Anda di halaman 1dari 56

Halaqah 01 Pengagungan Terhadap Ilmu Bagian 1

Telah berkata Syaikh Dr. Shalih bin Abdillah bin Hamd


Al-‘Ushoimiy hafizhahullah di dalam Muqaddimah kitab
“Khulashah Ta’zhimil ‘Ilmi” bahwa banyak sedikitnya ilmu
seseorang adalah sesuai dengan pengagungan dia terhadap ilmu
itu sendiri.
Barang siapa yang hatinya penuh dengan pengagungan
terhadap ilmu maka hati tersebut pantas menjadi tempat bagi
ilmu tersebut, sebaliknya barang siapa yang berkurang
pengagungannya terhadap ilmu maka akan semakin berkurang
bagiannya.
Kemudian beliau menyebutkan 20 perkara yang merupakan
bentuk pengagungan terhadap ilmu:

1. Membersihkan tempat ilmu (yaitu hati)


Diantara bentuk pengagungan terhadap ilmu adalah
membersihkan tempat ilmu. Apabila hati kita bersih maka ilmu
akan berkenan masuk, dan semakin bersih maka semakin mudah
menerima ilmu tersebut. Dan hal yang mengotori hati dan
menjadikan ilmu sulit masuk adalah kotoran syahwat dan kotoran
syubhaat.

2. Mengikhlaskan niat.
Diantara bentuk pengagungan terhadap ilmu adalah
mengikhlaskan niat karena Allah didalam menuntutnya. Sesuai
dengan keikhlasan seseorang dia akan mendapatkan ilmu dan niat
yang ikhlas didalam mencari ilmu adalah apabila niatnya: 1)
Mengangkat kebodohan dari diri sendiri 2) Mengangkat
kebodohan dari orang lain 3) Menghidupkan ilmu dan
menjaganya supaya tidak punah 4) Mengamalkan ilmu

3. Mengumpulkan tekad untuk menuntutnya, meminta petolongan


kepada Allah, dan tidak merasa lemah.
Sebagaimana dalam hadits:
‫احرص على ما ينفعك واستعن بالله وال تعجز‬

Hendaklah engkau semangat melakukan apa yang


bermanfaat untuk dirimu dan memohonlah pertolongan kepada
Allah dan janganlah engkau merasa lemah. (HR. Muslim)
Dahulu Imam Ahmad bin Hambal terkadang ingin keluar
dari rumahnya untuk menghadiri majelis ilmu gurunya sebelum
datang waktu subuh dan sebagian mereka membaca shahih al-
bukhari kepada gurunya dalam tiga majelis atau tiga pertemuan.
Ini semua menunjukkan bagaimana semangat dan tekad
para pendahulu kita didalam menuntut ilmu.

4. Memusatkan semangat untuk mempelajari Al-Qur’an dan Al-


Hadits, karena inilah asal dari ilmu itu sendiri.
Halaqah 02 Pengagungan Terhadap Ilmu Bagian 2

5. Menempuh jalan yang benar dalam menuntut ilmu agama.


Orang yang salah cara dalam menuntut ilmu maka dia tidak
akan mendapatkan keinginannya, atau mendapatkan sedikit
disertai rasa lelah yang sangat.
Dan cara yang benar didalam mempelajari satu cabang ilmu:
Menghafal sebuah matan kitab yang menyeluruh dan dia
mengumpulkan perkara-perkara yang raajih atau yang dikuatkan
menurut para ulama dibidang tersebut. Mempelajari ilmu tersebut
dari seorang yang ahli yang bisa dijadikan teladan dan dia mampu
mengajar.

6. Mendahulukan ilmu yang paling penting kemudian yang


setelahnya dan setelahnya. 🍒
Dan ilmu yang paling penting adalah ilmu yang berkaitan
dengan ibadah seseorang kepada Allah. Yang berkaitan dengan
‘ubudiyah seseorang kepada Allah ‘azza wajalla, seperti: ilmu
‘aqidah, tata cara wudhu, tata cara shalat dan lain-lain.

7. Bersegera untuk mendapatkan ilmu dan memanfaatkan waktu


muda, karena waktu muda adalah waktu yang emas untuk
mempelajari ilmu agama. 🍒

Berkata Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah:

‫العلم في الصغر كالنَقْش في الحجر‬

Artinya: “Menuntut ilmu diwaktu kecil seperti mengukir di batu”.

Adapun apabila sudah tua maka kebanyakan manusia akan


memiliki banyak kesibukan, pikiran dan memiliki banyak koneksi.

Kalau dia bisa mengatasi itu semua maka in sya Allah dia
mendapatkan ilmu.
Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu
mempelajari agama dan mereka sudah berumur.

8. Pelan-pelan didalam menuntut ilmu. 🍒


karena menuntut ilmu tidak bisa dilakukan serta merta
sekali jalan, tetapi diambil ilmu secara pelan-pelan dengan
memulai kitab-kitab yang ringkas, menghafal dan memahami
maknanya dan jangan kita memulai menuntut ilmu dengan
membaca kitab-kitab yang panjang.
Halaqah 03 Pengagungan Terhadap Ilmu Bagian 3

9. Sabar dalam menuntut ilmu dan menyampaikan ilmu. 🍒


Menghafal membutuhkan kesabaran, memahami
membutuhkan kesabaran, menghadiri majelis ilmu membutuhkan
kesabaran, demikian pula menjaga haq seorang guru
membutuhkan kesabaran.
Berkata Yahya ibnu Abi Katsiirin:

‫اح ِة الجِ ْسم‬


َ ‫العلم ب َِر‬
َ ‫اع‬
ُ ‫ال يُ ْستَ َط‬

“Tidak didapatkan ilmu dengan badan yang berleha-leha.”

Demikian pula menyampaikan dan mengajarkan perlu


kesabaran, duduk bersama para penuntut ilmu perlu kesabaran,
memahamkan mereka perlu kesabaran, demikian pula
menghadapi kesalahan-kesalahan mereka perlu kesabaran.

10. Memperhatikan adab-adab ilmu. 🍒


Ilmu yang bermanfaat didapatkan diantaranya dengan
memperhatikan adab. Dan adab disini mencakup adab terhadap
diri didalam pelajaran, adab terhadap guru dan teman dan lain-
lain.
Orang yang beradab didalam ilmu berarti dia
mengagungkan ilmu, maka dia dipandang sebagai seorang yang
berhaq untuk mendapatkan ilmu tersebut.
Adapun orang yang tidak beradab maka dikhawatirkan ilmu
akan sia-sia bila disampaikan kepadanya.
Berkata Ibnu Siirin:

‫اله ْد َي كما يتعلمون العل‬


َ ‫كانوا يتعلمون‬

“Dahulu mereka mempelajari adab sebagaimana mereka


mempelajari ilmu.”
Bahkan sebagian salaf mendahulukan mempelajari adab
sebelum mempelajari ilmu dan banyak diantara penuntut ilmu
yang tidak mendapatkan ilmu karena dia menyia-nyiakan adab.

11. Menjaga ilmu dari apa yang menjelekkannya Hendaknya


seorang penuntut ilmu menjaga wibawanya.
karena apabila dia melakukan sesuatu yang merusak
wibawanya sebagai seorang penuntut ilmu berarti dia telah
merendahkan ilmu. Seperti terlalu banyak menoleh dijalan,
berteman akrab dengan orang-orang faasik dan lain-lain.

12. Memilih teman yang shaalih


Seorang penuntut ilmu perlu teman yang membantu untuk
mendapatkan ilmu dan bersungguh-sungguh. Teman yang tidak
baik akan memberi pengaruh yang tidak baik.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

‫الرجل على دين خليله فلينظر أحدكم من يخالل‬

“Seseorang berada diatas agama teman akrabnya, maka


hendaklah salah seorang diantara kalian melihat dengan siapa dia
berteman akrab.” (Hadits hasan, diriwayatkan oleh Abu Daud, dan
At-Tirmizi)
Halaqah 04 Pengagungan Terhadap Ilmu Bagian 4

13. Berusaha keras dalam menghafal ilmu, bermudzakarah dan


bertanya. Belajar dari seorang guru tidak banyak manfa’atnya jika
tidak menghafal, bermudzakarah dan bertanya. 🍒
Menghafal berkaitan dengan diri sendiri, bermudzakarah
adalah mengulang kembali bersama teman, dan bertanya
maksudnya adalah bertanya kepada sang guru.
Berkata Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah :

‫حفظنا قليال وقرأنا كثيرا فانتفعنا بما حفظنا أكثر من انتفاعنا بما قرأنا‬

“Kami menghafal sedikit dan membaca banyak, maka kami


mengambil manfa’at dari yang kami hafal lebih banyak daripada
apa yang kami baca.”
Dan dengan mudzakarah akan hidup ilmu di dalam jiwa dan
dengan bertanya akan terbuka pembendaharaan ilmu.

14. Menghormati ahli ilmu.


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

‫يجل كبيرنا ويرحم صغيرنا ويعرف لعالمنا حقه‬


ّ ‫ليس من أمتي من لم‬

“Bukan termasuk ummat ku orang yang tidak menghormati


yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda dan mengetahui
haq bagi seorang ‘aalim.” (Hadits hasan, diriwayatkan oleh Imam
Ahmad di dalam musnad beliau)
Maka seorang murid harus memiliki rasa tawaadhu’ kepada
gurunya, menghadap beliau dan tidak menoleh, menjaga adab
berbicara, tidak berlebih-lebihan didalam memuji beliau,
mendo’akan beliau, mengucapkan terima kasih kepada beliau atas
pengajaran beliau, menampakkan rasa butuhnya terhadap ilmu
beliau, tidak menyakiti beliau dengan ucapan dan perbuatan, serta
berlemah lembut ketika mengingatkan kesalahan beliau.
Disana ada 6 perkara yang harus dia jaga apabila melihat
kesalahan seorang guru:
● Meneliti terlebih dahulu apakah benar kesalahan
tersebut keluar dari seorang guru.
● Meneliti apakah itu memang sebuah kesalahan (dan
ini tugas ahlul ‘ilmi).
● Tidak boleh mengikuti kesalahan tersebut.
● Memberikan ‘udzur kepada sang guru dengan alasan
yang benar.
● Memberikan nasehat dengan lembut dan rahasia.
● Menjaga kehormatan seorang guru dihadapan kaum
muslimin yang lain.

