Anda di halaman 1dari 7

A.

Pengertian Menasehati Jamaah

Menasehati berasal dari kata nasihat. Pengertian nasehat dalam Islam sendiri ialah suatu cara yang
bertujuan untuk mengingatkan seseorang bahwa segala macam bentuk perbuatan pasti ada sanksi serta
akibatnya. Secara terminologi nasihat berarti melarang, memerintah atau menganjurkan suatu hal
tertentu yang juga disertai dalil motivasi dan ancaman. Adapun untuk kata jamaah sendiri berasal dari
Bahasa Arab yang memiliki arti, berkumpul. Sedangkan menurut istilah dapat diartikan sebagai
pelaksanaan ibadah secara bersama-sama yang dipimpin oleh seorang imam.

Jadi dapat didefinisikan Menasehati Jamaah dalam Islam ialah seseorang memberikan ajaran kepada
orang-orang yang terkumpul disuatu tempat berdasarkan ajaran dan/atau yang ada pada Kitab Al-Qur'an
sebagai pendoman hidup manusia.

http://www.definisimenurutparaahli.com/pengertian-nasihat/

B. Hukum Memberikan Nasihat

Imam Ibnu Daqiq mengatakan bahwa hukum memberikan nasihat adalah fardhu kifayah, jika ada pihak
yang memenuhi syarat telah menjalankannya, maka gugurlah kewajiban dari selainnya. Dan memberi
nasihat harus disesuaikan dengan menurut kadar kesanggupan seseorang.

https://muslimah.or.id/4028-indahnya-saling-menasihati-diantara-kaum-muslimin.html

C. Adab-adab Dalam Bernasihat

Adab Memberi Nasehat

Ketika seseorang hendak memberikan nasehat hendaklah memperhatikan adab-adabnya karena adab
tersebut sangat menentukan diterima atau tidaknya nasehat. Beberapa adab yang perlu diperhatikan
adalah:
1. Mengharapkan ridha Allah Ta’ala

Seorang yang ingin menasehati hendaklah meniatkan nasehatnya semata-semata untuk mendapatkan
ridha Allah Ta’ala. Karena hanya dengan maksud inilah dia berhak atas pahala dan ganjaran dari Allah
Ta’ala di samping berhak untuk diterima nasehatnya. Rasulullaah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda,

‫صيبلمهاَ أمإو اعممرأمئة‬


‫ت إهعجمرتلهل للدعنمياَ يل إ‬ ‫اإ مومرلسولإإه فمإهعجمرتلهل إإملىَ ن‬
‫اإ مومرلسولإإه موممعن مكاَنم ع‬ ‫ت إهعجمرتلهل إإملىَ ن‬ ‫إإننمماَ اعلمععمماَلل إباَلننينإة مولإلكنل اعمإر ئ‬
‫ئ مماَ نمموىَ فمممعن مكاَنم ع‬
‫يمتممزنولجمهاَ فمإهعجمرتلهل إإملىَ مماَ مهاَمجمر إإلمعيإه‬

Artinya, “Sesungguhnya setiap amal itu bergantung kepada niatnya dan sesungguhnya setiap orang itu
hanya akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barangsiapa yang hijrahnya kepada
Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya (dinilai) kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrahnya
karena dunia yang hendak diraihnya atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka (hakikat)
hijrahnya itu hanyalah kepada apa yang menjadi tujuan hijrahnya.”(HR. Bukhari dan Muslim)

2. Tidak dalam rangka mempermalukan orang yang dinasehati

Seseorang yang hendak memberikan nasihat harus berusaha untuk tidak mempermalukan orang yang
hendak dinasehati. Ini adalah musibah yang sering terjadi pada kebanyakan orang, saat dia memberikan
nasihat dengan nada yang kasar. Cara seperti ini bisa berbuah buruk atau memperparah keadaan. Dan
nasehatpun tak berbuah sebagaimana yang diharapkan.

3. Menasehati secara rahasia

Nasihat disampaikan dengan terang-terangan ketika hendak menasehati orang banyak seperti ketika
menyampaikan ceramah. Namun kadangkala nasehat harus disampaikan secara rahasia kepada
seseorang yang membutuhkan penyempurnaan atas kesalahannya. Dan umumnya seseorang hanya bisa
menerimanya saat dia sendirian dan suasana hatinya baik. Itulah saat yang tepat untuk menasehati
secara rahasia, tidak di depan publik. Sebagus apapun nasehat seseorang namun jika disampaikan di
tempat yang tidak tepat dan dalam suasana hati yang sedang marah maka nasehat tersebut hanya
bagaikan asap yang mengepul dan seketika menghilang tanpa bekas.
Al Hafizh Ibnu Rajab berkata: “Apabila para salaf hendak memberikan nasehat kepada seseorang, maka
mereka menasehatinya secara rahasia… Barangsiapa yang menasehati saudaranya berduaan saja maka
itulah nasehat. Dan barangsiapa yang menasehatinya di depan orang banyak maka sebenarnya dia
mempermalukannya.” (Jami’ Al ‘Ulum wa Al Hikam, halaman 77)

