Sabda Rasulullah menegaskan hal itu, 'sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia." Imam Malik bin Anas
adalah salah satu ulama besar. Beliau adalah guru dari Imam Syafi`i dan sahabat berdiskusi Imam Abu Hanifa. Semua kejeniusan
Imam Malik tidak lepas dari peran ibunya. Ibunya ingin agar Imam Malik menjadi seorang ulama, maka ia mengirimnya untuk
belajar di rumah seorang ulama besar bernama Rabi`ah biin Abdurrahman.
Sebelum berangkat ibunya berpesan "pelajarilah adab Syaikh Rabi`ah sebelum belajar ilmu darinya." Adab memiliki
kedudukan yang sangat tinggi dalam menuntut ilmu , terlihat dari kisah Abdurrahman bin Al-Qasim, salah satu murid Imam
Malik. Ia bercerita bahwa "aku mengabdi kepada Imam Malik selama 20 tahun, 2 tahun diantaranya untuk mempelajari ilmu
dan 18 tahun untuk mempelajari adab. seandainya saja aku bisa jadikan seluh waktu tersebut untuk mempelajari adab (tentu
aku lakukan)."
Begitu pentingnya adab dalam diri seseorang sehingga ulama berkata "belajar satu bab adab lebih baik daripada engkau
belajar 70 bab ilmu." Terdapat kisah, suatu hari Ubay bin Ka'ab sedang menggunggu kendaraan, maka Ibnu Abbas (saudara
sepupu nabi) segera mengambil hewan kendaraannya agar Ubay bin Ka'ab menaikannya kemudian Ibnu Abbas berjalan
bersamanya.
Maka berkatalah Ubay bin Ka'ab kepadanya, "Apa ini, Wahai Ibnu Abbas?", Ibnu Abbas menjawab, "Beginilah kami
diperintahkan untuk meghormati ulama kami." Ubay menaiki kendaraan sedangkan Ibnu Abbas berjalan dibelakang hewan
kendaraannya. Ketika turun, Ubay bin Ka'ab mencium tangan Ibnu Abbas. Lalu Ibnu Abbas bertanya, "apa ini?"
Ubay bin Ka'ab menjawab, "Begitulah kami diperintahkan untuk menghormati keluarga Nabi kami." Adab merupakan pondasi
agama. Orang yang beradab akan dicintai masyarakat, orang yang tidak beradab hidupnya tidak diberkahi Allah dan ilmunya
juga tidak bermanfaat. Sekarang kita berada pada suatu zaman degradasi moral, mereka hanya mengutamakan memperbanyak
ilmu, hafalan dan membaca saja namun meremehkan adab atau sopan santun.
Ibnu Mubarak mengatakan, "Barangsiapa meremehkan adab, niscaya dihukum dengan tidak memiliki hal-hal sunnah.
Barang siapa meremehkan sunnah-sunnah, niscaya dihukum dengan tidak memiliki (tidak mengerjakan) hal-hal yang
wajib. Dan barang siapa meremehkan hal-hal yang wajib, niscaya dihukum dengan tidak memiliki makrifah." Wallahu
a`lam.
Karena tanpa adab, ilmu yang dikumpulkan hanyalah tumpukan pengetahuan, tidak mencerminkan keindahan dan
kelezatan.
