ن يَأ ْ ُك َا
ل لَ ْح َام أ َ ِخي ِاه َم ْيتًا ضا أَيُ ِحبا أ َ َح ُد ُك ْام أ َ ْا
ً ض ُك ْام بَ ْع
ُ ل يَ ْغتَبْا بَ ْع َو َا
ّللا ت َ َّوابا َر ِح ا
يم ن ََّا فَ َك ِر ْهت ُ ُمواهُ َواتَّقُوا ََّا
ّللا ِإ َّا
“Janganlah kalian saling menggunjing satu sama lain. Apakah salah seorang
dari kalian suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka
tentulah kalian merasa jijik kepadanya. Bertakwalah kalian kepada Allah.
Sesungguhnya Allah itu Tawwab (Maha Penerima taubat) lagi Rahim (Maha
Menyampaikan rahmat).” (QS. Al-Hujurat: 12)
َ ك أَخ
َاكا ِذ ْك ُر َا: ل قَا َا.سولُ اهُ أ َ ْعلَ ُام ُ للاُا َو َر:أَت َ ْد ُرونَا َما ال ِغيبَةاُ ؟ قَالُوا
ْا: ل
إن َكانَا ل ؟ قَا َا أخي َما أَقُو ُا ِ إن َاكانَا فِي أَفَ َرأي َا:بِ َما يَ ْك َراهُ قِيل
ْت ْا
. ُل فَقَ ْاد بَ َهتَّهان فِ ْي ِها َما تَقُو ُا إنا لَ ْام يَ ُك ْا فِ ْي ِاه َما تَقُو ُا
ْ َو،ُل فَقَ ِاد ا ْغت َ ْبتَه
Tahukah kalian apa itu ghibah? Para sahabat menjawab: Allah dan Rasul-
Nya lebih mengetahui. Beliau bersabda: Yaitu engkau menyebutkan sesuatu
yang ada dalam diri saudaramu yang tidak disukai olehnya. Dikatakan:
Bagaimana jika perkataanku tentangnya benar? Beliau menjawab: Jika yang
kamu katakan itu benar, maka kamu telah berbuat ghibah, dan jika tidak
benar, maka kamu telah membuat-buat kedustaan pada dirinya. (HR.
Muslim: no. 4690; Abu Daud, no. 4231; al-Tirmizi, no. 1857; Ahmad, no.
6849, 8625, 8648, 9522; al-Darimi, no. 2598.)
Cara seperti ini dapat menyampaikan pada tujuan yang diinginkan tanpa
harus menyebut nama terang, meskipun menyebutkan nama juga boleh.
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha.
“Hindun, istri Abu Sufyan, berkata kepada Nabi, “Sesungguhnya Abu Sufyan
adalah orang yang kikir. Dia tidak memberi kecukupan nafkah untukku dan
anakku, bolehkah aku ambil darinya tanpa sepengetahuan dirinya?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ambillah sebatas yang
mencukupimu dan anakmu dengan cara yang baik.” (Hadits Muttafaq ‘alaih,
diriwayatkan oleh Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu Majah. Shahih al-Jami’, no.
3221)
4. Ghibah dalam Rangka Mengingatkan Kaum Muslimin dari Sebuah
Keburukan dan Menasehati Mereka.
Dari Fatimah binti Qais radhiyallahu ‘anha ia berkata, “..Maka ketika saya
sudah halal (selesai masa ‘iddah), saya sampaikan kepada beliau
(Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyan
dan Abu Jahm sudah maju melamarku.
Dalam riwayat muslim disebutkan, “Adapun Abu Jahm, dia adalah seorang
laki-laki yang suka memukul wanita.”
Contoh lain ghibah jenis ini yang dibolehkan adalah, jika seseorang melihat
seorang penuntut ilmu mondar-mandir mendatangi ahli Bid’ah atau orang
fasik dalam rangka mengambil ilmu darinya, sementara ada kekhawatiran
dampak negatif terhadap si penuntut ilmu itu, maka orang yang melihat itu
harus memberinya nasehat dengan menjelaskan kondisi sebenarnya orang
fasik/ahli bid’ah yang ia datangi.
Syaratnya, tindakan ini dilakukan dengan sangat hati-hati dan murni dalam
rangka maksud nasehat agar tidak salah paham dalam masalah ini. Tidak
boleh dilakukan dalam rangka dengki atau permusuhan.
Contoh lain, jika ada seseorang yang memegang sebuah jabatan namun ia
tidak menunaikannya dengan baik, baik itu karena sengaja, lalai, atau
memang dia tidak layak memegang jabatan tersebut, maka kasus seperti ini
harus dilaporkan kepada pimpinannya. Agar dirinya mendapatkan nasehat,
peringatan, atau bahkan dialihkan jabatannya pada pekerjaan yang dia
mampu.
Namun, tidak boleh menggunjing aib-aibnya yang lain kecuali jika ada
sebab lain yang membolehkannya.
Hal yang perlu diperhatikan dalam enam jenis ghibah yang dibolehkan
dalam Islam di atas adalah, niat, maksud dan tujuannya harus mengarah
kepada kebaikan, upaya menasehati, mengislah, dan tanpa ada unsur
niat tercela apapun. (Disadur dari buku Rihlah Ma’a ash-Shadiqin karya
Mahmud al-Mishri Abu Ammar. wallahu a’lam [dakwah.id]