Anda di halaman 1dari 9

 

Definisi adab

Menurut bahasa Adab memiliki arti kesopanan, kehalusan dan kebaikan budi


pekerti, akhlak. M. Sastra Praja menjelaskan bahwa, adab yaitu tata cara
hidup, penghalusan atau kemuliaan kebudayaan manusia. Sedangkan menurut istilah
Adab adalah suatu ibarat tentang pengetahuan yang dapat menjaga diri dari segala
sifat yang salah.
Pengertian bahwa adab ialah mencerminkan baik buruknya seseorang, mulia
atau hinanya seseorang, terhormat atau tercelanya nilai seseorang. Maka jelaslah
bahwa seseorang itu bisa mulia dan terhormat di sisi Allah dan manusia apabila ia
memiliki adab dan budi pekerti yang baik.
Seseorang akan menjadi orang yang beradab dengan baik apabila ia mampu
menempatkan dirinya pada sifat kehambaan yang hakiki. Tidak merasa sombong dan
tinggi hati dan selalu ingat bahwa apa yang ada di dalam dirinya adalah pemberian
dari Allah swt. Sifat-sifat tersebut telah dimiliki Rasulullah saw. Secara utuh dan
sempurna.
Menurut Imam al-Ghazali akhlak mulia adalah sifat-sifat yang dimiliki oleh
para utusan Allah swt. yaitu para Nabi dan Rasul dan merupakan amal para shadiqin.
Akhlak yang baik itu merupakan sebagian dari agama dan hasil dari sikap sungguh-
sungguh dari latihan yang dilakukan oleh para ahli ibadah dan para mutaqin.
Al-Ghazali berpendapat bahwa pendidikan akhlak hendaknya didasarkan atas
mujahadah (ketekunan) dan latihan jiwa. Mujahadah dan riyadhah-nafsiyah
(ketekunan dan latihan kejiwaan) menurut al-Ghazali ialah membebani jiwa dengan
amal-amal perbuatan yang ditujukan kepada khuluk yang baik, sebagaimana kata
beliau: Barangsiapa yang ingin dirinya mempunyai akhlak pemurah, maka ia harus
melatih diri untuk melakukan perbuatan-perbuatan pemurah, yakni dermawan, dan
gemar bersedekah. Jika beramal bersedekah dilakukan secara istiqamah, maka akan
jadi kebiasaan.
Hal ini sejalan dengan firman Allah swt :
Artinya :
“... dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-
benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya
Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik,,,.”
Konsepsi pendidikan modern saat ini sejalan dengan pandangan al-Ghazali
tentang pentingnya pembiasaan melakukan suatu perbuatan sebagai suatu metode
pembentukan akhlak yang utama. Pandangan al-Ghazali tersebut sesuai dengan
pandangan ahli pendidikan Amerika Serikat, John Dewey, yang dikutip oleh Ali Al
Jumbulati menyatakan: Pendidikan moral terbentuk dari proses pendidikan dalam
kehidupan dan kegiatan yang dilakukan oleh murid secara terus-menerus.

