Anda di halaman 1dari 6

Adab Memberi Nasehat

Nasehat adalah tanda yang nampak jelas dari adanya ukhuwwah Islamiyah dan termasuk bagian
dari kesempurnaan iman dan ihsan. Tidak sempurna keimanan seorang muslim sampai ia
mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri, juga tak sudi jika terjadi sesuatu
pada saudaranya sebagaimana ia tak sudi jika hal itu terjadi pada dirinya Inilah yang menjadi
dorongan untuk menasehati.

Imam Bukhari dan Muslim telah meriwayatkan dari Jarir bin Abdillah –radhiyallahu ‘anhu-
berkata:

‫ُّص ِح‬
‫ن‬ ‫ال‬
‫و‬ ، ِ ‫ وإِيت ِاء الهزاك‬، ‫ص اَل ِة‬
‫اة‬ ‫اَّللُ اعلاْي ِه او اسله ام اعلاى إِقا ِام ال ه‬
‫صلهى ه‬ ِ‫ول ه‬
ْ ‫ا‬ ‫ا ا‬ ‫اَّلل ا‬ ‫ت ار ُس ا‬ُ ‫اَبيا ْع‬
‫لِ ُك ِل ُم ْسلِم‬
“Saya telah membaiat Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- untuk mendirikan shalat,
membayar zakat dan menasehati kepada setiap muslim”.

Imam Muslim telah meriwayatkan dari Tamim Ad Dari –radhiyallahu ‘anhu- bahwa Nabi –
shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

ِِ ِ ِ ِِ ِ ‫َّلل اولِ ِكتاابِِه‬


ِ‫ِه‬: ‫ قال‬، ‫ قُ ْلنا لِمن ؟‬، ُ‫هصيحة‬
ِ ‫الدين الن‬ ِ
‫اولار ُسوله اوِِلائ همة الْ ُم ْسلم ا‬
‫ني‬ ْ‫ا‬ ‫ا‬ ‫ا‬ ُ
‫او اعا همتِ ِه ْم‬
“Agama adalah nasehat”, kami berkata: “Bagi siapa ?”, beliau menjawab: “Bagi Allah, kitab-Nya,
Rasul-Nya, dan untuk para pemimpin umat Islam dan kalangan umum dari mereka”.

Ibnul Atsir –rahimahullah- berkata:

“Menasehati kalangan umum dari umat Islam adalah memberikan kepada mereka petunjuk
untuk meraih kemaslahatan mereka”. (An Nihayah: 5/142)
Dalam memberi nasehat selayaknya memenuhi adab-adab umum yang selayaknya dimiliki
pemberi nasehat yang penuh rasa cinta, di antaranya adalah:

1. Yang menjadi pendorong dalam menasehati adalah cinta kebaikan untuk saudara semuslim
lainnya, dan membenci kalau keburukan akan menimpanya, Ibnu Rajab –rahimahullah-
berkata:

“Adapun nasehat bagi umat Islam hendaknya mencintai mereka sebagaimana mencintai
dirinya sendiri dan membenci apa yang terjadi pada mereka sebagaimana dia membenci jika
hal itu terjadi pada diri mereka sendiri. Hendaknya menyayangi yang lebih muda dari mereka,
menghormati yang lebih tua, merasa sedih dengan kesedihan mereka, bahagia dengan
kebahagiaan mereka, meskipun hal ini akan membahayakan dunianya, seperti; memberikan
harga yang murah kepada mereka, meskipun misalnya tidak mendapatkan keuntungan
dalam perdagangannya, demikian juga apa saja yang akan membahayakan mereka secara
umum, mencintai apa yang mengandung maslahat dan kebersamaan bagi mereka, juga
kelanggengan nikmat yang mereka rasakan, menolong mereka dari musuh mereka,
mencegah semua yang akan membahayakan mereka. Abu Amr bin Shalah berkata: “Nasehat
itu adalah kata umum yang mencakup aktifitas pemberi nasehat kepada penerima nasehat
dalam banyak pintu kebaikan baik dalam tataran keinginan dan perbuatan”. (Jami’ul Ulum
wal Hikam: 80)

2. Hendaknya menasehatinya dengan penuh keikhlasan yang hanya mengharap ridha Allah,
tidak dalam rangka ingin menampakkan ketinggian dan kemuliaan di hadapan saudaranya.
3. Hendaknya nasehat tersebut bebas dari kecurangan dan pengkhianatan, Syeikh Ibnu Baz –
rahimahullah- berkata:

“Nasehat itu adalah keikhlasan pada sesuatu dan tidak mengandung kecurangan dan
pengkhianatan di dalamnya. Seorang muslim itu karena besarnya kedekatan dan
kecintaannya kepada saudaranya, maka ia menasehati dan mengarahkannya kepada
sesuatu yang bermanfaat baginya dan apa yang menurutnya tulus, tidak ada noda dan tidak
ada kecurangan, seperti halnya ucapan orang Arab: “Emas si pemberi nasehat” maksudnya
adalah bersih dari kecurangan, dikatakan juga dengan “Madu si pemberi nasehat”,
maksudnya adalah bersih kecurangan dan perpecahan”. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baaz: 5/90)

4. Hendaknya nasehat tidak mengandung celaan dan menjelekkan. Al Hafifz Ibnu Rajab –
rahimahullah- mempunyai artikel khusus yang berjudul: Al Farqu baina An Nasihah wa At
Ta’yiir (Perbedaan antara nasehat dan celaan).
5. Hendaknya nasehat disampaikan dengan semangat berukhuwah dan cinta, tidak dengan
kekerasan.

Allah –Ta’ala- telah berfirman:

ِ ‫اْلسن ِة وج ِاد ْْلم َِبلهِِت‬ ِ‫ك َِب ْْلِ ْكم ِة والْمو ِعظا‬
‫اح اس ُن‬
‫أ‬
ْ ‫ا‬‫ي‬ ‫ه‬ ُْ ‫ا ا ا ا‬ ‫ا‬ ْ ‫ة‬ ْ‫ا ا ا‬ ‫ْادعُ إِ اَل اسبِ ِيل اربِ ا‬
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik”. (QS. An Nahl: 125)

6. Hendaknya nasehat disampaikan dengan dasar ilmu, penjelasan dan alasan yang bisa
diterima.

As Sa’di –rahimahullah- berkata:

“Termasuk bentuk dari hikmah itu adalah berdakwah dengan didasari oleh ilmu, bukan
dengan ketidaktahuan. Memulai dengan yang lebih penting, dan dengan yang terdekat
dengan pemahaman, dengan sesuatu yang tingkat penerimaan masyarakat lebih maksimal,
dengan lemah lembut, dikaitkan dengan hikmah, jika tidak maka akan berubah dari ajakan
ke mau’izhah hasanah (penyampaian yang baik) yang berarti perintah dan larangan yang
diringi dengan berita gembira dan peringatan. Jika objek dakwah mengira bahwa apa yang
ada padanya adalah sebuah kebenaran atau mengajak kepada kebatilan, maka perlu diajak
diskusi dengan cara yang lebih baik. Inilah cara yang lebih bisa diterima secara akal dan
syari’at. Termasuk di dalamnya adalah membantahnya dengan dalil-dalil yang ia yakini, yang
demikian itu lebih dekat untuk menghasilkan apa yang dituju. Diskusi tersebut tidak boleh
memicu permusuhan atau saling mencela yang justru akan menjauhi tujuan dakwah, dan
tidak mengandung manfaat, yang menjadi tujuan adalah memberikan petunjuk kepada
manusia untuk berada di jalan yang benar, bukan untuk merasa menang atau tujuan
lainnya”. (Tafsir As Sa’di: 452)

7. Hendaknya nasehat dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, tidak disampaikan secara terang-


terangan di hadapan banyak orang kecuali jika menyebabkan kemaslahatan yang dominan.

Ibnu Rajab –rahimahullah- berkata:

“Dahulu generasi salaf jika mereka ingin menasehati seseorang, mereka menyampaikannya
dengan sembunyi-sembunyi, sampai-sampai sebagian mereka berkata: “Barangsiapa yang
menasehati saudaranya antara dia dan saudaranya saja maka itulah nasehat, dan
Barangsiapa yang menasehatinya di hadapan halayak, maka ia telah menjatuhkannya”.