Pentingnya Adab
MuslimahNews.com — Ibn Hajar al-Asqalani (w. 852 H) rahimahu–Llah, menyatakan, bahwa belajar adab itu artinya
mengambil akhlak yang mulia [Lihat, Ibn Hajar, Fath al-Bari, Juz X/400]. Begitu pentingnya belajar adab itu, sampai Sufyan at-
Tsauri (w. 161 H) mengatakan, “Ketika seseorang ingin menulis hadits, maka dia terlebih dulu belajar adab, dan ibadah,
dua puluh tahun, sebelumnya (menulis hadits).” [Abu Nu’aim, Hilyatu al-Auliya’, Juz VI/361]
Hal yang hampir senada juga disampaikan oleh Ibn Mubarak. Beliau menyatakan:
“Makhlad bin al-Husain berkata kepadaku, “Kami lebih membutuhkan banyak adab, ketimbang kebutuhan kami akan
Bahkan, dalam kitab yang sama, Ibn Mubarak (w. 181 H), menyatakan:
“Siapa saja yang meremehkan adab, maka dia akan disiksa dengan kekurangan akan [amalan] sunah. Siapa saja yang
meremehkan amalan sunah, maka dia akan disiksa dengan kekurangan akan [amalan] fardhu. Siapa saja yang
meremehkan amalah fardhu, maka dia akan disiksa dengan kekurangan akan makrifat. ” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’
Menunjukkan begitu pentingnya adab, sebelum ilmu. Karena tanpa adab, ilmu yang dikumpulkan hanyalah tumpukan
صيَانَتِ ِه ع َِن ْالخَ طَأ ِ َو ْالخَ لَ ِل ِ َ َوتَحْ ِسي ِْن أَ ْلف،صابَ ِة َم َواقِ ِع ِه
ِ َو،اظ ِه ِ ح اللِّ َسا ِن َو ْال ِخطَا
َ ِ َوإ،ب ِ َ هُ َو ِع ْل ُم ِإصْ ال:ب
ِ ِع ْل ُم األَ َد
“Ilmu adab: adalah ilmu untuk memperbaiki lisan [tutur kata], seruan, ketepatan dalam menempatkan pada posisinya,
pemilihan kata yang baik dan tepat, serta menjaganya dari kesalahan dan cacat. ” [Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Madzariju
Menurut Syaikh Shalah Najib ad-Daqq, adab itu ada dua: Pertama, adab alami [ tabhî’i], yaitu adab yang Allah ciptakan pada diri
manusia, dengan ciri dan karakteristik itu. Kedua, adab hasil belajar [ iktisâbi], yaitu adab yang diperoleh oleh seseorang karena
ِ : أنا أتخلَّق بهما ِأم هللاُ جبَلني (خلقني) عليهما؟ قال، يا رسول هللا: قال،) واألَنَاة،الح ْلم
ُ(بل هللا ِ (إن فيك خَ لَّتين يحبهما هللا؛:أن النب َّي صلى هللا عليه وسلم قال للمنذر األشج
الحمد هلل الذي جبلني على خَلَّتين يحبُّهما هللا ورسوله؛: قال،(جبَلك عليهما
“Nabi sha-Llahu ‘alaihi wa Sallama bersabda kepada al-Mundzir al-Asyaj, “Sesungguhnya di dalam dirimu ada watak
alami yang keduanya dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu sifat “hilm ” [kelapangan dada] dan “anât”
[kesabaran].” Beliau bertanya, “Ya Rasulullah, apakah aku berakhlak dengan keduanya [karena belajar], atau Allah
yang telah menciptakan aku memiliki watak seperti itu?” Baginda sha-Llahu ‘alaihi wa Sallama menjawab, “Bukan
[kamu], tetapi Allahlah yang telah menciptakan kamu memiliki watak seperti itu.” Beliau menimpali, “Segala puji hanya
milik Allah, Dzat yang telah menciptakan aku dengan dua watak alami yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. ” [Hr. Abu
Dawud, hadits hasan. Lihat, al-Albani, Shahîh Abî Dâwud, hadits no. 4353]
وال استُجلِب حرمانُهما بمثل قلة األدب، فما استُجلِب خي ُر الدنيا واآلخرة بمثل األدب،اره
ِ عنوان شقاوته وبَ َو: وقلة أدبه، عنوانُ سعادته وفالحه:أدب المرء.