B.     Adab dan etika murid kepada guru

Sesungguhmya adab yang mulia adalah salah satu faktor penentu kebahagiaan dan
keberhasilan seseorang. Begitu juga sebaliknya, kurang adab atau tidak beradab
adalah alamat jurang kehancurannya. Tidaklah kebaikan dunia dan akhirat kecuali
dapat diraih dengan adab, dan tidaklah tercegah kebaikan dunia dan akhirat melainkan
karena kurangnya adab.
Murid adalah orang yang sedang belajar dan menuntut ilmu kepada seorang guru.
Demi untuk keberkahan dan kemudahan dalam meraih dan mengamalkan ilmu atau
pengetahuan yang telah diperoleh dari seorang guru, maka seorang murid haruslah
memiliki akhlak atau etika yang benar terhadap gurunya.
Di antara adab-adab yang telah disepakati adalah adab murid kepada syaikh atau
gurunya. Imam Ibnu Hazm berkata: “Para ulama bersepakat, wajibnya memuliakan
ahli al-Qur’an, ahli Islam dan Nabi. Demikian pula wajib memuliakan kholifah, orang
yang punya keutamaan dan orang yang berilmu.”
Beberapa contoh etika murid terhadap guru (Mu’allim), diantaranya adalah
sebagai berikut :
1.      Ikhlas sebelum melangkah
Pertama kali sebelum melangkah untuk menuntut ilmu hendaknya kita
berusaha selalu mengikhlaskan niat. Sebagaimana telah jelas niat adalah faktor
penentu diterimanya sebuah amalan. Ilmu yang kita pelajari adalah ibadah, amalan
yang mulia, maka sudah barang tentu butuh niat yang ikhlas dalam menjalaninya.
Belajar bukan karena ingin disebut sebagai pak ustadz, ?rang alim atau ingin meraih
ba-iian dunia yang menipu.
Dalil akan pentingnya ikhlas beramal di antaranya firman Allah:
                                                        ‫ِّين‬
َ ‫الد‬ ُ‫ين لَه‬
َ ‫ص‬ِ ِ‫َو َما ُأ ِمرُوا ِإاَّل لِيَ ْعبُ ُدوا هَّللا َ ُم ْخل‬
‫ُحنَفَاء‬
Artinya :
“Padahal mereka tidak di suruh kecuali supaya menyembah Alloh dengan
memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus”.(QS. al-
Bayyinah [98]: 5)
Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
“ Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk membantah orang bodoh, atau
berbangga di hadapan ulama atau mencari perhatian manusia, maka dia masuk
neraka.
Imam asy-Syaukani berkata: “Pertama kali yang wajib bagi seorang
penuntut ilmu adalah meluruskan niatnya. Hendaklah yang tergambar dari
perkara yang ia kehendaki adalah syariat Alloh, yang dengannya diturunkan
para Rosul dan al-Kitab. Hendaklah penuntut ilmu membersihkan dirinya dari
tujuan-tujuan duniawi, atau karena ingin mencapai kemuliaan, kepemimpinan
dan Iain-lain. Ilmu ini mulia, tidak menerima selainnya.”
Apabila keikhlasan telah hilang ketika belajar, maka amalan ini (menuntut
ilmu) akan berpindah dari keutamaan yang paling utama menjadi kesalahan yang
paling rendah

2.      Jangan mencari guru sembarangan (Belajar kepada ahlul bid’ah)


Ibnu Jama’ah al-Kinani berkata: “Hendaklah penuntut ilmu mendahulukan
pandangannya, istikhoroh kepada Alloh untuk memilih kepada siapa dia berguru.
Hendaklah dia memilih guru yang benar-benar ahli, benar-benar lembut dan terjaga
kehormatannya. Hendaklah murid memilih guru yang paling bagus dalam mengajar
dan paling bagus dalam memberi pemahaman. Janganlah dia berguru kepada orang
yang sedikit sifat waro’nya atau agamanya atau tidak punya akhlak yang bagus.”
Imam Malik Bin Anas berkata: “Tidak boleh mengambil ilmu dari empat
orang: Orang yang bodoh walaupun hafalannya banyak (bagaikan orang yang
berilmu), Ahlil bid’ah yang menyeru kepada kesesatannya, Orang yang terbiasa
berdusta ketika berbicara dengan manusia walaupun dia tidak berdusta ketika
menyampaikan ilmunya, dan Orang yang sholeh, mulia dan rajin beribadah jika dia
tidak hafal (dan faham) apa yang akan disampaikan”.
Sahabat Abdulloh bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Aku dahulu
membacakan ilmu kepada beberapa orang muhajirin, di antara mereka ada
Abdurrahman bin Auf.” (HR. Bukhori 6442).
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini terdapat peringatan
akan perlunya mengambil ilmu dari ahlinya sekalipun masih berusia muda atau
sedikit kedudukannya.”
Bukan sebuah aib apabila kita menuntut ilmu dari orang alim yang masih
muda. Imam Ibnu Muflih berkata: “Fasal mengambil ilmu dari ahlinya sekalipun
masih berusia muda.”
Imam Ibnu Abdil Barr berkata: “Orang yang bodoh itu tetap dikatakan rendah
sekalipun dia seorang syaikh. Dan orang yang berilmu itu tetap mulia sekalipun masih
muda.”

