Anda di halaman 1dari 10

20 Rambu Dalam Hidup Bermasyarakat

Hadits
14/5/2008 | 09 Jumadil Awal 1429 H | Hits: 2,549
Oleh: Mochamad Bugi

dakwatuna.com – Islam sangat mendorong


pemeluknya hidup bermasyarakat secara sehat. Islam mencela orang yang mengasingkan diri
dari kehidupan sosial. Untuk itu, Islam memberi rambu-rambu agar seorang muslim bisa
hidup berdampingan dalam masyarakatnya dengan sehat tanpa merugikan satu sama lain.
Berikut ini 20 rambu tersebut.

1. Saling memberi nasihat

Saling menasihati adalah salah satu bentuk kesetiaan seorang muslim kepada saudara
muslimnya yang lain. Nasihat juga adalah bukti kesempurnaan dan lengkapnya keshalihan
seseorang dalam beragama.

Dari Tamim Ad-Daari r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya agama (ad-din)
itu an-nashihah.” Kami bertanya, “Nasihat bagi siapakah, ya Rasulullah?” Beliau menjawab,
“Bagi Allah, bagi Kitab-Nya, bagi Rasul-Nya, dan bagi para imam/ulama muslimin dan bagi
orang-orang awam di antara kalian.” (Muslim no. 55)

Dari Jabir bin Abdullah r.a. yang berkata, aku membai’at Rasulullah saw. untuk (mau)
mendengar dan menaati (Islam). Lalu beliau mengajariku, “(Lakukanlah) apa yang dapat
kamu lakukan dan (hendaknya) kamu menasihati kepada setiap muslim.” (Bukhari no. 7204)

Jadi, saat turun bermasyarakat seorang muslim senantiasa menggunakan kesempatan itu
untuk saling menasihati. Pertama, saling mengingatkan untuk menjaga keikhlasan hanya
untuk Allah swt. semata. Kedua, saling menasihati untuk membenarkan dan menyakini
bahwa Al-Qur’an itu benar dan diamalkan sebagai pedoman hidup. Ketiga, saling
mengingatkan untuk mengakui kebenaran Muhammad sebagai Nabi dan Rasul-Nya, untuk
taat pada setiap perintahnya, serta meneladani dan melanjutkan risalah dakwahnya.

Keempat, mengingatkan imam/ulama jika mereka menyimpang dan taat kepada mereka
dalam kebenaran. Kelima, menasihati orang awam dalam bentuk membimbing mereka untuk
memperoleh kemaslahatan.

2. Jauhi Perbuatan Zalim


Dalam sebuah hadits qudsi, Abu Dzar r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. berkata
bahwa Allah swt. berfirman, “Hai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan
perbuatan zalim atas diri-Ku dan Aku jadikan kezaliman it uharam di atanramu, maka
janganlah kamu saling menzalimi.” (Muslim no. 2577)

Dari Jabir bin Abdullah r.a. bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Muslim (sejati)
itu ialah yang dapat menyelamatkan muslim lain dari gangguan lidah dan tangannya.”
(Muslim no. 41)

3. Berakhlak Mulia

Abdullah bin ‘Amr bin Ash r.a. berkata Rasulullah saw itu bukanlah seorang yang buruk
perkataanya dan tidak berusaha untuk melakukan hal seperti itu. Bahkan Rasulullah saw.
bersabda, “Sesungguhnya termasuk orang-orang pilihan di antaramu adalah yang paling
bagus akhlaknya.” (Bukhari no. 3559 dan Muslim no. 2331)

Dari Abu Darda bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada sesuatu yang paling berat
timbangannya bagi mukmin pada hari kiamat daripada akhlak yang bagus. Dan sesungguhnya
Allah membenci orang yang buruk tutur katanya dan jorok (cabul).” (Abu Dawud no. 4799
dan Turmudzi no. 2003)

