Dari segi bahasa, ghibah artinya membicarakan mengenai hal negatif atau positif
tentang orang lain yang tidak ada kehadirannya di antara yang berbicara.
Dari segi istilah, ghibah berarti pembicaraan antar sesama muslim tentang muslim
lainnya dalam hal yang bersifat kejelekkan, keburukan, atau yang tidak disukai. Bedanya
dengan dusta, sesuatu yang diperbincangkan dalam ghibah memang benar adanya.
"Demi Allah, salah seorang dari kalian memakan daging bangkai ini (hingga
memenuhi perutnya) lebih baik baginya daripada ia memakan daging saudaranya
(yang muslim). (H.R. Bukhari).
“Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali
oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Mengenai kondisi yang diperbolehkan untuk berbuat ghibah tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Tadzalum
yakni kondisi orang yang teraniaya lalu melaporkan perbuatan tersebut kepada
pihak berwajib, ulama, atau penguasa yang kiranya dapat menangani
permsalahannya. Allah SWT berfirman yang artinya;
“Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terang kecuali
oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
2. Menceritakan tentang keburukan seseorang oleh karena orang tersebut
berbuat maksiat
Dalam hal ini, tujuan menceritakan keburukan orang tersebut adalah agar ustadz,
kiai, psikolog, atau orang yang mampu untuk memperbaiki dan mengubah si yang
dibicarakan agar berhenti berbuat maksiat.
KISAH 1
Sekitar satu tahun tidak turun hujan, Bani Israil dilanda bencana yang teramat sangat.
Tak hanya kekeringan, tapi juga berbagai penyakit menyerang. Mereka meminta kepada
Nabi Musa AS agar berdoa kepada Allah supaya menurunkan hujan.
Nabi Musa kemudian mengumpulkan semua penduduk di tanah lapang dan mengajak
mereka berdoa bersama. “Wahai Tuhan penguasa hujan, turunkanlah hujan.”
Namun, hujan tidak juga turun. Mereka berdoa kembali, “Wahai Tuhan penguasa hujan,
turunkanlah hujan.” Musa kemudian berkata, “Ya Allah, biasanya Engkau selalu
mengabulkan permohonan kami, mengapa kali ini hujan tidak kunjung turun?”
Allah menjawab, “Musa, hujan tidak turun karena di antara kalian ada orang yang
bermaksiat kepada-Ku selama 40 tahun. Karena keburukan maksiatnya, Aku
mengharamkan hujan dari langit untuk kalian semua.”
Allah kemudian memerintahkan supaya orang itu dikeluarkan dari daerah tersebut.
Musa pun berkata kepada kaumnya, “Saudara-saudaraku Bani Israil, aku bersumpah
bahwa di antara kita ada orang yang bermaksiat kepada Allah selama 40 tahun. Akibat
perbuatannya itu, Allah tidak menurunkan hujan untuk kita. Hujan tidak akan turun
hingga orang itu pergi. Maka, usir orang itu dari sini.”
Orang yang ahli maksiat itu pun sadar. Kemudian, ia melihat sekelilingnya, berharap ada
orang lain yang melangkah pergi. Namun, tak seorang pun yang beranjak dari
tempatnya. Ia berdoa, “Ya Allah, aku telah bermaksiat kepada-Mu selama 40 tahun. Aku
mohon Engkau menutupi aibku. Jika sekarang aku pergi, pasti dilecehkan dan
dipermalukan. Aku berjanji tidak akan mengulangi perbuatanku lagi. Terimalah taubatku
dan tutupi aibku ini.”
Belum sempat meninggalkan tempat, hujan pun turun. Nabi Musa terkejut atas hal ini.
“Ya Allah, hujan telah turun padahal tak seorang pun dari kami yang pergi.”
Allah berfirman, “Musa, hujan turun karena Aku gembira, hamba-Ku yang bermaksiat
kepada-Ku selama 40 tahun itu telah bertaubat.”
