Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A.  LATAR BELAKANG
Di antara kelaziman hidup bermasyarakat adalah budaya saling hormat menghormati,
saling menghargai satu sama lain, dalam menuntut ilmu sangatlah penting di tanamkan adab dan
tatakrama yang sopan terhadap guru.
Di zaman yang modern seperti sekarang ini telah banyak pergeseran tentang adab atau
prilaku sehingga menjurus kepada dekadensi moral, murid dengan guru sudah tidak bisa lagi
dibedakan baik dalam perkataan, perbuatan ataupun prilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan adanya makalah ini penyusun mencoba menjelaskan pandangan islam tentang
adab, tatakrama dan prilaku yang seharusnya dijunjung tinggi dan diimplementasikan dalam
kehidupan sehari-hari, baik dalam bergaul satu sama lain ataupun dengan guru.

B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang diatas,maka dapat dirumuskan beberapa masalah dibawah ini :
         Bagaimana pengertian adab?
         Bagaimanakah adab seorang anak terhadap guru?

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi adab

Menurut bahasa Adab memiliki arti kesopanan, kehalusan dan kebaikan budi pekerti,
akhlak. M. Sastra Praja menjelaskan bahwa, adab yaitu tata cara hidup, penghalusan atau
kemuliaan kebudayaan manusia. Sedangkan menurut istilah Adab adalah suatu ibarat tentang
pengetahuan yang dapat menjaga diri dari segala sifat yang salah.
Pengertian bahwa adab ialah mencerminkan baik buruknya seseorang, mulia atau hinanya
seseorang, terhormat atau tercelanya nilai seseorang. Maka jelaslah bahwa seseorang itu bisa
mulia dan terhormat di sisi Allah dan manusia apabila ia memiliki adab dan budi pekerti yang
baik.
Seseorang akan menjadi orang yang beradab dengan baik apabila ia mampu menempatkan
dirinya pada sifat kehambaan yang hakiki. Tidak merasa sombong dan tinggi hati dan selalu
ingat bahwa apa yang ada di dalam dirinya adalah pemberian dari Allah swt. Sifat-sifat tersebut
telah dimiliki Rasulullah saw. Secara utuh dan sempurna.
Menurut Imam al-Ghazali akhlak mulia adalah sifat-sifat yang dimiliki oleh para utusan
Allah swt. yaitu para Nabi dan Rasul dan merupakan amal para shadiqin. Akhlak yang baik itu
merupakan sebagian dari agama dan hasil dari sikap sungguh-sungguh dari latihan yang
dilakukan oleh para ahli ibadah dan para mutaqin.
Al-Ghazali berpendapat bahwa pendidikan akhlak hendaknya didasarkan atas mujahadah
(ketekunan) dan latihan jiwa. Mujahadah dan riyadhah-nafsiyah (ketekunan dan latihan
kejiwaan) menurut al-Ghazali ialah membebani jiwa dengan amal-amal perbuatan yang
ditujukan kepada khuluk yang baik, sebagaimana kata beliau: Barangsiapa yang ingin dirinya
mempunyai akhlak pemurah, maka ia harus melatih diri untuk melakukan perbuatan-perbuatan
pemurah, yakni dermawan, dan gemar bersedekah. Jika beramal bersedekah dilakukan secara
istiqamah, maka akan jadi kebiasaan.
Hal ini sejalan dengan firman Allah swt :
Artinya :
“... dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan
Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta
orang-orang yang berbuat baik,,,.”
Konsepsi pendidikan modern saat ini sejalan dengan pandangan al-Ghazali tentang
pentingnya pembiasaan melakukan suatu perbuatan sebagai suatu metode pembentukan akhlak
yang utama. Pandangan al-Ghazali tersebut sesuai dengan pandangan ahli pendidikan Amerika
Serikat, John Dewey, yang dikutip oleh Ali Al Jumbulati menyatakan: Pendidikan moral
terbentuk dari proses pendidikan dalam kehidupan dan kegiatan yang dilakukan oleh murid
secara terus-menerus.

