Anda di halaman 1dari 3

Pengertian amar maruf nahimunkar Menurut ilmu bahasa, arti amar maruf nahi munkar ialah menyuruh kapada

kebaikan ,mencegah kejahatan. Amar = menyuruh, maruf = kebaikan, nahi = mencegah, munkar = kejahatan. Dipandang dari sudut syariah perkataan amar maruf nahi munkar itu telah menjadi istilah yang merupakan ajaran (doktrin) pokok agama islam, malah menjadi tujuan yang utama. Mengenai hal ini abul ala al-maududi menjelaskan bahwa tujuan yang utama dari syariat ialah untuk membangun kehidupan manusia diatas dasar marufat (kebaikan- kebaikan ) dan membersihkannya dari hal-hal yang munkarat (kejahatan-kejahatan). Lebih jauh, beliau memberikan definisi sbb : istilah amar maruf nahi munkar itu menunjukan semua kebaikan-kebaikan dan sifat-sifat yang baik, yang sepanjang massa diterima oleh hati nurani manusia sebagai sesuatu yang baik. Sebaliknya istilah munkarat ( jamak dari munkar ) menunjukan semua dosa dan kejahatan kejahatan yang sepanjang masa telah di kutuk oleh watak manusia sebagai satu hal yang jahat. Walhasil, maruf menjadi hal yang sesuai dengan watak manusia pada umumnya dan kebutuhan-kebutuhannya, sedangkan munkarat ialah kebalikannya. Syariat memberikan satu pandangan yang jelas tentang marufat dan munkarat tersebut dan menyatakannya sebagai norma-norma yang segala sesuatu harus di sesuaikan dengannya, baik itu perilaku seseorang ataupun masyarakat Klasifikasi amar maruf nahi munkar Untuk memperjelas pengertian amar maruf nahi munkar ada baiknya jika di uraikan secara singkat pembagiannya, dipandang dari sudut ilmi fiqih. Maruf : syariat membagi maruf itu dalam tiga kategori :

1. Fardhu atau wajib. Yakni mendapat pahala jika dikerjakan dan berdosa jika ditinggalkan. Kategori ini adalah menjadi kewajiban bagi suatu masyarakat islam dan mengenai hal ini syariat telah memberikan petunjuknya dengan jelas serta mengikat. 2. Sunat atau matlub. Yakni mendapat pahala jika dikerjakan dan tidak berdosa jika ditinggalkan. Kategori ini merupakan serangkaian kebaikan kebaikan yangdi anjurkan oleh syariat supaya di laksanakan. 3. Mubah ,yakni tidak berpahala jika dikerjakan dan tidak berdosa jika ditinggalkan. Kategori ini memiliki makna yang luas, sedangkan patokan dan ukurannya ialah segala sesuatu yang tidak dilarang masuk dalam kategori ini, yang pelaksanaannya diserahkan sepenuhnya oleh syariat kepada manusia untuk memilihnya sendiri (di kerjakan atu tidak). - Munkar : ialah segala sesuatu yang dilarang dalam islam dan di golongkan menjadi 2 kategori : 1. Haram , yaitu segala sesuatu yang dilarang secara mutlak. Umat muslim tanpa terkecuali harus menjauhkan diri dari sesuatu yang telah tegas dinyatakan haramnya. 2. Makruh , yaitu segala sesuatu yang masuk dalam kategori tidak di senangi saja. Bila dikerjakan tidak berdosa tapi jika di tinggalkan akan mendapatkan pahala. Amar maruf [1] (menyuruh/mengajak pada kebaikan) dan nahi munkar [2] (melarang kemunkaran) merupakan amalan yang sangat besar di sisi syariat. Allah taala telah memerintahkan dua hal ini dalam firman-Nya (artinya) : Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. [QS. Ali Imran : 104] Oleh karena itu, Rasulullah shalallaahu alaihi wa sallam senantiasa berwasiat kepada umatnya untuk beramar maruuf dan nahi munkar sebagaimana riwayat : Telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Abdul-Aziiz bin Muhammad, dari Amru bin Abi Amru, dari Abdullah Al-Anshaariy, dari Hudzaifah bin Al-Yamaan, dari Nabi shalallaahu alaihi wa sallam, beliau bersabda : Demi Dzat yang jiwaku di tangan- Nya, hendaklah kalian menyuruh yang maruf dan mencegah kemungkaran atau (kalau tidak kalian lakukan) maka pasti Allah akan menurunkan siksa kepada kalian, hingga kalian berdoa kepada-Nya, tetapi tidak dikabulkan. [Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 2169, dan ia berkata : Hadits ini hasan]

Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Basysyaar, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abdurrahmaan, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Qais bin Muslim, dari Thaariq bin Syihaab, ia berkata : Telah berkata Abu Said (Al- Khudriy) : Aku pernah mendengar Rasulullah shalallaahu alaihi wa sallam bersabda : Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia cegah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman. [Diriwayatkan oleh An-Nasai no. 5008; shahih] Dalam riwayat lain, Tidak ada sesudah itu (mengingkari dengan hati) keimanan sebesar biji sawi (sedikitpun). Hadits ini adalah hadits yang jami (mencakup banyak persoalan) dan sangat penting dalam syariat Islam, bahkan sebagian ulama mengatakan, Hadits ini pantas untuk menjadi separuh dari agama (syariat), karena amalan- amalan syariat terbagi dua : maruf (kebaikan) yang wajib diperintahkan dan dilaksanakan, atau mungkar (kemungkaran) yang wajib diingkari. Maka dari sisi ini, hadits tersebut adalah separuh dari syariat. [3] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, Sesungguhnya maksud dari hadits ini adalah : Tidak tinggal sesudah batas pengingkaran ini (dengan hati) sesuatu yang dikategorikan sebagai iman sampai seseorang mukmin itu melakukannya, akan tetapi mengingkari dengan hati merupakan batas terakhir dari keimanan, bukanlah maksudnya bahwa barang siapa yang tidak mengingkari hal itu dia tidak memiliki keimanan sama sekali, oleh karena itu Rasulullah bersabda, Tidaklah ada sesudah itu, maka Beliau menjadikan orang-orang yang beriman tiga tingkatan, masingmasing di antara mereka telah melakukan keimanan yang wajib atasnya, akan tetapi yang pertama (mengingkari dengan tangan) tatkala ia yang lebih mampu di antara mereka maka yang wajib atasnya lebih sempurna dari apa yang wajib atas yang kedua (mengingkari dengan lisan), dan apa yang wajib atas yang kedua lebih sempurna dari apa yang wajib atas yang terakhir, maka dengan demikian diketahui bahwa manusia bertingkat-tingkat dalam keimanan yang wajib atas mereka sesuai dengan kemampuannya beserta sampainya khitab (perintah) kepada mereka. (Majmu Fatawa,7/427) Hadits dan perkataan Syaikhul Islam di atas menjelaskan bahwa amar maruf dan nahi mungkar merupakan karakter seorang yang beriman, dan dalam mengingkari kemungkaran tersebut ada tiga tingkatan : 1. Mengingkari dengan tangan. 2. Mengingkari dengan lisan. 3. Mengingkari dengan hati. Tingkatan pertama dan kedua wajib bagi setiap orang yang mampu melakukannya, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits di atas, dalam hal ini seseorang apabila melihat suatu kemungkaran maka ia wajib mengubahnya dengan tangan jika ia mampu melakukannya, seperti seorang penguasa terhadap bawahannya, kepala keluarga terhadap istri, anak dan keluarganya, dan mengingkari dengan tangan bukan berarti dengan senjata. Imam Al Marrudzy bertanya kepada Imam Ahmad bin Hambal, Bagaimana beramar maruf dan nahi mungkar ? Beliau menjawab, Dengan tangan, lisan dan dengan hati, ini paling ringan, saya (Al Marrudzy) bertanya lagi : Bagaimana dengan tangan ? Beliau menjawab, Memisahkan di antara mereka, dan saya melihat beliau melewati anak-anak kecil yang sedang berkelahi, lalu beliau memisahkan di antara mereka. Dalam riwayat lain beliau berkata, Merubah (mengingkari) dengan tangan bukanlah dengan pedang dan senjata. (Lihat Al Adabusy Syariyah, Ibnu Muflih, 1/185) Adapun dengan lisan seperti memberikan nasihat yang merupakan hak di antara sesama muslim dan sebagai realisasi dari amar maruf dan nahi mungkar itu sendiri, dengan menggunakan tulisan yang mengajak kepada kebenaran dan membantah syubuhat (kerancuan) dan segala bentuk kebatilan. Adapun tingkatan terakhir (mengingkari dengan hati) artinya adalah membenci kemungkarankemungkaran tersebut, ini adalah kewajiban yang tidak gugur atas setiap individu dalam setiap situasi dan kondisi, oleh karena itu barang siapa yang tidak mengingkari dengan hatinya maka ia akan binasa.