Atas hal ini, Musa pun memohon kepada Allah agar menunjukkan orang yang dimaksud
itu kepadanya, sehingga dia bisa menyampaikan kabar gembira tersebut. Allah
menjawab, “Musa, ia bermaksiat kepada-Ku selama 40 tahun, dan semuanya
Kurahasiakan. Mungkinkah setelah sekarang ia bertaubat, Aku akan
mempermalukannya?”
Kisah tersebut di atas memberikan pelajaran (ibrah) berharga kepada kita bahwa
kemaksiatan atau dosa yang dilakukan oleh segelintar orang dapat menghalangi
terkabulnya doa, termasuk ditahannya hujan dari langit. Begitulah pengaruh buruk dari
berbuat maksiat.
Pengaruh buruk itu, kata Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, antara lain, dapat menghalangi
turunnya rezeki, menjauhkan pelakunya dengan orang baik, menyulitkan urusan,
melemahkan hati, memperpendek umur, merusak akal, hilangnya rasa malu,
berkurangnya nikmat, dan mendatangkan azab.
Karena itu, agar hujan tidak terhalang, selain dengan shalat Istisqa, hendaknya
dibarengi dengan memperbanyak istighfar dan bertaubat. “Mohonlah ampun kepada
Tuhanmu lalu bertaubatlah, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu,
dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu
berpaling dengan berbuat dosa.” (QS Hud [11]: 52). Wallahu a'lam.
KISAH 2
Suatu sore ba’da asyar, Rasulullah SAW mengajak sahabat mendatangi undangan
bersama para sahabatnya untuk menyantap daging unta. Rupanya, salah seorang
sahabat lepas angin. Kendati demikian, tak ada di antara para sahabat yang
berkomentar terhadap bau tak sedap itu. Masing-masing hanya memperlihatkan wajah
tak senang karena ulah seorang sahabat yang tak diketahui itu.
Tak lama setelah itu, azan Maghrib pun berkumandang. Rasulullah SAW pun bersabda,
“Siapa yang makan daging unta, hendaklah ia berwudhu.” (HR Abu Daud, Tirmidzi, dan
Ibnu Majah). Mendengar sabda Beliau SAW, para sahabat yang ikut makan daging unta
pun semuanya berwudhu. Tentu saja, sahabat yang lepas angin tadi terselamatkan
aibnya. Tak ada yang tahu siapakah sahabat tersebut.
Betapa bijaknya Rasulullah SAW dalam menutupi aib para sahabatnya. Seperti yang
disabdakan Beliau SAW, “Siapa yang menutupi aib seorang Muslim maka Allah akan
menutupi aib orang itu di dunia dan akhirat. Dan, siapa mengumbar aib saudaranya
sesama Muslim maka Allah akan mengumbar aibnya hingga terbukalah kejelekannya di
dalam rumahnya.” (HR Ibnu Majah).
Sejatinya, tidak ada seorang pun di dunia ini yang tidak memiliki aib dan kekurangan.
Seorang terlihat hebat dan berkharisma hanya karena Allah SWT telah menutupi aibnya
sehingga hanya kebaikan saja yang terlihat orang. Bagaimana jadinya jika Allah SWT
membukakan aibnya? Tentu, tak ada lagi yang bersimpati kepadanya.
Abu Hurairah RA adalah seorang sahabat yang dikenal sebagai pakar hadis dan paling
banyak meriwayatkan hadis Rasulullah SAW. Ke manapun ia pergi, ia selalu diikuti
sahabat lain yang ingin belajar hadis kepada beliau. Abu Hurairah RA sadar, begitu
banyak orang yang mengidolakannya sebagai pakar hadis hanya lantaran Allah SWT
menutupi aibnya. Ia pun pernah berkata, “Kalaulah aib saya tidak ditutup Allah SWT
maka tidak akan ada lagi yang mengikuti saya, walau hanya seorang.”