Anda di halaman 1dari 9

Cakep Itu ...

Cakep itu menurut kalian yang seperti apa sih?

Ganteng, tapi oon? Ganteng tidak menjamin seseorang menjadi cakep. Bayangkan kalau kita
ngoborol sama orang, tapi orang itu selalu gak nyambung. Bayangkan juga kalau ada seseorang yang
cantik jelita tapi jutek dan suka marah.

Pinter? Menjamin gak seseorang menjadi cakep? Nah, coba kita lihat di sekitar kita adakah yang
pinter tapi kita gak suka sama dia? Ternyata kepandaian seseorang juga tidak menjamin kita kagum
dengannya. Bayangkan ada teman kita yang pinter tapi sombong dan gak mau ngebantuin
temannya.

Justru seseorang menjadi begitu cakep jika ia sangat baik budi pekertinya: suka membantu,
pengertian, perhatian, murah senyum, hormat dengan yang tua, sayang dengan yang muda,
menghargai pendapat orang lain, tidak sombong, tidak suka menjelek-jelekkan orang lain.

Rahasia Jadi Cakep


Akhlak-lah yang membuat diri kita cakep. Akhlak-lah yang membuat kemuliaan (fadha’il) diri kita
diangkat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َ ْ‫أ َ ْك َملُُ ْالمؤْ مِ نِيْنَ ُإِ ْي َمانًاُأَح‬


‫سنه ْمُخلقًا‬

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya.” (HR.
Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Hibban dan Hakim, Shahihul Jaami’ no. 1230)

Bukan berarti iman dan ilmu tidak penting. Artinya, iman dan ilmu tak akan berguna tanpa akhlakul
karimah. Iman dan ilmu akan rusak oleh perangai yang buruk.

Bagaimana jadinya jika Nabi Muhammad SAW tidak mempunyai berbagai akhlakul karimah? Islam
tidak dikenal mulia, sulit bagi manusia mendapatkan hidayah Islam.

Bagaimana iman Abu Bakar As-Siddiq AS jika ditimbang lebih dari iman separuh muslim di dunia? Ia
yang paling bersegera dan totalitas terhadap perintah Nabi SAW. Ia yang paling mirip akhlaknya
dengan Nabi SAW.

Cakep Di Mata Allah


Akhlakul karimah itulah yang juga membuat kita cakep di mata Allah.

“Hamba yang paling dicintai Allah adalah yang paling terpuji akhlaknya.” (Shahih al-Jami’ ash-Shaghir
no. 179)
Kalau seseorang udah cinta sama seseorang, apa yang bakal ia lakukan? Apalah jadinya jika kita
sudah menjadi kekasih Allah?

Akhlak Itu Otomatis


Akhlak yang terpuji –Lihat di dalam Ihya’ Ulumuddin karya al-Ghazali 3 / 52 – 70, Fathul Baari karya
al-‘Asqalaani 10 / 456 dan 459, dan ‘Aun al-Ma’bud karya al-‘Adhzim Abadi 13 / 107– : al-Khuluq dan
al-Khalq adalah dua ibarat yang dipergunakan secara bersamaan, dikatakan : Fulan mempunyai al-
Khuluq atau al-Khalq yang terpuji, yang bermakna kebaikan akhlak secara batin maupun lahir. Berarti
yang dimaksud dengan al-Khalq adalah bentuk lahiriah, dan yang dimaksud dengan al-Khuluq adalah
gambaran yang batin. Hal itu dikarenakan manusia terdiri atas fisik jasmani yang dapat terlihat oleh
mata penglihatan dan ruh dan jiwa yang dapat dijangkau dengan hati sanubari. Dan masing-masing
dari keduanya memiliki keadaan dan bentuk baik itu buruk ataukah indah. Al-Khuluq adalah ibarat
akan keadaan jiwa yang teguh, dan dari jiwa yang teguh inilah akan menghadirkan perbuatan-
perbuatan yang dengan sangat mudah dan gampang tanpa membutuhkan pemikiran dan penalaran.

