Anda di halaman 1dari 4

Gosip or Ghibah

Oleh Rusyda

baitijannati    -    Gosip yang berasal dari bahasa Inggris dari kata gossip artinya gunjing, kabar
angin, buah mulut. Jadi bentuk kata kerjanya “Ngegosip” yang berarti menggunjing, atau menyebarkan
kabar angin. Yakni suatu aktivitas menyebarkan atau menceritakan sesuatu yang ada pada diri
seseorang (biasanya sesuatu yang jelek/rahasia) kepada orang lain, ketika seseorang tadi itu tidak ada
dalam forum yang sama.
Dan ternyata sejak berabad-abad yang lalu pun Rosulullah telah mengatakan ada aktivitas
semacam ngegosip ini yang namanya ghibah. Rosulullah saw bersabda:
“Tahukah kalian apakah ghibah itu?, para sahabat menjawab, “Allah dan RasulNya yang lebih
tahu” Lalu beliau melanjutkan “Yaitu kamu menyebut saudaramu dengan hal-hal yang ia tidak suka
untuk disebut” lalu seseorang bertanya “ Bagaimana pendapatmu bila apa yang aku katakan itu ada
pada diri saudaraku yang aku ceritakan? Beliau menjawab “ Bila apa yang kamu ceritakan itu ada
pada diri saudaramu, maka kamu telah melakukan ghibah terhadapnya. Dan bila apa yang kamu
katakan itu tidak ada pada diri saudaramu, berarti kamu telah mengada-ada tentangnya
(menfitnahnya)” (H.R Muslim]
Dan kalau kita lihat ghibah ini banyak macemnya, yaitu:
Ghibah tentang jasad seseorang, Ghibah tentang nasab seseorang , Ghibah tentang menganggap
rendah pekerjaan seseorang (padahal halal dan dia tetap orang yang beriman), Ghibah tentang akhlaq
seseorang,      Ghibah tentang hal- hal yang terkait dengan persoalan agama seseorang, dan Ghibah
berkaitan dengan yang dipakai seseorang

Hukum Ghibah dalam Islam


Allah berfirman:     
  

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan
jawabnya.” (Q.S Al Israa[17]:36)

“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang
selalu hadir.    (malaikan Raqib dan Atid)” (Q.S Qaaf[50]:18)
Lebih spesifik lagi Allah Berfirman dalam Surat yang lain:

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian
dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan
satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati?
Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (Q.S Al Hujuraat[49]: 12)   
Rasulullah SAW bersabda:
“Ketika saya di Mi’rajkan saya telah melihat suatu kaum yang berkuku tembaga digunakan untuk
mencakar muka dan dada mereka sendiri, maka saya bertanya kepada Jibril: Siapakah mereka itu?
Jawabnya: Mereka yang makan daging orang dan mencela kehormatan orang (yakni Ghibah)” (H.R
Abu Dawud dari Anas ra.)
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata yang baik atau
(kalau tidak) hendaklah ia diam” (Mutafaq’alaih)
Orang yang bermuka dua, yang mengadu domba orang lain
Dari Abu Hurairah, ia berkata:    “Nabi SAW berkata: Kelak dihari kiamat, disisi Allah, Engkau
akan mendapati orang yang bermuka dua diantara orang-orang yang berbuat keji itu, yang
mendatangi satu golongan orang dengan satu wajah dan mendatangi satu golongan yang lainnya
dengan wajah yang lain pula” (HR Muslim dan Abu Dawud)
Dari beberapa dalil diatas jadi jelaslah bahwa aktivitas ghibah secara umum dilarang dalam Islam,
dan hukumnya adalah Haram. Hal ini kita ketahui dari adanya celaan dan Ancaman Allah terhadap
pelaku ghibah tersebut. Begitu juga halnya ketika kita hanya sebagai pendengar setia saja. Karena
diamnya kita disitu berarti kita juga setuju dan mendukung akan aktivitas ghibah tersebut. Yang harus