Dari Jabir bin Abdullah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya yang paling
aku cintai di antara kamu dan paling dekat kedudukannya denganku pada hari kiamat adalah
yang paling bagus akhlaknya. Dan sesungguhnya yang paling aku benci di antara kamu dan
paling jauh tempatnya dariku pada hari kiamat adalah orang yang banyak bicara tanpa
manfaat, yang banyak bicara dibuat-buat, dan memenuhi mulutnya dengan segala macam
perkataan (tak berbobot).” (Turmudzi no. 2018))

4. Saling membantu dalam kebaikan

Seorang muslim hendaknya suka membantu sesamanya. Ini perintah Rasulullah saw. seperti
yang diriwayatkan Abdullah bin Umar, “Muslim itu saudara(nya) muslim. Ia tidak boleh
menzaliminya dan tidak boleh menyerahkannya ke tangan musuh. Barangsiapa yang
berkenan memenuhi hajat kebutuhan saudaranya, maka Allah pasti memenuhi hajatnya.
Barangsiapa melepaskan suatu kesulitan muslim, maka Allah akan melepaskan darinya salah
satu kesulitannya pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang menutupi (aib) muslim, maka
Allah akan menutupi (aib)nya pada hari kiamat.” (Bukhari no. 2442 dan Muslim no. 2580)

Abu Hurairah juga meriyaratkan hadits yang mirip. Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa
yang melepaskan suatu kesusahan seroang mukmin di antara berbagai kesusahan dunia, maka
Allah akan melepaskan darinya salah satu di antara berbagai kesulitan pada hari kiamat.
Barangsiapa yang memudahkan orang yang mendapatkan kesulitan, maka Allah akan
memberikan kemudahan baginya di dunia dan akhirat. Dan barangsiapa yang menutupi aib
seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Dan Allah itu akan
selalu membantu hamba jika ia mau membantu saudaranya. Dan barangsiapa yang
menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan untuk
menuju surga. Tidak ada suatu kaum yang berkumpul di salah satu rumah Allah seraya
membaca kitab Allah -Al-Qur’an-dan mereka mempelajari Al-Qur’an tersebut kecuali akan
turun kepada mereka ketenangan dan mereka pun akan diliputi rahmat Allah serta mereka
akan diliputi malaikan, bahkan Allah pun akan menyebut-nyebut mereka di hadapan makhluk
lain di sisi-Nya. Serta, barangsiapa yang menangguhkan amal ibadahnya, maka tidak akan
dipercepat keturunannya.” (Muslim no. 2699)

5. Suka berkorban dan memberi

Dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tangan yang di atas lebih baik
daripada tangan yang di bawah. Tangan yang di atas itu ialah tangan yang memberi;
sedangkan tangan yang di bawah ialah yang meminta-minta.” (Bukhari no. 1429 dan Muslim
no. 1033)

Abdullah bin Umar juga mengabarkan bahwa Rasulullah saw. bersabda dalam khutbahnya,
“Jauhilah olehmu sifat kikir. Sebab, orang-orang sebelum kamu itu hancur karena kikir.
(Pemimpin mereka) memerintahkan mereka untuk kikir, lalu mereka pun kikir; ia
memerintahkan untuk memutuskan hubungan (persaudaraan) lalu mereka pun memutuskan
hubungan (persaudaraan); dan ia memerintahkannya untuk berbuat durhaka, mereka pun
melakukan perbuatan durhaka,” (Abu Dawud no. 1698, Hakim no. 415, dan shahih al-jami’
no. 2675)

6. Mengatakan kebenaran

Seorang muslim selalu mengatakan hal yang benar. Meskipun perkataan itu akan pahit
dirasakan karena mengenai dirinya sendiri atau berhadapan dengan penguasa. Abu Sa’id Al-
Kudri r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. shalat bersama kami pada shalat ashar di siang hari.
Lalu ia berdiri untuk berkhutbah. Tiada ia meninggalkan suatu berita tentang (dan untuk
menuju) akhirat kecuali ia memberitahukannya kepada kami. Berita itu akan dihapal oleh
orang yang menghapalkannya dan akan dilupakan oleh orang yang melupakannya. Dan di
antara yang disabdakannya adalah, “Ingatlah, jangan sampai ada seorang pun terhalang oleh
wibawa (kharisma) seseorang untuk mengatakan (dan memperjuangkan) yang hak jika ia
mengetahuinya.” (Turmudzi no. 2191, Ibnu Majah no. 4007, Hakim no. 506, dan Silsilah
Shahihah no. 168)