Dan apabila dari keadaan tersebut akan menghadirkan perbuatan-perbuatan yang baik dan terpuji
baik ditinjau dari sisi akal sehat maupun syara’, maka keadaan jiwa tersebut dinamakan sengan
akhlak yang terpuji. Dan apabila dari keadaan jiwa tersebut menghadirkan perbuatan-perbuatan
yang buruk maka keadaan jiwa tersebut yang menjadi rangka acuannya dinamakan sebagai akhlak
yang buruk. Dan seorang manusia tidak akan dikatakan memiliki akhlak tertentu yang terpuji hingga
akhlak itu benar-benar kokoh berada didalam dirinya secara kokoh dan teguh. Dan akan
menghadirkan bermacam perbuatan dengan sangat mudah tanpa adanya pemikiran lebih lanjut.
Adapun seseorang yang mengupayakan sebuah amalan dengan kesungguhan dan melalui suatu
pertimbangan maka tidaklah dikatakan bahwa perbuatan ini sebagai akhlaknya…

Dan pemisalan akan hal itu, seseorang yang berupaya untuk menyerahkan sejumlah hartanya untuk
sebuah keperluan yang mendadak atau berusaha untuk diam tatkala marah dengan upaya yang
bersungguh-sungguh dan melalui sebuah pertimbangan, tidaklah dikatakan bahwa kedermawanan
dan kelembutan sebagai akhlaknya.

Islam Itu Indah, Muslim Itu Teladan


Betapa pentingnya akhlakul karimah, menjadikannya termasuk hal pokok dalam risalah Islam.

Hadits dari Abu Hurairah r.a., ia berkata: Rasulullah –shallallâhu ‘alayhi wa sallam- bersabda:

ِ ‫ُاِل َ ْخ ََل‬
ُ‫ق‬ َ ُ‫إِنَّ َماُبعِثْت ُِِلت َِم َم‬
ْ ‫صا ِل َح‬

“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan keshalihan akhlak.” (HR. Ahmad
dalam Musnad-nya (no. 8952), Al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad (no. 273), al-Bayhaqi
dalam Syu’ab al-Îmân (no. 7609), al-Khara’ith dalam Makârim al-Akhlâq (no. 1), dan lainnya)

Islam juga menekankan belajar adab sebelum belajar ilmu.

Imam Darul Hijrah, Imam Malik rahimahullah pernah berkata pada seorang pemuda Quraisy,
‫تعلمُاِلدبُقبلُأنُتتعلمُالعلم‬

“Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.”

Kenapa sampai para ulama mendahulukan mempelajari adab? Sebagaimana Yusuf bin Al Husain
berkata,

‫باِلدبُتفهمُالعلم‬

“Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu.”

Ibnul Mubarok berkata,

‫ُوتعلمناُالعلمُعشرين‬،ً‫تعلمناُاِلدبُثَلثينُعاما‬

“Kami mempelajari masalah adab itu selama 30 tahun sedangkan kami mempelajari ilmu selama 20
tahun.”

Imam Abu Hanifah lebih senang mempelajari kisah-kisah para ulama dibanding menguasai bab fiqih.
Karena dari situ beliau banyak mempelajari adab, itulah yang kurang dari kita saat ini. Imam Abu
Hanifah berkata,

ُ‫ُوُأ َ ْخ ََلقه ْم‬ ْ ‫ُِِلَنَّ َهاُآدَاب‬


َ ‫ُالقَ ْو ِم‬ ْ ‫ِيرُمِ ْن‬
ِ ‫ُال ِف ْقه‬ َّ َ‫ستِ ِه ْمُأ َ َحبُّ ُإل‬
ٍ ‫يُمِ ْنُ َكث‬ َ َ‫ُوم َجال‬ ْ ‫ع ْن‬
َ ِ‫ُالعلَ َماء‬ َ ُ‫ْالحِ كَايَات‬

“Kisah-kisah para ulama dan duduk bersama mereka lebih aku sukai daripada menguasai beberapa
bab fiqih. Karena dalam kisah mereka diajarkan berbagai adab dan akhlaq luhur mereka.” (Al
Madkhol, 1: 164)

Gak usah sekolah dan berorganisasi kalau gak jadi lebih baik akhlaknya.

Bersekolahlah dan berorganisasilah supaya lebih baik akhlaknya dan menjadi pribadi yang lebih
bijak. Jangan hanya mencari ilmu dan pengalaman.