  1
kita lakukan ketika kita tahu bahwasannya ghibah itu haram, seharusnya kita mengingatkan saudara
kita yang sedang khilaf tersebut dan bukannnya malah nimbrung dan bikin suasana tambah panas .
Rasulullah bersabda:
“Barang siapa mencegah ghibah yang menyinggung kehormatan saudaranya, maka Allah akan
membebaskannya dari neraka” (H.R Imam Ahmad)
“Barang siapa mencegah ghibah yang dilakukan oleh saudaranya, maka Allah akan
mencegahnya dari neraka pada hari kiamat ” (H.R At Tirmidzi)   
Dan kalau memang Orang yang kita peringati tersebut tidak mau menerima, maka jangan segan-
segan untuk meninggalkan forum tersebut. Allah SWT berfirman:

“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat -ayat Kami, maka
tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan
menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang
zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).”    

Ghibah Yang Diperbolehkan


Meskipun Ghibah itu haram, namun ada pengkhususan. Ada beberapa ghibah yang
diperbolehkan, antara lain:
1.    Minta pertolongan untuk mengubah kemungkaran dengan cara menceritakan kepada seseorang
yang dirasa mampu mengubahnya agar jadi kebenaran. Misalkan, Ada seorang anak yang terkena
narkoba, maka kita boleh menceritakan kepada orang tua anak tersebut agar bisa memberhentikan
pemakaian narkobanya.
2.    Orang yang didzalimi boleh menceritakan kepada    seorang hakim tentang kedzaliman seseorang
tersebut, bisa juga tentang pengkhianatan atau uang suap yang dilakukan orang tersebut.
3.    Cerita kepada Mufti (ahli hukum) untuk meminta fatwa. Misalkan seorang istri yang menceritakan
suaminya yang    super bakhil sampai menelantarkan keluarganya, maka sang istri tersebut
mengambil harta suaminya secara diam- diam. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Hindun binti
Utbah yang berkata kepada Rasulullah SAW:
“Sesungguhnya Abu Sofyan adalah seseorang yang kikir, dan tidak memberi cukup belanja
untukku dan anak -anakku kecuali jika saya mengambil diluar tahunya. Jawab Nabi saw: Ambillah
secukupmu dan anak -anakmu dengan tidak berlebihan (sederhana)” (H.R Bukhari Muslim)
4.    Memperingatkan kaum muslimin dari kejaha tan seseorang, soalnya dikhawatirkan akan menimpa
kaum muslimin. Misalkan kita tahu bahwasannya Laknatullah Bush, Howard, Blair itu ternyata
seorang Musuh Islam sejati. So kita bisa menjelaskan kepada umat tentang kejelekan dan
konspiransi yang mereka ciptakan terhadap kaum muslimim.
5.    Tidak berdosa kalau kita menceritakan seseorang yang terang-terangan berbuat fasik/dosa.   

Sistem Sekarang Berperan dan Mendukung Program “Ayo Nggosip!”


Kita bisa melihat tayangan-tayangan TV Indonesia dan majalah- majalah yang ada, gosip saat ini
sudah dijadikan lahan komersiel. Cek and    Ricek, Kiss, belum lagi majalah Nyata, Bintang, X- File dll.
Sehingga saat ini ngomongin orang sudah menjadi hal yang biasa.
Meski sepertinya masalah gosip ini hal yang remeh, tapi ini bener- bener menjadi contoh nyata
bagi kita betapa peraturan yang diberlakukan kepada masyarakat dengan negara sebagai penjamin
terlaksananya peraturan tadi itu sangatlah berperan penting dalam mendidik masyarakat menjadi model
masyarakat yang gimana.   

Bagaimana Seharusnya Kaum Muslimin?   