Zaid bin Abdullah bin Umar r.a. bercerita bahwa ada sejumlah orang yang berkata kepada
Abdullah bin Umar, “Kita sungguh akan memasuki (menghadap) Sultan atau Amir kita.
Maka kita (mesti) mengatakan kepada mereka apa yang berbeda dengan apa yang kita
katakan jika kita keluar dari sisi mereka.” Lalu Abdullah bin Umar r.a. berkata, “Kami
menganggap yang seperti itu di masa Rasulullah saw. sebagai kemunafikan.” (Bukhari no.
7178)

Semoga kita bisa selalu istiqomah untuk mengatakan hal yang benar kepada siapapun
sehingga kita tidak tergolong orang yang memiliki sifat munafik.

7. Mengajak berbuat baik

Salah satu tujuan seorang muslim bergaul dengan masyarakat di sekitar dirinya adalah dalam
rangka mengajak mereka untuk berbuat kebaikan. Dan ini adalah perintah Allah swt.,
“Hendaklah ada di antara kamu sekelompok orang yang mengajak kepada kebaikan dan
melarang perbuatan munkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imrah:
110)
Dan mengajak orang melakukan kebaikan sungguh besar pahalanya. Rasululllah saw.
bersabda –seperti yang diterima dari Abu Sa’id Al-Kudri–, “Barangsiapa yang
mengajak/menunjukkan kepada kebaikan, maka ia berhak mendapatkan pahala sebesar
pahala orang yang melakukannya.” (Muslim no. 1893)

Abu Hurairah r.a. juga meriwayatkan hadits serupa. Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa
yang mengajak kepada kebenaran, maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang-
orang yang mengikutinya, tidak berkurang dari pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa
yang mengajak kepada kesesatan, maka ia akan mendapatkan dosa sebesar dosa orang-orang
yang mengikutinya, tidak berkurang dari dosa mereka sedikitpun.” (Muslim no. 2674)

8. Menjauhi perbuatan munkar

Di manapun seorang muslim berada, ia selalu punya energi untuk mencegah dirinya dan
orang di sekitarnya dari melakukan perbuatan munkar. Abu Sa’id Al-Kudri mengabarkan
bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa di antara kamu yang melihat kemunkaran,
maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya; jika tidak dapat, maka hendaknya ia
mengubahnya dengan lidahnya; jika tidak dapat dengan itu, maka dengan hatinya, dan ini
adalah keimanan yang paling rendah.” (Muslim no. 49)

Rasulullah saw. sangat melarang seorang muslim menjadi orang yang permisif dengan
kemunkaran. ‘Ars bin Umairah Al-Kindi r.a. menyampaikan bahwa Rasulullah saw.
bersabda, “Jika suatu kesalahan/dosa diperbuat di buka bumi, maka orang yang
menyaksikannya dan membencinya lalu mengingkarinya seperti orang yang tidak ada di situ
–tidak mengetahuinya– dan barangsiapa yang tidak ada di sana –tidak mengetahuinya– tetapi
meridhainya, ia seperti orang yang menyaksikannya.” (Abu Dawud no. 4345 dan Shahihul
Jami’ no. 7020)

9. Sabar dan murah hati

Bergaul dengan sesama tentu membutuhkan kesiapan mental dan kestabilan emosional.
Sebab, manusia beragam sifatnya. Sifat sabar dan murah hati adalah bekal yang harus
disiapkan seorang muslim. Apalagi Allah swt. dalam surat Ali Imran ayat 134 menjadikan
dua sifat ini sebagai ciri ketakwaan. “Bergegaslah menuju ampunan Tuhanmu dan surga yang
seluas langit dan bumi disiapkan untuk orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang-orang yang
mendermakan (hartanya) di waktu senang maupun ketika menderita, dan orang-orang yang
menahan marahnya serta yang memaafkan kesalahan orang lain. Dan Allah itu suka kepada
orang-orang yang (suka) berbuat baik.”