B.     Adab dan etika murid kepada guru

Sesungguhmya adab yang mulia adalah salah satu faktor penentu kebahagiaan dan
keberhasilan seseorang. Begitu juga sebaliknya, kurang adab atau tidak beradab
adalah alamat jurang kehancurannya. Tidaklah kebaikan dunia dan akhirat kecuali dapat diraih
dengan adab, dan tidaklah tercegah kebaikan dunia dan akhirat melainkan karena kurangnya
adab.
Murid adalah orang yang sedang belajar dan menuntut ilmu kepada seorang guru. Demi
untuk keberkahan dan kemudahan dalam meraih dan mengamalkan ilmu atau pengetahuan yang
telah diperoleh dari seorang guru, maka seorang murid haruslah memiliki akhlak atau etika yang
benar terhadap gurunya.
Di antara adab-adab yang telah disepakati adalah adab murid kepada syaikh atau gurunya.
Imam Ibnu Hazm berkata: “Para ulama bersepakat, wajibnya memuliakan ahli al-Qur’an, ahli
Islam dan Nabi. Demikian pula wajib memuliakan kholifah, orang yang punya keutamaan dan
orang yang berilmu.”
Beberapa contoh etika murid terhadap guru (Mu’allim), diantaranya adalah sebagai berikut :
1.       Ikhlas sebelum melangkah
Pertama kali sebelum melangkah untuk menuntut ilmu hendaknya kita berusaha selalu
mengikhlaskan niat. Sebagaimana telah jelas niat adalah faktor penentu diterimanya sebuah
amalan. Ilmu yang kita pelajari adalah ibadah, amalan yang mulia, maka sudah barang tentu
butuh niat yang ikhlas dalam menjalaninya. Belajar bukan karena ingin disebut sebagai pak
ustadz, ?rang alim atau ingin meraih ba-iian dunia yang menipu.
Dalil akan pentingnya ikhlas beramal di antaranya firman Allah:
                                                        ‫حنَفَاء‬
ُ َ ‫ين لَهُ الد‬
‫ِّين‬ َ ‫ص‬ِ ِ‫َو َما ُأ ِمرُوا ِإاَّل لِيَ ْعبُ ُدوا هَّللا َ ُم ْخل‬
Artinya :
“Padahal mereka tidak di suruh kecuali supaya menyembah Alloh dengan memurnikan
keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus”.(QS. al-Bayyinah [98]: 5)
Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
“ Barangsiapa yang menuntut ilmu untuk membantah orang bodoh, atau berbangga di
hadapan ulama atau mencari perhatian manusia, maka dia masuk neraka.
Imam asy-Syaukani berkata: “Pertama kali yang wajib bagi seorang penuntut ilmu adalah
meluruskan niatnya. Hendaklah yang tergambar dari perkara yang ia kehendaki adalah syariat
Alloh, yang dengannya diturunkan para Rosul dan al-Kitab. Hendaklah penuntut ilmu
membersihkan dirinya dari tujuan-tujuan duniawi, atau karena ingin mencapai kemuliaan,
kepemimpinan dan Iain-lain. Ilmu ini mulia, tidak menerima selainnya.”
Apabila keikhlasan telah hilang ketika belajar, maka amalan ini (menuntut ilmu) akan
berpindah dari keutamaan yang paling utama menjadi kesalahan yang paling rendah

