Anda di halaman 1dari 5

Akidah

ILMU, AMAL, DAKWAH, DAN SABAR


Empat hal yang harus dimiliki oleh setiap muslim yaitu berilmu, beramal, berdakwah, dan bersabar.
Berikut perkataan dari Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam risalah
beliau Tsalatsatul Ushul.
‫ِبْس ِم هللا الَّر ْح َم ن الَّر ِحيم‬

،‫ َو َم ْع ِر َفُة َن ِبِّيِه‬،‫ الِع ْلُم؛ َو ُه َو َم ْع ِر َفُة ِهللا‬:‫ َأَّن ُه َي ِج ُب َع َلْي َن ا َت َع ُّلُم َأْر َب ِع َمَس اِئَل ؛ اُألْو َلى‬-‫َر ِحَمَك ُهللا‬- ‫ِاْع َلْم‬
‫ الَّصْبُر َع َلى اَألَذ ى ِفْي ِه‬: ‫ الَّر اِبَع ُة‬.‫ الَّدْع َو ُة ِإَلْيِْه‬: ‫ الَّث اِلَثُة‬.‫ الَعَم ُل ِبِه‬: ‫ الَّث اِنَي ُة‬.‫َو َم ْع ِر َفُة ِد ْي ِن اِإلْس َالِم ِباَألِد َّلِة‬.
‫) ِإاَّل اَّلِذيَن آَم ُنوا‬2( ‫) ِإَّن اِإْلنَس اَن َلِفي ُخ ْس ٍر‬1( ‫ ِبْس ِم ِهللا الَّر ْح َم ِن الَّر ِح ْي ِم َو اْلَع ْص ِر‬:‫َو الَّد ِلْيُل َقْو ُلُه َت َع اَلى‬
)3( ‫َو َع ِم ُلوا الَّصاِلَح اِت َو َت َو اَص ْو ا ِباْلَح ِّق َو َت َو اَص ْو ا ِبالَّصْب ِر‬
Ketahuilah—semoga Allah memberikan rahmat untukmu—bahwasanya wajib bagi setiap muslim
mempelajari empat hal:
1. Berilmu, yaitu mengenal Allah, mengenal nabi-Nya, dan mengenal Islam dengan dalil.
2. Beramal dengan ilmu tadi.
3. Berdakwah dengan ilmu.
4. Bersabar terhadap gangguan di dalamnya.
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran dan
nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr: 1-3)
Muqaddimah dengan Basmalah dan Doa
Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah memulai risalah beliau Tsalatsatul Ushul dengan
bacaan basmalah. Kenapa demikian? Di sini ada tiga sebab:
1. Mengikuti Kitabullah dan kebiasaan para Nabi ‘alaihimus salam.
2. Mengikuti ulama sebelumnya dan kebiasaan para salaf dalam menulis buku atau kitab, mereka
biasa memulai dengan basmalah.
3. Untuk tabarruk atau mengambil berkah dengan menyebut nama Allah.
Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah juga memulai bahasan-bahasannya dalam kitab
ini dengan doa seperti “semoga Allah memberikan rahmat untukmu”. Hal ini menunjukkan:
1. Kasih sayang para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah kepada murid-muridnya.
2. Agama Islam itu dibangun di atas rahmat.

Arti Basmalah
‫ِبْس ِم ِهللا الَّر ْح َم ن الَّر ِحيم‬
Arti “‫”ِبْس ِم ِهللا‬: dengan nama Allah (aku menulis kitab ini).
Arti lafaz jalalah “‫”ِهللا‬: di antara nama Allah yang khusus bagi Allah, yang punya arti “al-ma’luh” yaitu
Dzat yang disembah dengan penuh kecintaan dan keagungan.
Arti “‫”الَّر ْح َم ن‬: termasuk nama Allah yang khusus bagi-Nya, yang punya arti Yang Maha memberikan
rahmat yang luas.
Arti “‫”الَّر ِحيم‬: termasuk di antara nama Allah, yang punya arti Yang menyampaikan rahmat kepada siapa
saja yang dikehendaki.