Bahkan Rasulullah saw. menyebut orang yang mampu menahan marah, bersabar, dan
bermurah hati sebagai jagoan. Abu Hurairah merekam sabda Rasulullah saw. ini, “Orang
jagoan itu bukanlah ditentukan dengan (jagoan) gulat. Justru orang jagoan itu ialah orang
yang dapat menahan dirinya ketika marah.” (Bukhari no. 6114 dan Muslim no. 2609).
Subhanallah! Jika setiap manusia mampu mengamalkan sabda Rasulullah saw. ini tentu
sengketa, perselisihan, konflik, perseteruan, perang, dan pertumpahan darah akan menjadi hal
yang langka di muka bumi ini.

10. Pemaaf, toleran, dan tawadhu’


Bergaul dengan masyarakat tentu tak selamanya harmonis. Kadang ada geserkan karena
sesuatu hal. Dan menyimpan dendam adalah ciri pribadi yang tidak sehat dalam bergaul
dengan masyarakat. Allah swt. justru mengajarkan kepada kita untuk menjadi orang yang
pemaaf. Bahkan, membalas keburukan dengan kebaikan. “Balaslah keburukan dengan cara
yang baik.” (Al-Mu’minun: 96)

Sebab, ketika kita memberi maaf, memberi toleransi, dan tawadhu, itu semua tidak membuat
kita hina. Justru terlihat mulia di sisi. Abu Hurairah r.a. merekam bahwa Rasulullah saw.
bersabda, “Tiada berkurang harta karena sedekah, dan tiada Allah menambah seseorang
karena (mau) memaafkan kecuali kemuliaan, dan tidak ada seorang hamba pun yang
tawadhu’ (merendahkan diri) karena Allah kecuali Allah akan mengangkatnya.” (Muslim no.
2588)

Dari ‘Iyadh bin Khimar r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah swt. telah
mewahyukan kepadaku supaya kamu saling bertawadhu’ sehingga tidak ada seorang pun
yang bertindak lalim atas yang lain dan tidak ada seorang pun yang membanggakan diri atas
yang lain.” (Muslim no. 2865)

Bahkan, sifat merendah menjadi ciri ahli surga. Dan sebaliknya, kasar, tidak sabaran,
congkak, dan sombong adalah ciri ahli neraka. Diterima dari Haritsah bin Wahab r.a. bahwa
ia mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Senangkah kalian jika aku beritahukan tentang ahli
surga? Ia (ahli surga itu), setiap orang yang lemah dan memandang diri (sendiri) lemah, yang
jika bersumpah kepada Allah pasti dikabulkan. Dan, sukakah kalian aku beritahukan tentang
ahli neraka? Ia (ahli neraka itu) adalah setiap orang yang kasar, tidak sabaran, dan congkak
lagi sombong.” (Bukhari no. 4918 dan Muslim no. 2853)

11. Sopan, santun, dan ramah

Suatu ketika pernah sekelompok orang Yahudi menemui Rasulullah saw. Mereka berkata,
“Al-saam ‘alaika (semoga engkau dikenai racun).” Aisyah mendengar dan mengerti maksud
kata-kata itu lantas membalas, “‘Alaikum al-saam wa al-la’nah (semoga racun itu untukmu
disertai kutukan).” Rasulullah saw. berkata kepada Aisyah, “Jangan begitu Aisyah.
Sesungguhnya Allah menyukai sifat lemah lembut dalam segala urusan.” Aisyah berkata,
“Wahai Rasulullah, tidakkah engkau dengar apa yang mereka katakan?” Rasulullah saw.
menjawab, “Telah aku jawab, wa ‘alaikum.” (Bukhari no. 6024)

