Anda di halaman 1dari 4

‫َو َت ْق َو اُه‬ ‫ِع َباَدِتِه‬ ‫ِفْي‬ ‫ِباْلَو اِجَباِت‬ ‫َو َن ُقْو َم‬ ،‫الِّر َض ا َو الَّسَع اَدِة‬ ‫ُنْص ِلَح

‫ُنْص ِلَح َم ِعْي َشَتَن ا ِلَن ْي ِل‬ ‫َأَمَر نَا َأْن‬ ‫َاْلَح ْم ُد ِهلل اَّلِذْي‬
‫ َو َأْش َه ُد َأَّن ُمَح َّم ًد ا َعْبُدُه َو َر ُسْو ُلُه اَل َن ِبَّي َب ْع َدُه‬،‫َأْش َه ُد َأْن اَل ِإَلَه ِإَّال ُهللا َو ْح َدُه َال َش ِر ْي َك َلُه‬

Anas bin Malik, salah satu sahabat Rasulullah yang juga pernah menjadi
pembantunya, mengisahkan, kami sedang duduk bersama Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Rasulullah bersabda, “Sebentar lagi, akan muncul di hadapan
kalian, seorang penduduk surga.”

Baru saja Rasulullah diam dari sabdanya, tampak seorang sahabat Anshar datang,
jenggotnya masih basah terkena bekas air wudlu, terlihat tangan kirinya sedang
menenteng kedua sandal yang ia punya.

Esok harinya, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali mengatakan


hal yang sama persis dengan yang kemarin.
“Sebentar lagi, akan muncul di hadapan kalian, seorang penduduk surga,” dan
muncul kembali orang dan ciri-ciri yang sama.

Hari ketiga Rasulullah mengulangi ucapan yang sama, “Sebentar lagi, akan
muncul di hadapan kalian, seorang penduduk surga,” dan lagi-lagi muncul orang
yang sama.

Pada hari ketiga tersebut, usai Rasulullah berdiri meninggalkan majelis, salah
seorang sahabat, Abdullah bin ‘Amr bin Al-Ash membuntuti orang Anshar itu, lalu
berkata kepadanya, “Aku sedang punya masalah dengan ayahku. Dan aku
bersumpah untuk tidak masuk ke rumahnya selama tiga hari. Bolehkah aku
menginap di rumahmu sampai tiga hari?”

“Oh, silahkan,” jawab lelaki yang dipastikan Rasulullah akan masuk surga ini.
Abdullah bin ‘Amr bin Al-Ash kemudian menginap di rumah lelaki tersebut selama
tiga malam. Ia sama sekali tidak melihat sang tuan rumah mengerjakan shalat
malam (shalat tahajjud).

Hanya saja, jika ia sedang terjaga di malam hari dan berbolak-balik di tempat
tidur, maka ia hanya tampak berdzikir kepada Allah dan bertakbir sampai ia
bangun untuk menjalankan ibadah salat subuh.

Dalam kisah yang disampaikan Abdullah, ia menyebutkan, “Tidak ada yang


istimewa dari lelaki tadi. Hanya saja, aku tidak pernah mendengarnya
mengatakan apapun kecuali dengan ucapan yang baik.”
“Dan saat berlalu tiga hari,” kenang Abdullah, “Hampir saja aku meremehkan
kegiatan yang dilakukan orang Anshar itu. Maka aku pun terus terang berkata
kepadanya. Wahai hamba Allah (fulan), sesungguhnya antara aku dan ayahku
tidak ada masalah, apalagi hingga memboikot tidak mau datang ke rumahnya,
sama sekali tidak.”

Abdullah diam sejenak, kemudian melanjutkan, “Tapi aku mendengar Rasulullah


shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata hingga sebanyak tiga kali, akan muncul di
hadapan kalian seorang penduduk surga, lantas engkaulah yang tiba-tiba datang.
Hal itu mendorong aku untuk menginap bersamamu supaya aku bisa melihat apa
saja amalanmu. Dengan begitu, aku aku bisa menirunya. Namun aku justru tidak
melihat dirimu melakukan banyak beramal. Sebenarnya amalan apa yang
mengantarkanmu, hingga pada derajat sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam, (bahwa kamu min ahlil jannah)?”