Wajib Ta’allum, Mencari Ilmu


Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab berkata bahwa wajib mempelajari empat perkara. Beliau
istilahkan dengan ta’allum.
Apa maksud ta’allum?
Ta’allum adalah mencari ilmu. Ilmu itu sendiri adalah mengenal petunjuk dengan dalil. Ilmu yang
dimaksud di sini adalah ilmu syar’i.
Yang dimaksud dengan wajib dipelajari berarti adalah ilmu yang fardhu ‘ain seperti mengenal rukun
iman, rukun Islam, mengenal yang haram untuk dijauhi, dan ilmu yang dibutuhkan untuk muamalah.
Intinya, yang dimaksud dengan yang wajib adalah sesuai kaidah,

‫َال َي ِتُّم الَو اِج ُب ِإَّال ِبِه َفُهَو َو اِج ٌب َع َلْي ِه الِع ْلُم ِبِه‬
“Sesuatu yang tidak sempurna yang wajib kecuali dengan mempelajarinya, maka wajib untuk belajar
tentangnya.”
Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Wajib bagi kita menuntut ilmu supaya bisa menjalankan agama
dengan baik.” Beliau lantas ditanya, “Semisal ilmu apa yang wajib dipelajari?” Jawab beliau, “Ilmu
yang wajib dipelajari adalah ilmu yang tidak boleh kita bodoh di dalamnya, yaitu ilmu tentang shalat,
puasa, dan semacamnya.” (Al-Furu’ karya Ibnu Muflih, 1:525).
Maksud Imam Ahmad adalah ilmu yang wajib dipelajari yaitu ilmu yang jika kita tidak mempelajarinya
akan meninggalkan kewajiban atau terjatuh dalam yang haram.
Dalil yang menunjukkan wajib menuntut ilmu adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari
hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu disebutkan,

‫ َح َّت ى الِح ْي َت اِن ِفي الَب ْح ِر‬، ‫ َو ِإَّن َط اِلَب الِع ْلِم َي ْس َتْغ ِفُر َلُه ُك ُّل َش ْي ٍء‬، ‫َط َلُب الِع ْلِم َفِر ْي َض ٌة َع َلى ُك ِّل ُمْس ِلٍم‬
“Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim. Sesungguhnya penuntut ilmu akan dimintakan
ampunan oleh segala sesuatu sampai pada ikan di lautan.” (HR. Ibnu Majah, Abu Ya’la dalam
musnadnya, Ath-Thabrani dalam Al-Ausath. Syaikh Al-Albani menyebutkan dalam Shahih Al-Jami’, no.
3914 bahwa hadits ini sahih).

Ilmu itu Mengenal Allah, Mengenal Nabinya, dan Mengenal Islam dengan Dalil
Tiga hal ini adalah ushulul islam (pokok agama Islam). Karena tiga hal ini akan ditanyakan di alam
kubur, maka wajib dipelajari. Ketiga hal inilah yang akan dirinci dalam bahasan Tsalatsatul Ushul.

Mengamalkan Ilmu
Ilmu dicari dengan tujuan untuk diamalkan. Manfaat mengamalkan ilmu disebutkan dalam ayat,

‫َو اَّلِذيَن اْه َت َدْو ا َز اَدُه ْم ُه ًد ى َو َآَت اُه ْم َت ْق َو اُه ْم‬


“Dan orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan
memberikan balasan ketakwaannya. ” (QS. Muhammad: 17)

Para ulama berkata,

‫َم ْن َع ِمَل ِبما َع ِلَم َأْو َر َث ُه هللا ِع ْلُم ما َلْم َي ْع َلْم‬


“Siapa yang mengamalkan apa yang ia ilmui, maka Allah akan wariskan ilmu kepadanya yang ia tidak
ketahui.”
Jika ilmu tidak diamalkan maka ilmu akan menjadi hujjah baginya.
Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

، ‫ َفَي ُد وُر َك َم ا َي ُد وُر اْلِحَم اُر ِبَر َح اُه‬، ‫ َفَت ْن َدِلُق َأْق َت اُبُه ِفى الَّن اِر‬، ‫اْلِقَياَمِة َفُيْلَقى ِفى الَّن اِر‬ ‫ُيَج اُء ِبالَّر ُج ِل َي ْو َم‬
‫ْأ‬ ‫ْأ َأ‬ ‫َأ‬ ‫َأ‬
‫ َم ا َش ُنَك َلْي َس ُكْن َت َت ُمُر َن ا ِباْلَم ْع ُروِف َو َت ْن َه ى َع ِن اْلُم ْن َك ِر‬، ‫ َفَي ُقوُلوَن ْى ُفَالُن‬، ‫َع َلْي ِه‬ ‫َفَي ْج َت ِمُع ْه ُل الَّن اِر‬
‫ َو َأْن َه اُك ْم َع ِن اْلُم ْن َك ِر َو آِتيِه‬، ‫َقاَل ُكْن ُت آُمُر ُك ْم ِباْلَم ْع ُروِف َو َال آِتيِه‬
“Ada seseorang yang didatangkan pada hari kiamat lantas ia dilemparkan dalam neraka. Usus-
ususnya pun terburai di dalam neraka. Lalu dia berputar-putar seperti keledai memutari
penggilingannya. Lantas penghuni neraka berkumpul di sekitarnya lalu mereka bertanya, “Wahai
fulan, ada apa denganmu? Bukankah kamu dahulu yang memerintahkan kami kepada yang kebaikan
dan yang melarang kami dari kemungkaran?” Dia menjawab, “Memang betul, aku dulu
memerintahkan kalian kepada kebaikan tetapi aku sendiri tidak mengerjakannya. Dan aku dulu
melarang kalian dari kemungkaran tapi aku sendiri yang mengerjakannya.” (HR. Bukhari, no. 3267
dan Muslim, no. 2989)
Selama kita tidak mengamalkan ilmu berarti kita disebut bodoh.
Sebagaimana kata Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah, “Seseorang yang berilmu tetap disebut bodoh
sampai ia mengamalkan ilmu. Jika ia mengamalkan ilmu, barulah disebut sebagai ‘alim.”
Kenapa demikian? Karena orang yang tidak mengamalkan ilmu tidaklah berbeda seperti dengan orang
bodoh sampai ia mau mengamalkan ilmunya.
Kalau kita lihat praktik para salaf, mereka selalu berusaha mengamalkan ilmunya. Ibnu
Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