3.      Manjaga kehormatan guru (Mengagungkan guru)


Mengagungkan orang yang berilmu termasuk perkara yang dianjurkan.
Sebagaimana Rasululloh bersabda :
«‫لِ َعالِ ِمنَا‬ َ ِ‫يرنَا َوي ُِج َّل َكب‬
ِ َ‫يرنَا َوي‬
‫ف‬ َ ‫ْس ِمنَّا َم ْن لَ ْم يَرْ َح ْم‬
َ ‫ص ِغ‬ َ ‫»لَي‬
“ bukanlah termasuk golongan kami orang   yang   tidak   menghorrmti orang
yang tua, tidak menyayangi yang muda dan tidak mengerti hak ulama kami. (HR.
Ahmad 5/323, Hakim 1/122. Dishohihkan oleh al-Albani dalam Shohih
Targhib 1/117)
Seorang murid hendaknya menganggap gurunya sebagai seorang pengajar dan
pendidik. Sebagai pengajar yang mengajarkan ilmu kepadanya, serta sebagai pendidik
yang membimbingnya pada budi pekerti yang baik. Seorang murid kalau tidak
percaya pada gurunya dalam hal ini maka dia tidak akan mendapatkan apa yang dia
inginkan. Sebagai sebuah gambaran, jika seorang murid ragu-ragu dengan
kemampuan ilmu gurunya, bagaimana mungkin dia akan mengambil manfaat darinya.
Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Hendaklah seorang murid
memperhatikan gurunya dengan pandangan penghormatan. Hendaklah ia meyakini
keahlian gurunya dibandingkan yang lain. Karena hal itu akan menghantarkan
seorang murid untuk banyak mengambil manfaat darinya, dan lebih bisa membekas
dalam hati terhadap apa yang ia dengar dari gurunya tersebut.”

4.      Akuilah keutamaan gurumu


Khothib al-Baghdadi berkata: “Wajib bagi seorang murid untuk mengakui
keutamaan gurunya yang faqih dan hendaklah pula menyadari bahwa dirinya banyak
mengambil ilmu dari gurunya.”
Ibnu Jamaah al-Kinani berkata: “Hendaklah seorang murid mengenal hak
gurunya, jangan dilupakan semua jasanya.”
5.      Doakan kebaikan
Rasululloh bersabda :
‫ َحتَّى يَعلَ َم أن قَد‬،ُ‫َو َم ْن َأتَى ِإل ْي ُكم َمعْروفا ً فَ َكافُِئوه فَِإ ْن لَ ْم تَ ِجدوا فَا ْد ُعوا لَه‬
‫َكافَْئتُ ُموه‬
“Apabila ada yang berbuat baik kepadamu maka balaslah
denganbalasan yang setimpal. Apabila kamu tidak bisa membalasnya, maka
doakanlah dia hingga engkau memandang telah mencukupi untuk membalas dengan
balasan yang setimpal.” (HR. Abu Dawud 1672, Nasa’i 1/358, Ahmad 2/68, Hakim
1/412 Bukhori dalam al-Adab al-Mufrod no. 216, Ibnu Hibban 2071, Baihaqi 4/199,
Abu Nu’aim dalam al-Hilyah 9/56. Lihat as-Shohihah 254)
Imam Abu Hanifah berkata: “Tidaklah aku sholat sejak kematian Hammad
kecuali aku memintakan ampun untuknya dan orang tuaku. Aku selalu memintakan
ampun untuk orang yang aku belajar darinya atau yang mengajariku ilmu.”
Ibnu Jama’ah berkata: “Hendaklah seorang penuntut ilmu mendoakan gurunya
sepanjang masa. Memperhatikan anak-anaknya, kerabatnya dan menunaikan haknya
apabila telah wafat.”
6.      Rendah diri kepada guru
Ibnu Jama’ah rahimahullah berkata: “Hendaklah seorang murid mengetahui
bahwa rendah dirinya kepada seorang guru adalah kemuliaan, dan tunduknya adalah
kebanggaan.”
Sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dengan kemuliaan dan
kedudukannya yang agung, beliau mengambil tali kekang unta Zaid bin
Tsabit radhiyallahu ‘anhu seraya berkata: “Demikianlah kita diperintah untuk berbuat
baik kepada ulama.”
Al-Khothib telah meriwayatkan dalam kitab Jami’nya bahwa Ibnul Mu’taz
berkata: “Orang yang rendah diri dalam belajar adalah yang paling banyak ilmunya
sebagaimana tempat yang rendah adalah tempat yang paling banyak airnya.”