Al Fudhail berkata:

“Seorang mukmin itu menutupi dan menasehati, sementara orang yang jahat adalah
mencederai dan menghina”. (Jami Al-Ulum wal Hikam: 1/236)

Ibnu Hazm –rahimahullah- berkata:

“Jika kamu ingin menasehati, maka nasehatilah dengan sembunyi-sembunyi tidak dengan
terang-terangan, dengan bahasa kiasan tidak dengan bahasa lugas, kecuali jika yang
dinasehati tidak memahami bahasa kiasan maka diperlukan bahasa yang lugas dan jelas.
Jika kamu menyakiti wajah-wajah tersebut maka kamu seorang yang zhalim, bukan sebagai
pemberi nasehat”. (Al Akhlak Wa As Siyar: 45)

Jika misalnya nasehat dengan terang-terangan akan menyebabkan kemaslahatan yang


dominan, maka si pemberi nasehat tidak masalah melakukannya dengan terang-terangan,
seperti membantah kesalahannya dalam masalah-masalah keyakinan di hadapan banyak
orang, agar mereka tidak tertipu dengan ucapannya dan mereka mengikuti kesalahannya.
Contoh ada seseorang yang mengingkari orang yang menyatakan bahwa riba adalah mubah,
atau orang yang menyebarkan bid’ah dan kejahatan di tengah-tengah masyarakat, dalam
kondisi seperti ini disyari’atkan untuk menasehatinya dengan terang-terangan bahkan bisa
jadi wajib dilakukan dengan terang-terangan; karena faktor maslahat yang dominan dan
mencegah kerusakan yang meluas”.

Ibnu Rajab –rahimahullah- berkata:

“Jika yang menjadi tujuannya adalah hanya untuk menyampaikan kebenaran dan agar
orang lain tidak tertipu dengan ungkapan sang penulis yang tidak benar, maka tidak
diragukan lagi bahwa ia akan mendapatkan pahala dari tujuannya tersebut. Perbuatannya
ini dengan niat tersebut masuk dalam kategori nasehat untuk Allah, para Rasul-Nya, para
pemimpin Islam dan masyarakat umum”. (Al Farq baina An Nasihat wal At Ta’yiir: 7)

8. Pemberi nasehat hendaknya memilih ungkapan yang paling baik, berlaku lembut kepada
yang diberikan nasehat dengan ucapan yang sopan juga.
9. Pemberi nasehat hendaknya bersabar dengan gangguan yang terkadang ia terima
disebabkan oleh nasehat yang diberikannya.
10. Mampu menyembunyikan rahasia, menutupi aib seorang muslim, tidak menyerang harga
dirinya, pemberi nasehat itu bersikap sebagai teman, penyayang, cinta kebaikan, suka
menutupi aib saudaranya.
11. Hendaknya berusaha memikirkan dampak dan tidak tergesa-gesa sebelum memberi
nasehat, tidak mensikapinya dengan prasangka terlebih dahulu, sehingga tidak menuduh
saudaranya dengan sesuatu yang tidak ada padanya.
12. Hendaknya memilih waktu yang pas untuk menasehatinya.

Ibnu Mas’ud –radhiyallahu ‘anhu- berkata:

“Sungguh hati ini mempunyai syahwat dan penerimaan, hati juga mempunyai jeda waktu
dan penolakan, ambillah hati itu pada saat penerimaan dan syahwatnya, dan tinggalkanlah
pada saat berada pada jeda waktu dan penolakannya”. (HR. Ibnu Mubarak dalam kitab Az
Zuhd: 1331)

13. Hendaknya pemberi nasehat mengamalkan apa yang ia sampaikan kepada masyarakat,
meninggalkan apa yang ia melarang masyarakat melakukannya, Allah –Ta’ala- berfirman
mencela Bani Israil karena bertentangan antara ucapan dan tindakan mereka:

‫اب أافاَلا تا ْع ِقلُو ان‬


‫ا‬ ‫ا‬‫ت‬‫ك‬ِ ْ‫أ ااَتْمرو ان النهاس َِبلِْ ِب وتانسو ان أان ُفس ُكم وأانتُم تاْت لُو ان ال‬
ْ ‫ا ْا‬ ْ‫ا ا‬ ‫ا‬ ُُ
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri
(kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu
berpikir?”. (QS. Al Baqarah: 44)

Ada ancaman yang keras kepada seseorang yang memerintahkan masyarakat kepada yang
ma’ruf namun tidak melaksanakannya, dan melarang mereka dari yang munkar namun ia sendiri
melakukannya.

Anda mungkin juga menyukai