15. Mengembalikan sebuah permasalahan kepada ahlinya.


Orang yang mengagungkan ilmu mengembalikan sebuah
permasalahan kepada ahli ilmu dan tidak memaksakan dirinya
atas sesuatu yang dia tidak mampu, karena dikhawatirkan takut
berbicara tanpa ilmu khususnya peristiwa-peristiwa yang besar
yang terjadi yang berkaitan dengan urusan ummat dan orang
banyak.
Mereka para ulama memiliki ilmu dan pengalaman, maka
hendaklah kita husnudzan kepada mereka. Dan apabila ulama
berselisih, maka lebih hati-hatinya seseorang mengambil ucapan
mayoritas mereka.

16. Menghormati majelis ilmu dan kitab.


● Hendaklah beradab ketika bermajelis,
● Melihat kepada gurunya dan tidak menoleh tanpa
keperluan,
● Tidak banyak bergerak dan memainkan tangan dan
kakinya,
● Tidak bersandar dihadapan seorang guru,
● Tidak bersandar dengan tangannya,
● Tidak berbicara dengan orang yang ada di
sampingnya,
● Dan apabila bersin berusaha untuk merendahkan
suaranya,
● Apabila menguap berusaha untuk meredamnya atau
menutup dengan mulutnya.
● Dan hendaknya juga menjaga kitab dan
memuliakanya,
● Tidak menjadikan kitab sebagai tempat simpanan
barang-barang,
● Tidak bersandar di atas kitab,
● Tidak meletakkan kitab di kakinya,
● Dan apabila dia membaca kitab dihadapan seorang
guru hendaklah dia mengangkat kitab tersebut,
● Dan tidak meletakkan kitab tersebut di tanah.
Halaqah 05 Pengagungan Terhadap Ilmu Bagian 5

17. Membela ilmu dan menolongnya.


Ilmu memiliki kehormatan yang mengharuskan
penuntutnya dan ahlinya untuk membela dan menolongnya bila
ada yang berusaha merusaknya.
Oleh karena itu para ulama membantah orang yang
menyimpang bila jelas penyimpangannya dari syari’at, siapapun
dia.
Yang demikian untuk menjaga agama dan menasehati kaum
muslimin.
Mereka memboikot seorang mubtadi’ yaitu orang yang
membuat bid’ah dalam agama, tidak mengambil ilmu dari mereka
kecuali dalam keadaan terpaksa, dan lain-lain. Semuanya
dilakukan untuk menjaga ilmu dan membelanya.

18. Berhati-hati dalam bertanya kepada para ulama.


Seorang penuntut ilmu hendaknya memperhatikan 4
perkara didalam bertanya:
● Bertanya untuk belajar, bukan ingin mengeyel.
Karena orang yang niatnya tidak baik didalam bertanya
akan dijauhkan dari berkah ilmu itu sendiri.
● Bertanya tentang sesuatu yang bermanfa’at.
● Melihat keadaan gurunya,
Tidak bertanya kepada sang guru apabila guru dalam
keadaan tidak kondusif untuk menjawab pertanyaan.
● Memperbaiki cara bertanya,
seperti menggunakan kata-kata yang baik, mendo’akan
untuk sang guru sebelum bertanya, menggunakan panggilan
penghormatan, dan lain-lain.

19. Cinta yang sangat kepada ilmu.


Tidak mungkin seseorang mencapai derajat ilmu, kecuali
apabila kelezatan dia yang paling besar ada di dalam ilmu. Dan
kelezatan ilmu bisa didapatkan dengan 3 perkara:
● Mengeluarkan segenap tenaganya dan kesungguhannya
untuk belajar.
● Kejujuran didalam belajar.
● Keikhlasan niat.

20. Menjaga waktu di dalam ilmu.


Seorang penuntut ilmu tidak menyia-nyiakan waktunya
sedikitpun, menggunakan waktu untuk ibadah, dan
mendahulukan yang afdhal diantara amalan-amalan. Sebagian
salaf dahulu ada yang muridnya membaca kitab kepada beliau
sedangkan beliau dalam keadaan makan, yang demikian adalah
untuk menjaga waktunya jangan sampai tersia-sia dari menuntut
ilmu. Selesai.
Halaqah 06 Silsilah Belajar Tauhid ~ Apa Itu Tauhid

TAUHID
■ Secara bahasa adalah mengEsakan
■Secara istilah adalah mengEsakan Allā h di dalam
beribadah.

Seseorang tidak dinamakan bertauhid sehingga dia


meninggalkan peribadatan kepada selain Allā h, seperti:
• Berdo’a kepada selain Allā h
• Bernadzar untuk selain Allā h
• Menyembelih untuk selain Allā h
• Dan lain-lain.

Apabila seseorang beribadah kepada Allā h dan


menyerahkan sebagian ibadah kepada selain Allā h, siapapun dia,
entah itu seorang Nabi, Malaikat atau yang lain maka inilah yang
dinamakan dengan syirik yaitu menyekutukan Allā h Subhā nahu
wa Ta’ā la di dalam beribadah.

Allā h Subhā nahu wa Ta’ā la berfirman :

{27{ ‫} ِﺇﻻ َّ ﺍﻟ َّ ِﺬﻱ ﻓ ََﻄ َﺮ ِﻧﻲ‬26{ ‫ﻭﻥ‬ ِ ‫ﻴﻢ ﻷَﺑ‬


َ ‫ِﻴﻪ َﻭﻗ َْﻮ ِﻣ ِﻪ ِﺇﻧ َّ ِﻨﻰ ﺑَ َﺮﺁ ٌﺀ ِ ّﻣ َّﻤﺄ ﺗَ ْﻌﺒُ ُﺪ‬ ُ ‫َﺎﻝ ِﺇﺑْ َﺮﺍ ِﻫ‬
َ ‫َﻭ ِﺇ ْﺫ ﻗ‬

’’Dan ingatlah ketika Ibrā hīm berkata kepada bapaknya dan


kaumnya ‘Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian
sembah, kecuali Dzat yang telah menciptakan aku’” (Az-Zukhrū f
26-27)
Rasū lullā h shallallā hu ‘alayhi wa sallam bersabda :

‫ﻠﻰ‬
َ ‫ﻋ‬ ‫َﺎﻝﻻَـ ِﺇﻟ َـَﻪ ِﺇﻻ َّ ُـ‬
‫ﺍﻟﻠﻪ َـﻭ ﻛ َ َﻔ َـﺮ ﺑ َِﻤﺎ ﻳُ ْﻌﺒَ ُـﺪ ِﻣ ْـﻦ ُﺩ ْﻭ ِـﻥ ِـ‬
َ ‫ﺍﻟﻠﻪ َﺣ ُﺮ َـﻡ َﻣﺎﻟ ُـُﻪ َﻭ َﺩ ُﻣ ُـﻪ َـﻭ ِﺣ َﺴﺎﺑُ ُـﻪ‬ ‫َﻣ ْـﻦ ﻗ َـ‬
ِ
‫ﺍﻟﻠﻪ‬

’’Barangsiapa yang mengatakan ‘’Lā ilā ha illallā h’’ dan


mengingkari segala sesuatu yang disembah selain Allā h maka
haram hartanya dan darahnya (artinya tidak boleh diganggu) dan
perhitungannya (hisabnya) adalah atas Allā h Subhā nahu wa
Ta’ā la ‘’. (Hadits shahīh, HR. Imam Muslim)

Oleh karena itu, rukun kalimat Tauhid (Lā ilā ha illallā h) ada 2 :
⑴ Nafi (pengingkaran)
Nafi pada kalimat ‘’Lā ilā ha’’ artinya tidak ada Tuhan yang
berhak disembah. Maksudnya adalah mengingkari tuhan–tuhan
selain Allā h.

⑵ Itsbat (penetapan) Itsbat pada kalimat ‘’illallā h” artinya


kecuali Allā h. Maksudnya adalah menetapkan Allā h sebagai satu-
satunya sesembahan.
Halaqah 07 Termasuk Syirik Memakai Jimat

★ Saudaraku sekalian, Allā h Azza wa Jalla adalah Dzat yang


memberi manfaat dan mudharat.
★ Kalau Allā h menghendaki memberikan manfaat kepada
seseorang maka tidak akan ada yang bisa mencegahnya.
★ Demikian pula sebaliknya, ketika Allā h menghendaki untuk
menimpakan musibah kepada seseorang maka tidak akan
ada yang bisa menolaknya.

Keyakinan tersebut melazimkan kita sebagai seorang


Muslim untuk hanya bergantung kepada Allā h semata. Dan
merasa cukup dengan Allā h dalam usaha mendapatkan manfaat
dan menghindari mudharat, seperti dalam mencari rejeki, mencari
keselamatan, mencari kesembuhan dari penyakit dan lain-lain.

Dan tidak bergantung sekali-kali kepada benda-benda yang


dikeramatkan seperti jimat, wafaq, susuk dan berbagai jenisnya

Rasū lullā h shallallā hu ‘alayhi wa sallam bersabda :

‫يم ًة َفقَ ْد َأ ْش َر َك‬


َ ‫عل َّ َق تَ ِم‬
َ ‫َم ْن‬

’’Barangsiapa yang menggantungkan tamīmah (yaitu jimat


dan yang semisalnya) maka sungguh dia telah berbuat syirik”.
(HR. Imā m Ahmad dan dishahīhkan oleh Syaikh Al-Albani)

Apabila meyakini bahwa barang tersebut adalah sebab


(perantara) maka ini termasuk syirik kecil, karena dia telah
menjadikan sesuatu yang bukan sebab sebagai sebab. Padahal
yang berhak untuk menentukan sesuatu itu sebab atau tidak
adalah Dzat yang menciptakan yaitu Allā h Subhā nahu wa Ta’ā la.

Kemudian apabila dia meyakini bahwa barang tersebut


dengan sendirinya memberikan manfaat dan memberikan
mudharat maka ini termasuk syirik besar, yang bisa
mengeluarkan seseorang dari Islam.

Semoga Allā h Subhā nahu Abdullā Ta’ā la memudahkan kita


dan saudara-saudara kita untuk meninggalkan perbuatan syirik
yang sudah tersebar ini dan menjadikan ketergantungan hati kita
dan mereka hanya kepada Allā h.

Hasbunallā hu wa ni’mal wakīl.


Halaqah 08 Bertabarruk (Mencari Berkah)

Barakah adalah banyaknya kebaikan dan langgengnya.