Lelaki ini menjawab “Tidak ada yang istimewa dari amalanku kecuali
sebagaimana telah engkau lihat.”
Dalam hadits tersebut, Anas bin Malik melanjutkan riwayatnya, Abdullah lalu
mengatakan, “Saat aku beranjak pergi maka iapun memanggilku dan berkata,
amalanku hanyalah yang engkau lihat, hanya saja aku tidak menemukan perasaan
dengki (jengkel) dalam hatiku kepada seorang muslim pun, dan aku tidak pernah
hasad kepada seorang pun atas kebaikan yang Allah berikan kepadanya.”

Mendapat jawaban memuaskan ini, Abdullah menimpali “Nah, inilah amalan yang
mengantarkan engkau (menjadi penduduk surga, red). Dan inilah yang kami tidak
mampu.” (HR Ahmad : 12236)

Di dalam jiwa manusia, sesungguhnya ada unsur energi negatif yang dapat
menghancurkan diri, lingkungan, dan peradaban, yaitu “penyakit hati” atau
“amradlul qulub” yang menimbulkan sifat sangat buruk. Imam Al-Ghazali dalam
kitab Bidayat Al Hidayah menuturkan bahwa ada tiga sifat hati yang sangat
berbahaya, dimana sifat hati tersebut selalu muncul dari zaman ke zaman.

Tiga sifat hati tersebut akan membawa kepada kebinasaan diri dan penyebab dari
sifat-sifat tercela lainnya, yaitu: hasad (iri hati), riya (pamer),
dan ujub (angkuh, sombong atau berbangga diri).

Dari ketiga penyakit hati tersebut yang memiliki dampak paling dahsyat adalah
“hasad” atau dengki. Hasad adalah klaster problem jiwa yang memiliki dampak
luar biasa bagi kehidupan diri, lingkungan, masyarakat, bahkan peradaban itu
sendiri. Betapa banyak perkelahian, percekcokan, dan peperangan fisik dengan
saling membunuh dan meniadakan, diakibatkan oleh munculnya sikap dengki.

Menurut Asy-Sya’rawi, penyakit jiwa bernama “hasad” benar-benar nyata. Al-


Qur’an sendiri dengan jelas menyebut sifat ini. Dalam Alquran disebutkan tentang
sikap sebagian ahli kitab terhadap Rasulullah Saw.

‫َاْم َي ْح ُسُدْو َن الَّن اَس َع ٰل ى َمٓا ٰا ٰت ىُهُم ُهّٰللا ِمْن َفْض ِلٖۚه‬

Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) karena karunia yang telah
diberikan Allah kepadanya? (QS: an-Nisa: 54)

Demikian juga Rasulullah Saw menyebut dengan jelas agar siapapun menghindari
penyakit hati ini:

‫ِايَّا ُك م َو الَح َس َد َف ِاَّن اْل َح َس َد َي ْا ُك ُل اْلَح َس َن اِت َك َما َت ْا ُك ُل الَّن اُر الَح َط َب‬

Artinya: ”Jauhkanlah dirimu dari hasad karena sesungguhnya hasud itu memakan
kebaikan-kebaikan sebagaimana api memakan kayu-bakar.” (HR. Abu Dawud)

Kita tahu bahwa dosa pertama yang ada di langit dan di bumi adalah Hasad, ini
dapat kita lihat dalam ‘Ibarah Tafsir al-Qurthubi di mana beliau mengatakan:
‫ُعِص َي ُهللا ِبِه ِفي الَّسَماِء اْل َح َس ُد َو َأَّو ُل َذْن ٍب ُعِص َي ُهللا ِبِه ِفي اَألْر ِض اْلَح َس ُد‬

Ulama memberi rambu-rambu bagaimana caranya kita dalam menghadapi sifat


Hasad tersebut,

1. Tidak mengekspresikan sifat hasad

Nabi SAW bersabda, “Seseorang tidak dapat menghindar dari tiga hal, Ath
Thiyaroh (pesimis karena melihat sesuatu), su’udzhon (berprasangka buruk) &
hasad (iri hati). Karena itu, jika engkau pesimis jangan diikuti, jika berprasangka
buruk jangan mencari tahu dan jika iri hati jangan menganiaya (yakni jangan
cetuskan isi hati dalam bentuk ucapan atau pun perbuatan)” (HR. Abu Rozzak)

Sebagaimana yang dikatakan Rasul pada hadis di atas, tidak ada manusia yang
terbebas dari hasad, kecuali yang dijaga oleh Allah. Hal ini ditegaskan oleh ulama
Ibnu Rajab bahwa hasad lekat dengan tabiat manusia, yakni tidak ingin diungguli
oleh siapapun dalam hal-hal kebaikan.