Di hadits yang sama, dalam riwayat Bukhari no. 6030 disebutkan Rasulullah saw. berkata
kepada Aisyah, “Hai Aisyah, engkau mesti lemah lembut (tidak kasar), dan jauhilah olehmu
sifat kasar/kejam dan keji/kotor.” Sedangkan dalam riwayat Muslim no. 2165, Rasulullah
saw. berkata, “Hai Aisyah, janganlah berlaku keji/kotor.” Masih diriwayat Muslim yang lain,
Rasulullah saw. berkata, “Jangan begitu, hai Aisyah. Sebab, Allah tidak menyukai perbuatan
keji dan mengata-ngatai secara kotor.”

Begitulah Rasulullah saw. mengajarkan kepada kita dalam berinteraksi dengan orang lain.
Bahkan, dengan orang yang jelas-jelas punya maksud buruk terhadap diri kita. Sebab, sifat
lemah lembut dan santun tidak boleh hilang dari diri kita. Dari Aisyah r.a. bahwa Rasulullah
saw. bersabda, “Sesungguhnya sifat lemah lembut itu tidak ada pada sesuatu kecuali
menghiasinya dan tidak tercabut dari sesuatu barang kecuali menjadi kotor/jeleklah barang
itu.” (Muslim no. 2594)
Dari Aisyah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah itu Maha Lembut
dan menyukai kelembutan, dan Dia memberi (kepada seseorang) karena kelembutan(nya) apa
yang tidak diberikan-Nya (kepada seseorang) karena kekejaman(nya) dan apa yang tidak
diberikan-Nya kepada orang yang mempunyai sifat selain sifat kejam.” (Muslim no. 2593)

Karena itu, Rasulullah saw. tidak ingin seorang muslim menjadi pengutuk. Abu Hurairah r.a.
menyampaikan kepada kita bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah pantas bagi shiddiq,
mukmin yang bagus imannya, untuk menjadi pengutuk.” (Muslim 2597)

Dari Abdullah bin Mas’ud r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Mukmin itu bukanlah
pencemar nama baik orang, bukan pengutuk, dan bukan pelaku perbuatan keji, serta bukan
yang buruk tutur katanya.” (Turmudzi no. 1977 dan Silsilah Shahihah no. 320)

Dari Abu Darda r.a. bahwa Rasululllah saw. bersabda, “Tidak ada sesuatu pun yang lebih
berat dalam timbangan amal seorang mukmin pada hari kiamat daripada akhlak yang bagus
(mulia). Dan sesungguhnya Allah itu membenci orang yang suka melakukan perbuatan keji
dan buruk tutur katanya.” (Abu Dawud no. 4799, Turmudzi no. 2002, Silsilah Shahihah no.
876, dan Shahihul Jami no. 5597)

Karena itu, Rasulullah saw. melarang seorang muslim mencela muslim yang lain. Dari
Abdullah bin Mas’ud r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Mencela muslim itu perbuatan
durhaka (fusuuq) dan membunuh muslim adalah suatu kekufuran.” (Bukhari no. 48 dan 6044,
Muslim no. 64 dan 116)

12. Bertutur kata yang baik

Dari diri kita yang paling harus dijaga dalam bergaul dengan masyarakat adalah lidah kita.
Tidak sedikit orang celaka karena tidak mampu mengontrol perkataannya.

Mu’adz bin Jabal r.a. diajarkan langsung tentang hal itu oleh Rasulullah saw. “Senangkah
kamu jika aku beritahukan apa yang menguasai (mencukupi) itu semua?” Mu’adz menjawab,
“Tentu, wahai Rasulullah saw.” Rasulullah saw. bersabda, “Tahanlah olehmu ini!” Rasulullah
saw. menunjuk lidahnya. Mu’adz berkata, “Wahai Nabiyullah, apakah kita akan dituntut
dengan apa yang kita ucapkan?” Rasulullah saw. menjawab, “Celakalah kamu, wahai
Mu’adz, bukankah manusia dapat tersungkur ke dalam neraka hanya karena kata-kata yang
keluar dari lidahnya?”