Abu Muhammad Ibnu Hazm Azh Zhahiri menuturkan, “Jika kamu hendak memberi nasehat
sampaikanlah secara rahasia bukan terang-terangan dan dengan sindiran bukan terang-terangan.
Terkecuali jika bahasa sindiran tidak dipahami oleh orang yang kamu nasehati, maka berterus teranglah!”
(Al Akhlaq wa As Siyar, halaman 44)

4. Menasehati dengan lembut, sopan, dan penuh kasih

Seseorang yang hendak memberikan nasehat haruslah bersikap lembut, sensitif, dan beradab di dalam
menyampaikan nasehat. Sesungguhnya menerima nasehat itu diperumpamakan seperti membuka pintu.
Pintu tak akan terbuka kecuali dibuka dengan kunci yang tepat. Seseorang yang hendak dinasehati
adalah seorang pemilik hati yang sedang terkunci dari suatu perkara, jika perkara itu yang diperintahkan
Allah maka dia tidak melaksanakannya atau jika perkara itu termasuk larangan Allah maka ia
melanggarnya.

Oleh karena itu, harus ditemukan kunci untuk membuka hati yang tertutup. Tidak ada kunci yang lebih
baik dan lebih tepat kecuali nasehat yang disampaikan dengan lemah lembut, diutarakan dengan
beradab, dan dengan ucapan yang penuh dengan kasih sayang. Bagaimana tidak, sedangkan
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ع إمعن مشعىَئء إإلن مشاَنمهل‬ ‫إإنن النرعف م‬


‫ق لم يملكولن إفىَ مشعىَئء إإلن مزانمهل مولم يلعنمز ل‬

Artinya, “Setiap sikap kelembutan yang ada pada sesuatu, pasti akan menghiasinya. Dan tidaklah ia
dicabut dari sesuatu, kecuali akan memperburuknya. (HR. Muslim)

Fir’aun adalah sosok yang paling kejam dan keras di masa Nabi Musa namun Allah tetap memerintahkan
Nabi Musa dan Nabi Harun agar menasehatinya dengan lemah lembut. Allah Ta’ala berfirman,
َ‫فملقول لمهل قمعول لمينننا‬

Artinya, “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut.”
(QS. Ath Thaha: 44)

Saudariku… dan lihatlah tatkala nasehat dilontarkan dengan keras dan kasar maka akan banyak pintu
yang tertutup karenanya. Banyak orang yang diberi nasehat justru tertutup dari pintu hidayah. Banyak
kerabat dan karib yang hatinya menjauh. Banyak pahala yang terbuang begitu saja. Dan tentu banyak
bantuan yang diberikan kepada setan untuk merusak persaudaraan.

5. Tidak memaksakan kehendak

Salah satu kewajiban seorang mukmin adalah menasehati saudaranya tatkala melakukan keburukan.
Namun dia tidak berkewajiban untuk memaksanya mengikuti nasehatnya. Sebab, itu bukanlah
bagiannya. Seorang pemberi nasehat hanyalah seseorang yang menunjukkan jalan, bukan seseorang
yang memerintahkan orang lain untuk mengerjakannya. Ibnu Hazm Azh Zhahiri mengatakan: “Janganlah
kamu memberi nasehat dengan mensyaratkan nasehatmu harus diterima. Jika kamu melanggar batas ini,
maka kamu adalah seorang yang zhalim…” (Al Akhlaq wa As Siyar, halaman 44)

6. Mencari waktu yang tepat

Tidak setiap saat orang yang hendak dinasehati itu siap untuk menerima petuah. Adakalanya jiwanya
sedang gundah, marah, sedih, atau hal lain yang membuatnya menolak nasehat tersebut. Ibnu Mas’ud
pernah bertutur: “Sesungguhnya adakalanya hati bersemangat dan mudah menerima, dan adakalanya
hati lesu dan mudah menolak. Maka ajaklah hati saat dia bersemangat dan mudah menerima dan
tinggalkanlah saat dia malas dan mudah menolak.” (Al Adab Asy Syar’iyyah, Ibnu Muflih)

Jika seseorang ternyata tak bisa menasehati dengan baik maka dianjurkan untuk diam dan hal itu lebih
baik karena akan lebih menjaga dari perkataan-perkataan yang akan memperburuk keadaan dan dia bisa
meminta tolong temannya agar menasehati orang yang dimaksudkan. Sebagaimana sabda
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
‫ أمعو لإيم ع‬،‫ممعن مكاَمن يلعؤإملن إباَنلإ مواعليمعوإم الإخإر فمعليمقلعل مخعينرا‬
‫صلم ع‬
‫ت‬

Artinya, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir hendaklah berkata yang baik atau
diam…”(HR. Bukhari dan Muslim)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam Syarhu Al Arba’in An Nawawi memberikan beberapa
faedah dari cuplikan hadits di atas yaitu wajibnya diam kecuali dalam kebaikan dan anjuran untuk
menjaga lisan.