Oleh karena itu, sangat disarankan untuk tidak mengikuti rasa iri atau dengki
saat ia muncul. Jangan ekspresikan hasad tersebut melalui anggota tubuh
ataupun ekspresi wajah.

‫ َلِكَّن الَّلِئيَم ُيْبِديِه َو اْلَك ِر يَم ُيْخ ِفيِه‬،‫َما َخ اَل َج َس ٌد ِمْن َح َس ٍد‬

Artinya: “Tak ada jasad yang selamat dari hasad. Akan tetapi orang yang buruk
menampakkannya dan orang yang baik menyembunyikannya,” (Majmu’ Fatawa
10/125)

2. Membiasakan sikap rendah hati

Cara selanjutnya agar dapat menghindari sifat hasad ialah dengan rendah hati.
Senantiasa ingat, bahwa rendah hati jauh berbeda dengan rendah diri.

Sikap rendah hati akan membuat seseorang tidak merasakan kesombongan akan
tetapi tetap mampu maksimal dalam menjalankan aktivitas hariannya.

Orang yang rendah hati pun sangat jarang memiliki sifat hasad, karena sikap
rendah hati membuat mereka mengakui kelebihan pihak lain di atas mereka, serta
tidak mengolok ataupun senang dengan kekurangan yang dimiliki pihak lain
dibanding mereka.

3. Meningkatkan intensitas ibadah

Lebih sering melakukan ibadah juga dapat menjadi alternatif seseorang untuk
menghindari datangnya sifat hasad. Selain menjalankan ibadah wajib yang
senantiasa dilakukan, dapat pula ditambah dengan ibadah sunnah dan diakhiri
dengan berdoa agar dijauhkan dari sifat hasad.

4. Banyak membantu orang


Jika berbicara tentang membantu, tentu bukan berarti harus melulu hal-hal yang
sifatnya besar. Jangan juga memaksakan diri membantu orang di saat situasi diri
tidak memungkinkan.

Cukup biasakan diri membantu aktivitas sederhana yang tidak dapat dilakukan
orang di sekitar pada saat itu. Dengan menyadari bahwa orang yang mendapat
bantuan merasa terbantu dan mengucapkan terima kasih, akan muncul perasaan
saling menghargai satu sama lain, sehingga dapat meminimalisir perseteruan
yang dapat memancing timbulnya sifat hasad.

5. Selalu bersyukur

Kegiatan mengucapkan syukur kepada Allah, dapat memunculkan perasaan dan


keyakinan bahwa pada dasarnya tiap individu tidak dapat melakukan apapun
tanpa ada izin dan pertolongan dari-Nya.

Bersyukur sebaiknya dilakukan kala mendapat kebahagiaan ataupun kesulitan.


Mengapa harus di saat keduanya? Karena jika hanya bersyukur di salah satu
kejadian, akan muncul pikiran negatif pula terhadap Sang Pencipta.

6. Melatih berprasangka baik

Tidak semua namun kebanyakan, hasad terjadi karena orang tersebut hanya
melihat kejadian dari satu sisi saja. Mayoritas orang tidak mau repot untuk
mencari tahu usaha apa saja yang mungkin dilakukan orang tersebut untuk
mendapat hasil gemilang itu.

Oleh karena itu, jika tidak melatih diri untuk berprasangka baik, akan ada ruang
kosong yang diisi oleh beragam pikiran negatif, yang bahkan belum tentu aslinya
seperti itu.

Dengan mengisi ruang spekulasi tersebut dengan prasangka baik, sifat hasad
yang baru saja akan muncul, langsung menghilang diganti oleh pikiran baik tadi.

Anda mungkin juga menyukai