Karena itu, menjaga lidah bukan hanya selamat diri dari kemarahan orang yang mendengar,
tetapi juga selamat dari siksa neraka. Sahal bin Sa’ad Al-Sa’idi r.a. berkata bahwa Rasulullah
saw. bersabda, “Siapa yang menjamin (memelihara) untukku apa yang ada di antara kedua
kakinya dan apa yang ada di antara kedua janggutnya (lidahnya), aku menjamin baginya
(masuk) surga.” (Bukhari no. 6474 dan 6807)

Uqbah bin ‘Amir r.a. berkata, “Wahai Rasulullah, di manakah tempat keselamatan itu?”
Rasulullah menjawab, “Tahanlah lidahmu, rumahmu meski mencukupimu dan menangislah
atas segala kesalahanmu.” (Turmudzi no. 2406 dan Silsilah Shahihah no. 890)

Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada
Allah dan hari akhir, hendaklah ia mengucapkan kata-kata yang baik atau diam.” (Bukhari
no. 5185 dan Muslim no. 47)
13. Berkhitmat kepada kaum muslimin

Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara.” (Al-Hujurat:


10). Karena dekatnya hubungan satu muslim dengan muslim yang lain sebagai saudara, jika
ada yang sakit maka semua merasa sakit.

Anas bin Malik r.a. berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Tidak sempurna
iman seseorang di antaramu kecuali jika ia mencintai saudaranya sebagaimana yang ia cintai
untuk dirinya.” (Bukhari no. 13 dan Muslim no. 45)

Dari Nu’man bin Basyir r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Perumpamaan orang-orang
beriman dalam hal saling mencintai, menyayangi, dan saling membantu itu bagaikan satu
jasad. Jika ada di antaranya yang merasa sakit, maka semua unsur jasad ikut tidak tidur dan
merasa demam.” (Bukhari no. 6011 dan Muslim no. 2586)

Karena itu, tak heran jika Rasulullah saw. mengancam seorang muslim yang tidak peduli
dengan saudara muslimnya. Dari Hudzaifah Bin Yaman r.a. berkata, Rasulullah saw.
bersabda, “Siapa yang tidak ihtimam (peduli) terhadap urusan umat Islam, maka bukan
golongan mereka.” (HR At-Tabrani)

Anas bin Malik pernah menemani Jarir bin Abdullah Al-Bajali dalam sebuah perjalanan. Jarir
berkhitmat kepada Anas, padahal usianya lebih tua daripada Anas. Ini membuat anak tak
enak. “Jangan engkau lakukan itu,” Jarir menjawab, “Aku telah melihat orang-orang Anshar
memuliakan Rasulullah saw. dan mereka melakukan sesuatu kepadanya, aku bertekad untuk
tidak bertemu dengan salah seorang di antara mereka (kaum Anshar) kecuali aku
memuliakannya dan berkhidmat kepadanya karena keutamaan/kemuliaan seperti itu.”
(Bukhari no. 2888 dan Muslim no. 2513)

Sungguh mulia Jarir dan sungguh mulia kita jika bisa saling berkhitmat dengan sesama.

14. Suka menolong

Allah swt. berfirman, “Dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan ketakwaan; dan
janganlah kamu saling menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan.” (Al-Ma’idah: 2)

Anas bin Malik r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tolonglah saudaramu, baik ia
sebagai penganiaya maupun sebagai yang teraniaya.” Ada yang berkata, “Wahai Rasulullah,
aku dapat menolongnya jika teraniaya. Lalu, bagaimana caranya menolong yang
menganiaya?” Rasulullah saw. menjawab, “Engkau harus menghalanginya dari perbuatan
zalimnya. Itulah cara meolongnya.” (Bukhari no. 2443)

Dari Abu Darda r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang membela harga diri
(martabat) saudaranya, maka Allah akan menolak dari wajahnya api neraka pada hari
kiamat.” (Turmudzi no. 1931 dan Ahmad no. 449)