2.       Jangan mencari guru sembarangan (Belajar kepada ahlul bid’ah)


Ibnu Jama’ah al-Kinani berkata: “Hendaklah penuntut ilmu mendahulukan
pandangannya, istikhoroh kepada Alloh untuk memilih kepada siapa dia berguru. Hendaklah dia
memilih guru yang benar-benar ahli, benar-benar lembut dan terjaga kehormatannya. Hendaklah
murid memilih guru yang paling bagus dalam mengajar dan paling bagus dalam memberi
pemahaman. Janganlah dia berguru kepada orang yang sedikit sifat waro’nya atau agamanya
atau tidak punya akhlak yang bagus.”
Imam Malik Bin Anas berkata: “Tidak boleh mengambil ilmu dari empat orang: Orang
yang bodoh walaupun hafalannya banyak (bagaikan orang yang berilmu), Ahlil bid’ah yang
menyeru kepada kesesatannya, Orang yang terbiasa berdusta ketika berbicara dengan manusia
walaupun dia tidak berdusta ketika menyampaikan ilmunya, dan Orang yang sholeh, mulia dan
rajin beribadah jika dia tidak hafal (dan faham) apa yang akan disampaikan”.
Sahabat Abdulloh bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Aku dahulu membacakan
ilmu kepada beberapa orang muhajirin, di antara mereka ada Abdurrahman bin Auf.” (HR.
Bukhori 6442).
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini terdapat peringatan akan
perlunya mengambil ilmu dari ahlinya sekalipun masih berusia muda atau sedikit
kedudukannya.”
Bukan sebuah aib apabila kita menuntut ilmu dari orang alim yang masih muda. Imam
Ibnu Muflih berkata: “Fasal mengambil ilmu dari ahlinya sekalipun masih berusia muda.”
Imam Ibnu Abdil Barr berkata: “Orang yang bodoh itu tetap dikatakan rendah sekalipun
dia seorang syaikh. Dan orang yang berilmu itu tetap mulia sekalipun masih muda.”

3.       Manjaga kehormatan guru (Mengagungkan guru)


Mengagungkan orang yang berilmu termasuk perkara yang dianjurkan. Sebagaimana
Rasululloh bersabda :
«‫لِ َعالِ ِمنَا‬ َ ‫ْس ِمنَّا َم ْن لَ ْم يَرْ َح ْم‬
ِ َ‫ص ِغي َرنَا َوي ُِج َّل َكبِي َرنَا َوي‬
‫ف‬ َ ‫»لَي‬
“ bukanlah termasuk golongan kami orang    yang   tidak   menghorrmti orang yang tua,
tidak menyayangi yang muda dan tidak mengerti hak ulama kami. (HR. Ahmad 5/323, Hakim
1/122. Dishohihkan oleh al-Albani dalam Shohih Targhib 1/117)
Seorang murid hendaknya menganggap gurunya sebagai seorang pengajar dan pendidik.
Sebagai pengajar yang mengajarkan ilmu kepadanya, serta sebagai pendidik yang
membimbingnya pada budi pekerti yang baik. Seorang murid kalau tidak percaya pada gurunya
dalam hal ini maka dia tidak akan mendapatkan apa yang dia inginkan. Sebagai sebuah
gambaran, jika seorang murid ragu-ragu dengan kemampuan ilmu gurunya, bagaimana mungkin
dia akan mengambil manfaat darinya.
Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Hendaklah seorang murid memperhatikan
gurunya dengan pandangan penghormatan. Hendaklah ia meyakini keahlian gurunya
dibandingkan yang lain. Karena hal itu akan menghantarkan seorang murid untuk banyak
mengambil manfaat darinya, dan lebih bisa membekas dalam hati terhadap apa yang ia dengar
dari gurunya tersebut.”

4.       Akuilah keutamaan gurumu


Khothib al-Baghdadi berkata: “Wajib bagi seorang murid untuk mengakui keutamaan
gurunya yang faqih dan hendaklah pula menyadari bahwa dirinya banyak mengambil ilmu dari
gurunya.”
Ibnu Jamaah al-Kinani berkata: “Hendaklah seorang murid mengenal hak gurunya,
jangan dilupakan semua jasanya.”

