Anda di halaman 1dari 2

Nama: Azhan Shah Bin Yahya

No. Pelajar: DPI20150012

Subjek: Tazkiyatun Nafs

Tugasan 1:

Apakah Ghibah yang di bolehkan?

Menceritakan ‘aib orang lain tanpa ada hajat sama sekali, inilah yang disebut dengan ghibah.
Karena ghibah artinya membicarakan ‘aib orang lain sedangkan ia tidak ada di saat pembicaraan.
‘Aib yang dibicarakan tersebut, ia tidak suka diketahui oleh orang lain.

Adapun dosa ghibah dijelaskan dalam firman Allah Ta’ala,

ْ‫سوا َو ََل يَ ْغتَب‬ُ ‫س‬ َّ ‫الظ ِن إِثْ ٌم َو ََل ت َ َج‬


َّ ‫ض‬َ ‫الظ ِن إِ َّن بَ ْع‬ َّ َ‫يرا ِمن‬ ً ِ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َ َمنُوا اجْ تَنِبُوا َكث‬
ٌ ‫َّللاَ ت َ َّو‬
‫اب‬ َّ ‫ضا أَيُ ِحبُّ أ َ َحدُ ُك ْم أ َ ْن يَأ ْ ُك َل لَحْ َم أ َ ِخي ِه َم ْيتًا فَ َك ِر ْهت ُ ُموهُ َواتَّقُوا‬
َّ ‫َّللاَ إِ َّن‬ ً ‫ض ُك ْم بَ ْع‬
ُ ‫بَ ْع‬
‫َر ِحي ٌم‬
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari
prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang. Jangan pula menggunjing
satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya
yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Hujurat: 12)

Asy Syaukani rahimahullah dalam kitab tafsirnya mengatakan, “Allah Ta’ala memisalkan
ghibah (menggunjing orang lain) dengan memakan bangkai seseorang. Karena bangkai sama
sekali tidak tahu siapa yang memakan dagingnya. Ini sama halnya dengan orang yang hidup juga
tidak mengetahui siapa yang menggunjing dirinya. Demikianlah keterangan dari Az Zujaj.”

Asy Syaukani rahimahullah kembali menjelaskan, “Dalam ayat di atas terkandung isyarat bahwa
kehormatan manusia itu sebagaimana dagingnya. Jika daging manusia saja diharamkan untuk
dimakan, begitu pula dengan kehormatannya dilarang untuk dilanggar. Ayat ini menjelaskan
agar seseorang menjauhi perbuatan ghibah. Ayat ini menjelaskan bahwa ghibah adalah perbuatan
yang teramat jelek. Begitu tercelanya pula orang yang melakukan ghibah.”

Adapun yang dimaksud ghibah disebutkan dalam hadits berikut,

َّ ‫ قَالُوا‬.» ُ‫ قَا َل « أَت َ ْد ُرونَ َما ْال ِغيبَة‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ‫َّللا‬
ُ‫َّللا‬ َّ ‫سو َل‬ ُ ‫ع ْن أَبِى ُه َري َْرة َ أ َ َّن َر‬
َ
‫ْت ِإ ْن َكانَ فِى أ َ ِخى َما أَقُو ُل قَا َل‬ َ ‫ قِي َل أَفَ َرأَي‬.» ُ‫َاك بِ َما يَ ْك َره‬ َ ‫ قَا َل « ِذ ْك ُر َك أَخ‬.‫سولُهُ أ َ ْعلَ ُم‬ ُ ‫َو َر‬
ُ‫« ِإ ْن َكانَ فِي ِه َما تَقُو ُل فَقَ ِد ا ْغت َ ْبتَهُ َو ِإ ْن لَ ْم يَ ُك ْن فِي ِه فَقَ ْد بَ َهتَّه‬
Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya,
“Tahukah kamu, apa itu ghibah?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.”
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ghibah adalah kamu
membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.” Seseorang bertanya,
“Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu
memang sesuai dengan yang saya ucapkan?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
“Apabila benar apa yang kamu bicarakan itu tentang dirinya, maka berarti kamu telah
menggibahnya (menggunjingnya). Namun apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya,
maka berarti kamu telah menfitnahnya (menuduh tanpa bukti).” (HR. Muslim no. 2589, Bab
Diharamkannya Ghibah)

Ghibah dan menfitnah (menuduh tanpa bukti) sama-sama keharaman. Namun untuk ghibah
dibolehkan jika ada tujuan yang syar’i yaitu dibolehkan dalam enam keadaan sebagaimana
dijelaskan oleh Imam Nawawi rahimahullah. Enam keadaan yang dibolehkan menyebutkan ‘aib
orang lain adalah sebagai berikut:

1- Mengadu tindak kezaliman kepada penguasa atau pada pihak yang berwenang. Semisal
mengatakan, “Si Ahmad telah menzalimiku.”

2- Meminta tolong agar dihilangkan dari suatu perbuatan mungkar dan untuk membuat orang
yang berbuat kemungkaran tersebut kembali pada jalan yang benar. Semisal meminta pada orang
yang mampu menghilangkan suatu kemungkaran, “Si Rahmat telah melakukan tindakan
kemungkaran semacam ini, tolonglah kami agar lepas dari tindakannya.”

3- Meminta fatwa pada seorang mufti seperti seorang bertanya mufti, “Saudara kandungku telah
menzalimiku demikian dan demikian. Bagaimana caranya aku lepas dari kezaliman yang ia
lakukan.”

4- Mengingatkan kaum muslimin terhadap suatu kejelekan seperti mengungkap jeleknya hafalan
seorang perowi hadits.

5- Membicarakan orang yang terang-terangan berbuat maksiat dan bid’ah terhadap maksiat atau
bid’ah yang ia lakukan, bukan pada masalah lainnya.

6- Menyebut orang lain dengan sebutan yang ia sudah ma’ruf dengannya seperti menyebutnya si
buta. Namun jika ada ucapan yang bagus, itu lebih baik. (Syarh Shahih Muslim, 16: 124-125)

Anda mungkin juga menyukai