Allā h Subhā nahu wa Ta’ā la adalah Dzat yang berbarakah,
artinya zat yang banyak kebaikannya.
Allā h berfirman:

‫ين‬ ُّ ‫ار َك الل َّ ُه َر‬


َ ‫ب ال َْعال َِم‬ َ َ‫تَب‬

Dan Allā h adalah Dzat yang memberikan keberkahan atau


kebaikan kepada sebagian makhlukNya, sehingga makhluk
tersebut menjadi makhluk yang berbarakah dan banyak
kebaikannya. (Al-A’rā f 54)

Allā h berfirman :

َ ‫ارك ًا َو ُه ًدى ِلل َْعال َِم‬


‫ين‬ ٍ ْ‫ِإ َّن َأ َّو َل بَي‬
َ َ‫ت ُو ِض َع لِلن ّ َِاس لَل َّ ِذي بِبَك َّ َة ُمب‬

’’Sesungguhnya rumah yang pertama yang di letakkan bagi


manusia untuk beribadah adalah rumah yang ada di Makkah yang
berbarakah dan petunjuk bagi seluruh alam‘’. (Ā li ‘Imrā n 96)

Ka’bah diberikan barakah oleh Allā h Subhā nahu wa Ta’ā la


dan cara mendapatkan barakahnya adalah dengan melakukan
ibadah disana.

Allā h Subhā nahu wa Ta’ā la juga berfirman :

َ ‫ارك َةٍ ۚ ِإ ن َّا كُن َّا ُمن ْ ِذ ِر‬


‫ين‬ ُ َ ‫ِإ ن َّا َأن ْ َزلْن‬
َ َ‫اه ِفي ل َيْل َةٍ ُمب‬

’’Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qurā n pada


malam yang berbarakah, sesungguhnya Kami memberikan
peringatan’’. (Ad-Dukhā n ayat 3)
Malam Laylatul Qadr adalah malam yang berbarakah dan
cara mendapatkan barakahnya dan juga kebaikannya adalah
dengan melakukan ibadah di malam tersebut.
Seorang ulama berbarakah dengan ilmunya dan dakwahnya,
cara mendapatkan keberkahannya dan juga kebaikannya adalah
dengan menimba ilmu dari ulama darinya

Di sana ada barakah yang sifatnya dzatiyah, yaitu dzat yang


berbarakah, dimana barokah seperti ini bisa berpindah. Barokah
jenis ini hanya Allā h berikan kepada para Nabi dan juga Rasū l.

Oleh karena itu, dahulu para shahā bat Nabi shallallā hu


‘alayhi wa sallam bertabarruk dengan:

● Bekas wudhū ’ Nabi shallallā hu ‘alayhi wa sallam


● Rambut Beliau
● Keringat Beliau
● Dan lain-lain.

Sepeninggal Beliau shallallā hu ‘alayhi wa sallam, mereka


tidak melakukan hal ini kepada Abū Bakar dan ‘Umar dan para
shahā bat mulia yang lain. Hal itu menunjukan bahwasanya inilah
kekhususan para Nabi dan juga para Rasul. Meminta barakah
hanya kepada Allā h dan dengan cara yang disyari’atkan.

Adapun meminta barakah dari Allā h dengan sebab yang


tidak disyari’atkan seperti dengan:

● Mengusap dinding masjid tertentu


● Mengambil tanah kuburan tertentu
● Dan lain-lain
Maka ini termasuk dalam syirik kecil.
Halaqah 09 Termasuk Syirik Besar Menyembelih Untuk
Selain Allah

Menyembelih termasuk ibadah yang agung di dalam agama


Islam. Didalamnya ada pengagungan terhadap Allā h, Rabb
semesta alam, diantara wujud cinta kepada Allah adalah dengan
mengorbankan sebagian harta kita untuk Allā h, seperti:

● Ibadah kurban di hari raya


● Aqiqah
● Dan juga hadyu bagi sebagian jama’ah haji.

Allā h Subhā nahu wa Ta’ā la telah memerintahkan kita


menyerahkan ibadah mulia ini hanya untuk Allā h semata,
sebagaimana firman Allā h Subhā nahu wa Ta’ā la :

َ ْ ‫ﻓ ََﺼ ِّﻞ ﻟِ َﺮﺑِّ َﻚ َﻭﺍﻧ‬


‫ﺤ ْﺮ‬

’’Maka shalatlah dan menyembelihlah untuk Tuhanmu”. (Al-


Kautsar ayat 2).

Barang siapa yang menyerahkan ibadah meyembelih ini


untuk selain Allā h dalam rangka mengagungkan dan
mendekatkan diri kepada selain Allā h, baik kepada seorang Nabi
atau kepada seorang wali atau kepada jin dan lain-lain, maka dia:

● Telah terjatuh kedalam syirik besar yang mengeluarkan


seseorang dari Islam
● Membatalkan amalan,
● Dan Terkena ancaman laknat dari Allā h Subhā nahu wa
Ta’ā la.

Sebagaimana sabda Nabi shallallā hu ‘alayhi wa sallam:

َ‫ﻟ ََﻌ َﻦ الله َﻣ ْﻦ َﺫﺑَ َﺢ ﻟِ َﻐﻴْ ِﺮ الله‬


’’Allā h melaknat seseorang yang menyembelih untuk selain
Allā h”. (Hadits Riwayat Muslim).

Dan makna laknat adalah dijauhkan dari rahmat Allā h


Subhā nahu wa Ta’ā la.

Oleh karenanya, janganlah sekali-kali kita sebagai seorang


muslim berkurban dan menyembelih untuk selain Allā h,
sedikitpun, meskipun dengan seekor lalat, dengan harapan untuk
mendapatkan manfaat atau terhindar dari mudharat.

Kita harus yakin sebagai seorang Muslim bahwa manfaat


dan juga mudharat ditangan Allā h Subhā nahu wa Ta’ā la semata
dan hanya kepadaNya-lah seorang muslim bertawakal.
Halaqah 10 Termasuk Syirik Bernadzar Untuk Selain
Allah

Bernadzar untuk Allā h Subhā nahu wa Ta’ā la adalah


seseorang mengatakan : “Wajib bagi saya melakukan ibadah ini
dan itu untuk Allā h” atau dengan mengatakan misalnya : “Saya
bernadzar untuk Allā h bila terlaksana hajat saya”.

Bernadzar adalah ibadah dan sebuah bentuk pengagungan.


Bernadzar diperkenankan hanya untuk Allā h Subhā nahu wa
Ta’ā la semata, seperti:

● Orang yang bernadzar untuk Allā h akan berpuasa 1


hari bila lulus ujian, atau
● Bernadzar untuk Allā h Subhā nahu wa Ta’ā la akan
mengadakan umroh bila sembuh dari penyakit,
● Dan lain-lain.

Allā h Subhā nahu wa Ta’ā la berfirman :

‫ين ِم ْن َأن ْ َص ٍار‬ َّ ِ‫َو َما َأن ْ َف ْقتُ ْم ِم ْن ن َ َف َقةٍ َأ ْو ن َ َذ ْرتُ ْم ِم ْن ن َ ْذ ٍر َفِإ َّن الل َّ َه يَ ْعل َُم ُه ۗ َو َما ل‬
َ ‫لظالِ ِم‬

’’Dan apa yang kalian infaqkan atau yang kalian nadzarkan


maka sesungguhnya Allā h Subhā nahu wa Ta’ā la mengetahuinya
dan tidak ada penolong bagi orang-orang yang Dzalim.’’ (Al-
Baqarah 270)

Didalam ayat ini Allā h mengabarkan bahwa Allah


mengetahui nadzar para hambaNya dan akan membalas dengan
balasan yang baik.
Ini menunjukan bahwasanya nadzar adalah ibadah yang
seorang Muslim akan diberikan pahala atas nadzar tersebut.
Menunaikan nadzar apabila dalam keta’atan hukumnya
adalah wajib, berdasarkan firman Allā h Subhā nahu wa Ta’ā la:

‫ُور ُهم‬
َ ‫َول ْيُوفُوا نُذ‬
’’Dan supaya mereka menyempurnakan nadzar-nadzar
mereka‘’. (Al-Hajj 29)

Juga sabda Nabi Shallallā hu ‘ ‘alayhi wasallam:

‫ﻴﻊ ﺍﻟﻠ َّ َﻪ َﻓﻠ ْﻴُ ِﻄ ْﻌ ُﻪ َﻭ َﻣ ْﻦ ﻧ َ َﺬ َﺭ ﺃ َ ْﻥ ﻳَ ْﻌ ِﺼﻴَ ُﻪ َﻓﻼ َ ﻳَ ْﻌ ِﺼ ِﻪ‬


َ ‫َﻣ ْﻦ ﻧ َ َﺬ َﺭ ﺃ َ ْﻥ ﻳُ ِﻄ‬
’’Barangsiapa yang bernadzar untuk menta’ati Allā h
Subhā nahu wa Ta’ā la maka hendaknya menta’atinya dan barang
siapa yang bernadzar untuk memaksiati Allā h maka janganlah dia
memaksiatiNya”. (HR. Al-Bukhā ri)

Bernadzar untuk selain Allā h adalah termasuk syirik besar


yang mengeluarkan seseorang dari Islam, seperti seseorang
bernadzar “Apabila seseorang sembuh dari penyakit maka akan
menyembelih untuk wali fulan atau berpuasa untuk syaikh fulan
dan lain-lain.”
Halaqah 11 | Ar-Ruqyah (Jampi-Jampi)

Ar-Ruqyah yaitu bacaan yang dibacakan kepada orang yang


sakit supaya sembuh. Bacaan ini diperbolehkan selama tidak ada
kesyirikannya.

Di riwayatkan dari Auf bin Mā lik radiyallā hu ‘anhu beliau


berkata :
Kami dahulu meruqyah di zaman Jahiliyyah, maka kami
bertanya kepada Rasū lullā h shallallā hu ‘alayhi wa sallam : “Yā
Rasū lullā h, apa pendapatmu tentang ruqyah ini ?”