Jangan pernah putus asa untuk memohon pertolongan Allah karena pada hakekatnya Allah-lah Yang
Maha Membolak-balikkan hati seseorang. Meski sekeras apapun hati seseorang namun tidak ada yang
mustahil jika Allah berkehendak untuk melembutkan hatinya dan menunjukkan kepada jalan-
Nya. Wallaahu Musta’an.

“Jika engkau inginkan kebaikan pada saudaramu

Maka ajaklah ia tuk bergandengan

Dan beriringan menuju jalan-Nya

Bertuturlah dengan baik

Berilah senyuman tatkala ia tak peduli

Tunggulah… Bersabarlah… hingga pintu itu terbuka

Jangan kau paksa.. dan jangan pula kau marahi


Sebab nasehat itu akan berubah menjadi pisau yang tajam

Yang hanya membuat goresan di hati

Dan akan membuat lari

Jangan kau paksa.. dan jangan pula kau marahi

Sesungguhnya hidayah itu ada di tangan Sang Rabb

Yang Maha Membolak-balikkan hati”

https://muslimah.or.id/7352-menasehati-tanpa-melukai.html

D. Kaitan Menasehati dengan Ayat Suci Al-Qur'an

Termasuk hal yang tidak diragukan lagi bagi orang yang berakal sehat adalah bahwa umat ini
membutuhkan orang-orang yang dapat mengarahkan dan menunjukkan mereka kepada jalan
keselamatan. Umat Islam adalah umat yang paling menonjol dalam menegakkan amar ma’ruf dan nahi
munkar. Merupakan kewajiban setiap muslim sesuai dengan kemampuan dan kesanggupannya, untuk
bersungguh-sungguh memberikan nasihat dan peringatan sampai gugur kewajibannya dan dapat
memberikan petunjuk kepada orang lain. Allah Ta’ala berfirman,

‫مومذنكعر فمإ إنن النذعكمرىَ تمعنفملع اعللمعؤإمإنيمن‬

”Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang
yang beriman” (QS. Adz-Dzariyaat [51]: 55).
Tidak ada keraguan lagi bahwa setiap mukmin -bahkan setiap manusia- sangat membutuhkan nasihat
tentang hak-hak Allah dan hak-hak hamba-Nya serta dorongan untuk menunaikannya. Demikian juga,
manusia sangat butuh untuk saling berwasiat dalam kebenaran dan bersabar di atasnya.

Sungguh Allah Ta’ala telah mengabarkan tentang sifat orang-orang yang beruntung dan amal mereka
yang terpuji di dalam kitab-Nya. Allah Ta’ala juga mengabarkan tentang sifat-sifat orang yang merugi dan
akhlaknya yang tercela. Hal itu terdapat pada ayat yang sangat banyak di dalam Al Qur’an. Dan Allah
Ta’ala telah mengumpulkannya dengan menyebutkannya di dalam surat Al ’Ashr,

(3) ‫صعبإر‬
‫صعوا إباَل ن‬ ‫صعوا إباَعلمح ن‬
‫ق موتمموا م‬ ‫ت موتمموا م‬
‫صاَلإمحاَ إ‬ ‫مواعلمع ع‬
‫( إإنل النإذيمن آمملنوا مومعإمللوا ال ن‬2) ‫( إإنن ا ع إلعنمساَمن لمإفيِ لخعسئر‬1) ‫صإر‬

”Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal sholih, saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling
menasihati supaya tetap di atas kesabaran” (QS. Al-’Ashr [103]: 1-3).

Allah Ta’ala memberikan petunjuk kepada hamba-Nya di dalam surat yang ringkas namun sangat agung
ini bahwa sebab keberuntungan itu terbatas kepada empat sifat saja.

Yang pertama, iman. Yang kedua, amal shalih. Yang ketiga, saling menasihati dalam kebenaran. Yang
keempat, saling menasihati dalam kesabaran. Barangsiapa yang menyempurnakan keempat hal ini, maka
dia akan mendapatkan keberuntungan yang sangat besar. Dia juga berhak mendapatkan kemuliaan dari
Rabb-Nya dan kemenangan dengan nikmat yang akan dia raih pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang
menjauhkan diri dari keempat sifat ini dan tidak berakhlak dengannya, maka dia akan mendapatkan
kerugian yang sangat besar, yaitu dimasukkan ke neraka jahannam.

Allah Ta’ala telah menjelaskan di dalam kitab-Nya yang mulia tentang sifat-sifat orang yang beruntung,
merincinya dan mengulang-ulangnya pada banyak ayat dalam kitab-Nya. Sehingga orang-orang yang
mencari keselamatan dapat mengetahuinya, berakhlak dengannya dan berdakwah kepadanya.

https://muslim.or.id/32493-saling-memberikan-nasihat-untuk-mempelajari-al-quran.html

Anda mungkin juga menyukai