Sebagaimana disebutkan dalam banyak    nash, harusnya kaum muslimin itu saling membantu dan
saling berkasih sayang. Bukannya saling membuka aib dan saling mencaci maki.   
1. Kaum muslimin tidak boleh cuek dan egois , dia harus punya empati dengan saudaranya yang lain:
“Barang siapa yang bangun dipagi hari dan ia hanya memikirkan masalah dunianya, maka
orang tersebut tidak berguna apa-apa disisi Allah, dan barang siapa yang tidak memperhatikan
urusan kaum muslimin, maka ia tidaklah termasuk golongan mereka (kaum muslimin)” (HR
Thabari dan Abu Dzar Al Ghiffari)
2. Kaum muslimin harus menghormati hak orang lain dan tidak menyakiti hatinya,   
“Demi Allah tidak beriman. Demi Allah tidak beriman. Demi Allah tidak beriman. Seseorang
bertanya, ‘Siapa lagi Rosulullah?’ Rasulullah menjawab: ‘Orang yang tetangganya merasa
terganggu dengan ulahnya’” (HR Bukhari, Muslim dan Ahmad)

  2
3. Orang muslim itu bersaudara, dia akan mencintai saudaranya seperti dirinya sendiri
”Orang muslim itu saudara muslim lainnya, tidak mendzaliminya dan tidak membiarkannya. Dan
barang siapa yang mencukupi kebutuhan saudaranya maka Allah akan mencukupkan kebutuhannya
pula, dan barang siapa yang meringankan beban kesedihan orang muslim maka Allah akan
meringankan beban kesedihannya dihari kiamat. Dan barang siapa menutupi (aib) seorang muslim
maka Allah akan menutupinya (aibnya) kelak pada hari kiamat” (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud,
An- Nasay dan At- Tirmidzi) At Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shahih.   
4. Orang Muslim itu saling tolong menolong
“Orang mukmin itu bagi orang mukmin lainnya seperti sebuah bangunan yang saling
memperkokoh lainnya” Kemudian Rasulullah mengenyamkan jari jemarinya    (HR Bukhari dan At
Tirmidzi)
Referensi :
1.    Buku penjelasan Hadits, “Adabun Nabi” karya Abdul Qadir Ahmad ‘Atha’
2.    Terjemah digital AlQur’an   

Hukum Tentang Ikhtilath   

hayatulislam.net -    Soal: Bagaimana pandangan Islam terhadap ikhtilath, dan dimana saja kita bisa
berikhtilath? Misalnya boleh ndak kita berikhtilath di sekolahan, pasar/tempat -tempat umum, dan
seterusnya?