Rasū lullā h shallallā hu ‘alayhi wa sallam bersabda :

‫يه ِش ْر ٌك‬ ُّ ‫ال َبْأ َس ب‬،‫عل ََّي ُرقَاك ُْم‬


ِ ‫ِالرقَى َما ل َْم يَك ُْن ِف‬ َ ‫اع ِر ُضوا‬
ْ

“Perlihatkanlah kepadaku ruqyah-ruqyah kalian,


sesungguhnya ruqyah tidak mengapa selama tidak ada
kesyirikan”. (HR. Muslim)

Ruqyah yang tidak ada kesyirikan seperti ruqyah dari :

● Ayat-ayat AlQur’an
● Do’a-do’a yang diajarkan Nabi shallallā hu ‘alayhi wa sallam
dan ini lebih utama.
● Atau dengan, Do’a-do’a yang lain yang diketahui kebenaran
maknanya baik dengan bahasa Arab maupun dengan selain
bahasa Arab.

Kemudian hendaknya orang yang meruqyah ataupun yang


diruqyah meyakini bahwasanya ruqyah hanyalah SEBAB semata,
tidak berpengaruh dengan sendirinya dan tidak boleh seseorang
bertawakal kepada sebab tersebut.
Seorang Muslim mengambil sebab dan bertawakkal kepada
Dzat yang menciptakan sebab tersebut yaitu Allā h Subhā nahu wa
Ta’ā la.

Ruqyah yang mengandung kesyirikan adalah jampi-jampi


atau bacaan yang mengandung permohonan kepada selain Allā h
Subhā nahu wa Ta’ā la, baik kepada seorang jin ataupun seorang
wali dan sebagainya, biasanya disebutkan disitu nama-nama
mereka.

Tidak jarang jampi-jampi seperti ini dicampur dengan ayat-


ayat Al-Qurā n atau dengan nama-nama Allā h Subhā nahu wa Ta’ā la
atau dengan kalimat yang berasal dari bahasa Arab. Dengan
tujuan adalah satu yaitu untuk mengelabui orang-orang yang jahil
dan tidak tahu.

Ruqyah yang mengandung kesyirikan telah dijelaskan oleh


Rasū lullā h shallallā hu ‘alayhi wa sallam di dalam sabda Beliau :

‫ﺍﻟﺮﻗَﻰ َﻭﺍﻟﺘّ ََﻤﺎ ِﺋ َﻢ َﻭﺍﻟ ِﺘّ َﻮﻟ َ َﺔ ِﺷ ْﺮ ٌﻙ‬


ُّ ‫ِﺇ َّﻥ‬

’’Sesungguhnya jampi-jampi dan jimat-jimat dan juga pelet


adalah syirik’’. (HR. Abū Dā wū d dan Ibnu Mā jah dan dishahihkan
oleh Syaikh Al-Albani rahimahullā h)
Halaqah 12 | Berdoa Kepada Selain Allah Termasuk
Syirik Besar

Berdoa kepada Alloh adalah seseorang menghadap Allah


subhanahu wa ta’ala dengan maksud supaya Alloh mewujudkan
keinginannya, baik dengan meminta atau dengan merendahkan
diri, mengharap dan takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Berdoa dengan makna di atas adalah ibadah.

Berkata An-Nu’man Ibnu Basyirin radhiallohu ‘anhu, Aku


mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

‫الدعاء هو العبادة‬

“Doa adalah ibadah”,

kemudian beliau Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam


membaca ayat :

َ ‫اد ِتي َسيَ ْد ُخل‬


‫ُون‬ َ َ‫ع ْن ِعب‬
َ ‫ون‬
َ ‫ين يَ ْستَكْب ُِر‬ ْ ِ‫عو ِني َأ ْستَج‬
َ ‫ب لَك ُْم ۚ ِإ َّن ال َّ ِذ‬ ُ ‫اد‬
ْ ‫َال َربُّك ُُم‬
َ ‫َوق‬
‫ين‬ ِ ‫َج َهن ّ ََم َد‬
َ ‫اخ ِر‬

(Surat Ghafir ayat 60)

Dan Robb kalian telah berkata : “Berdo’alah kalian kepada-


Ku, niscaya aku akan mengkabulkan kalian, Sesungguhnya orang-
orang yang sombong dari beribadah kepadaKu mereka akan
masuk neraka Jahannam dalam keadaan terhina”. (Surat Ghafir
ayat 60) dan hadist ini di riwayatkan oleh Abu daud, HR. Tirmidzi,
dan Dishahihkan oleh Syaikh al-Albâ ni rohimakhullah.
Dan makna beribadah kepadaKu pada ayat ini adalah
berDOA kepadaku. Apabila doa adalah hak dari Alloh subhanahu
wa ta’ala semata, maka berdoa kepada selain Alloh dengan
merendahkan diri di hadapan-Nya, mengharap dan juga takut
kepada-Nya sebagaimana ketika dia mengharap dan takut kepada
Alloh adalah termasuk syirik besar.

Termasuk doa adalah :

● Istighosah, yaitu meminta dilepaskan dari kesusahan


● Istiadzah (meminta perlindungan)
● Isti’anah (meminta pertolongan)

Apabila di dalamnya ada perendahan diri, pengharapan dan


takut, maka ini adalah ibadah, yang hanya boleh diserahkan
kepada Allah subhanahu wa ta’ala semata.

Namun perlu di ketahui bahwasanya, boleh seseorang


beristighosah, beristiadzah, dan beristi’anah kepada mahluk
dengan 4 syarat:
1. Mahluk tersebut masih hidup
2. Dia berada di depan kita atau bisa mendengar ucapan
kita
3. Dia mampu sebagai mahluk untuk melakukannya
4. Mahluk tersebut diyakini hanya sebagai SEBAB.
sehingga tidak boleh orang bertawakal kepada sebab
tersebut, namun bertawakal kepada Alloh subhanahu wa ta’ala
yang menciptakan sebab tersebut.

Orang yang beristighosah, beristiadzah, beristi’anah kepada


orang yang sudah mati atau kepada orang yang masih hidup akan
tetapi tidak berada di depan kita atau tidak mendengar ucapan
kita atau meminta mahluk untuk perkara yang tidak mungkin bisa
melakukan kecuali oleh Alloh, maka ini termasuk syirik besar.
Halaqah 13 | Syafaat

Syafā ’at adalah meminta kebaikan bagi orang lain di dunia


maupun di akhirat.
Allâ h dan Rasul-Nya telah mengabarkan kepada kita tentang
adanya syafā ’at pada hari kiamat.
Di antara bentuknya adalah bahwasanya Allā h mengampuni
seorang muslim dengan perantara do’a orang yang telah Allā h
izinkan untuk memberikan syafa’at.

Syafa’at akhirat harus kita imani dan kita berusaha untuk


meraihnya.
Adapun modal utama untuk mendapatkan syafā ’at akhirat
adalah bertauhid dan bersihnya seseorang dari kesyirikan.

Rasū lullā h shallallā hu ‘alayhi wa sallam bersabda ketika


beliau mengabarkan tentang bahwasanya beliau memiliki syafā ’at
pada hari kiamat, beliau mengatakan:

‫ات ِم ْن ُأ َّم ِتي ال يُ ْش ِر ُك بِالله َشيًْئا‬ َ ‫ف َِه َي نَاِئل َ ٌة ِإ ْن َش‬


َ ‫اء الله َم ْن َم‬

“Syafa’at itu akan didapatkan insyā ’ Allā h oleh setiap orang


yang mati dari umatku yang tidak menyekutukan Allā h
sedikitpun.” (Hadits Shahih Riwayat Muslim)

Merekalah orang-orang yang Allā h ridhai karena ketauhidan


yang mereka miliki.

Allâ h berfirman:

…‫ون ِإ لَّا ِل َم ِن ْارتَ َض ٰى‬


َ ‫…ول َا يَ ْش َف ُع‬
َ

“…Dan mereka (yaitu para nabi para malaikat dan juga yang
lain) tidak memberikan syafā ’at kecuali bagi orang-orang yang
Allā h ridhai…”. (Surat Al-Anbiyaa’ 28)
Syafā ’at di akhirat ini berbeda dengan syafā ’at di dunia.
Karena seseorang pada hari kiamat tidak bisa memberikan
syafā ’at bagi orang lain kecuali setelah diizinkan oleh Allā h
Subhā nahu wa Ta’ā lā , sampai meskipun dia seorang nabi atau
seorang malaikat sekalipun.

Sebagaimana firman Allā h Subhā nahu wa Ta’ā lā :

‫ﻨﺪ ُﻩۥٓ ِﺇﻟَّﺎ ِﺑ ِﺈ ْﺫ ِﻧ ِﻪۦ‬


َ ‫ٓ ﻣﻦ َﺫﺍ ﺍﻟ َّ ِﺬﻯ ﻳَ ْﺸﻔَ ُﻊ ِﻋ‬
َ

“Tidaklah ada yang memberikan syafa’at di sisi Allā h Ta’ā lā


kecuali dengan izin-Nya.” (Al-Baqarah 255)

Oleh karena itu permintaan syafā ’at hanya ditujukan kepada


Allā h, Zat yang memilikinya. Seperti seseorang mengatakan di
dalam do’anya, “Ya Allā h, aku meminta syafa’at Nabi-Mu .” Ini
adalah cara meminta syafā ’at yang diperbolehkan.

Bukan dengan meminta langsung kepada Nabi Muhammad


shallallā hu ‘alayhi wa sallam seperti mengatakan, “Ya Rasū lullā h,
berilah aku syafā ’atmu.” Atau dengan cara menyerahkan sebagian
ibadah kepada makhluk dengan maksud meraih syafā ’atnya.

Karena cara seperti ini adalah cara yang dilakukan oleh


orang-orang musyrikin zaman dahulu.