Doa Jadi Cakep


Dari Ziyad bin ‘Ilaqoh dari pamannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca do’a,

ُِ‫ُواِل َ ْه َواء‬
َ ‫ُواِل َ ْع َما ِل‬
َ ‫ق‬ِ َ‫اللَّه َّمُ ِإنِىُأَعوذُ ِبكَ ُمِ ْنُم ْنك ََراتُِاِل َ ْخَل‬

“Allahumma inni a’udzu bika min munkarotil akhlaaqi wal a’maali wal ahwaa’ [artinya: Ya Allah, aku
berlindung kepadamu dari akhlaq, amal dan hawa nafsu yang mungkar].” (HR. Tirmidzi no. 3591,
shahih)

Cakep di Majelis (Adab Majelis)


‫ْ ُ ا‬ ‫ا ا ا َا ْ ُ ا ا‬ ْ ُ َ ‫ْ ا‬ ْ ‫ُ ا‬ ْ َ ‫ا‬ َ ُ‫ا‬ ُ َ ‫ْا ُ ا ْ َُ ا‬
‫اّلل ايذك ُرون ق ْوم ايق ُعد ل‬ ‫اّلل اوذك اره ْم الس ِكينة اعل ْي ِه ْم اون ازلت الر ْح امة اوغ ِش ايت ُه ْم ال امَل ِئكة احفت ُه ْم ِإل وجل عز‬ ‫ِعنده ِفيمن‬

Tidaklah duduk suatu kaum berdzikir kepada Allah, kecuali para malaikat mengelilinginya, rahmat
menyelimutinya dan turun kepada mereka ketenangan, serta Allah memujinya di hadapan makhluk
yang berada di sisinya. [Riwayat Muslim, no. 6795 dan Ahmad]
Majelis: pelajaran di kelas, rapat, pengajian, mentoring, berbincang dengan keluarga, ngobrol
dengan teman.

Adab Majelis dalam Buku Adab Halaqah karangan Dr. Abdullah Qadiri dijabarkan sebagai berikut.