7.      Mencontoh akhlaknya
Hendaklah seorang penuntut ilmu mencontoh akhlak dan kepribadian guru.
Mencontoh kebiasaan dan ibadahnya. Qoshim bin Salam menceritakan: “Adalah para
murid Ibnu Mas’ud mereka belajar kepadanya untuk melihat akhlak, kepribadian dan
kemudian menirunya.”
Imam as-Sam’ani rahimahullah menceritakan bahwa majelis Imam
Ahmad bin Hanbal dihadiri lima ribu orang. Lima ratus orang menulis,
sedangkan selainnya hanya ingin melihat dan meniru adab dan akhlak Imam
Ahmad. (Siyar AlamNubala, 11/316)

8.      Membela kehormatan guru


Ketahuilah selayaknya bagi siapa saja yang mendengar orang yang sedang
mengghibah kehormatan seorang muslim, hendaklah dia membantah dan menasehati
orang tersebut. Apabila tidak bisa diam dengan lisan maka dengan tangan, apabila
orang yang mengghibah tidak bisa dinasehati juga dengan tangan dan lesan maka
tinggalkanlah tempat tersebut. Apabila dia mendengar orang yang mengghibah
gurunya atau siapa saja yang mempunyai kedudukan, keutamaan dan kesholihan,
maka hendaklah dia lebih serius untuk membantahnya. (Shohih al-
Adzkar 2/832, Adab at-Tatalmudz hal. 33)
9.      Jangan berlebihan kepada guru
Guru adalah manusia biasa. Tidak harus semua perkataannya diterima mentah-
mentah tanpa menimbangnya menurut kaidah syar’iah. Orang yang
selalu manut terhadap perkataan guru, bahkan sampai membela mati-matian
ucapannya adalah termasuk sikap ghuluw (berlebih-lebihan). Apabila telah
jelas kekeliruan guru maka nasehatilah, jangan diikuti kesalahannya. Jangan
seorang guru dijadikan tandingan bagi Alloh dalam syariat ini. Alloh
berfirman;

‫وا‬ ْ ‫وا َأحْ بَا َرهُ ْم َو ُر ْهبَانَهُ ْم َأرْ بَابا ً ِّمن ُدو ِن هّللا ِ َو ْال َم ِسي َح ا ْبنَ َمرْ يَ َم َو َما ُأ ِمر‬
ْ ‫ُوا ِإالَّ لِيَ ْعبُ ُد‬ ْ ‫اتَّخَ ُذ‬
َ‫احداً الَّ ِإلَـهَ ِإالَّ هُ َو ُس ْب َحانَهُ َع َّما يُ ْش ِر ُكون‬
ِ ‫ِإلَـها ً َو‬
Artinya :
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rohib-rohib mereka se-bagai
Robb-Robb selain Allah, dan (juga mereka menjadikan Robb) Al-Masih putera
Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa; tidak ada
Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Alloh dari apa yang mereka
persekutukan”. (QS. at-Taubah [9]: 31)
Imam Mawardi rahimahullahmengatakan, “Sebagian para pengikut
orang alim berbuat ghuluw kepada gurunya. Hingga menjadikan perkataannya
sebagai dalil sekalipun sebenarnya tidak bisa dijadikan dalil. Meyakini ucap-
annya sebagai hujjah sekalipun bukan hujjah.” (Adab Dunya hal. 49, Adab at-
Tatalmudz hal. 38)

