Anda di halaman 1dari 4

NAMA : NURUL FADILAH

NIM : 2013014
PRODI PAI NON REGULER
SEMESTER 5

PANDANGAN TOKOH PENDIDIKAN ISLAM TENTANG KODE ETIK GURU

A. Pengertian Kode Etik Guru


Ada beberapa istilah yang perlu diketahui sebelum membahas mengenai kode etik atau
biasa disebut juga etika, yaitu:
1. Etika adalah aturan-aturan yang disepakati bersama oleh ahli-ahli yang mengamalkan
kerjanya seperti keguruan, pengobatan dan sebagainya.
2. Nilai-nilai adalah yang menyertai setiap kerjanya itu seperti memberi pengkhitmatan
yang sebaik-baiknya kepada pelanggan dan sebagainya.
3. Pengamalan semua kerjanya mementingkan amalan tetapi sebelum sampai kepada
amalan, nilai-nilai kerjanya itu harus di hayati (intemalized).
4. Penghayatan yaitu penghayatan nilai-nilai maka nilai-nilai seperti ke ikhlasan,
kejujuran, dedikasi dan lain-lain itu di hayati
Sedangkan Etika menurut para ahli sebagai berikut:
a. Ahmad Amin berpendapat, bahwa etika merupakan ilmu yang menjelaskan arti baik
dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan manusia, menyatakan tujuan
yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan
untuk melakukan apa yang harus diperbuat.
b. Soegarda Poerbakawatja mengartikan etika sebagai filsafat nilai, kesusilaan tentang
baik buruk, serta berusaha mempelajari nilai-nilai dan merupakan juga pengatahuan
tentang nilai-nilai itu sendiri.
c. Ki Hajar Dewantara mengartikan etika merupakan ilmu yang mempelajari soal
kebaikan (dan keburukan) di dalam hidup manusia semaunya, teristimewa yang
mengenai gerak gerik pikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan
perasaan sampai mengenai tujuannya yang dapat merupakan perbuatan.
Sedangkan dalam Kode Etik Guru Indonesia adalah norma dan asas yang disepakati dan
diterima oleh guru-guru Indonesia. Sebagai pedoman sikap dan perilaku dalam melaksanakan
tugas profesi sebagai pendidik, anggota masyarakat dan warga negara
Dari pengertian diatas penulis dapat simpulkan bahwa Kode etik guru atau pendidik adalah
norma-norma yang mengatur hubungan kemanusiaan (hubungan relationship) antara pendidik
dan peserta didik, orang tua peserta didik, serta dengan atasannya.
Suatu jabatan yang melayani orang lain selalu memerlukan kode etik. Demikian pula jabatan
pendidik mempunyai kode etik tertentu yang harus dikenal dan dilaksanakan oleh setiap
pendidik.
Faktor terpenting bagi seorang guru adalah etikanya. itulah yang akan menentukan apakah ia
menjadi pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya, ataukah akan menjadi perusak
atau penghancur bagi hari depan anak didik, terutama bagi anak didik yang masih kecil
(tingkat sekolah dasar) dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa (tingkat
menengah).
Perasaan dan emosi guru yang mempunyai kepribadian terpadu tampak stabil, optimis dan
menyenangkan. Dia dapat memikat hati anak didiknya, karena setiap anak merasa diterima
dan disayangi oleh guru, betapapun sikap dan tingkah lakunya.
Tingkah laku atau moral guru pada umumnya, merupakan penampilan lain dari
kepribadiannya. Bagi anak didik yang masih kecil, guru adalah contoh teladan yang sangat
penting dalam pertumbuhannya, guru adalah orang pertama sesudah orang tua, yang
mempengaruhi pembinaan kepribadian anak didik. Kalaulah tingkah laku atau akhlak guru
yang tidak baik, pada umumnya akhlak anak didik akan rusak olehnya, karena anak mudah
terpengaruh oleh orang yang dikaguminya.
B. Kode Etik Guru dalam Perspektif Islam
Kode etik guru dalam perspektif islam, penulis mengambil referensi dari para ulama’ yang
mengemukakan pendapatnya, diantaranya adalah:
a) Kode etik guru menurut Al-Ghazali. Beberapa batasan kode etik yang harus dimiliki
dan dilakukan seorang guru atau pendidik menurut beliau. Hal ini juga sebagai
landasan dasar etika-moral bagi para guru atau pendidik. Gagasan-gagasan tersebut
antara lain sebagai berikut:
1. Menerima segala problem peserta didik dengan hati dan sikap yang terbuka
dan tabah
2. Bersikap penyantun dan penyayang
3. Menjaga kewibawaan dan kehormatan
4. Menghindari dan menghilangkan sikap angkuh terhadap sesame
5. Bersifat rendah hati ketika berada di sekelompok masyarakat
6. Menghilangkan aktivitas yang tidak berguna dan sia-sia