Allā h Subhā nahu wa Ta’ā la berfirman:

ۚ ‫ُﻮﻥ َٰﻫ ُﺆﻟ َﺎ ِـﺀ ُﺷﻔَ َﻌﺎ ُﺅﻧَﺎ ِﻋﻨ ْ َـﺪ ﺍﻟﻠ َّ ِـﻪ‬
‫ﻭﻥ ﺍﻟﻠ َّ ِـﻪ َﻣﺎ ﻟ َﺎ ﻳَ ُﻀ ُّﺮ ُﻫ ْﻢـ َﻭﻟ َﺎ ﻳَﻨْﻔَ ُﻌ ُﻬ ْﻢـ َﻭﻳَﻘُﻮﻟ َـ‬
‫ﻭﻥ ِﻣ ْـﻦ ُﺩ ِـ‬ ‫َﻭﻳَ ْﻌﺒُ ُﺪ َـ‬
‫ﻋ َّﻤﺎ ﻳُ ْﺸ ِﺮﻛ ُﻮﻥ‬ َ ‫ﺤﺎﻧ َ ُﻪ َﻭﺗَ َﻌﺎﻟ َٰﻰ‬ َ ْ‫ﺍﺕ َﻭﻟ َﺎ ِﻓﻲ ﺍﻟ ْﺄ َ ْﺭ ِﺽ ۚ ُﺳﺒ‬ ِ ‫ﺎﻭ‬ َ ‫ﺍﻟﺴ َﻤ‬َّ ‫ﻮﻥ ﺍﻟﻠ َّ َﻪ ﺑ َِﻤﺎ ﻟ َﺎ ﻳَ ْﻌﻠ َُﻢ ِﻓﻲ‬ َ ُ‫ﻗ ُْﻞ ﺃَﺗُﻨ َ ِﺒّﺌ‬

“Dan mereka menyembah kepada selain Allā h, sesuatu yang


tidak memudharati mereka dan tidak pula memberikan manfaat
dan mereka berkata: “Mereka adalah pemberi syafa’at bagi kami
disisi Allā h”. Katakanlah: “Apakah kalian akan mengabarkan
kepada Allā h sesuatu yang Allā h tidak ketahui di langit maupun di
bumi?”. Maha Suci Allā h dan Maha Tinggi dari apa yang mereka
sekutukan.” (surat Yunus 18)
Halaqah 14 | Berlebihan terhadap orang shalih adalah
pintu kesyirikan

Orang shalih adalah orang yang baik karena mengikuti


syariat Allā h Subhā nahu wa Ta’ā la, baik di dalam hal aqidah,
ibadah maupun muamalah. 📚 Mereka memiliki derajat yang
berbeda-beda di sisi Allā h Subhā nahu wa Ta’ā la. Sebagai seorang
Muslim kita diperintahkan untuk:

● Mencintai mereka.
● Mengikuti jejak mereka di dalam kebaikan.

Berteman dan bermajelis dengan mereka adalah sebuah


keberuntungan, membaca perjalanan hidup mereka bisa
menambah keimanan dan meneguhkan hati, menghormati
mereka adalah diperintahkan selama masih dalam batas-batas
yang diizinkan agama.

Namun berlebih-lebihan terhadap orang shalih, seperti :

Mendudukkan mereka di atas kedudukannya sebagai


manusia. Atau,
Mensifati mereka dengan sifat-sifat yang tidak pantas
kecuali untuk Allā h.

Maka ini hukumnya HARAM dan tidak diperbolehkan


menurut agama, karena hal ini dapat menjadi pintu terjadinya
kesyirikan dan penyerahan sebagian ibadah kepada selain Allā h
Subhā nahu wa Ta’ā la.

Mencintai Rasū lullā h shallallā hu ‘alayhi wa sallam melebihi


cinta kita kepada kedua orang tua, anak dan semua manusia
adalah sebuah kewajiban agama, sebagaimana disebutkan di
dalam hadits yang di riwayatkan oleh HR Imam Bukhari dan juga
Imam Muslim :
َ ‫ب ِإ ل َيْ ِه ِم ْن َول َ ِد ِه َو َوالِ ِد ِه َوالن َِّاس َأ ْج َم ِع‬
‫ين‬ َّ ‫ُون َأ َح‬
َ ‫ال َيُْؤ ِم ُن َأ َح ُدك ُْم َحتَّى َأك‬

(Tidak beriman salah seorang diantara kalian sampai aku lebih dia
cintai dari pada orangtua nya, anak nya dan seluruh manusia)

Namun beliau Rasū lullā h shallallā hu ‘alayhi wa sallam


melarang kita berlebih-lebihan terhadap beliau yaitu dengan
mendudukkan Beliau di atas kedudukan Beliau yang sebenarnya,
yaitu sebagai hamba Allā h dan seorang Rasul.

Beliau shallallā hu ‘alayhi wa sallam bersabda:

ِ ‫عبْ ُد‬
‫الله َو َر ُس ْول ُُه‬ َ ‫ َفِإن ّ ََما َأنَا‬،‫ارى ابْ َن َم ْريَ َم‬
َ ‫ َف ُق ْول ُْوا‬،‫عبْ ُد ُه‬ ‫َأ‬
َ ‫ال َ تُ ْط ُر ْو ِني ك ََما ْط َر ِت الن ّ ََص‬.

“Janganlah kalian berlebih-lebihan terhadapku sebagaimana


orang-orang Nasrani berlebih-lebihan terhadap ‘Īsā bin Maryam.
Sesungguhnya aku adalah hamba-Nya maka katakanlah. ‘Hamba
Allā h dan Rasul-Nya’.”(HR. Bukhari)

Beliau adalah seorang hamba maka tidak boleh disembah.


Dan,
Beliau adalah seorang rasul maka tidak boleh dicela dan
diselisihi.

Apabila berlebih-lebihan terhadap sebaik-baik manusia saja


yaitu Rasū lullā h shallallā hu ‘alayhi wa sallam tidak diperbolehkan,
maka bagaimana dengan yang lain ?

Di antara bentuk ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap


orang-orang yang shalih adalah :

1⃣ Meyakini bahwa mereka mengetahui ilmu ghaib, atau


2⃣ Membangun di atas kuburan mereka, atau
3⃣ Beribadah kepada Allā h Subhā nahu wa Ta’ā lā di samping
kuburan mereka
4⃣ Dan lain-lain.

Dan yang paling parah adalah menyerahkan sebagian


ibadah kepada mereka.

Semoga Allā h Subhā nahu wa Ta’ā la melapangkan hati kita


untuk menerima kebenaran.
Halaqah 15 | Sihir

Sihir bermacam-macam jenisnya. Dan sihir yang merupakan


kesyirikan adalah sihir yang terjadi dengan meminta pertolongan
kepada syaithā n.

Padahal syaithā n tidak akan menolong seseorang kecuali


setelah melakukan perkara yang dia ridhai, yaitu kufur (kā fir)
kepada Allā h, dengan cara:

● Menyerahkan sebagian ibadah kepada syaithā n tersebut.


● Atau dengan Menghina Al-Quran.
● Atau dengan Mencela agama.
● Dan sebagianya.

Allā h berfirman:

‫ح َر‬
ْ ‫الس‬
ِّ ‫َّاس‬ ِ َ‫الشي‬
َّ َّ‫ان َول َٰ ِكن‬
َ ‫ون الن‬
َ ‫ين ك َ َف ُروا يُ َعلِّ ُم‬
َ ‫اط‬ ُ ‫َو َما ك َ َف َر ُسل َيْ َم‬

“Dan bukanlah Sulaiman yang kafir, akan tetapi syaithā n-


syaithā nlah yang kafir, mereka mengajarkan sihir kepada
manusia.” (Al-Baqarah 102)

Rasū lullā h shallallā hu ‘alayhi wa sallam bersabda :

7 Dosa Besar
“Jauhilah 7 perkara yang membinasakan.”
Para shahā bat bertanya, “Ya Rasū lullā h, apakah 7 perkara
tersebut?”
Maka Beliau shallallā hu ‘alayhi wa sallam menyebutkan 7 Perkara:
“Syirik kepada Allā h, sihir,…(dst).”.
Hukuman bagi seorang tukang sihir jenis ini adalah
hukuman mati bila dia tidak bertaubat, sebagaimana telah
dicontohkan oleh para shahā bat Nabi shallallā hu ‘alayhi wa
sallam. Adapun yang berhak untuk melakukan hukuman tersebut
adalah pemerintah yang sah bukan individu – individu.

Mempelajari sihir termasuk perkara yang diharamkan.


Bahkan sebagian ulama menghukumi pelakunya keluar dari Islam.
Demikian pula meminta supaya disihirkan juga perbuatan yang
haram karena Rasū lullā h shallallā hu ‘alayhi wa sallam
mengabarkan bahwa bukan termasuk pengikut Beliau orang yang
menyihir dan orang yang meminta disihirkan.

Sebagaimana dalam sebuah riwayat yang diriwayatkan oleh


Al-Bazzar di dalam Musnadnya dan dishahihkan oleh Syaikh Al-
Albani rahimahullā h. Seorang Muslim hendaknya mengambil
sebab untuk membentengi diri dari sihir. Diantaranya adalah:

1⃣ Dengan menjaga dzikir-dzikir yang di syariatkan, seperti:

● Dzikir pagi & petang


● Dzikir-dzikir setelah shalat 5 waktu
● Dzikir akan tidur
● Dzikir mau makan
● Dzikir masuk & keluar rumah
● Dzikir masuk & keluar kamar kecil
● Dan lain-lain.

2⃣ Dan membersihkan diri dan rumah dari perkara-perkara yang


membuat ridha syaithā n, seperti:

● Jimat-jimat
● Musik-musik
● Gambar-gambar makhluk bernyawa
● Dan lain-lain.

3⃣ Apabila qaddarullā h terkena sihir maka hendaknya dia :

● Bersabar
● Merendahkan diri kepada Allā h.
● Memohon darinya kesembuhan, dan
● Berpegang dengan ruqyah-ruqyah yang disyariatkan.

Serta jangan sekali-kali berusaha untuk menghilangkan


sihir dengan cara meminta bantuan Jin, baik secara langsung
maupun lewat Dukun, Paranormal dan yang semisal dengan
mereka.

Semoga Allā h Subhā nahu wa Ta’ā lā melindungi kita dan


juga keluarga kita dari semua kejelekan di dunia dan juga di
akhirat.
Halaqah 16 | Perdukunan

Dukun adalah orang yang mengaku mengetahui sesuatu


yang ghaib yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia,
seperti:

● Mengetahui barang yang hilang dan pencurinya


● Mengetahui ramalan nasib
● Dan lain-lain.
Dia mengaku mengetahui hal-hal tersebut dengan cara-cara
tertentu seperti dengan :

● Melihat bintang
● Menggaris di tanah
● Melihat air di mangkok
● Dan lain-lain.
Dengan cara ini para dukun memakan harta manusia.

Saudaraku sekalian, ketahuilah bahwa perdukunan dengan


namanya yang bermacam-macam adalah perkara yang
diharamkan di dalam agama Islam.

Ilmu ghaib yang mereka akui pada hakikatnya adalah kabar


dari jin yang mereka mintai bantuan.