‫ َو الَعَم ُل ِبِه َّن‬، ‫َك اَن الَّر ُجُل ِم َّن ا ِإَذ ا َت َع َّلَم َع ْش َر آَي اٍت َلْم ُيَج اِو ْز ُهَّن َح تَّى َي ْع ِر َف َمَع اِنْي ِه َّن‬
“Dahulu orang-orang di antara kami (yaitu para sahabat Nabi) mempelajari sepuluh ayat Qur’an, lalu
mereka tidak melampauinya hingga mengetahui makna-maknanya, serta mengamalkannya.”
(Muqaddimah Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim karya Ibnu Katsir)
Lihatlah pula perkataan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,

‫َم ْن َت َع َّلَم ِع ْلًما َلْم َي ْع َم ْل ِبِه َلْم َي ِز ْد ُه ِإَّال ِك ْبًر ا‬


“Siapa yang belajar ilmu (agama) lantas ia tidak mengamalkannya, maka hanya kesombongan pada
dirinya yang terus bertambah.” (Disebutkan oleh Imam Adz-Dzahabi dalam Al-Kabair, hlm. 75)
Imam Adz-Dzahabi rahimahullah berkata,

‫َو َأَّما الَي ْو م َفَم ا َبِقَي ِمَن الُع ُلْو ِم الَقِلْي َلِة ِإَّال الَقِلْيل ِفي ُأَن اٍس َقِلْي ٍل َم ا َأَقَّل َم ْن َي ْع َم ل ِم ْن ُهْم ِبَذ ِلَك الَقِلْيل َفَح ْس ُبَن ا‬
‫ُهللا َو ِنْع َم الَو ِكْيل‬
“Adapun hari ini, hanya sedikit ilmu yang tersisa yang ditemui pada orang-orang yang jumlahnya
sedikit. Yang mengamalkannya pun sedikit. Hasbunallah wa ni’mal wakil, hanya Allah yang
memberikan kecukupan dan pertolongan” (Tadzkirah Al-Hafizh, 3:1031)
Ilmu yang bermanfaat tentu saja adalah ilmu yang diamalkan. Di antara doa Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam adalah beliau meminta supaya dijauhkan dari ilmu yang tidak bermanfaat,

‫الَّلُهَّم ِإِّن ى َأُعوُذ ِبَك ِم ْن ِع ْلٍم َال َي ْن َفُع َو ِم ْن َقْلٍب َال َي ْخ َش ُع َو ِم ْن َن ْف ٍس َال َت ْش َب ُع َو ِم ْن َد ْع َو ٍة َال ُيْس َت َج اُب َلَه ا‬
“ALLAHUMMA INNI A’UDZU MIN ‘ILMIN LAA YANFA’, WA MIN QOLBIN LAA YAKHSYA’, WA MIN NAFSIN
LAA TASYBA’, WA MIN DA’WATIN LAA YUSTAJAABU LAHAA (artinya: Ya Allah, aku meminta
perlindungan pada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari jiwa yang
tidak pernah merasa puas, dan dari doa yang tidak dikabulkan).” (HR. Muslim, no. 2722)

Berdakwah dengan Ilmu


Jika seseorang sudah kuat dalam ilmu dan kuat dalam beramal, hendaklah ia memberikan kebaikan
kepada yang lain sebagaimana dilakukan pula oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Adapun ayat yang memotivasi untuk berdakwah adalah firman Allah,