7. Bersifat lemah lembut dalaam menghadapi peserta didiknya yang tingkat IQ-
nya rendah, serta membinanya sampai pada tingkat maksimal
8. Meninggalkan sifat marah dalam menghadapi problem peserta didiknya
9. Memperbaiki sikap peserta didiknya, dan bersikap lemah lembut terhadap
peserta didik yang kurang lancar bicaranya
10. Meninggalkan sifat yang menakutkan bagi peserta didiknya, terutama kepada
peserta didik yang belum mengerti dan mengetahui
11. Berusaha memerhatikan pertanyaan-pertanyaan peserta didiknya, walaupun
pertanyaan itu tidak bermutu dan tidak sesuai dengan masalah yang diajarkan
12. Menerima kebenaran yang diajukan oleh peserta didiknya
13. Menjadikan kebenaran sebagai acuan dalam proses pendidikan, walaupun
kebenaran itu datangnya dari peserta didik
14. Mencegah dan mengontrol peserta didik mempelajari ilmu yang
membahayakan
15. Menanamkan sifat ikhas pada peserta didiknya.
b) Etika Guru Menurut Ibn Al-jama’ah.
Menurut Ibnu Al-Jama’ah, yang dikutip oleh Abd al-Amir Syams al-Din, etika pendidik
terbagi atas tiga macam, yaitu :
1. Etika yang terkait dengan dirinya sendiri.
Pendidik dalam bagian ini paling tidak memiliki dua etika, yaitu (1) memiliki sifat-
sifat keagamaan (dinayyah) yang baik, meliputi patuh dan tunduk terhadap syari’at
Allah dalam bentuk ucapan dan tindakan, baik wajib maupun yang sunnah; senantiasa
membaca Al-Qur’an, zikir kepada-Nya baik dengan hati maupun lisan memelihara
wibawa Nabi Muhammad; dan menjaga perilaku lahir bathin; (2) memiliki sifat-sifat
akhlak yang mulia (akhlaqiyyah), seperti menghias diri (tahalli) dengan memelihara
diri, khusyu’, rendah hati, menerima apa adanya, zuhud, dan memiliki daya dan hasrat
yang kuat.
2. Etika terhadap peserta didiknya.
Pendidik dalam bagian ini paling tidak memiliki dua etika, yaitu : (1) sifat-sifat sopan
santun (adabiyyah, yang terkait dengan akhlak yang mulia seperti diatas; (2) sifat-sifat
memudahkan, menyenangkan, dan menyelamatkan (muhniyyah).
3. Etika dalam proses belajar-mengajar.
Pendidik dalam bagian ini paling tidak memiliki dua etika, yaitu: (1) sifat-sifat
memudahkan, menyenangkan, dan menyelamatkan (muhniyyah); (2) sifat-sifat seni,
yaitu seni mengajar yang menyenangkan, sehingga peserta didik tidak merasa bosan.
Disamping ketiga etika pendidik diatas, Konsep Guru/Ulama Menurut Ibnu Jama’ah bahwa
ulama sebagai mikrokosmos manusia dan secara umum dapat dijadikan sebagai tipologi
makhluk terbaik (khair al-bariyah). Atas dasar ini, maka derajat seorang alim berada
setingkat dibawah derajat Nabi. Hal ini didasarkan pada alasan karena para ulama adalah
orang yang paling takwa dan takut kepada Allah SWT. Dari konsep tentang seorang alim
tersebut, Ibnu Jama’ah membawa konsep tentang guru. Untuk itu Ibnu Jama’ah menawarkan
lagi sejumlah etika yang harus dipenuhi oleh seorang guru. Etika pendidik tersebut meliputi 6
hal yaitu:
a. menjaga akhlak selama melaksanakan tugas pendidikan.
b. tidak menjadikan profesi guru sebagai usaha untuk menutupi kebutuhan ekonominya.
c. mengetahui situasi social kemasyarakatan.
d. kasih sayang dan sabar.
e. adil dalam memperlakukan peserta didik.
f. menolong dengan kemampuan yang dimilikinya.
Dari keenam etika tersebut, yang menarik adalah etika tentang tidak bolehnya profesi guru
dijadikan sebagai usaha mendapatkan keuntungan materil, suatu konsep yang di masa
sekarang tampak kurang relevan, karena salah satu ciri kerja professional adalah pekerjaan
dimana orang yang melakukannya menggantungkan kehidupan di atas profesinya itu. Namun
Ibnu Jama’ah berpendapat demikian sebagai konsekuensi logis dari konsepnya tentang
pengetahuan. Bagi Ibnu Jama’ah pengetahuan (ilmu) sangat agung lagi luhur, bahkan bagi
pendidik menjadi kewajiban tersendiri untuk mengagungkan pengetahuan tersebut, sehingga
pendidik tidak menjadikan pengetahuannya itu sebagai lahan komoditasnya, dan jika hal itu
dilakukan berarti telah merendahkan keagungan pengetahuan. Secara umum etika-etika
tersebut diatas menampakkan kesempurnaan sifat-sifat dan keadaan pendidik dengan
memiliki persyaratan-persyaratan tertentu sehingga layak menjadi pendidik sebagaimana
mestinya.

Anda mungkin juga menyukai