Jawab: Ikthtilath adalah percampuran antara laki- laki dan wanita. Ikhtilat    adalah lawan dari infishal
(terpisah). Pada dasarnya, Islam telah mewajibkan pemisahan antara wanita dan laki- laki. Pemisahan
ini berlaku umum dalam kondisi apapun, baik dalam kehidupan umum maupun khusus, kecuali ada
dalil- dalil yang mengkhususkannya.
Sebelum membahas tentang ikhtilath, kita mesti memahami terlebih dahulu kaedah- kaedah
interaksi ( ijtima’) antara laki- laki dengan wanita. Kaedah interaksi antara seorang laki- laki dengan
wanita dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama, jika suatu aktivitas memang mengharuskan adanya interaksi antara pria dan wanita,
maka dalam hal semacam ini seorang laki- laki dan wanita diperbolehkan melakukan interaksi, namun
hanya terbatas pada kepentingan itu saja. Sebagai contoh, adalah aktivitas jual beli. Di dalam aktivitas
jual beli, mau tidak mau harus ada penjual dan pembeli. Harus ada pula kegiatan interaktif antara
penjual dan pembeli, misalnya bertanya tentang berapa harganya, barang apa yang hendak dibeli, boleh
ditawar atau tidak, dan semua hal yang berkaitan dengan jual beli. Dalam keadaan semacam ini, maka
seorang laki- laki dibolehkan berinteraksi dengan kaum wanita karena memang aktivitas tersebut
mengharuskan adanya interaksi. Aktivitas tersebut tidak akan pernah terwujud tanpa adanya interaksi.
Demikian juga dalam hal kegiatan- kegiatan yang berhubungan dengan pendidikan, perburuhan,
pertanian, dan kegiatan- kegiatan lain yang mengharuskan adanya interaksi; maka dalam keadaan
semacam ini seorang laki- laki diperbolehkan berinteraksi dengan seorang wanita.
Hanya saja, tatkala seorang laki- laki berinteraksi dengan seorang wanita dalam aktivitas- aktivitas
seperti di atas, ia harus membatasi dirinya pada hal- hal yang hanya berhubungan dengan aktivitas
tersebut. Ia dilarang (haram) melakukan interaksi dengan wanita tersebut di luar konteks perbuatan
tersebut. Misalnya, tatkala seorang laki- laki hendak membeli buku kepada seorang penjual wanita,
maka ia hanya diperbolehkan berinteraksi pada hal- hal yang berhubungan dengan aktivitas jual beli
buku itu saja. Tidak dibenarkan ia bertanya atau melakukan interaksi di luar konteks jual beli buku.
Misalnya, ia menyatakan, “Wah buku ini keren, seperti pembelinya. ” Atau hal- hal yang tidak ada
sangkut pautnya dengan jual beli. Namun jika seseorang telah usai melakukan jual beli, kemudian ia
hendak bertanya arah jalan, misalnya, maka ia diperbolehkan bertanya hanya dalam hal- hal yang
berhubungan dengan arah jalan itu saja, tidak boleh lebih.
Hal lain yang patut diperhatikan adalah, meskipun seorang laki diperbolehkan berinteraksi
dengan wanita dalam aktivitas-aktivitas semacam itu, akan tetapi ia tetap harus memperhatikan hal- hal
yang berhubungan dengan    infishal (pemisahan). Misalnya, tatkala seseorang hendak membeli barang
dari seorang wanita, maka ia tetap harus memperhatikan jarak. Ia tidak diperbolehkan berdekatan, atau
malah memepet perempuan tersebut, atau misalnya duduk berhimpitan bersama perempuan penjual itu
perempuan tersebut, tatkala hendak membeli barangnya. Meskipun dari sisi interaksi —dalam jual
beli— diperbolehkan, akan tetapi, ia tetap harus memperhatikan ketentuan mengenai infishal
(pemisahan). Demikian pula tatkala berada di bangku sekolahan. Meskipun wanita dan laki- laki
diperbolehkan berinteraksi dalam aktivitas semacam ini –belajar mengajar—akan tetapi keterpisahan