10.  Bila guru bersalah


Sudah menjadi ketetapan yang mapan bahwasanya tidak ada seorang
pun yang selamat dari kesalahan. Salah merupakan hal yang wajar terjadi pada
manusia. Rosululloh -SHI bersabda;
Seluruh bani Adam banyak bersalah. Dan sebaik-baiknya orang yang banyak
bersalah adalah yang bertaubat. (HR. Tirmidzi 2499, Ibnu Majah 4251, Ahmad
3/198, ad-Darimi 273, Hakim 4/244; Lihat Shohih Jami’us Shoghir 4515).
Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Barangsiapa yang mempunyai ilmu dia akan
mengetahui dengan pasti bahwa orang yang mempunyai kemuliaan, mempunyai peran
dan pengaruh dalam Islam maka hukumnya seperti ahli Islam yang lain. Kadang-kala
dia tergelincir dan bersalah. Orang yang semacam ini diberi udzur bahkan bisa diberi
pahala karena ijtihadnya, tidak boleh kesalahannya diikuti, kedudukannya tidak boleh
dilecehkan di hadapan manusia.” (I’lamul Muwaqqi’in 3/295)’

Bila pelajaran sudah dimulai


Bila pelajaran telah dimulai hendaklah bagi seorang penuntut ilmu
memperhatikan hal-hal berikut;
·         Menghadirkan hati dan perhatian dengan seksama
Apabila telah hadir dalam majelis ilmu maka pusatkanlah perhatianmu untuk
mendengar dan memahami pelajaran. Jangan biarkan hati menerawang ke-mana-
mana. Konsentrasi penuh, karena sikap yang demikian akan membuat pelajaran lebih
membekas dan terpahami.
Ibnu Jama’ah berkata: “Hendaklah seorang murid ketika menghadiri
pelajaran gurunya memfokuskan hatinya dari segala kesibukan. Pikirannya
penuh konsentrasi, tidak dalam keadaan mengantuk, marah, haus, lapar dan
lain seba-gainya. Yang demikian agar hatinya benar-benar menerima dan
memahami terhadap apa yang dijelaskan dan apa yang dia de-
ngar.” (Tadzkiroh Sami’ hal. 96)
·         Mengenakan pakaian yang bersih
Hal ini harus diperhatikan pula. Hendaklah seorang murid berpakaian yang
sopan dan bersih. Ingatlah ketika malaikat Jibril bertanya kepada
Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau sangat bersih pakaian dan keadaan
dirinya. Umar bin Khoththob mengatakan: “Ketika kami duduk di sisi
Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari, tiba-tiba datang kepada
kami seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih, rambutnya sangat hitam, tidak
terlihat padanya bekas perjalanan jauh.” (HR. Muslim 8, Abu Dawud 4695, Tirmidzi
2610, Nasa’i 8/97, Ibnu Majah 63 dan selainnya.)
Karena kondisi yang bersih menandakan bahwa seorang murid siap menerima
pelajaran dan ilmu. Maka jangan salah-kan apabila ilmu tidak mere-sap dalam dada