15. Memiliki sifat sayang

Dari Jarir bin Abdullah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Allah tidak menyayangi orang
yang tidak menyayangi orang lain.” Dalam riwayat lain, “Barangsiapa yang tidak sayang
kepada manuasi, maka ia tidak disayangi Allah.” (Bukhari no. 6013 dan Muslim no. 2319)
Dari Abdullah bin ‘Amr bin Ash r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Para penyayang akan
disayangi Allah Yang Maha Penyayang. Sayangilah yang ada di muka bumi, kamu pasti
disayangi yang di langit.” (Abu Dawud no. 4941, Turmudzi no. 1924, Silsilah Shahihah no.
925)

Dari Anas bin Malik r.a. dan Abdullah bin Abbas r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Bukanlah dari kelompok kami orang yang tidak sayang kepada yang kecil dan tidak hormat
pada yang lebih besar (tua).” (Turmudzi no. 1919)

16. Punya rasa malu dan mengendalikan pandangan

Malu adalah ciri khas seorang muslim. Karena itu Rasulullah saw. membela seseorang yang
punya rasa malu dari celaan orang lain. Dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah saw.
pernah melewati seseorang yang mencela saudaranya karena rasa malunya dengan
mengatakan, “Kamu ini terlalu pemalu,” sehingga dikatakan, “Sungguh kamu celaka.” Maka
Rasulullah saw. pun bersabda, “Biarkanlah ia, sebab malu itu bagian dari iman.” (Bukhari no.
24 dan Muslim no. 36)

Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Iman itu enam puluh sekian
cabang, dan malu sebagai satu cabang dari keimanan itu.” (Bukhari no. 9 dan Muslim no.
350)

Sedangkan tentang mengendalikan pandangan, Allah swt. berfirman, “Katakanlah kepada


kaum mukminin: hendahnya mereka mengendalikan pandangannya dan memelihara
kemaluannya. Itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
mereka perbuat. Dan katakanlah kepada kaum mukminat, hendaknya mereka mengendalikan
pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (An-Nur: 31)

17. Tidak suka menjilat

Seorang muslim hendaknya menjauhi kebiasaan menjilat dan memuji secara berlebihan.
Sebab, hal itu dilarang oleh Rasulullah saw. Dari Abu Musa Al’Asy’ari r.a. bahwa Rasulullah
saw. penah mendengar seseorang menyanjung seseorang seya memujinya secara berlebihan,
lalu beliau bersabda, “Kamu yang memutuskan punggungnya.” (Bukhari no. 2663 dan
Muslim no. 3001)

Bahkan kita diajarkan Rasulullah saw. untuk menaburkan tanah ke wajah orang yang
berusaha menjilat. Pernah seseorang memuji-muji Usman. Miqdad kemdian maju dan
berlutut pada kedua lutut orang itu, lalu menumpahkan kerikil ke wajahnya. Usman berkata,
“Apa yang kamu lakukan itu?” Miqdad menjawab, “Sesungguhnya Rasulullah saw. pernah
bersabda, ‘Jika kamu melihat orang-orang yang suka memuji-muji (menjilat), maka
tumpahkanlah tanah pada wajahnnya.” (Muslim no.3002)

18. Jangan jadi beban masyarakat

‘Auf bin Malik Al-Asyja’i berkata, kami sembilan atau delapan atau bertujuh orang pernah
berada di sisi Rasulullah saw. Beliau bersabda, “Mengapakah kalian tidak berbai’at kepada
Rasulullah?” Sebetulnya kami baru (beberapa hari) saja melakukan bai’at. Beliau bersabda
lagi, “Mengapa kalian tidak membai’at Rasulullah?” Kami membentangkan tangan-tangan
kami dan berkata, “Kami telah berbai’at kepada engkau, wahai Rasulullah, lalu atas dasar apa
lagi kami mesti membai’atmu?” Rasulullah saw. bersabda, “Kamu mesti berbai’at supaya
tidak menyembah selain Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, melakukan
shalat lima waktu, dan untuk mau mendengar dan mentaati.” Lalu beliau bersabda,
“Janganlah kamu meminta sedikitpun kepada manusia.” Maka aku betul-betul melihat
sebagian di antara mereka -sembilan atau delapan atau tujuh orang yang berbai’at itu-ketika
terjatuh cemeti salah seorang di antara mereka, ternyata ia tidak meminta kepada seseorang
pun untuk mengembalikan untuknya.” (Muslim no. 1043)