Sedangkan cara-cara tersebut hanyalah untuk menutupi


kedoknya sebagai seorang yang meminta bantuan jin dan juga
syaithā n.

Kita sudah mengetahui bersama bahwa iblis sudah berjanji


akan menyesatkan manusia dan menyeret mereka bersamanya ke
dalam neraka. Iblis dan keturunannya tidak akan membantu sang
dukun kecuali apabila dukun tersebut kafir kepada Allā h.
Oleh karena itu para ulama menghukumi dukun sebagai
orang yang kafir dengan sebab ini. Adapun harta yang dia
dapatkan dari pekerjaan ini adalah harta yang haram.

Berkaitan dengan ramalan yang kadang benar maka


sebagaimana yang dikabarkan oleh Nabi shallallā hu ‘alayhi wa
sallam di dalam hadits yang shahih, bahwa para jin bekerjasama
untuk mencuri kabar dari langit.

Apabila mendengar sesuatu maka jin yang di atas akan


mengabarkan kepada yang di bawahnya dan seterusnya, sehingga
sampai ke telinga dukun.

Terkadang Jin itu terkena lemparan bintang sebelum


menyampaikan kabar yang ia dengar, Dan terkadang sempat
menyampaikan sebelum akhirnya terkena lemparan bintang.
Kabar sedikit yang sampai ini akan ditambah-tambahi oleh dukun
tersebut dengan kedustaan yang banyak. Apa yang benar terjadi
sesuai dengan yang dia kabarkan akan dijadikan alat mencari
pembenaran dan kepercayaan dari manusia.

Orang Islam dilarang sekali-kali datang ke dukun dengan


maksud meminta bantuan kepada Dukun tersebut, bagaimanapun
susahnya keadaan dia.

Rasū lullā h shallallā hu ‘alayhi wa sallam bersabda :

َ ‫ول َف َق ْد ك َ َف َر ب َِما ُأن ْ ِز َل َعل َى ُم‬


‫ح َّم ٍد‬ َ ‫َم ْن َأتَى ك َا ِهنا ً َأ ْو‬
ُ ‫ع َّرافا ً ف ََص َّدق َُه ب َِما يَ ُق‬

“Barangsiapa yang mendatangi seorang dukun kemudian


membenarkan apa yang dia ucapkan, maka dia telah kufur
terhadap apa yang telah diturunkan kepada Muhammad.” (HR
Abū Dā wū d, at-Tirmidzi, Ibnu Mā jah dan dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albani rahimahullā h).
Di dalam hadits lain Beliau sallallahu alaihi wasallam
mengatakan:

‫أربعين ليل ًة‬


َ ُ ‫ع َّرافًا ف ََسَأ‬
‫له َع ْن َشٍئ لم ت ْقبَل ل َُه َصال ُة‬ َ ‫َم ْن أتى‬

“Barangsiapa mendatangi dukun kemudian bertanya


kepadanya tentang sesuatu maka tidak diterima darinya shalat
selama 40 hari.” (HR Muslim)

Meskipun sebagian ulama berpendapat bahwa mendatangi


dukun tidak sampai mengeluarkan seseorang dari Islam, namun
kedua hadits di atas cukup menunjukkan besarnya dosa orang
yang mendatangi dukun.
Halaqah 17 ~ At-Tathoyyur (Merasa Sial Dengan
Sesuatu)

At-Tathoyyur adalah merasa akan bernasib sial karena


melihat atau mendengar kejadian tertentu, seperti melihat
tabrakan, atau orang berkelahi, atau yang semisalnya, kemudian
hal tersebut menyebabkan dia tidak jadi melaksanakan hajatnya
seperti bepergian, berdagang dan lain-lain.
At-Tathoyyur termasuk syirik kecil apabila perasaan
tersebut di ikuti. Rasû lullâ h shallallâ hu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫اجةٍ َفقَ ْد َأ ْش َر َك‬ ِّ ‫َم ْن َر َّدتْ ُه‬


َ ‫الطيَ َر ُة ِم ْن َح‬

“Barangsiapa yang At-Tathoyyur menyebabkan dia tidak


jadi melaksanakan hajatnya maka dia telah berbuat syirik” (HR.
Ahmad dan dishahihkan Syeikh Al Albâ ni rahimahullâ h)

Perasaan ini sebenarnya tidak akan mempengaruhi takdir,


sebagaimana hal ini dinafikan dan di ingkari oleh Rasû lullâ h
shallallâ hu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda :

…‫…وال َ ِطيَ َر َة‬


َ

“… tidak ada thiyarah …” (HR.Al Bukhâ ri dan Muslim)

Maksudnya thiyarah ini adalah sebuah perasaan saja, yang


tidak akan berpengaruh terhadap takdir Allah.

Oleh karena itu, seorang muslim tidak boleh mengikuti was-


was setan ini dan hendaknya dia memiliki keyakinan kuat bahwa
semua yang terjadi di permukaan bumi berupa kebaikan dan
keburukan adalah dengan takdir Allah semata, Seorang Mukmin
hendaknya yakin bahwa tidak mendatangkan kebaikan kecuali
Allah dan tidak melindungi dari keburukan kecuali Allah, hanya
bertawakkal kepada Allah semata, dan berbaik sangka hanya
kepada Allah.

Apabila datang perasaan tersebut maka segera dihilangkan


dengan tawakkal dan tetaplah dia melaksanakan hajatnya. Dan
apa yang terjadi setelah itu adalah takdir Allah semata.

Adapun Tafâ ’ul maka diperbolehkan dalam agama kita.


Tafâ ’ul adalah berbaik sangka kepada Allah karena melihat atau
mendengar sesuatu.

Dahulu Nabi shallallâ hu ‘alaihi wa sallam sering bertafâ ’ul,


seperti ketika terjadi perjanjian Hudaibiyyah, utusan Quraisy saat
itu bernama Suhail. Suhail adalah bentuk tashgîr (pengecilan) dari
sahl yang artinya adalah mudah, maka beliaupun berbaik sangka
kepada Allah bahwa perjanjian ini akan membawa kemudahan
dan kebaikan bagi ummat Islam. Maka benarlah persangkaan
beliau. Allah setelah itu, yaitu setelah perjanjian Hudaibiyyah
membuka pintu-pintu kemudahan bagi umat islam.
Halaqah 18 ~ Meramal Nasib Dengan Bintang

Bintang adalah makhluk yang menunjukkan kebesaran


Allā h Penciptanya. Allā h telah mengabarkan di dalam Al-Qurā n
bahwa bintang ini memiliki 3 faidah :

1. Sebagai perhiasan langit.


2. Sebagai pelempar syaithā n.
3. Sebagai petunjuk manusia, seperti :
● Mengetahui arah utara atau selatan
● Mengetahui arah daerah, arah kiblat
● Mengetahui kapan datangnya musim menanam,
musim hujan dan lain-lain.

Allā h tidak menciptakan bintang untuk perkara yang lain


selain 3 perkara di atas.

Seorang salaf, Qatā dah Bin Di’ā mah As-Sadū si, seorang
ulama yang meninggal kurang lebih pada tahun 110 H. Beliau
menjelaskan bahwa :

“Barang siapa yg meyakini bahwasanya bintang memiliki


faidah yang lain, selain 3 hal di atas maka dia telah bersalah dan
berbicara tanpa ilmu.” Ucapan ini dikeluarkan Al-Imā m Al-
Bukhā ri di dalam Shahih beliau.

Contohnya adalah meyakini bahwasanya terbit dan


tenggelamnya bintang atau berkumpul dan berpisahnya beberapa
bintang berpengaruh kepada keberuntungan seseorang di masa
yang akan datang, baik dalam masalah rejeki, jodoh dan lain-lain.

Sebagaimana kolom yang ditemukan di beberapa koran dan


juga majalah, membaca dan mempercayai hal seperti itu adalah
perbuatan haram dan termasuk DOSA BESAR.
Sebagian ulama mengatakan hukumnya sama seperti orang
yang mendatangi dukun dan bertanya kepadanya. Ancamannya
tidak diterima shalatnya selama 40 hari.

Hendaknya kita semua takut kepada Allā h.Dan janganlah


sekali-kali mencoba membaca kolom-kolom tersebut. Dan jangan
juga memasukkannya ke dalam rumah kita. Kita tutup segala
pintu yang bisa merusak ‘aqidah kita dan keluarga kita.

Karena ‘aqidah merupakan modal kita memasuki surganya


Allā h Subhā nahu wa Ta’ā lā dengan selamat.
Halaqoh 19 | Bersumpah Dengan Selain Nama Allāh

Sumpah adalah menguatkan perkataan dengan


menyebutkan sesuatu yang diagungkan, baik oleh orang yang
berbicara maupun yang diajak bicara.

Kalau (dalam) bahasa ‘Arab maka menggunakan:

● Huruf wawu (‫)و‬َ


● Huruf ba (‫)ب‬َ
● Huruf ta (‫)ت‬
َ

Adapun Bahasa Indonesia dengan menggunakan kata


“Demi”.

Bersumpah hanya diperbolehkan dengan nama Allā h


semata, misalnya mengatakan:

● Wallā hi
● Demi Rabb yang menciptakan langit dan bumi
● Demi Zat yang jiwaku berada di tanganNya
● Dan lain-lain.

Adapun makhluk, bagaimanapun agungnya di mata manusia


maka tidak boleh kita bersumpah dengan namanya, misalnya
dengan mengatakan:

● Demi Rasū lullā h


● Demi Ka’bah
● Demi Jibrīl
● Demi langit & bumi
● Demi bulan & bintang
● Dan lain-lain.
Ini semua termasuk jenis pengagungan terhadap makhluk
yang terlarang.

Rasū lullā h shallallā hu ‘alayhi wa sallam bersabda,

‫َم ْن َحل ََف ِب َغيْ ِر الل َّ ِه َفقَ ْد َأ ْش َر َك‬

“Barang siapa yang bersumpah dengan selain nama Allā h


maka sungguh dia telah berbuat syirik.” (HR Abū Dā wū d, Tirmidzi
dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albā ni rahimahullā h)

Syirik dalam hadits ini pada asalnya adalah syirik kecil yang
tidak mengeluarkan seseorang dari Islam.

Namun bisa sampai kepada syirik besar bila dia


mengucapkan sumpah dengan makhluk disertai pengagungan
seperti kalau dia mengagungkan Allā h Subhā nahu wa Ta’ā lā , yaitu
pengagungan ibadah.