“Adab seseorang itu adalah alamat kebahagiaan dan keberuntungannya. Sedangkan minimnya adab merupakan alamat
kenestapaan dan kerugiaannya. Tidak ada kebaikan di dunia dan akhirat yang diharapkan untuk diperoleh seperti
memperoleh adab. Begitu juga, tak ada yang sudi mendapatkan keburukan di dunia dan akhirat sebagaimana minimnya
Sufyan bin ‘Uyainah [w. 198 H], guru Imam as-Syafii [w. 204 H], menyatakan:
وما خالفها فهو الباطل، فما وافقها فهو الحق، على ُخلقه وسيرته وهَديه،عرض األشياء
َ ُرسول هللا صلى هللا عليه وسلم هو الميزان األكبر؛ فعليه ت
َ إن
“Sesungguhnya Rasulullah sha-Llahu ‘alaihi wa Sallama merupakan mizan [neraca/tolok ukur] besar. Kepadanya semua
perkara diajukan [dibentangkan untuk diukur], berdasarkan akhlak, perjalanan hidup dan tuntunan baginda. Mana yang
sesuai, maka itu merupakan kebenaran. Mana yang menyimpang, maka itu merupakan kebatilan. ” [al-Khathib al-
( فمن سمع عل ًما فليجعله، أمانة هللا إلى رسوله ليؤديه على ما أُدِّي إليه، وأدَّب النبي صلى هللا عليه وسلم أ َّمته،إن هذا العلم أدبُ هللا الذي أدَّب به نبيه صلى هللا عليه وسلم
“Sesungguhnya ilmu ini merupakan adab Allah, yang Dia gunakan untuk mendidik Nabi-Nya, sha-Llahu ‘alaihi wa
Sallama, yang juga digunakan oleh Nabi sha-Llahu ‘alaihi wa Sallama, untuk mendidik umatnya. Merupakan amanah
Allah kepada Rasul-Nya agar baginda tunaikan sebagaimana yang telah disampaikan kepada baginda. Maka, siapa saja
yang mendengarkan ilmu, maka hendaknya dia menjadikan ilmunya itu menjadi hujah di hadapannya, antara dia dengan
Allah ‘Azza wa Jalla.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/78]
Rasulullah sha-Llahu ‘alaihi wa Sallama itu sendiri merupakan sumber yang luar biasa. Alquran, yang diturunkan kepada kita,
yang terkumpul dalam mushaf, mulai dari Q.s. al-Fatihah hingga Q.s. an-Nas, itu benar-benar telah dihidupkan oleh baginda
Nabi sha-Llahu ‘alaihi wa Sallama sebagai sebuah peradaban selama 23 tahun kehidupan risalah dan nubuwwah baginda sha-
Llahu ‘alaihi wa Sallama. Semuanya itu direkam oleh para sahabat. Ada yang kemudian diriwayatkan secara lisan, baik
menuturkan ucapan, tindakan maupun diamnya baginda Nabi sha-Llahu ‘alaihi wa Sallama sehingga menjadi hadits. Ada juga
yang diriwayatkan dalam bentuk Ijmak Sahabat, karena mereka semuanya tahu seluk-beluk kehidupan baginda sha-Llahu
‘alaihi wa Sallama.
Maka, dari kehidupan para sahabat, kita juga bisa menimba adab. Begitu juga dari generasi berikutnya, yang mewarisi peradaban
agung dan mulia dari mereka. Wajar, jika konvensi penduduk Madinah, sampai dijadikan oleh Imam Malik sebagai salah satu
sumber hukum. Lihatlah, sampai hari ini, penduduk Madinah merupakan penduduk yang paling tinggi akhlaknya.
Muhammad bin Sirin [w. 110 H] menceritakan karakteristik Tabiin, “ Mereka itu mempelajari tuntunan hidup [adab],
sebagaimana mereka mempelajari ilmu.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/79]
Imam Malik bin Anas [w. 179 H] pernah menyatakan kepada seorang pemuda Quraisy, “ Wahai putra saudaraku, pelajarilah
adab, sebelum kamu belajar ilmu.” [Abu Nu’aim, Hilyatu al-Auliya’, Juz VI/330]. Beliau juga menyatakan, “Hak yang
menjadi kewajiban bagi siapa yang menuntut ilmu, agar dia memiliki penghormatan, ketenangan, dan rasa takut [kepada
Allah]. Hendaknya dia juga mengikuti jejak orang-orang sebelumnya .” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-
Rawi, Juz I/156]
Ibn Wahab menyatakan, “Adab Imam Malik yang kami nukil, yaitu apa yang kami pelajari, lebih banyak ketimbang
Ad-Dahabi juga menuturkan, bahwa Ismail bin ‘Uliyyah berkata, “ Dulu orang berkumpul di Majlis Imam Ahmad ada kira-
kira 5000, atau lebih, hingga 500 orang. Mereka menulis. Sisanya, mereka belajar dari beliau mengenai kemuliaan adab
Para murid dan pengikut ‘Abdullah bin Mas’ud, sahabat Nabi, pergi dan datang untuk berguru kepada beliau. Mereka melihat
bagaimana kemuliaan perilaku beliau, dan tuntunan hidup [yang terkait dengan respek, penghormatan dan ketenangan] beliau.