  3
tetap harus diperhatikan —dengan ukuran jarak. Sebab, kewajiban    infishal ini berlaku umum, lebih-
lebih lagi dalam kehidupan umum. Oleh karena itu, tidak diperkenankan murid laki- laki dan wanita
duduk bersama dalam sebuah bangku.
Kedua, jika suatu aktivitas sama sekali tidak mengharuskan adanya interaksi antara keduanya,
maka seorang laki- laki dan perempuan tidak dibenarkan melakukan interaksi atau pertamuan dalam
aktivitas tersebut. Contohnya, adalah bertamasya, berjalan ke sekolah, kedai, atau masjid. Seorang laki-
laki diharamkan berjalan bersama- sama dengan wanita bukan mahramnya dan melakukan interaksi
selama perjalanan tersebut. Sebab, interaksi dalam hal- hal semacam ini tidak dibenarkan, dan bukan
merupakan pengecualian yang dibolehkan oleh syara’.
Adapun yang dimaksud dengan    ikhtilath adalah campur baurnya laki- laki dan perempuan. Pada
dasarnya, ikhtilath itu dibenarkan dalam aktivitas- aktivitas yang d iperbolehkan oleh syara’. Terutama
aktivitas yang di dalamnya mengharuskan adanya interaksi (aktivitas model pertama). Misalnya,
bercampur baurnya laki- laki dan wanita dalam aktivitas jual beli, atau ibadah haji (Taqiyuddin an-
Nabhani, an-Nidzam al- Ijtimaa’iy fi al-Islaam, hal. 40).
Dalam kitab an-Nidzam al-Ijtimaa’iy, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan, bahwa “Oleh
karena itu, keterpisahan antara laki-laki dan wanita dalam kehidupan Islam adalah fardlu.
Keterpisahan laki-laki dan wanita dalam kehidupan khusus harus dilakukan secara sempurna, kecuali
yang diperbolehkan oleh syara’. Sedangkan dalam kehidupan umum, pada dasarnya hukum asal
antara laki-laki dan wanita adalah terpisah (infishal). Seorang laki-laki tidak boleh berinteraksi
(ijtima’) di dalam kehidupan umum, kecuali dalam hal yang diperbolehkan, disunnahkan, atau
diwajibkan oleh Syaari’ (Allah SWT), dan dalam suatu aktivitas yang memestikan adanya pertemuan
antara laki-laki dan perempuan, baik pertemuan itu dilakukan secara terpisah (infishal), misalnya,
pertemuan di dalam masjid, ataupun pertemuan yang dilakukan dengan bercampur baur (ikhtilath),
misalnya ibadah haji, dan dalam aktivitas jual beli.” (ibid, hal. 40).
Dari sini kita bisa menyimpulkan, bahwa ikhtilath (campur baur) berbeda dengan
interaksi.
Interaksi itu bisa berbentuk terpisah (infishal) maupun berbentuk ikhtilath (bercampur baur). Kita juga
bisa menyimpulkan bahwa bolehnya seseorang melakukan interaksi dengan lawan jenisnya, bukan
berarti membolehkan dirinya melakukan ikhtilath. Sebab, ada interaksi- interaksi yang tetap harus
dilakukan secara terpisah, misalnya di dalam masjid, dalam majelis ilmu dan dalam walimah, dan
sebagainya. Adapula interaksi yang dilakukan boleh dengan cara bercampur baur- baur, misalnya jual
beli, naik haji.
Pada interaksi- interaksi (pertemuan) yang di dalamnya boleh dilakukan dengan cara ikhtilath,
maka seorang laki- laki diperbolehkan melakukan ikhtilath. Misalnya bercampur baurnya laki- laki dan
wanita di pasar- pasar untuk melakukan aktivitas jual beli; bercampur baurnya laki- laki dan wanita di
Baitullah untuk melakukan Thawaf, bercampur baurnya laki- laki tatkala berada di halte bus untuk
menunggu bis, di tempat-tempat rekreasi dan sebagainya. Namun demikian, walaupun mereka boleh
berikhtilath dalam keadaan ini, akan tetapi mereka tetap tidak boleh mengobrol, bercengkerama, atau
melakukan aktivitas selain aktivitas yang hendak ia tuju. Misalnya, seseorang boleh bercampur baur
dengan wanita di dalam kendaraan umum, akan tetapi ia tidak boleh bercakap-cakap dengan wanita
yang ada di sampingnya, kecuali ada hajah yang syar’iy. Namun, jika masih bisa dihindari adanya
ikhtilath, akan lebih utama jika seseorang tidak berikhtilath. Misalnya, memilih tempat duduk yang
diisi oleh laki- laki. Atau, negara bisa memberlak ukan pemisahan tempat duduk laki- laki dan wanita di
kendaraan umum.
Akan tetapi, jika interaksi itu tetap mengharuskan adanya keterpisahan, maka ikhtilath tidak
diperbolehkan. Misalnya, ikhtilathnya wanita dan laki- laki dalam walimah, di dalam masjid, di dalam
bangku sekolah, dan lain sebagainya. Ikhtilath dalam keadaan semacam ini tidak diperbolehkan.
Demikianlah, anda telah kami jelaskan mengenai masalah ikhtilath dengan gamblang dan jelas.
Wallahu a’lam bi al-shawab. [Syamsuddin Ramadhan]   
Posted by:    Redaksi on 29, Nov 04 | 11:00 am | 283 views | Profile | Print | Tell a Friend   

Disampaikan oleh Farid Ma'ruf


dalam acara Pengajian Pemuda Babadan, 19 Maret 2006.
Dapatkan artikel Islami lainnya di situs :
http://www.syariahpublications.co.nr
pertanyaan mengenai materi yang telah dibahas bisa dikirim ke :
syariahpublications@yahoo.co.id
pertanyaan baru bisa dikirim melalui web site :
http://www.hayatulislam.net, http://www.khilafah1924.org

   4

Anda mungkin juga menyukai