Begitulah ajaran Rasulullah saw. agar kita bersikap ghina ‘anin-naas (merasa cukup dari
manusia) dan hanya meminta kepada Allah swt.

19. Sabar menghadapi kesulitan hidup

Adalah tabiat hidup di dunia penuh dengan kesulitan hidup: ada kesedihan, ada penyakit, dan
ada penderitaan. Kesemuanya itu membutuhkan kesabaran. Sebab, segala kesulitan hidup
memang diciptakan Allah swt. untuk mengingatkan akan fananya dunia ini dan
menumbuhkan rasa rindu dalam hati seorang mukmin akan kampung akhirat yang kekal dan
penuh kenikmatan.

Dari Abu Sa’id Al-Khudri r.a. dan Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tiada
menimpa kepada mukmin, baik berupa penyakit atau kelelahan, atau berupa penyakit atau
kesedihan bahkan kegundahan yang memusingkannya kecuali Allah akan menghapuskan
dengan itu segala dosanya.” (Bukhari no. 5641 dan Muslim no. 2573)

Dari Shuhaib r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sungguh ajaib urusan orang mukmin itu,
sesungguhnya segala urusannya baik baginya. Dan itu tidak ada kecuali bagi mukmin. Jika ia
mendapatkan kesenangan, ia bersyukur, dan itu menjadi kebaikan baginya. Dan jika ia
ditimpa musibah/bencana, ia bersabar dan itu menjadi kebaikan baginya.” (Muslim no. 2999)

20. Punya ukuran tentang baik dan buruk

Begitu banyak peristiwa dan masalah yang timbul akibat interaksi kita dengan masyarakat.
Dan bisa jadi semua itu tidak membuat nyaman hati kita. Apalagi bila menyangkut halal-
haram, baik-buruk, boleh-tidak boleh, patut-tidak patut. Karena itu, kita harus punya ukuran
yang menjadi standar dalam memilah semua peristiwa dan masalah yang ditimbulkan akibat
interaksi kita dengan orang lain. Ukuran itu adalah syari’at.

Nu’man bin Basyir r.a. berkata, aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda,
“Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara yang halan dan haram
itu ada hal-hal yang musytabihat yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Tetapi,
barangsiapa yang menjauhi yang musytabihat, ia telah membebaskan agama dan
kehormatannya. Dan barangsiapa yang terjerumus ke dalam musytabihat, pasti terjerumus ke
dalam yang haram. Hal itu bagaikan penggembala yang menggembala di sekitar kebun
dikhawatirkan gembalaannya itu masuk ke dalamnya. Ingatlah, sesungguhnya bagi setiap raja
itu ada kebun larangannya, dan sesungguhnya kebun larangan Allah itu segala yang
diharamkan-Nya.” (Bukhari no. 52 dan Muslim 1599)

Nawas bin Sam’an r.a. berkata, aku pernah bertanya kepada Rasulullah saw. tentang kebaikan
dan dosa. Rasulullah saw. menjawab, “Al-Birr (kebaikan) itu adalah akhlak yang mulia;
sedangkan dosa ialah apa yang berdetik -disertai dengan keraguan-dalam dadamu dan engkau
tidak suka jika orang lain mengetahuinya. (Muslim no. 2553)

Begitulah 20 rambu bagi kita dalam hidup bermasyarakat. Jika kita amalkan, kita akan
menjadi orang yang diharapkan kehadirannya di tengah masyarakat. Ketika kita pergi, orang-
orang di sekitar kita menangisi kepergian kita.

Anda mungkin juga menyukai