5.       Doakan kebaikan


Rasululloh bersabda :
‫ َحتَّى يَعلَ َم أن قَد َكافَْئتُ ُموه‬،ُ‫َو َم ْن َأتَى ِإل ْي ُكم َمعْروفا ً فَ َكافُِئوه فَِإ ْن لَ ْم تَ ِجدوا فَا ْد ُعوا لَه‬
“Apabila ada yang berbuat baik kepadamu maka balaslah denganbalasan yang
setimpal. Apabila kamu tidak bisa membalasnya, maka doakanlah dia hingga engkau
memandang telah mencukupi untuk membalas dengan balasan yang setimpal.” (HR. Abu
Dawud 1672, Nasa’i 1/358, Ahmad 2/68, Hakim 1/412 Bukhori dalam al-Adab al-Mufrod no.
216, Ibnu Hibban 2071, Baihaqi 4/199, Abu Nu’aim dalam al-Hilyah  9/56. Lihat as-
Shohihah 254)
Imam Abu Hanifah berkata: “Tidaklah aku sholat sejak kematian Hammad kecuali aku
memintakan ampun untuknya dan orang tuaku. Aku selalu memintakan ampun untuk orang yang
aku belajar darinya atau yang mengajariku ilmu.”
Ibnu Jama’ah berkata: “Hendaklah seorang penuntut ilmu mendoakan gurunya sepanjang
masa. Memperhatikan anak-anaknya, kerabatnya dan menunaikan haknya apabila telah wafat.”
6.       Rendah diri kepada guru
Ibnu Jama’ah rahimahullah berkata: “Hendaklah seorang murid mengetahui bahwa
rendah dirinya kepada seorang guru adalah kemuliaan, dan tunduknya adalah kebanggaan.”
Sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dengan kemuliaan dan kedudukannya yang
agung, beliau mengambil tali kekang unta Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu seraya berkata:
“Demikianlah kita diperintah untuk berbuat baik kepada ulama.”
Al-Khothib telah meriwayatkan dalam kitab Jami’nya bahwa Ibnul Mu’taz berkata:
“Orang yang rendah diri dalam belajar adalah yang paling banyak ilmunya sebagaimana tempat
yang rendah adalah tempat yang paling banyak airnya.”

7.       Mencontoh akhlaknya


Hendaklah seorang penuntut ilmu mencontoh akhlak dan kepribadian guru. Mencontoh
kebiasaan dan ibadahnya. Qoshim bin Salam menceritakan: “Adalah para murid Ibnu Mas’ud
mereka belajar kepadanya untuk melihat akhlak, kepribadian dan kemudian menirunya.”
Imam as-Sam’ani rahimahullah menceritakan bahwa majelis Imam Ahmad bin Hanbal
dihadiri lima ribu orang. Lima ratus orang menulis, sedangkan selainnya hanya ingin melihat dan
meniru adab dan akhlak Imam Ahmad. (Siyar AlamNubala, 11/316)

8.       Membela kehormatan guru


Ketahuilah selayaknya bagi siapa saja yang mendengar orang yang sedang mengghibah kehor-
matan seorang muslim, hendaklah dia membantah dan menasehati orang tersebut. Apabila tidak
bisa diam dengan lisan maka dengan tangan, apabila orang yang mengghibah tidak bisa
dinasehati juga dengan tangan dan lesan maka tinggalkanlah tempat tersebut. Apabila dia
mendengar orang yang mengghibah gurunya atau siapa saja yang mempunyai kedudukan,
keutamaan dan kesholihan, maka hendaklah dia lebih serius untuk membantahnya. (Shohih al-
Adzkar  2/832, Adab at-Tatalmudz hal. 33)
9.       Jangan berlebihan kepada guru
Guru adalah manusia biasa. Tidak harus semua perkataannya diterima mentah-mentah tanpa
menimbangnya menurut kaidah syar’iah. Orang yang selalu manut terhadap perkataan guru,
bahkan sampai membela mati-matian ucapannya adalah termasuk sikap ghuluw (berlebih-
lebihan). Apabila telah jelas kekeliruan guru maka nasehatilah, jangan diikuti
kesalahannya. Jangan seorang guru dijadikan tandingan bagi Alloh dalam syariat ini. Alloh
berfirman;