Mereka pun menduplikasikannya, sebagaimana ‘Abdullah bin Mas’ud. [al-Qasim bin Salam, Gahrib al-Hadits, Juz I/384]
Begitu juga para murid dan pengikut ‘Ali bin al-Madini [w. 234 H], guru Imam al-Bukhari, sebagaimana diceritakan oleh ‘Abbas
al-‘Anbari, “Mereka menulis tentang berdirinya ‘Ali bin al-Madini [guru Imam al-Bukhari], begitu juga duduknya,
pakaiannya, dan apa saja yang beliau sampaikan, dan lakukan. Atau hal-hal seperti itu .” [al-Khathib al-Baghdadi, Tarikh
An-Nakha’i [w. 96 H] mengatakan, “Mereka [generasi Salaf], ketika mendatangi seseorang [ulama’] untuk mengambil ilmu
darinya, maka mereka akan perhatikan perilakunya, shalat dan keadaannya, baru setelah itu mereka mengambil ilmu
Beliau juga menuturkan, “Jika kami ingin mengambil ilmu dari seorang guru [Syaikh], maka kami akan menanyakan
tentang makanan dan minumam beliau, tentang tempat keluar dan masuknya. ” [al-Jurjani, al-Kamil fi Dhu’afa’ ar-
Rijal, Juz I/602]
Maka, sebagian orang bijak mengatakan, “Adab dalam perbuatan [perilaku] merupakan indikasi diterimanya amal
Membersamai Ulama’
Membersamai ulama’ dalam waktu yang lama merupakan cara terbaik untuk mendapatkan adab dan ilmu. Begitulah dahulu para
Imam al-Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan dari al-A’raj, berkata, “ Aku pernah mendengar Abu Hurairah berkata:
( ، أخ ُد ُم رسول هللا صلى هللا عليه وسلم على ِملْ ِء بطني،كنت رجاًل مسكينًا
ُ ، وهللاُ الموعد،إنكم تزعمون أن أبا هريرة يُكثر الحديث عن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم
ُ ص ْف
فلن ينسى شيئًا سمعه، ( َمن يبسط ثوبه: فقال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم، وكانت األنصار يَش َغ لهم القيام على أموالهم،ق باألسواق َّ وكان المهاجرون يَشغَلهم ال
فما نسيت شيئًا سمعته منه، ثم ضممتُه إل َّي، فبسطت ثوبي حتى قضى حديثه،)؛)مني
“Kalian mengira, bahwa Abu Hurairah itu memiliki banyak hadits dari Rasulullah sha-Llahu ‘alaihi wa Sallama? Allah
Dzat Maha Tahu dan Membuat perhitungan [jika aku berbohong]. Aku adalah lelaki miskin. Aku membantu Rasulullah
sha-Llahu ‘alaihi wa Sallama dengan batas kemampuanku. Sementara kaum Muhajirin mereka sibuk dengan berdagang
di pasar. Kaum Anshar sibuk mengurus harta mereka. Maka, Rasulullah sha-Llahu ‘alaihi wa Sallama bertanya, “Siapa
yang bersedia membentangkan bajunya, maka dia tak akan pernah lupa sedikit pun apa yang dia dengarkan dariku.”
Maka, akupun membentangkan bajuku, hingga baginda pun menyampaikan haditsnya. Lalu, aku pun menghimpunnya di
dalam diriku. Sejak itu, aku tak pernah lupa sedikitpun tentang apa yang aku dengarkan dari baginda sha-Llahu ‘alaihi
Begitulah, kisah tentang Abu Hurairah, yang datang ke Madinah, setelah peristiwa Perang Khaibar, setelah Sulh Hudaibiyah,
tahun 6 H. Dengan kata lain, beliau hanya bersama Nabi tidak kurang dari 4 tahun. Tetapi, karena tekadnya membersamai
Nabi sha-Llahu ‘alaihi wa Sallama itulah yang membuatnya menguasai banyak hadits, dan karamah, karena doa dari Nabi sha-
Imam Abu Hanifah (w. 148 H) menuturkan, “Aku membersamai Hamad bin Abi Sulaiman selama 12 tahun. ” [al-Khathib al-
Baghdadi, Tarikh Baghdad, Juz XV/444]. Beliau melanjutkan, “Aku tidaklah shalat, sekali saja, sejak Hamad wafat, kecuali
aku memintakan ampunan untuknya dan kedua orang tuaku. Aku juga memintakan ampunan untuk mereka yang aku telah
belajar ilmu darinya, atau murid yang aku ajari ilmu.” [al-Khathib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, Juz XV/444].