Imam Ibnu Rajab berkata - setelah menyebutkan hadits di atas dan hadits-hadits yang senada dengannya, Seluruh hadits ini menjelaskan wajibnya mengingkari kemungkaran sesuai dengan kemampuan, dan sesungguhnya mengingkari dengan hati sesuatu yang harus dilakukan, barang siapa yang tidak mengingkari dengan hatinya, maka ini pertanda hilangnya keimanan dari hatinya. (Jamiul Ulum wal Hikam, 2/258) Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Numair, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Ismail bin Abi Khaalid, dari Qais, ia berkata : Abu Bakr pernah berdiri (berkhutbah), lalu ia memuji dan menyanjung Allah. Setelah itu ia berkata : Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian membaca ayat ini, Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudlarat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk... (QS. Al Maa-idah : 105). Dan sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah shalallaahu alaihi wa sallam bersabda : Sesungguhnya manusia apabila melihat kemunkaran namun mereka tidak mengubahnya, maka hampir saja Allah akan menimpakan siksa kepada mereka semua. [Diriwayatkan oleh Ahmad, 1/1 no. 1; shahih] Salah seorang berkata kepada Ibnu Masud, Binasalah orang yang tidak menyeru kepada kebaikan dan tidak mencegah dari kemungkaran, lalu Ibnu Masud berkata, Justru binasalah orang yang tidak mengetahui dengan hatinya kebaikan dan tidak mengingkari dengan hatinya kemungkaran. (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf beliau no. 37581) Imam Ibnu Rajab mengomentari perkataan Ibnu Masud di atas dan berkata, Maksud beliau adalah bahwa mengetahui yang maruf dan mungkar dengan hati adalah kewajiban yang tidak gugur atas setiap orang, maka barang siapa yang tidak mengetahuinya maka dia akan binasa, adapun mengingkari dengan lisan dan tangan ini sesuai dengan kekuatan dan kemampuan. (Jamiul Ulum wal Hikam 2/258-259) Seseorang yang tidak mengingkari dengan hatinya maka ia adalah orang yang mati dalam keadaan hidup, sebagaimana perkataan Hudzaifah radhiyallahu anhu tatkala ditanya, Apakah kematian orang yang hidup ? Beliau menjawab : Orang yang tidak mengenal kebaikan dengan hatinya dan tidak mengingkari kemungkaran dengan hatinya. (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf beliau no. 37577) Amar maruuf dan nahi munkar merupakan keistimewaan dan ciri khas umat Muhammad shalallaahu alaihi wa sallam sebagaimana difirmankan Allah taala (artinya) : Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang maruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. [QS. Ali Imran : 110] (Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang umi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang munkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggubelenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung. [QS. Al-Araaf : 157]

Anda mungkin juga menyukai