ً‫وا ِإلَـها ً َوا ِحدا‬ ْ ‫يح ا ْبنَ َمرْ يَ َم َو َما ُأ ِمر‬


ْ ‫ُوا ِإالَّ لِيَ ْعبُ ُد‬ َ ‫وا َأحْ بَا َرهُ ْم َو ُر ْهبَانَهُ ْم َأرْ بَابا ً ِّمن ُدو ِن هّللا ِ َو ْال َم ِس‬
ْ ‫اتَّخَ ُذ‬
َ‫الَّ ِإلَـهَ ِإالَّ هُ َو ُسب َْحانَهُ َع َّما يُ ْش ِر ُكون‬
Artinya :
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rohib-rohib mereka se-bagai Robb-Robb
selain Allah, dan (juga mereka menjadikan Robb) Al-Masih putera Maryam; padahal mereka
hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain
Dia. Maha suci Alloh dari apa yang mereka persekutukan”. (QS. at-Taubah [9]: 31)
Imam Mawardi rahimahullahmengatakan, “Sebagian para pengikut orang alim berbuat
ghuluw kepada gurunya. Hingga menjadikan perkataannya sebagai dalil sekalipun sebenarnya
tidak bisa dijadikan dalil. Meyakini ucapannya sebagai hujjah sekalipun bukan hujjah.” (Adab
Dunya  hal. 49, Adab at-Tatalmudz hal. 38)
10.   Bila guru bersalah
Sudah menjadi ketetapan yang mapan bahwasanya tidak ada seorang pun yang selamat
dari kesalahan. Salah merupakan hal yang wajar terjadi pada manusia. Rosululloh -SHI bersabda;
Seluruh bani Adam banyak bersalah. Dan sebaik-baiknya orang yang banyak bersalah
adalah yang bertaubat. (HR. Tirmidzi 2499, Ibnu Majah 4251, Ahmad 3/198, ad-Darimi 273,
Hakim 4/244; Lihat Shohih Jami’us Shoghir 4515).
Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Barangsiapa yang mempunyai ilmu dia akan mengetahui
dengan pasti bahwa orang yang mempunyai kemuliaan, mempunyai peran dan pengaruh dalam
Islam maka hukumnya seperti ahli Islam yang lain. Kadang-kala dia tergelincir dan bersalah.
Orang yang semacam ini diberi udzur bahkan bisa diberi pahala karena ijtihadnya, tidak boleh
kesalahannya diikuti, kedudukannya tidak boleh dilecehkan di hadapan manusia.” (I’lamul
Muwaqqi’in 3/295)’