Kata Imam Malik, “Dulu, ada orang [alim] yang bolak-balik kepada seorang [alim] selama 30 tahun, untuk menimba ilmu
darinya.” Beliau juga menceritakan, “Nu’aim al-Mujimar membersamai Abu Hurairah selama 20 tahun .” [ad-
Tsabit al-Bunani mengatakan, “Aku telah membersamai Imam Anas bin Malik selama 40 tahun. Aku tidak melihat ada
orang yang ahli ibadah melebihi beliau.” [ad-Dzahabi, Siyar al-A’lam an-Nubula’, Juz V/222]. Bagitu juga Nafi’ bin
‘Abdillah menuturkan, “Aku membersamai Malik selama 40 tahun, atau 35 tahun .” [Abu Nu’aim, Hilyatu al-Auliya’, Juz
VI/320]
Bahkan, kata Ibn Hibban, “Hamid bin Yahya al-Balkhi, termasuk orang yang telah menghabiskan umurnya dengan
keberkahan membersamai ulama’ itu, sebagaimana diceritakan oleh ‘Abdullah bin Abi Musa at-Tasturi, “ Ada yang memberi
nasihat kepadaku, “Di mana pun kamu berada, dekatlah dengan orang yang faqih. ” Maka, aku pun datang ke Beirut,
menemui Imam al-Auza’i. Ketika aku sedang bersamanya, tiba-tiba beliau bertanya tentang urusanku, dan aku pun
memberitahukannya kepada beliau. Beliau bertanya, “Apakah kamu mempunyai ayah?” Aku jawab, “Iya. Aku
meninggalkannya di Irak dalam keadaan Majusi.” Beliau bertanya, “Apakah kamu bisa kembali kepadanya, siapa tahu
Allah memberikan hidayah melalui kedua tanganmu?” Aku bertanya, “Apakah Anda menyarankan itu kepadaku?” Beliau
menjawab, “Iya.” Maka, aku pun mendatangi ayahku. Aku mendapatinya sedang sakit. Beliau berkata kepadaku, “ Wahai
putraku, apa yang menjadi keyakinanmu?” Maka, aku pun menceritakan kepada beliau, bahwa aku telah memeluk Islam.
Beliau bertanya kepadaku, “Coba jelaskan agamamu itu kepadaku.” Aku pun menceritakan Islam dan pemeluknya kepada
beliau. Beliau kemudian berkata, “Aku bersaksi, bahwa aku benar-benar telah memeluk Islam. ” Beliau pun wafat dalam
sakitnya itu. Aku menguburkannya, kemudian aku kembali menemui Imam al-Auza’i, lalu aku menceritakannya kepada beliau.”
Begitulah, kebiasaan generasi terbaik umat Nabi Muhammad ini di masa lalu. Mereka membersamai ulama’, dan benar-benar
Thawus bin Kisan berkata, “Di antara perkara sunah [tuntunan Nabi] adalah menghormati orang ‘alim [yang berilmu] .”
Al-Hasan al-Bashri menuturkan, “Ibn ‘Abbas tampak menuntun tunggangan Ubay bin Ka’ab. Kemudian ada yang bertanya
kepada beliau, “Anda adalah putra dari paman Rasulullah, Anda menuntun tunggangan seorang lelaki Anshar?” Beliau
menjawab, “Sudah menjadi keharusan bagi tinta [sumber ilmu] untuk diagungkan dan dimuliakan. ” [al-Khathib al-
‘Amir as-Sya’bi juga berkata, “Ibn ‘Abbas telah memegangi tungangan Zaid bin Tsabit, lalu beliau berkata, “Anda
memegangi untukku, sementara Anda adalah putra dari paman Rasulullah?” Beliau menjawab, “Beginilah kami
seharusnya memperlakukan ulama’.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/108] Dalam riwayat lain, Ibn
‘Abbas memuji beliau dengan mengatakan, “Zaid bin Tsabit merupakan orang-orang yang ilmunya mendalam .” [ad-
Jika Rabi’ah berhalangan, Yahya menyampaikan hadits kepada mereka dengan sempurna. Beliau adalah murid yang
banyak menguasai hadits. Tetapi, jika Rabi’ah hadir, maka Yahya pun menahan diri, karena menghormati Rabi’ah.