1. Ikhlas.
Hendaklah kepergian dan duduknya seorang penuntut ilmu ke majelis ilmu, hanya karena Allah
semata. Tanpa disertai riya’ dan keinginan dipuji orang lain. Seorang penuntut ilmu hendaklah
bermujahadah dalam meluruskan niatnya. Karena ia akan mendapatkan kesulitan dan kelelahan
dalam meluruskan niatnya tersebut. Oleh karena itu Imam Sufyan Ats Tsauri berkata,“Saya tidak
merasa susah dalam meluruskan sesuatu melebihi niat.”[2]
2. Bersemangat.
Kesungguhan dan semangat yang tinggi dalam menghadiri majelis ilmu tanpa mengenal lelah
dan kebosanan sangat diperlukan sekali. Janganlah merasa cukup dengan menghitung
banyaknya. Akan tetapi hitunglah berapa besar dan banyaknya kebodohan kita. Karena
kebodohan sangat banyak, sedangkan ilmu yang kita miliki hanya sedikit sekali.
Lihatlah kesemangatan para ulama terdahulu dalam menghadiri majelis ilmu. Abul Abbas
Tsa’lab, seorang ulama nahwu berkomentar tentang Ibrahim Al Harbi,“Saya tidak pernah
kehilangan Ibrahim Al Harbi dalam majelis pelajaran nahwu atau bahasa selama lima puluh
tahun”.
Lantas apa yang diperoleh Ibrahim Al Harbi? Akhirnya beliau menjadi ulama besar dunia.
Ingatlah, ilmu tidak didapatkan seperti harta waris. Akan tetapi dengan kesungguhan dan
kesabaran.
Kesabaran para sahabat, tabiin, dan ulama dalam menghadiri majelis ilmu seperti kesabaran
benda mati. Mana yang lebih sabar? Bangku yang kita duduki saat belajar di kelas ataukah kita?
3. Bersegera datang ke majelis ilmu dan tidak terlambat, bahkan harus mendahuluinya dari
selainnya. Seseorang bila terbiasa bersegera dalam menghadiri majelis ilmu, maka akan
mendapatkan faidah yang sangat banyak.
4. Mencari dan berusaha mendapatkan pelajaran yang ada di majelis ilmu yang tidak dapat
dihadirinya. Terkadang seseorang tidak dapat menghadiri satu majelis ilmu karena alasan
tertentu. Seperti : sakit dan yang lainnya. Sehingga tidak dapat memahami pelajaran yang ada
dalam majelis tersebut. Dalam keadaan seperti ini hendaklah ia mencari dan berusaha
mendapatkan pelajaran yang terlewatkan itu. Karena sifat pelajaran itu seperti rangkaian. Jika
hilang darinya satu bagian, maka dapat mengganggu yang lainnya.
5. Mencatat fidah-faidah yang didapatkan dari kitab. Mencatat faidah pelajaran dalam kitab
tersebut atau dalam buku tulis khusus. Faidah-faidah ini akan bermanfaat jika dibaca ulang dan
dicatat dalam mempersiapkan materi mengajar, ceramah dan menjawab permasalahan. Oleh
karena itu sebagian ahli ilmu menasihati kita. Jika membeli sebuah buku, agar tidak
memasukkannya ke perpustakaan. Kecuali setelah melihat kitab secara umum. Caranya dengan
mengenal penulis. Pokok bahasan yang terkandung dalam kitab dengan melihat daftar isi dan
membuku-buka sesuai dengan kecukupan waktu sebagian pokok bahasan kitab.
6. Tidak boleh berputus asa.
Terkadang sebagian kita telah hadir di suatu majelis ilmu dalam waktu yang lama. Akan tetapi
tidak dapat memahaminya kecuali sedikit sekali. Lalu timbul dalam diri kita perasaan putus asa
dan tidak mau lagi duduk disana. Tentunya hal ini tidak boleh terjadi. Karena telah dimaklumi,
bahwa akal dan kecerdasan setiap orang berbeda. Kecerdasan tersebut akan bertambah dan
berkembang karena dibiasakan. Semakin sering seseorang membiasakan dirinya, maka semakin
kuat dan baik kemampuannya. Lihatlah kesabaran dan keteguhan para ulama dalam menuntut
ilmu dan mencari jawaban satu permasalahan! Lihatlah apa yang dikatakan Syeikh Muhammad
Al Amin Asy Syinqiti, “Ada satu masalah yang belum saya pahami. Lalu saya kembali ke rumah
dan saya meneliti dan terus meneliti. Sedangkan pembantuku meletakkan lampu atau lilin di
atas kepala saya. Saya terus meneliti dan minum the hijau sampai lewat 3/4 hari, sampai terbit
fajar hari itu”. Kemudian beliau berkata,“Lalu terpecahlah problem tersebut”.
Lihatlah bagaimana beliau menghabiskan harinya dengan meneliti satu permasalahan yang
belum jelas baginya.
7. Hendaknya orang-orang yang berada dalam majelis berusaha serius. Meminimalisir senda gurau
yang berlebihan dan melampaui batas. Hal ini tidak dimaksudkan membuat suasana liqo dalam
majelis menjadi kering, kaku, dan hambar. Suasana dalam majelis diharapkan tetap diwarnai
kehangatan, kasih sayang dan keceriaan tanpa harus terjerumus ke dalam gurauan-gurauan
yang berlebihan.
Ini termasuk adab yang penting dalam majelis ilmu. Imam Adz Dzahabi menyampaikan kisah
Ahmad bin Sinan, ketika beliau berkata,“Tidak ada seorangpun yang bercakap-cakap di majelis
Abdurrahman bin Mahdi. Pena tak bersuara. Tidak ada yang bangkit. Seakan-akan di kepala
mereka ada burung atau seakan-akan mereka berada dalam shalat” [4]. Dan dalam riwayat yang
lain,“Jika beliau melihat seseorang dari mereka tersenyum atau berbicara, maka dia
mengenakan sandalnya dan keluar”.[5]
8. Menjauhkan diri dari ta’assub yang telah menyebabkan orang-orang taqlid buta terjerumus ke
dalamnya. Karena tidak ada manusia yang sempurna atau ma’shum (bebas dari dosa) selain
Rasulullah SAW maka hendaknya kebenaran sajalah yang patut diikuti. Dan bila ada perbedaan
pendapat atau pandangan hendaklah dikembalikan kepada dalil Allah dan Rasul-Nya yakni Al-
Qur’an dan As-sunnah.
9. Membersihkan majelis dari kebusukan ghibah (pergunjingan) dan namimah (menambah-
nambahi) atau mencela seseorang dan jama’ah tertentu. Alangkah baiknya bila orang-orang
yang berada di dalam majelis berusaha menjauhkan diri dari menodai orang lain dan sebaiknya
malah melakukan introspeksi muhasabah, merenungi kelemahan diri sendiri.
10. Pembahasan kasus-kasus yang negatif yang dapat menghambat jalannya dakwah dilakukan
dalam rangka mengishlah/ mengoreksi, memperbaiki dan bukan dalam rangka mempermalukan
atau menjatuhkan seseorang.
11. Menghargai dan tidak menyia-nyiakan waktu. Di dalam majelis hendaknya senantiasa
ditentukan daftar skala prioritas dalam pengajuan masalah dan agenda acara yang akan
dibicarakan. Kemudian obrolan-obrolan yang iseng yang tidak berfaedah dan menghabiskan
waktu hendaknya dihindarkan.
Dalam QS. Al Ahzab:70 Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah
kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar”. Dan Rasulullah SAW juga bersabda:
“Barang siapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir hendaknya berkata baik atau
diam.” (HR Bukhari - Muslim)
Kemudian bila ada yang mencerca kita, hendaknya kita tidak terdorong untuk membalasnya.
Sebab cercaan-cercaan tersebut justru mengungkapkan kebaikan kita.