Seperti sumpah yang di lakukan oleh orang-orang musyrik


dengan mengatakan:

● Demi Wisnu
● Demi Dewa Fulan
● Demi Lā ta
● Dan lain-lain.
Halaqah 20 ~ Riya

Riyā ’ adalah seorang mengamalkan sebuah ibadah bukan


karena ingin pahala dari Allā h, akan tetapi ingin dilihat oleh
manusia dan dipuji.
Riyā ’ hukumnya HARAM dan dia termasuk syirik kecil yang
samar, yang tidak mengeluarkan seseorang dari Islam.
Riyā ’ adalah di antara sebab tidak diterimanya amal ibadah
seseorang, bagaimanapun besar amalan tersebut.

Rasū lullā h shallallā hu ‘alayhi wa sallam bersabda :

‫ﻴﻪ َﻣ ِﻌﻲ‬ ‫ﻋ َﻤﻼًـ ﺃ َ ْﺷ َﺮ َـﻙ ِﻓ ِـ‬ ‫ﺍﻟﺸ ْﺮ ِـﻙ َﻣ ْـ‬


َ ‫ﻦ َﻋ ِﻤ َـﻞ‬ ّ ِ ‫ﻋ ِـﻦ‬
َ ‫ﺍﻟﺸ َﺮﻛ َﺎ ِﺀـ‬ ْ َ ‫ﺎﺭ َـﻙ َﻭﺗَ َﻌﺎﻟ َﻰ ﺃَﻧَﺎ ﺃ‬
ُّ ‫ﻏﻨَﻰ‬ َ َ‫َﺎﻝ ﺍﻟﻠ َّ ُـﻪ ﺗَﺒ‬
‫ﻗ َـ‬
‫ﻏﻴْ ِﺮﻱ ﺗَ َﺮﻛْﺘُ ُﻪ َﻭ ِﺷ ْﺮﻛ َُﻪ‬ َ

“Allā h berfirman: ‘Aku adalah Zat yang paling tidak butuh


dengan syirik. Barangsiapa yang mengamalkan sebuah amalan dia
menyekutukan Aku bersama yang lain di dalam amalan tersebut
maka Aku akan meninggalkannya dan juga kesyirikannya’.” (HR
Muslim)

Sebagian ulama berpendapat bahwa syirik yang kecil tidak


ada harapan untuk diampuni Allā h, artinya dia harus diadzab
supaya bersih dari dosa riyā ’ tersebut.

Berbeda dengan dosa besar yang ada di bawah kehendak


Allā h, yang
● Kalau Allā h menghendaki maka akan diampuni langsung.
Dan,
● Kalau Allā h menghendaki maka akan diadzab terlebih
dahulu.

Mereka berdalil dengan keumuman ayat:

َ ‫ِﺇ َّﻥ ﺍﻟﻠ َّ َﻪ ﻟ َﺎ ﻳَ ْﻐ ِﻔ ُﺮ ﺃ َ ْﻥ ﻳُ ْﺸ َﺮ َﻙ ﺑ ِِﻪ َﻭﻳَ ْﻐ ِﻔ ُﺮ َﻣﺎ ُﺩ‬


ُ ‫ﻭﻥ َﺫﻟِ َﻚ ِﻟ َﻤ ْﻦ ﻳَ َﺸ‬
‫ﺎﺀ‬
“Sesungguhnya Allā h tidak mengampuni dosa syirik dan
mengampuni dosa yang lain bagi siapa yang dikehendaki.” (QS An
Nisā : 48)

Tahukah kita siapa orang yang pertama kali nanti akan


dinyalakan api neraka dengan mereka?

Mereka bukanlah preman-preman di jalan atau pembunuh


yang kejam tapi mereka justru adalah orang-orang yang beramal
shalih, Mereka adalah orang yang :

1⃣ Mengajarkan Al Qurā n supaya dikatakan sebagai seorang qā ri,


seorang yang suka membaca, seorang yang mahir membaca.
2⃣ Orang yang berinfaq supaya dikatakan dermawan.
3⃣ Berjihad supaya dikatakan sebagai seorang pemberani.

Mereka beramal bukan karena Allā h.

Sebagaimana hal ini dikabarkan oleh Nabi shallallā hu ‘alayhi


wa sallam dalam hadits yang shahih.

Oleh karena itu, saudara sekalian, ikhlash-lah di dalam


beramal.. Dan ikhlash adalah barang yang sangat berharga. Para
salaf kitapun merasa atau merasakan beratnya memperbaiki hati
mereka.

Hanya kepada Allā h kita meminta keikhlashan di dalam


beramal, menjauhkan kita dari riyā ’, sum’ah, dan ‘ujub dan
berbagai penyakit hati.

Dan marilah kita biasakan untuk menyembunyikan amal


kita, kecuali kalau memang ada mashlahat yang lebih kuat.
Halaqah 21 ~ Cinta Kepada Allah

Mencintai Allā h merupakan ibadah yang agung. Cinta yang


merupakan ibadah ini mengharuskan seorang Muslim
merendahkan dirinya di hadapan Allā h, mengagungkan Allā h,
yang akhirnya akan membawa seseorang untuk melaksanakan
perintah Allā h dan juga menjauhi apa yang Allā h larang. Inilah
cinta yang merupakan ibadah.

Barangsiapa yang menyerahkan cinta seperti ini kepada


selain Allā h maka dia telah berbuat syirik besar.

Allā h Subhā nahu wa Ta’ā la berfirman :

‫ﻳﻦ ﺁَ َﻣﻨُﻮﺍ ﺃ َ َﺷ ُّﺪ ُﺣﺒًّﺎ ﻟِﻠ َّ ِﻪ‬


َ ‫ﺐ ﺍﻟﻠ َّ ِﻪ َﻭﺍﻟ َّ ِﺬ‬ ً ‫ﻭﻥ ﺍﻟﻠ َّ ِﻪ ﺃَﻧ ْ َﺪ‬
ّ ِ ‫ﺍﺩﺍ ﻳُ ِﺤﺒُّﻮﻧ َ ُﻬ ْﻢ ﻛ َُﺤ‬ ِ ‫َﻭ ِﻣ َﻦ ﺍﻟﻨ ّ َِﺎﺱ َﻣ ْﻦ ﻳَﺘّ َِﺨ ُﺬ ِﻣ ْﻦ ُﺩ‬

“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menjadikan


selain Allā h sebagai sekutu-sekutu Allā h. Mereka mencintainya
sebagaimana mereka mencintai Allā h. Adapun orang-orang yang
beriman maka cinta mereka kepada Allā h jauh lebih besar”. (QS Al
Baqarah: 165)

Adapun cinta yang merupakan tabi’at manusia, seperti cinta


keluarga, harta, pekerjaan dan lain-lain, maka hal ini
diperbolehkan selama tidak melebihi cinta kita kepada Allah.

Apabila seseorang mencintai perkara-perkara tersebut


melebihi cintanya kepada Allā h maka dia telah melakukan dosa
besar.

Allā h berfirman yang artinya:

“Katakanlah; ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-


saudara, istri-istri, kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang
kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatiri kerugiannya,
dan juga rumah-rumah tempat tinggal yang kalian sukai, itu
semua lebih kalian cintai daripada Allā h dan Rasul-Nya dan juga
berjihad di jalan Allā h, maka tunggulah sampai Allā h Subhā nahu
wa Ta’ā la mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allā h tidak akan
memberi petunjuk kepada orang-orang fasik”. (QS At Taubah: 24)

Ketika terjadi pertentangan antara dua kecintaan maka


disini akan nampak siapa yang lebih dia cintai. Dan akan nampak
siapa yang cintanya benar dan siapa yang cintanya hanya sebatas
ucapan saja.

Di antara cara untuk memupuk rasa cinta kita kepada Allā h


adalah dengan:

● Mentadabburi (memperhatikan) ayat-ayat Al Qurā n.


● Memikirkan tanda tanda kekuasaan Allā h Subhā nahu wa
Ta’ā la di alam semesta.
● Mengingat-ingat berbagai kenikmatan yang Allā h berikan.
Halaqah 22 ~ Takut Kepada Allah

Di antara keyakinan seorang muslim adalah bahwasanya


manfaat dan mudharat adalah di tangan Allā h Subhā nahu wa
Ta’ā la semata. Seorang Muslim tidak takut kecuali kepada Allā h
dan tidak bertawakal kecuali kepada Allā h.

Takut kepada Allā h yang dibenarkan adalah takut yang


membawa pelakunya untuk:

1. Merendahkan diri di hadapan Allā h.


2. MengagungkanNya.
3. Membawanya untuk menjauhi larangan Allā h Subhā nahu
wa Ta’ā la.
4. Melaksanakan perintahNya.

Bukan takut : Yang berlebihan yang membawa kepada


keputusasaan terhadap rahmat Allā h. Yang terlalu tipis yang tidak
membawa pemiliknya kepada keta’atan kepada Allā h .

↗️Takut seperti ini adalah ibadah.

Tidak boleh sekali-sekali seorang Muslim menyerahkan


takut seperti ini kepada selain Allā h. Dan barangsiapa
menyerahkannya kepada selain Allā h, maka dia telah terjerumus
ke dalam syirik besar, yang mengeluarkan seseorang dari Islam.

Seperti orang yang takut (terkena) mudharat (dengan) wali


fulan yang sudah meninggal kemudian takut tersebut menjadikan
dia merendahkan diri di hadapan kuburannya dan juga
mengagungkannya.

Hendaknya seorang Muslim meneladani Nabi Ibrā hīm


‘Alaihissalā m ketika beliau berkata yang artinya:
“Dan aku tidak takut dengan sesembahan kalian, mereka
tidak memudharati aku kecuali apabila Rabbku menghendakinya.”
(QS Al An’ā m: 80)

Di antara takut yang diharamkan adalah takutnya seseorang


kepada makhluq yang melebihi takutnya kepada Allā h, sehingga
takut tersebut membuat dia meninggalkan perintah Allā h atau
melanggar larangan Allā h. Seperti :

Orang yang meninggalkan jihad yang wajib atasnya karena


takut kepada orang orang kafir. Atau,
Tidak melarang kemungkaran karena takut celaan manusia
padahal dia mampu.

Allā h berfirman yang artinya :

“Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang


menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang
musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada
mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang
yang beriman.n.” (QS Ā li ‘Imrā n: 175 )

Di antara cara menghilangkan rasa takut kepada makhluq


yang diharamkan adalah :

● Berlindung kepada Allā h dari bisikan syaithan.


