A’lam

Anda mungkin juga menyukai