karena kondisi kita yang kurang siap, pakaian penuh keringat, kepanasan dan
sebagainya.
·         Duduk dengan tenang
Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin berkata: “Duduklah dengan duduk
penuh adab. Jangan engkau luruskan kakimu di hadapannya, ini termasuk adab yang
jelek. Jangan duduk dengan bersandar, ini juga adab yang jelek apalagi di tempat be-
lajar. Lain halnya jika engkau duduk di tempat umum, maka ini lebih ringan.” (at-
Ta’liq as-Tsamin hal. 181)
·         Bertanya kepada guru
Ilmu adalah bertanya dan menjawab. Dahulu dikatakan, “Bertanya dengan
baik adalah setengah ilmu.” (Fathul Bari 1/142). Bertanya dengan tenang, tidak
tergesa-gesa dan pergunakanlah bahasa yang santun lagi sopan. Jangan guru itu
dipanggil dengan namanya, katakanlah wahai guruku dan semisalnya. Karena guru
perlu dihormati, jangan disamakan dengan teman. Alloh berfirman yang artinya :
َ ‫َك ُد‬
                                                                    ‫عا ِء‬ ِ ‫اَل تَجْ َعلُ ْو ُد َعا َء ال َّرس‬
‫ُول بَ ْينَ ُك ْم‬
‫ْض ُك ْم بَضًا‬
ِ ‫بَع‬
“ Janganlah kamu jadikan panggilan Rosul di antara kamu seperti panggilan
sebahagian kamu kepada seba-hagian (yang lain)” (QS. an-Nur [24]: 63).
Ayat ini adalah pokok untuk membedakan orang yang punya kedudukan dengan
orang yang biasa. Harap dibedakan keduanya.
Perhatian. Sering kita jumpai sebagian para penuntut ilmu memaksa gurunya
untuk menjawab dengan dalil atas sebuah pertanyaan. Seolah-olah sang murid belum
puas dan terus mendesak seperti berkata kenapa begini, soya belum terima, siapa
yang berkata demikian, semua ini harus dihindari. Pahamilah wahai saudaraku, guru
adalah manusia biasa, bisa lupa dan bersalah. Apabila engkau pandang gurumu salah
atau lupa dengan dalilnya maka janganlah engkau memaksa terus dan jangan
memalingkan muka darinya. Berilah waktu untuk mendatangkan dalil di kesempatan
lain. Jagalah adab ini, jangan sampai sang guru menjadi jemu, marah hanya karena
melayani pertanyaanmu.
Syaikh al-Albani berkata: “Kadangkala seorang alim tidak bisa mendatangkan
dalil atas sebuah pertanyaan, khususnya apabila dalilnya adalah sebuah istinbat
hukum yang tidak dinashkan secara jelas dalam al-Qur’an dan Sunnah. Semisal ini
tidak pantas bagi penanya untuk terlalu mendalam bertanya akan dalilnya.
Menyebutkan dalil adalah wajib ketika realita menuntut demikian. Akan tetapi tidak
wajib baginya acapkali ditanya harus menjawab Allah berfirman demikian, Rosul
bersabda demikian, lebih-lebih dalam perkara fiqih yang rumit yang diperselisihkan.