Bila pelajaran sudah dimulai


Bila pelajaran telah dimulai hendaklah bagi seorang penuntut ilmu memperhatikan hal-
hal berikut;
         Menghadirkan hati dan perhatian dengan seksama
Apabila telah hadir dalam majelis ilmu maka pusatkanlah perhatianmu untuk mendengar
dan memahami pelajaran. Jangan biarkan hati menerawang ke-mana-mana. Konsentrasi penuh,
karena sikap yang demikian akan membuat pelajaran lebih membekas dan terpahami.
Ibnu Jama’ah berkata: “Hendaklah seorang murid ketika menghadiri pelajaran gurunya
memfokuskan hatinya dari segala kesibukan. Pikirannya penuh konsentrasi, tidak dalam keadaan
mengantuk, marah, haus, lapar dan lain seba-gainya. Yang demikian agar hatinya benar-benar
menerima dan memahami terhadap apa yang dijelaskan dan apa yang dia de-ngar.” (Tadzkiroh
Sami’  hal. 96)
         Mengenakan pakaian yang bersih
Hal ini harus diperhatikan pula. Hendaklah seorang murid berpakaian yang sopan dan
bersih. Ingatlah ketika malaikat Jibril bertanya kepada Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa
sallam beliau sangat bersih pakaian dan keadaan dirinya. Umar bin Khoththob mengatakan:
“Ketika kami duduk di sisi Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari, tiba-tiba
datang kepada kami seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih, rambutnya sangat hitam,
tidak terlihat padanya bekas perjalanan jauh.” (HR. Muslim 8, Abu Dawud 4695, Tirmidzi 2610,
Nasa’i 8/97, Ibnu Majah 63 dan selainnya.)
Karena kondisi yang bersih menandakan bahwa seorang murid siap menerima pelajaran
dan ilmu. Maka jangan salah-kan apabila ilmu tidak mere-sap dalam dada karena kondisi kita
yang kurang siap, pakaian penuh keringat, kepanasan dan sebagainya.
          Duduk dengan tenang
Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin berkata: “Duduklah dengan duduk penuh
adab. Jangan engkau luruskan kakimu di hadapannya, ini termasuk adab yang jelek. Jangan
duduk dengan bersandar, ini juga adab yang jelek apalagi di tempat belajar. Lain halnya jika
engkau duduk di tempat umum, maka ini lebih ringan.” (at-Ta’liq as-Tsamin hal. 181)
         Bertanya kepada guru
Ilmu adalah bertanya dan menjawab. Dahulu dikatakan, “Bertanya dengan baik adalah
setengah ilmu.” (Fathul Bari 1/142). Bertanya dengan tenang, tidak tergesa-gesa dan
pergunakanlah bahasa yang santun lagi sopan. Jangan guru itu dipanggil dengan namanya,
katakanlah wahai guruku dan semisalnya. Karena guru perlu dihormati, jangan disamakan de-
ngan teman. Alloh berfirman yang artinya :
                                                                     ‫ْض ُك ْم‬ ِ ‫اَل تَجْ َعلُ ْو ُد َعا َء ال َّرس‬
ِ ‫ُول بَ ْينَ ُك ْم َك ُد َعا ِء بَع‬
‫بَضًا‬
“ Janganlah kamu jadikan panggilan Rosul di antara kamu seperti panggilan
sebahagian kamu kepada seba-hagian (yang lain)” (QS. an-Nur [24]: 63).
Ayat ini adalah pokok untuk membedakan orang yang punya kedudukan dengan orang yang
biasa. Harap dibedakan keduanya.
Perhatian. Sering kita jumpai sebagian para penuntut ilmu memaksa gurunya untuk
menjawab dengan dalil atas sebuah pertanyaan. Seolah-olah sang murid belum puas dan terus
mendesak seperti berkata kenapa begini, soya belum terima, siapa yang berkata
demikian,  semua ini harus dihindari. Pahamilah wahai saudaraku, guru adalah manusia biasa,
bisa lupa dan bersalah. Apabila engkau pandang gurumu salah atau lupa dengan dalilnya maka
janganlah engkau memaksa terus dan jangan memalingkan muka darinya. Berilah waktu untuk
mendatangkan dalil di kesempatan lain. Jagalah adab ini, jangan sampai sang guru menjadi jemu,
marah hanya karena melayani pertanyaanmu.
Syaikh al-Albani berkata: “Kadangkala seorang alim tidak bisa mendatangkan dalil atas
sebuah pertanyaan, khususnya apabila dalilnya adalah sebuah istinbat hukum yang
tidak dinashkan secara jelas dalam al-Qur’an dan Sunnah. Semisal ini tidak pantas bagi penanya
untuk terlalu mendalam bertanya akan dalilnya. Menyebutkan dalil adalah wajib ketika realita
menuntut demikian. Akan tetapi tidak wajib baginya acapkali ditanya harus menjawab Allah
berfirman demikian, Rosul bersabda demikian, lebih-lebih dalam perkara fiqih yang rumit yang
diperselisihkan.