Bukan karena Rabi’ah lebih tua darinya, padahal usianya sama. Masing-masing saling menghormati .” [ad-Dzahabi, Siyar
‘Ubaidillah bin ‘Umar berkata, “Yahya bin Sa’id biasa menyampaikan hadits kepada kami. Beliau pun menyampaikan
kepada kami, ibarat mutiara. Tetapi, ketika Rabi’atu ar-Ra’yi muncul, seketika Yahya menghentikan penjelasannya,
karena menghormati Rabi’ah dan memuliakannya.” [al-Khathib al-Baghdadi, al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi, Juz I/320]
Muhammad bin Rafi’ berkata, “Aku bersama Imam Ahmad dan Ishaq di tempat Imam ‘Abdurrazzaq. Hari Raya Idul Fitri
menghampiri kami. Kami keluar bersama ‘Abdurrazzaq ke tempat shalat. Kami bersama banyak orang. Ketika kami
kembali, ‘Abdurrazzaq mengajak kami makan. Beliau berkata kepada Imam Ahmad dan Ishaq, “Hari ini aku melihat ada
yang aneh pada diri kalian berdua. Mengapa kalian tidak mengumandangkan takbir?” Imam Ahmad dan Ishaq
menjawab, “Wahai Abu Bakar [Imam ‘Abdurrazzaq], kami menunggu, apakah Anda mengumandangkan takbir atau
tidak? Maka, kami pun akan mengumandangkan takbir. Ketika kami melihatmu tidak mengumandangkan takbir, maka
kami pun menahan diri.” Beliau berkata, “Aku juga melihat kalian berdua. Apakah kalian berdua mengumandangkan
takbir, atau tidak?” Maka, aku pun akan mengumandangkan takbir. ” [ad-Dzahabi, Siyar al-A’lam an-Nubula’, Juz IX/566]
Lihatlah, adab Imam Muslim kepada Imam al-Bukhari, gurunya, “ Biarkanlah aku mencium kedua kakimu, wahai guru para
guru, penghulu para ahli hadits, dan dokter hadits yang menguasai segala macam penyakitnya. ” [ad-Dzahabi, Siyar al-
Begitu pentingnya akhlak dan adab hingga Allah Ta'aala menempatkanya sebagai hal yang paling utama.
Sebab, kepintaran tidak ada artinya apabila seseorang tidak memiliki adab (etika). Ilmu menjadi
berbahaya bagi pemiliknya dan orang lain karena tidak dihiasi akhlak.
Ketika seseorang memiliki ilmu tanpa akhlak , maka dia akan lupa siapa dirinya yang sesungguhnya, lupa
akan akhlak Rasulullah SAW . Bahkan lupa bahwa dia adalah makhluk yang sangat lemah dan bodoh.
Kalaulah merasa punya ilmu, tentulah Allah tidak memberinya kecuali hanya secuil (sangat sedikit). Yaa
Baca Juga:
Mimpi Guru Habib Muhammad Al-Haddad Tentang Sosok Habib Rizieq
Berlaku Adillah! Ini Pesan Rasulullah SAW kepada Penegak Hukum
Itulah kenapa Abdullah ibnu Mubarak yang sangat dalam ilmunya mengatakan: "Aku belajar adab 30
tahun dan aku mencari ilmu 20 tahun." (Baca Juga: Saat Rasulullah Ditanya Tentang Akhlak yang Baik, Ini
Kata Beliau )
Imam Malik bin Anas berkata: "Saat ibuku memasangkan imamah untukku, beliau mengatakan, Pergilah
engkau ke Rabi'ah, dan belajarlah tentang adab sebelum ilmu."
Berikut contoh adab (akhlak) yang diajarkan Rasulullah SAW kepada kita sebagaimana diriwayatkan
Imam Muslim. Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Hak seorang muslim terhadap
sesama muslim ada ada enam, yaitu:
1. Apabila engkau berjumpa dengannya ucapkanlah salam.
2. Apabila ia memanggilmu penuhilah.
3. Apabila ia meminta nasihat kepadamu berilah nasihat.
4. Jika ia bersin dan mengucapkan Alhamdulillah, balaslah dengan ucapan Yarhamukallah (ssemoga
Allah memberi rahmat kepadamu).
5. Apabila dia sakit, jenguklah.
6. Apabila dia meninggal dunia, antarkanlah jenazahnya).
Kata akhlak dalam bahasa Arab disebut juga khuluq. Kalau bercermin kita dianjurkan berdoa:
"Ya Allah sebagaimana Engkau telah membaguskan tubuhku (rupaku), maka baguskanlah akhlakku."
(HR. Ahmad)
Demikian pentingnya mempelajari adab sebelum ilmu. Semoga Allah memberi kita taufik agar menjadi
pribadi yang berakhlak mulia. (Baca Juga: 3 Macam Akhlak Penghuni Surga )