·         Perhatikan keadaan gurumu


Memperhatikan keadaan guru merupakan perkara yang penting. Karena
mengajar butuh persiapan yang penuh. Jangan bertanya atau meminta belajar ketika
kondisi guru tidak siap, semisal sedang sibuk, banyak permasalahan, sedih dan
sebagainya.
Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Janganlah engkau meminta belajar
kepadanya ketika dia sibuk, sedang sedih, kelelahan, dan Iain-lain, karena hal itu akan
menyebabkan dia malas untuk menjelaskan pelajaran kepadamu.”
C.  Bahaya yang ditimbulkan akibat kita tidak menghormati para Ulama
1.    Menghina ulama akan menyebabkan rusaknya agama
Berkata Al-Imam Ath-Thahawi –rahimahullah- : “Ulama salaf dari kalangan
ulama terdahulu, demikian pula para tabi’in, harus disebut dengan kebaikan. Maka
siapa yang menyebut mereka dengan selain kebaikan maka dia berada di atas
kesesatan”
Berkata Al-Imam Ibnul Mubarak –rahimahullah- : “Siapa yang melecehkan
ulama, akan hilang akhiratnya. Siapa yang melecehkan umara’ (pemerintah), akan
hilang dunianya. Siapa yang melecehkan teman-temannya, akan hilang
kehormatannya”
Dan mencela ulama termasuk diantara dosa-dosa besar.
2.    Orang yang menghina ulama sama artinya dia mengumumkan perang
kepada Allah.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits tentang wali Alloh yang
diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari  -rahimahullah- dari Abu Hurairah –radhiyallohu
‘anhu- :
                        ِ‫ل هللا‬
ُ ْ‫ـال َر ُس ـو‬ َ ‫ض ـ َي هللاُ َع ْنـهُ قَـ‬
َ ‫ قَـ‬: ‫ـال‬ َ ‫ع َْن َأبِي هُ َر ْيـ‬
ِ ‫ـرةَ َر‬
‫صلى هللا عليه وسلم‬
ِ ْ‫بِ ْال َحر‬
َ ‫ِإ َّن هللاَ تَ َعالَى قَا‬ ‫ – …رواه البخاري‬  ‫ب‬
                                     ‫ َم ْن عَادَى لِي‬: ‫ل‬
ُ‫َولِيًّا فَقَ ْد آ َذ ْنتُه‬
Dari Abu Hurairah”Sesungguhnya Allah ta’ala telah berfirman : ‘Barang siapa
memusuhi wali-Ku, maka sesungguhnya Aku menyatakan perang terhadapnya…
[HR. Al Bukhari]
Dan para ulama, mereka adalah termasuk wali-wali Allah.
3.    Orang yang menghina ulama sengaja mencampakkan dirinya untuk
terkena do’a dari seorang alim yang terzhalimi
Hal ini sebagaimana kisah salah seorang Shahabat yang bermana Sa’ad bin
Abi Waqqash –radhiyallohu ‘anhu- dan beliau termasuk salah seorang dari 10
Shahabat yang dijamin dengan Surga.
4.    Orang yang mencibir para ulama maka ia akan dijerumuskan kepada
apa yang ia tuduhkan kepada ulama itu.
Berkata Ibrahim An-Nakha-i –rahimahullah- “Aku mendapati dalam jiwaku
keinginan untuk membicarakan aib seseorang; akan tetapi yang mencegahku dari
membicarakannya adalah aku khawatir jika aib orang itu ternyata menimpa diriku”
5.    Orang yang merasa lezat dengan meng-ghibah para ulama maka ia
akan diberikan su-ul khatimah (akhir kehidupan yang jelek)
Al-Qadhi Az-Zubaidi, ketika dia meninggal dunia lisannya berubah menjadi
hitam, hal ini dikarenakan dia suka mencibir Al-Imam An-Nawawi
6.    Daging para ulama itu beracun
Berkata Imam Ahmad bin Hanbal –rahimahullah- : “Daging para ulama itu beracun.
Siapa yang menciumnya maka ia akan sakit. Siapa yang memakannya maka ia akan
mati.”
7.    Mencela ulama merupakan sebab terbesar bagi seseorang untuk
terhalangi dari dapat mengambil faidah dari ilmu para ulama.
Berkata Al-Imam Hasan Al-Bashri –rahimahullah- : “Dunia itu seluruhnya
gelap, kecuali majelis-majelisnya para ulama.”
8.    Dengan dicelanya ulama akan mengakibatkan ulama dijauhkan dari
medan dakwah
Sebagaimana hal ini datang dari kalangan harokah (orang-orang pergerakan),