● Mengingat sabda Nabi shallallā hu ‘alayhi wa sallam
yang artinya :

“Ketahuilah bahwa seandainya umat semuanya berkumpul


untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak bisa
memberikan manfaat kecuali dengan apa yang sudah Allā h tulis.
Dan seandainya mereka berkumpul untuk memberikan mudharat
kepadamu niscaya mereka tidak bisa memberikan mudharat
kecuali dengan apa yang sudah Allā h tulis.” (HR Tirmidzi dan
dishahihkan Syaikh Al Albani Rahimahullā h)

Diperbolehkan takut yang merupakan tabiat manusia, seperti :

● Takut kepada panasnya api.


● Takut kepada binatang buas.

Dan takut seperti ini bukanlah takut yang merupakan


ibadah dan juga bukan takut yang membawa seseorang
meninggalkan perintah atau melanggar larangan Allā h. Ini adalah
takut yang tabiat, yang para Nabi pun tidak terlepas darinya.
Halaqah 23 ~ Taat Ulama di Dalam Kebenaran

Ulama adalah orang-orang yang memiliki ilmu tentang Allā h


dan juga agamanya, Yaitu ilmu yang membawa dirinya untuk
bertaqwa kepada Allā h Subhā nahu wa Ta’ā lā .

Para ulama adalah pewaris para nabi dan kedudukan


mereka di dalam agama Islam adalah sangat tinggi. Allā h telah
mengangkat derajat para ulama dan memerintahkan kita untuk
taat kepada mereka selama mereka menyeru dan mengajak
kepada kebenaran dan juga kebaikan.

Allā h Subhā nahu wa Ta’ā lā berfirman :

‫ول َوُأولِي الَْأ ْم ِر ِمنْك ُْم‬


َ ‫الر ُس‬ ُ ‫يعوا الل َّ َه َوَأ ِط‬
َّ ‫يعوا‬ ُ ‫آمنُوا َأ ِط‬ َ ‫ۖ يَا َأيُّ َها ال َّ ِذ‬
َ ‫ين‬

“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allā h dan


taatlah kepada Rasul dan ulil amri kalian.” (QS An Nisā : 59)

Ulil amri disini mencakup ulama dan juga umarā


(pemerintah).

Menghormati para ulama bukan berarti mentaati mereka


dalam segala hal sampai kepada kemaksiatan. Ulama, seperti
manusia yang lain, Ijtihad mereka terkadang salah dan terkadang
benar.

Kalau benar, mereka mendapatkan 2 pahala.


Kalau salah, mereka mendapatkan 1 pahala.

Apabila telah jelas kebenaran bagi seorang Muslim dan jelas


bahwasanya seorang ulama menyelisihi kebenaran tersebut
dalam sebuah permasalahan, maka tidak boleh seseorang
mentaati ulama tersebut kemudian dia meninggalkan kebenaran.
Rasū lullā h shallallā hu ‘alayhi wa sallam bersabda :

“Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan kepada Allah,


Sesungguhnya ketaatan hanya didalam kebenaran.” (HR.
Albukhari dan Muslim)

Apabila seseorang menta’ati ulama dalam kemaksiatan


kepada Allā h, maka dia telah menjadikan ulama tersebut sebagai
pembuat syariat dan bukan penyampai syariat, ini seperti yang
dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani, sebagaimana
disebutkan oleh Allah di dalam firman-Nya :

ِ ‫ار ُه ْم َو ُر ْهبَان َ ُه ْم َأ ْربَابًا ِم ْن ُد‬


‫ون الله‬ ‫…اتَّ َ َأ‬
َ َ‫خذُوا ْحب‬

“Mereka yaitu orang-orang Yahudi & Nasrani menjadikan


ulama dan ahli ibadah mereka sebagai sesembahan selain Allā h.”
(QS At Taubat: 31)

Ketika menjelaskan ayat ini Rasū lullā h shallallā hu ‘alayhi


wa sallam bersabda :

“Ketahuilah bahwa mereka bukan beribadah kepada para


ulama dan ahli ibadah tersebut, akan tetapi mereka, apabila
menghalalkan apa yang Allā h haramkan, maka merekapun ikut
menghalalkan dan apabila ulama dan ahli ibadah tersebut
mengharamkan apa yang Allā h halalkan maka mereka pun ikut
mengharamkan.” (Hadits ini hasan diriwayatkan oleh At-Tirmidzi)
Halaqah 24 ~ Menyandarkan Nikmat Kepada Allāh

Termasuk keyakinan yang harus diyakini dan diingat oleh


setiap Muslim bahwa kenikmatan dengan segala jenisnya adalah
dari Allā h.

Allā h berfirman :

‫َو َما ِبك ُْم ِم ْن ِن ْع َمةٍ ف َِم َن الل َّ ِه‬

“Kenikmatan apa saja yang kalian dapatkan maka asalnya


adalah dari Allā h.” (QS An Nahl: 53)

Adalah termasuk syirik kecil apabila seseorang


mendapatkan sebuah kenikmatan dari Allā h kemudian
menyandarkan kenikmatan tersebut kepada selain Allā h.

Misalnya Seperti ungkapan:


● Kalau pilot tidak mahir niscaya kita sudah celaka.
● Kalau tidak ada angsa niscaya uang kita sudah dicuri.
● Kalau bukan karena dokter niscaya saya tidak sembuh, dan
sebagainya.

Ini semua adalah contoh bentuk menyandarkan kenikmatan


kepada sebab.

Allā h berfirman :

‫ت الل ِّه ثُمَّ يُن ِك ُرون َ َها‬


َ ‫ُون ِن ْع َم‬
َ ‫يَ ْع ِرف‬

“Mereka mengenal nikmat Allā h kemudian mereka


mengingkarinya.” (QS An Nahl: 83)

Seharusnya kenikmatan tersebut di sandarkan kepada


Allā h, Zat yang menciptakan sebab.
Yang seharusnya dikatakan adalah :
● Kalau bukan karena Allā h niscaya kita sudah celaka. atau
● Kalau bukan karena Allā h niscaya uang kita sudah hilang.
atau
● Kalau bukan karena Allā h niscaya saya tidak akan sembuh.
dan sebagainya

Yang demikian karena Allā h-lah yang memberikan :


● Nikmat keselamatan
● Nikmat keamanan
● Nikmat kesembuhan dan sebagainya

Sedangkan makhluk hanyalah sebagai alat sampainya


kenikmatan tersebut kepada kita. Kalau Allā h menghendaki
niscaya Allā h tidak akan menggerakkan makhluk-makhluk
tersebut untuk menolong kita.

Ini semua, bukan berarti seorang Muslim tidak boleh


berterima kasih kepada orang lain. Seorang Muslim diperintah
untuk mengucapkan syukur dan terima kasih kepada seseorang
yang berbuat baik kepadanya karena mereka telah menjadi sebab
kenikmatan tersebut. Bahkan diperintahkan pula untuk membalas
kebaikan tersebut dengan kebaikan atau dengan do’a yang baik.

Namun pujian dan penyandaran kenikmatan tetap hanya


kepada Allā h semata.
Halaqah 25 ~ Ridha Dengan Hukum Allāh

Allā h Subhā nahu wa Ta’ā la sebagai pencipta manusia sangat


menyayangi ciptaan nya, Dialah Ar-Rahmā n Ar-Rahīm. Di antara
bentuk kasih sayang Allah adalah menurunkan syari’at supaya
manusia mendapatkan kebahagiaan dan terhindar kesusahan
didunia maupun akhirat.

Dia-lah Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana,


hukumnya penuh dengan keadilan, hikmah dan juga kebaikan,
meskipun kadang samar atas sebagian manusia.

Oleh karena itu, menjadi keharusan bagi seorang Muslim


dan juga Muslimah untuk :
● Ridha dengan hukum Allā h. dan
● Yakin bahwasanya kebaikan semuanya di dalam hukum
Allā h.

Di dalam segala bidang kehidupan :


● Aqidah
● Akhlaq
● Adab
● Mu’ā malah
● Ekonomi
● Kenegaraan
● Dan lain-lain.

Meng-Esakan Allā h Subhā nahu wa Ta’ā la di dalam hukum-


hukumNya adalah termasuk konsekuensi tauhid.

Allā h Subhā nahu wa Ta’ā la berfirman :

‫ُون ل َُه ُم ال ِْخيَ َر ُة ِم ْن َأ ْم ِر ِه ْم ۗ َو َم ْن‬


َ ‫َان لِ ُمْؤ ِم ٍن َول َا ُمْؤ ِمنَةٍ ِإ ذَا ق ََضى الل َّ ُه َو َر ُسول ُُه َأ ْم ًرا َأ ْن يَك‬
َ ‫َو َما ك‬
‫يَ ْع ِص الل َّ َه َو َر ُسول َُه َفقَ ْد َض َّل َضل َال ًا ُمبِينًا‬
“Dan tidaklah pantas bagi seorang laki-laki yang mu’min
dan wanita yang mu’minah apabila Allā h dan Rasul-Nya telah
menetapkan sesuatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan
yang lain di dalam urusan mereka. Dan barangsiapa yang
mendurhakai Allā h dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat
dengan kesesatan yang nyata.” (QS Al-Ahzab: 36)
Saudaraku,

Alhamdulillā h dengan izin Allā h Subhā nahu wa Ta’ā la dan


karunia-Nya sampailah kita pada bagian yang terakhir dari
Silsilah yang pertama ini (Tauhid), yaitu halaqah yang ke-25.

Dengan berakhirnya Silsilah Tauhid ini bukan berarti kita sudah


merasa cukup memahami Ilmu Tauhid. Apa yang disampaikan
dalam silsilah 1 (Tauhid) ini baru sebagian kecil dari ilmu tauhid
itu sendiri.

Belajar tauhid dan mengamalkannya tidak akan berhenti


sampai ajal menjemput kita. Ikutilah majelis-majelis ilmu yang
membahas tentang tauhid ini. Bacalah buku-buku yang berkaitan
dengan tauhid yang telah ditulis oleh para ulama yang terpercaya.

Semoga Allā h Subhā nahu wa Ta’ā la merahmati kita semua,


menghidupkan dan juga mematikan kita di atas tauhid.

Anda mungkin juga menyukai