Secara lebih rinci dan praktis, Adab dalam Majelis juga dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Memberi salam tatkala masuk atau meninggalkan majelis. Rasulullah SAW menyuruh kita untuk
senantiasa berwajah ceria dan menyebarkan salam. Pepatah mengatakan datang tampak muka,
pergi tampak punggung. Jadi tidak menyelinap datang dan pergi tanpa salam.
2. Mengambil tempat yang masih kosong. Hendaknya tidak memaksakan diri ke depan atau
berdesak-desakan. Sebaliknya, carilah tempat yang masih kosong.
3. Tidak melangkahi bahu tamu lain untuk mengambil tempat di depan yang masih kosong dan
kita justru diminta untuk mengisi tempat di depan.
4. Berkenalan dan bercengkrama dalam majelis sebelum acara di mulai. Dalam Islam, adab
mujamalah (tegur sapa dalam rangka kesantunan) sangat dianjurkan. Bila acara belum dimulai,
hal itu dapat dilakukan untuk mempererat silaturahmi dan ukhuwwah.
5. Duduk di antara dua orang harus meminta izin terlebih dulu. Bila ada dua teman kita yang
sedang duduk berdekatan, hendaknya kita tidak langsung duduk di tengah-tengahnya tanpa
seizin mereka berdua.
6. Hindarkan bergurau berlebihan. Keceriaan, kehangatan dan canda tawa memang perlu
dihadirkan dalam majelis namun bukan berarti harus melampaui batas.
7. Diam dan mendengar serta menyimak lawan bicara yang sedang berbicara. Memang jauh lebih
sulit untuk menjadi pendengar yang baik ketimbang pembicara yang baik. Tetapi hendaknya
kita berusaha diam dan sungguh-sungguh memperhatikan lawan bicara kita.
8. Mematuhi arahan pembawa acara. Agar majelis berjalan tertib sesuai dengan agenda acara,
maka setiap peserta hendaknya mematuhi arahan pembawa acara.
9. Berusaha hadir ke majelis sesuai dengan syarat yang ditetapkan (waktu, pakaian, dan persiapan
lainnya). Hadir tepat waktu dengan pakaian yang sesuai dan persiapan memadai sangat
diperlukan bila kita memasuki sebuah majelis.
10. Menjaga pandangan dari yang haram. Baik peserta laki-laki maupun perempuan hendaknya
menjaga pandangan dan kesantunan.
11. Hormati wanita yang melintasi hadirin laki-laki. Hendaknya dihindari perbauran dan saling
menggoda terutama bila peserta wanita melintasi laki-laki.
12. Memulai majelis dengan memuji Allah serta membacakan ayat-ayat-Nya dan ditutup dengan
do’a kafarat majelis.

Adaabul Hadits (Adab Berbicara)


Di dalam sebuah majelis, tentu saja setiap peserta diharapkan aktif berbicara menuangkan ide,
gagasan, pendapat, atau mengkritisi dan memberikan pendapat pada gagasan yang dilontarkan oleh
orang lain. Namun agar pembicaraan dalam majelis berjalan dengan baik, lancar mencapai target
dan tetap dalam kerangka ibadah yang diridhai dan diberkahi Allah, perlu kiranya diperhatikan
bagaimana adab berbicara dalam Islam.