mereka memisahkan antara ulama dengan da’i. Mereka menyangka –dengan
persangkaan mereka yang bathil- bahwa ulama itu hanya bisa duduk di kursi dan
menyampaikan ilmu, akan tetapi mereka tidak memahami realita (fiqhul waqi’).
Sedangkan yang memahami waqi’ adalah para da’i yang terjun langsung ke medan
dakwah. Sehingga para ulama itu tidak bisa dijadikan rujukan dalam menghadapi
peristiwa-peristiwa kekinian, dan yang dijadikan rujukan adalah orang-orang yang
mereka anggap sebagai da’i.
Kemudian, beliau –hafizhahullah- menjelaskan beberapa sebab yang menyebabkan
manusia tidak menghormati para ulama. Diantaranya:
1.    Belajar sendiri (otodidak) atau hanya berguru kepada kitab tanpa mau duduk di
majlis para ulama
Diantara dampak buruk dari otodidak adalah :
 Orang ini akan mengukur dengan keadaan dirinya sendiri, sehingga dengan
mudahnya dia memandang dirinya sebagai orang alim
 Orang ini akan kehilangan suri tauladan dalam adab dan akhlaq
Dahulu para salaf melarang orang yang belajar secara otodidak untuk
berfatwa.
Al-Imam Asy-Syafi’i –rahimahullah- berkata : “Siapa yang bertafaqquh dari
perut-perut kitab, maka ia akan menyia-nyiakan hukum.” Kemudian beliau bersya’ir :
Siapa yang mengambil ilmu langsung dari guru, maka dia akan terhindar dari
kesesatan
Siapa yang mengambil ilmu dari buku-buku, maka ilmunya di sisi para ulama
seperti tidak ada
2.    Terlalu tergesa-gesa untuk menjadi da’i sebelum menghasilkan batasan paling
rendah dari ilmu dengan alasan untuk berdakwah
Termasuk aib, jika seorang yang memposisikan dirinya sebagai da’i /Ustadz
dan dia mengajar ke sana dan ke sini akan tetapi dia tidak bisa berbahasa arab.
Umar bin Khaththab –radhiyallohu ‘anhu- : Bertafaqquhlah kalian sebelum
kalian diangkat menjadi pemimpin.
Imam Asy-Syathibi –rahimahullah- berkata : Orang yang masih rendah
ilmunya dan memposisikan dirinya sebagai ulama maka ia akan terluput dari kebaikan
yang sangat banyak.
Dan mengambil ilmu dari orang-orang yang rendah ilmunya akan menjadikan
orang-orang awam menyangka bahwa orang itu adalah ulama. Sehingga memalingkan
mereka dari ulama yang sesungguhnya.
3.    Sifat sok tahu
Orang yang sok tahu dan merasa pintar, maka engkau akan dapati mereka
adalah orang-orang yang dangkal ilmunya akan tetapi memposisikan diri mereka
seperti ulama, maka mereka itu akan ditimpa oleh penyakit ujub (bangga kepada
dirinya sendiri).
Berkata Mu’awiyah bin Abi Sufyan –radhiyallohu ‘anhuma- : Orang yang
paling tertipu adalah orang para qari’ (pembaca al-qur’an) akan tetapi ia tidak faham
apa yang terkandung di dalamnya. Kemudian dia mengajar anak-anak dan wanita ,
yang dengan itu dia merasa besar kemudian berani mendebat para ulama.
4.    Terpengaruh oleh kebebasan berpendapat gaya barat. Sehingga menganggap
setiap orang boleh berbicara tentang agama menurut akal mereka walaupun tanpa
ilmu.
Sebagaimana hal ini banyak kita lihat dan saksikan pada zaman kita ini. Di
mana orang yang paling awam tentang agama berbicara dengan sebebas-bebasnya
tentang agama ini, mengatakan seenaknya tentang kitab Allah dan Sunnah NabiNya.
Disebutkan dalam hadits, tentang tahun-tahun yang menipu dan munculnya
para ruwaibidhah:
5.    Fanatik Hizbi / Fanatik Golongan
Syaikhul Islam berkata : Tidak boleh menisbatkan diri kepada seorang syaikh
atau sebuah kelompok dan memberikan loyalitas di atasnya.
6.    Tidak adanya ketelitian dalam menukil dan menyampaikan khabar tentang ulama
  

Anda mungkin juga menyukai