Terlalu banyak menggeluti ilmu diin sampai lupa mempelajari adab. Lihat saja sebagian kita, sudah
mapan ilmunya, banyak mempelajari tauhid, fikih dan hadits, namun tingkah laku kita terhadap
orang tua, kerabat, tetangga dan saudara muslim lainnya bahkan terhadap guru sendiri jauh dari
yang dituntunkan oleh para salaf. Adab dulu baru ilmu, itulah yang seharusnya dilakukan oleh para
penuntut ilmu.
Coba lihat saja kelakuan sebagian kita terhadap orang yang beda pemahaman, padahal masih dalam
tataran ijtihadiyah. Yang terlihat adalah watak keras, tak mau mengalah, sampai menganggap
pendapat hanya boleh satu saja tidak boleh berbilang. Ujung-ujungnya punya menyesatkan,
menghizbikan dan mengatakan sesat seseorang.
Padahal para ulama sudah mengingatkan untuk tidak meninggalkan mempelajari masalah adab dan
akhlak.
Barangkali kita terlalu ingin cepat-cepat bisa kuasai ilmu yang lebih tinggi?
Atau niatan dalam belajar yang sudah berbeda, hanya untuk mendebat orang lain?
Sahabat muslim, perhatikanlah hal penting ini, adab dulu baru ilmu.
Ketahuilah bahwa ulama salaf sangat perhatian sekali pada masalah adab dan akhlak. Mereka pun
mengarahkan murid-muridnya mempelajari adab sebelum menggeluti suatu bidang ilmu dan
menemukan berbagai macam khilaf ulama. Imam Darul Hijrah, Imam Malik rahimahullah pernah
berkata pada seorang pemuda Quraisy,
تعلم األدب قبل أن تتعلم العلم
Kenapa sampai para ulama mendahulukan mempelajari adab? Sebagaimana Yusuf bin Al Husain
berkata,
Guru penulis, Syaikh Sholeh Al ‘Ushoimi berkata, “Dengan memperhatikan adab maka akan mudah
meraih ilmu. Sedikit perhatian pada adab, maka ilmu akan disia-siakan.”
“Kami mempelajari masalah adab itu selama 30 tahun sedangkan kami mempelajari ilmu selama 20
tahun.”
“Mereka -para ulama- dahulu mempelajari petunjuk (adab) sebagaimana mereka menguasai suatu
ilmu.”
Makhlad bin Al Husain berkata pada Ibnul Mubarok,
“Kami lebih butuh dalam mempelajari adab daripada banyak menguasai hadits.” Ini yang terjadi di
zaman beliau, tentu di zaman kita ini adab dan akhlak seharusnya lebih serius dipelajari.
Dalam Siyar A’lamin Nubala’ karya Adz Dzahabi disebutkan bahwa ‘Abdullah bin Wahab berkata,
“Yang kami nukil dari (Imam) Malik lebih banyak dalam hal adab dibanding ilmunya.” –
Imam Malik juga pernah berkata, “Dulu ibuku menyuruhku untuk duduk bermajelis dengan Robi’ah
Ibnu Abi ‘Abdirrahman -seorang fakih di kota Madinah di masanya-. Ibuku berkata,
Imam Abu Hanifah lebih senang mempelajari kisah-kisah para ulama dibanding menguasai bab fiqih.
Karena dari situ beliau banyak mempelajari adab, itulah yang kurang dari kita saat ini. Imam Abu
Hanifah berkata,
ِير مِنْ ْال ِف ْق ِه َأِل َّن َها آدَابُ ْال َق ْو ِم َوَأ ْخاَل قُ ُه ْم
ٍ م َأ َحبُّ إلَيَّ مِنْ َكث-ْ ات َعنْ ْال ُعلَ َما ِء َوم َُجالَ َست ِِه
ُ ْال ِح َكا َي
“Kisah-kisah para ulama dan duduk bersama mereka lebih aku sukai daripada menguasai beberapa
bab fiqih. Karena dalam kisah mereka diajarkan berbagai adab dan akhlaq luhur mereka.” (Al
Madkhol, 1: 164)
Di antara yang mesti kita perhatikan adalah dalam hal pembicaraan, yaitu menjaga lisan.
Luruskanlah lisan kita untuk berkata yang baik, santun dan bermanfaat. ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz
berkata,
“Siapa yang menghitung-hitung perkataannya dibanding amalnya, tentu ia akan sedikit bicara kecuali
dalam hal yang bermanfaat” Kata Ibnu Rajab, “Benarlah kata beliau. Kebanyakan manusia tidak
menghitung perkataannya dari amalannya” (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 291).
Yang kita saksikan di tengah-tengah kita, “Talk more, do less (banyak bicara, sedikit amalan)”.
Sungguh mengagumkan apa yang dikatakan oleh ulama besar semacam Imam Syafi’i kepada Yunus
Ash Shadafiy -nama kunyahnya Abu Musa-. Imam Syafi’i berkata,
َأالَ َيسْ َتقِ ْي ُم َأنْ َن ُك ْو َن ِإ ْخ َوا ًنا َوِإنْ لَ ْم َن َّتف ِْق فِيْ َمسْ َألَ ٍة،َيا َأ َبا م ُْو َسى
“Wahai Abu Musa, bukankah kita tetap bersaudara (bersahabat) meskipun kita tidak bersepakat
dalam suatu masalah?” (Siyar A’lamin Nubala’, 10: 16).
Dari Ziyad bin ‘Ilaqoh dari pamannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca do’a,
ْ اللَّ ُه َّم اهْ ِدنِى َألحْ َس ِن اَأل ْخالَ ِق الَ َي ْهدِى َألحْ َس ِن َها ِإالَّ َأ ْنتَ َواصْ ِر
َف َع ِّنى َس ِّيَئ َها الَ َيصْ ِرفُ َع ِّنى َس ِّيَئ َها ِإالَّ َأ ْنت
“Allahummahdinii li ahsanil akhlaaqi laa yahdi li-ahsanihaa illa anta, washrif ‘anni sayyi-ahaa, laa
yashrif ‘anni sayyi-ahaa illa anta [artinya: Ya Allah, tunjukilah padaku akhlak yang baik, tidak ada
yang dapat menunjukinya kecuali Engkau. Dan palingkanlah kejelekan akhlak dariku, tidak ada yang
memalinggkannya kecuali Engkau].” (HR. Muslim no. 771, dari ‘Ali bin Abi Tholib)
Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar mengaruniakan pada kami adab dan akhlak yang mulia.
Referensi:
Ta’zhimul ‘Ilmi, Syaikh Sholeh bin ‘Abdillah bin Hamad Al ‘Ushoimi, Muqorrorot Barnamij
Muhimmatil ‘Ilmi.
Siyar A’laamin Nubala’, Imam Adz Dzahabi, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan ke-11, tahun
1422 H, jilid ke-10.
Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, Tahqiq: Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Syaikh
Ibrahim Yajus, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan kesepuluh, tahun 1432 H.
Disusun di pagi hari penuh berkah di Pesantren DS Gunungkidul, 11 Jumadats Tsaniyah 1435 H
Sumber: https://muslim.or.id/21107-pelajarilah-dahulu-adab-dan-akhlak.htm