Berbicara adalah hal yang sangat manusiawi atau fitrah insaniyah. Sebagai ajaran yang syamil dan
mutakamil (komprehensif dan utuh), Islam juga sangat memperhatikan dengan lisan sehingga
memberikan arahan yang termaktub dalam adaabul hadits (adab berbicara).
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa lisan dapat membawa atau menyebabkan seseorang masuk
surga atau neraka. Dan di hadits lainnya diingatkan bahwa setiap anak cucu Adam akan diminta
pertanggung jawaban atas perkataan-perkataannya, baik yang sengaja maupun tidak.
Manfaat adab dalam berbicara:

1. Bisa menikmati kondisi diam sebagaimana Rasulullah SAW mencontohkan kepada umatnya,
karena segala perkataan Rasul adalah bernilai dzikir dalam pengertian yang luas. Bila beliau
berbicara, maka bicaranya dzikir dan bila beliau diam, diamnya adalah dalam rangka berfikir.
Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah
berkata yang baik atau (lebih baik) diam”.
2. Bila kita biasa mematuhi adab berbicara, maka kita akan memiliki kemampuan menasehati
secara baik. Karena jika terlalu mengumbar lisan, perkataan dan nasehat kita tidak akan
membekas. Agar memberi kesan mendalam terhadap orang yang kita nasehati, hendaknya kita
senantiasa menjaga shalat lail, shaum sunnah, tadarrus Al-Qur’an, dan shalat sunnah rawatib.
3. Terhindar dari menjadi ulama yang su’ (ulama yang buruk). Penampilan ulama su’ ini terkesan
alim, Islami namun ternyata di dalamnya busuk, sesat dan menyesatkan. dalam QS. Ash-Shaff
ayat 2-3, Allah mengingatkan dan mengancam orang-orang yang tidak memiliki kesesuaian
antara kata dan perbuatan.

Agar bisa meraih manfaat tersebut, seorang Muslim harus mematuhi adab-adab berbicara, yakni:

1. Wadih. Bila kita berbicara hendaknya kata-kata kita wadih alias jelas, tegas, lugas dan mudah
dicerna atau difahami. Hadits dari Aisyah r.a: “Adalah kata-kata Rasulullah, kata-kata yang jelas
dan mudah difahami oleh orang yang mendengar di sekitarnya”. Apalagi tujuan komunikasi
yang utama adalah memberikan pengertian atau kefahaman kepada orang yang diajak
berkomunikasi Rasulullah SAW selalu mencontohkan bagaimana berbicara dengan wadih,
sampai-sampai sahabat-sahabat bisa menghitung kata-kata yang disampaikan beliau.
2. Sederhana dan tidak difasih-fasihkan. Hendaknya seorang Muslim berbicara dengan bahasa
yang sederhana, wajar tidak dilebih-lebihkan, atau sok fasih. Seyogyanyalah kita melihat siapa
orang yang kita ajak bicara apakah seorang yang terdidik atau bukan. Rasulullah SAW bersabda:
“Berbicalah kepada manusia sesuai dengan kadar intelektualitas mereka”.
3. Menghindari pengulangan pembicaraan yang bisa menimbulkan kejenuhan. Sahabat Nabi,
Abdullah bin Mas’ud biasa memberikan taushiyah atau nasehat setiap hari kamis, sehingga
sahabat yang lain pernah berkata padanya: “Hai Abu Abdurrahman, seandainya saja engkau
bisa memberi nasehat setiap hari, niscaya kami akan senang”. Namun Ibnu Mas’ud malah
menjawab, kami hanya memberikan nasehat sekali-sekali saja, karena Rasulullah juga hanya
sekali-sekali saja memberi nasehat. Pada saat kami berada di dalam majelis.
4. Kata-kata yang digunakan hendaknya hanya kata-kata yang baik dan bernilai ibadah: Hindarilah
kata-kata yang bersifat laghwi (sia-sia / tidak bermanfaat). Dalam hadits disebutkan oleh
Rasulullah SAW: “Min husnil Islamil ma’i tarku ma laa ya’ nihi”.(HR. Tirmidzi). Termasuk di dalam
kebaikan keislaman seseorang, maka ia meninggalkan hal-hal yang tidak berguna, termasuk
kata-kata laghwi. Yang termasuk kategori kata-kata baik adalah salam, tegur sapa, nasehat,
kata-kata yang memberi semangat, menghibur dan menghindari kata-kata laghwi (QS 23:3)
sebagai ciri-ciri orang yang beriman.