         Perhatikan keadaan gurumu


Memperhatikan keadaan guru merupakan perkara yang penting. Karena mengajar butuh
persiapan yang penuh. Jangan bertanya atau meminta belajar ketika kondisi guru tidak siap,
semisal sedang sibuk, banyak permasalahan, sedih dan sebagainya.
Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Janganlah engkau meminta belajar kepadanya
ketika dia sibuk, sedang sedih, kelelahan, dan Iain-lain, karena hal itu akan menyebabkan dia
malas untuk menjelaskan pelajaran kepadamu.”
C.  Bahaya yang ditimbulkan akibat kita tidak menghormati para Ulama
1.     Menghina ulama akan menyebabkan rusaknya agama
Berkata Al-Imam Ath-Thahawi –rahimahullah- : “Ulama salaf dari kalangan ulama
terdahulu, demikian pula para tabi’in, harus disebut dengan kebaikan. Maka siapa yang
menyebut mereka dengan selain kebaikan maka dia berada di atas kesesatan”
Berkata Al-Imam Ibnul Mubarak –rahimahullah- : “Siapa yang melecehkan ulama, akan
hilang akhiratnya. Siapa yang melecehkan umara’ (pemerintah), akan hilang dunianya. Siapa
yang melecehkan teman-temannya, akan hilang kehormatannya”
Dan mencela ulama termasuk diantara dosa-dosa besar.
2.     Orang yang menghina ulama sama artinya dia mengumumkan perang kepada Allah.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits tentang wali Alloh yang diriwayatkan Al-
Imam Al-Bukhari  -rahimahullah- dari Abu Hurairah –radhiyallohu ‘anhu- :
                        ‫ل هللاِ صلى هللا عليه وسلم‬ َ َ‫ ق‬: ‫ال‬
ُ ْ‫ال َرسُو‬ ِ ‫ع َْن َأبِي هُ َري َْرةَ َر‬
َ َ‫ض َي هللاُ َع ْنهُ ق‬
                                    ‫فَقَ ـ ْد‬ ‫ َم ْن َعــادَى لِي َولِيًّــا‬: ‫ـال‬ ِ ْ‫بِ ْال َحر‬
َ ‫ِإ َّن هللاَ تَ َعالَى قَـ‬ ‫ – …رواه البخاري‬  ‫ب‬
ُ‫آ َذ ْنتُه‬
Dari Abu Hurairah”Sesungguhnya Allah ta’ala telah berfirman : ‘Barang siapa memusuhi
wali-Ku, maka sesungguhnya Aku menyatakan perang terhadapnya… [HR. Al Bukhari]
Dan para ulama, mereka adalah termasuk wali-wali Allah.
3.    Orang yang menghina ulama sengaja mencampakkan dirinya untuk terkena do’a dari
seorang alim yang terzhalimi
Hal ini sebagaimana kisah salah seorang Shahabat yang bermana Sa’ad bin Abi Waqqash
–radhiyallohu ‘anhu- dan beliau termasuk salah seorang dari 10 Shahabat yang dijamin dengan
Surga.
4.    Orang yang mencibir para ulama maka ia akan dijerumuskan kepada apa yang ia tuduhkan
kepada ulama itu.
Berkata Ibrahim An-Nakha-i –rahimahullah- “Aku mendapati dalam jiwaku keinginan
untuk membicarakan aib seseorang; akan tetapi yang mencegahku dari membicarakannya adalah
aku khawatir jika aib orang itu ternyata menimpa diriku”
5.    Orang yang merasa lezat dengan meng-ghibah para ulama maka ia akan diberikan su-ul
khatimah (akhir kehidupan yang jelek)
Al-Qadhi Az-Zubaidi, ketika dia meninggal dunia lisannya berubah menjadi hitam, hal
ini dikarenakan dia suka mencibir Al-Imam An-Nawawi
6.    Daging para ulama itu beracun
Berkata Imam Ahmad bin Hanbal –rahimahullah- : “Daging para ulama itu beracun. Siapa yang
menciumnya maka ia akan sakit. Siapa yang memakannya maka ia akan mati.”
7.    Mencela ulama merupakan sebab terbesar bagi seseorang untuk terhalangi dari dapat
mengambil faidah dari ilmu para ulama.
Berkata Al-Imam Hasan Al-Bashri –rahimahullah- : “Dunia itu seluruhnya gelap, kecuali
majelis-majelisnya para ulama.”
8.    Dengan dicelanya ulama akan mengakibatkan ulama dijauhkan dari medan dakwah
Sebagaimana hal ini datang dari kalangan harokah (orang-orang pergerakan), mereka
memisahkan antara ulama dengan da’i. Mereka menyangka –dengan persangkaan mereka yang
bathil- bahwa ulama itu hanya bisa duduk di kursi dan menyampaikan ilmu, akan tetapi mereka
tidak memahami realita (fiqhul waqi’). Sedangkan yang memahami waqi’ adalah para da’i yang
terjun langsung ke medan dakwah. Sehingga para ulama itu tidak bisa dijadikan rujukan dalam