‫ُقْل َٰه ِذِه َس ِبيِلي َأْد ُعو ِإَلى ِهَّللاۚ َع َلٰى َبِص يَر ٍة َأَن ا َو َم ِن اَّت َبَع ِنيۖ َو ُسْب َح اَن ِهَّللا َو َم ا َأَن ا ِمَن اْلُم ْش ِر ِكيَن‬
“Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu)
kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang
musyrik.” (QS. Yusuf: 108)
Berdakwah di atas bashirahdalam ayat ini maksudnya adalah berdakwah dengan ilmu dengan
mengetahui: (1) syariat, (2) keadaan orang yang didakwahi, (3) cara untuk mencapai tujuan.
Mengenai besarnya pahalanya disebutkan dalam hadits,
‫َأل‬
‫َفَو ِهَّللا ْن ُيْهَدى ِبَك َر ُجٌل َو اِحٌد َخ ْيٌر َلَك ِم ْن ُحْم ِر الَّن َع ِم‬
“Demi Allah, sungguh satu orang saja diberi petunjuk (oleh Allah) melalui perantaraanmu, maka itu
lebih baik dari unta merah.” (HR. Bukhari, no. 2942 dan Muslim, no. 2406, dari Sahl bin Sa’ad)

Sabar dalam Dakwah


Karena pasti dalam dakwah selalu ada tantangan dan gangguan. Cukup ayat berikut sebagai
renungan,
‫ۚ َو َلَقْد ُك ِّذ َب ْت ُرُسٌل ِم ْن َقْب ِلَك َفَص َب ُروا َع َلٰى َم ا ُك ِّذ ُبوا َو ُأوُذ وا َح َّت ٰى َأَت اُه ْم َن ْص ُر َن ا‬
“Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar
terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang
pertolongan Allah kepada mereka.” (QS. Al-An’am: 34)
Sabar itu berarti menahan diri pada sesuatu dari sesuatu. Sedangkan sabar itu ada tiga macam:
1. Sabar dalam ketaatan kepada Allah sampai dilaksanakan.
2. Sabar dalam maksiat sampai dijauhi.
3. Sabar dalam menghadapi takdir Allah yang terasa sakit.
Dalilnya adalah Surat Al-‘Ashr
Surat Al-‘Ashr menjelaskan mereka-mereka yang merugi kecuali empat orang:
1. Beriman
2. Beramal shalih
3. Berdakwah
4. Bersabar
Manusia termasuk merugi walaupun memiliki banyak harta dan keturunan kecuali yang memiliki
empat sifat di atas. Tentu saja iman yang benar dan amal yang benar hanya didapati dengan berilmu
terlebih dahulu. Berarti surat Al-‘Ashr tetap menjadi dalil harusnya berilmu, beramal, berdakwah, dan
bersabar.
Kesimpulannya dari surat Al-‘Ashr adalah:
Orang kafir itu benar-benar merugi. Dalam ayat disebutkan,

‫َلِئْن َأْش َر ْك َت َلَي ْح َب َط َّن َعَم ُلَك َو َلَت ُك وَن َّن ِمَن اْل َخ اِس ِر يَن‬
“Jika kamu mempersekutukan Allah, niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk
orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar: 65)
Orang yang meninggalkan amal juga benar-benar merugi. Dalam ayat disebutkan,

‫َو َم ْن َخ َّفْت َمَو اِز يُنُه َفُأوَٰل ِئَك اَّلِذيَن َخ ِس ُروا َأْنُفَس ُهْم ِفي َج َه َّن َم َخ اِلُد وَن‬
“Dan barangsiapa yang ringan timbangannya, maka mereka itulah orang-orang yang merugikan
dirinya sendiri, mereka kekal di dalam neraka Jahannam.” (QS. Al-Mukminun: 103)
Enggan saling menasihati dalam kebaikan dan enggan mengingatkan kemungkaran juga termasuk
dalam kerugian. Termasuk juga meninggalkan sabar terjatuh pula dalam kerugian. Dalam ayat
disebutkan,

‫َو ِمَن الَّن اِس َم ْن َي ْع ُبُد َهَّللا َع َلٰى َح ْر ٍفۖ َفِإْن َأَص اَب ُه َخ ْي ٌر اْط َم َأَّن ِب ِهۖ َو ِإْن َأَص اَب ْت ُه ِفْت َن ٌة اْن َقَلَب َع َلٰى َو ْج ِه ِه‬
‫َخ ِس َر الُّد ْن َي ا َو اآْل ِخَر َةۚ َٰذ ِلَك ُه َو اْلُخ ْس َر اُن اْلُم ِبيُن‬
“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi; maka jika ia
memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana,
berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang
nyata.” (QS. Al-Hajj: 11)
Semoga Allah anugerahkan kita ilmu, amal, dakwah, dan sabar, juga terus diberikan keistiqamahan.

Anda mungkin juga menyukai