Adaabul Istima’ (Adab Mendengar)


Di dalam majelis selain ada yang berbicara tentu saja harus ada yang menjadi pendengar, karena itu
selain adaabul hadits dibutuhkan pula adaabul istima’.
Dalam tubuh manusia boleh dibilang telingalah organ yang paling awal berfungsi dan kelak organ ini
pula yang paling terakhir berhenti berfungsi.

Sahabat Nabi SAW, Abu Darda r.a pernah mengeluarkan kata-kata bijak: “Hendaknya kita belajar dari
organ-organ tubuh yang diberikan Allah kepada kita. Mengapa Ia memberi kita dua telinga dan satu
mulut, itu artinya kita harus lebih banyak mendengar ketimbang berbicara”.

Dan memang ternyata jauh lebih sulit menjadi pendengar yang baik daripada pembicara yang baik.
Bahkan kadang-kadang kita menemui bahwa dalam satu majelis, ada orang-orang yang berbicara
pada saat yang bersamaan dan tidak mau saling mendengar satu sama lain.

Majelis juga adalah tempat untuk saling belajar. Seseorang yang tidak pandai berbicara, bisa jadi
lebih baik ilmu dan pendapatnya.

Karena itu penting bagi kita belajar mendengar. Ada saat-saat berbicara, tetapi ada juga saat-saat
mendengar, sehingga penting bagi kita untuk mengetahui apa-apa saja yang termasuk adab
mendengar dalam perspektif Islam:

1. Diam dan mendengarkan dengan baik dan seksama, maksudnya kita harus tahu kapan saat
berbicara dan kapan saat diam dan mendengarkan. Bila sedang terjadi pembicaraan hendaknya
kita berlaku santun, mendengarkan dan menyimak dengan baik dan seksama. Hendaknya kita
tidak mengobrol dengan sesama pendengar lainnya.
2. Tidak boleh memotong pembicaraan. Memotong pembicaraan seseorang sama dengan
memotong satu ide pembicaraan. Bila kita sudah berhenti mendengar sebelum kesatuan ide
selesai diungkapkan, tentu informasi yang kita tangkap adalah informasi yang salah. Bila
memang penting bagi kita karena ada hal yang penting yang harus diinformasikan atau
dikoreksi, hendaknya kita meminta izin dengan mengacungkan jari lebih dulu dan meminta
maaf, bila tidak diizinkan hendaknya kita catat untuk kita tanyakan atau sampaikan setelah
pembicara menyelesaikan uraiannya.
3. Menerima dan menghargai pembicaraan orang lain serta tidak meninggalkannya di saat selama
isinya dalam rangka ketaatan pada Allah SWT, walaupun ada yang membosankan.
4. Tidak menepiskan pembicaraan orang lain walaupun kita sudah mengetahuinya selama tidak
ada yang salah dalam kata-kata tsb. Atha’bin Rabah pernah diberitahu informasi oleh seseorang
sementara hal itu sebenarnya sudah diketahui oleh Atha’ sejak sebelum orang itu lahir. Namun
Atha’ tetap mendengarkan dengan penuh perhatian.
5. Tidak menunjukkan pada hadirin bahwa kita yang paling atau lebih banyak tahu. Sehingga
misalnya sering berceletuk, berkomentar yang mengganggu, kecuali bila memang ditanya atau
dirasakan sangat perlu.
Ta’zhimul ‘Ilmi, Syaikh Sholeh bin ‘Abdillah bin Hamad Al ‘Ushoimi, Muqorrorot Barnamij
Muhimmatil ‘Ilmi.

Siyar A’laamin Nubala’, Imam Adz Dzahabi, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan ke-11, tahun
1422 H, jilid ke-10.

Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, Tahqiq: Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Syaikh
Ibrahim Yajus, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan kesepuluh, tahun 1432 H.

Al Madkhol, Mawqi’ Al Islam, Maktabah Asy Syamilah

http://majles.alukah.net/t17143/

Anda mungkin juga menyukai