menghadapi peristiwa-peristiwa kekinian, dan yang dijadikan rujukan adalah orang-orang yang
mereka anggap sebagai da’i.
Kemudian, beliau –hafizhahullah- menjelaskan beberapa sebab yang menyebabkan manusia
tidak menghormati para ulama. Diantaranya:
1.    Belajar sendiri (otodidak) atau hanya berguru kepada kitab tanpa mau duduk di majlis para
ulama
Diantara dampak buruk dari otodidak adalah :
 Orang ini akan mengukur dengan keadaan dirinya sendiri, sehingga dengan mudahnya
dia memandang dirinya sebagai orang alim
 Orang ini akan kehilangan suri tauladan dalam adab dan akhlaq
Dahulu para salaf melarang orang yang belajar secara otodidak untuk berfatwa.
Al-Imam Asy-Syafi’i –rahimahullah- berkata : “Siapa yang bertafaqquh dari perut-perut
kitab, maka ia akan menyia-nyiakan hukum.” Kemudian beliau bersya’ir :
Siapa yang mengambil ilmu langsung dari guru, maka dia akan terhindar dari kesesatan
Siapa yang mengambil ilmu dari buku-buku, maka ilmunya di sisi para ulama seperti
tidak ada
2.    Terlalu tergesa-gesa untuk menjadi da’i sebelum menghasilkan batasan paling rendah dari
ilmu dengan alasan untuk berdakwah
Termasuk aib, jika seorang yang memposisikan dirinya sebagai da’i /Ustadz dan dia
mengajar ke sana dan ke sini akan tetapi dia tidak bisa berbahasa arab.
Umar bin Khaththab –radhiyallohu ‘anhu- : Bertafaqquhlah kalian sebelum kalian
diangkat menjadi pemimpin.
Imam Asy-Syathibi –rahimahullah- berkata : Orang yang masih rendah ilmunya dan
memposisikan dirinya sebagai ulama maka ia akan terluput dari kebaikan yang sangat banyak.
Dan mengambil ilmu dari orang-orang yang rendah ilmunya akan menjadikan orang-
orang awam menyangka bahwa orang itu adalah ulama. Sehingga memalingkan mereka dari
ulama yang sesungguhnya.
3.    Sifat sok tahu
Orang yang sok tahu dan merasa pintar, maka engkau akan dapati mereka adalah orang-
orang yang dangkal ilmunya akan tetapi memposisikan diri mereka seperti ulama, maka mereka
itu akan ditimpa oleh penyakit ujub (bangga kepada dirinya sendiri).
Berkata Mu’awiyah bin Abi Sufyan –radhiyallohu ‘anhuma- : Orang yang paling tertipu
adalah orang para qari’ (pembaca al-qur’an) akan tetapi ia tidak faham apa yang terkandung di
dalamnya. Kemudian dia mengajar anak-anak dan wanita , yang dengan itu dia merasa besar
kemudian berani mendebat para ulama.
4.    Terpengaruh oleh kebebasan berpendapat gaya barat. Sehingga menganggap setiap orang
boleh berbicara tentang agama menurut akal mereka walaupun tanpa ilmu.
Sebagaimana hal ini banyak kita lihat dan saksikan pada zaman kita ini. Di mana orang
yang paling awam tentang agama berbicara dengan sebebas-bebasnya tentang agama ini,
mengatakan seenaknya tentang kitab Allah dan Sunnah NabiNya.
Disebutkan dalam hadits, tentang tahun-tahun yang menipu dan munculnya para
ruwaibidhah:
5.    Fanatik Hizbi / Fanatik Golongan
Syaikhul Islam berkata : Tidak boleh menisbatkan diri kepada seorang syaikh atau sebuah
kelompok dan memberikan loyalitas di atasnya.
6.    Tidak adanya ketelitian dalam menukil dan menyampaikan khabar tentang ulama
  
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Adab ialah mencerminkan baik buruknya seseorang, mulia atau hinanya seseorang,
terhormat atau tercelanya nilai seseorang.
Adab terhadap guru adalah Jangan mencari guru sembarangan, Ikhlas sebelum melangkah,
Mengagungkan guru, Akuilah keutamaan gurumu, Doakan kebaikan, Rendah diri kepada guru,
Mencontoh akhlaknya, Membela kehormatan guru, Jangan berlebihan kepada guru, dan Bila
guru bersalah

B. KRITIK DAN SARAN


Dari pemaparan kami di atas masih banyak kekeliruan atau kesalahan dalam penulisan,
oleh karna itu kami mohon kritik dan sarannya agar kami bisa belajar dan memperbaiki
kesalahan kami. Semoga makalah ini bermanfaat bagi semua pihak. Atas kekurangannya kami
mohon maaf.

Anda mungkin juga menyukai