Anda di halaman 1dari 4

6 GHIBAH YANG DIPERBOLEHKAN ISLAM

Ghibah atau menggunjing adalah perbuatan dan karakter yang tercela.


Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

‫ن يَأ ْ ُك َا‬
‫ل لَ ْح َام أ َ ِخي ِاه َم ْيتًا‬ ‫ضا أَيُ ِحبا أ َ َح ُد ُك ْام أ َ ْا‬
ً ‫ض ُك ْام بَ ْع‬
ُ ‫ل يَ ْغتَبْا بَ ْع‬ ‫َو َا‬
‫ّللا ت َ َّوابا َر ِح ا‬
‫يم‬ ‫ن ََّا‬ ‫فَ َك ِر ْهت ُ ُمواهُ َواتَّقُوا ََّا‬
‫ّللا ِإ َّا‬
“Janganlah kalian saling menggunjing satu sama lain. Apakah salah seorang
dari kalian suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka
tentulah kalian merasa jijik kepadanya. Bertakwalah kalian kepada Allah.
Sesungguhnya Allah itu Tawwab (Maha Penerima taubat) lagi Rahim (Maha
Menyampaikan rahmat).” (QS. Al-Hujurat: 12)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam bersabda,

َ ‫ك أَخ‬
‫َاكا‬ ‫ ِذ ْك ُر َا‬: ‫ل‬ ‫ قَا َا‬.‫سولُ اهُ أ َ ْعلَ ُام‬ ُ ‫ للاُا َو َر‬:‫أَت َ ْد ُرونَا َما ال ِغيبَةاُ ؟ قَالُوا‬
‫ ْا‬: ‫ل‬
‫إن َكانَا‬ ‫ل ؟ قَا َا‬ ‫أخي َما أَقُو ُا‬ ِ ‫إن َاكانَا فِي‬ ‫ أَفَ َرأي َا‬:‫بِ َما يَ ْك َراهُ قِيل‬
‫ْت ْا‬
. ُ‫ل فَقَ ْاد بَ َهتَّها‬‫ن فِ ْي ِها َما تَقُو ُا‬ ‫إنا لَ ْام يَ ُك ْا‬ ‫فِ ْي ِاه َما تَقُو ُا‬
ْ ‫ َو‬،ُ‫ل فَقَ ِاد ا ْغت َ ْبتَه‬
Tahukah kalian apa itu ghibah? Para sahabat menjawab: Allah dan Rasul-
Nya lebih mengetahui. Beliau bersabda: Yaitu engkau menyebutkan sesuatu
yang ada dalam diri saudaramu yang tidak disukai olehnya. Dikatakan:
Bagaimana jika perkataanku tentangnya benar? Beliau menjawab: Jika yang
kamu katakan itu benar, maka kamu telah berbuat ghibah, dan jika tidak
benar, maka kamu telah membuat-buat kedustaan pada dirinya. (HR.
Muslim: no. 4690; Abu Daud, no. 4231; al-Tirmizi, no. 1857; Ahmad, no.
6849, 8625, 8648, 9522; al-Darimi, no. 2598.)

Namun, ada beberapa bentuk ghibah yang dibolehkan dalam syariat.


Syaikh Mahmud al-Mishri dalam bukunya, Rihlah Ma’a ash-Shadiqin,
menjelaskan, ada enam jenis ghibah yang dibolehkan dalam Islam;

1. Ghibah Dalam Rangka Mengadukan Kezaliman


Orang yang dizalimi boleh mengadukan kezaliman yang diterimanya
kepada penguasa, hakim, dan lainnya yang memiliki kekuasaan atau
kemampuan untuk memberikan keadilan dari orang yang menzaliminya.
Dia boleh mengatakan, “Si Fulan menzalimiku begini dan begini.”

2. Ghibah dalam Rangka Meminta Bantuan Untuk Mengubah


Kemunkaran

Seseorang mengatakan kepada orang yang diharap bisa mengubah


kemungkaran itu, “Fulan melakukan ini, maka cegahlah darinya”, dan
semisalnya.

Maksud perkataan ini adalah untuk menghilangkan kemungkaran. Jika


maksudnya bukan untuk itu, maka hukumnya haram.

3. Ghibah dalam Rangka Meminta Fatwa

Seseorang mengatakan kepada mufti/ahli fatwa, “Bapakku, atau saudaraku,


atau suamiku telah menzalimiku. Bolehkah dia melakukan itu? Bagaimana
cara saya agar bisa terlepas dari kezaliman tersebut?,” dan semisalnya.

Perkataan seperti ini dibolehkan untuk suatu keperluan. Namun, sebagai


langkah kehati-hatian dalam bertindak, pertanyaan disampaikan dengan
menggunakan kalimat pihak ke tiga. Misal, “Apa pendapat anda tentang
seorang laki-laki yang berbuat begini-dan begini..dst”.

Cara seperti ini dapat menyampaikan pada tujuan yang diinginkan tanpa
harus menyebut nama terang, meskipun menyebutkan nama juga boleh.
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha.

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,

“Hindun, istri Abu Sufyan, berkata kepada Nabi, “Sesungguhnya Abu Sufyan
adalah orang yang kikir. Dia tidak memberi kecukupan nafkah untukku dan
anakku, bolehkah aku ambil darinya tanpa sepengetahuan dirinya?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ambillah sebatas yang
mencukupimu dan anakmu dengan cara yang baik.” (Hadits Muttafaq ‘alaih,
diriwayatkan oleh Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu Majah. Shahih al-Jami’, no.
3221)
4. Ghibah dalam Rangka Mengingatkan Kaum Muslimin dari Sebuah
Keburukan dan Menasehati Mereka.

Ini bisa terjadi dengan beberapa bentuk. Di antaranya, keburukan perawi


yang biasa disebutkan oleh perawi yang lain dalam masalah periwayatan
hadits Nabi. Ini dikenal dengan ilmu Jarh wa ta’dil. Ini dibolehkan
berdasarkan Ijma’ kaum muslimin. Bahkan wajib, karena dibutuhkan.

Contoh lain, ketika dalam proses taaruf/khitbah seorang perempuan yang


ingin dinikahi, atau seorang laki-laki yang melamar. Pihak wali tidak boleh
menyembunyikan keadaan yang ada pada perempuan yang ingin
dinikahkan. Bahkan, wali tersebut harus menyebutkan kondisi
perempuan/laki-laki dalam rangka meraih maslahat pernikahan.

Dari Fatimah binti Qais radhiyallahu ‘anha ia berkata, “..Maka ketika saya
sudah halal (selesai masa ‘iddah), saya sampaikan kepada beliau
(Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyan
dan Abu Jahm sudah maju melamarku.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun Abu Jahm, dia


tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya. Dengankan Mu’awiyah,
dia miskin tidak memiliki harta.” (Muttafaq ‘Alaih)

Dalam riwayat muslim disebutkan, “Adapun Abu Jahm, dia adalah seorang
laki-laki yang suka memukul wanita.”

Contoh lain ghibah jenis ini yang dibolehkan adalah, jika seseorang melihat
seorang penuntut ilmu mondar-mandir mendatangi ahli Bid’ah atau orang
fasik dalam rangka mengambil ilmu darinya, sementara ada kekhawatiran
dampak negatif terhadap si penuntut ilmu itu, maka orang yang melihat itu
harus memberinya nasehat dengan menjelaskan kondisi sebenarnya orang
fasik/ahli bid’ah yang ia datangi.

Syaratnya, tindakan ini dilakukan dengan sangat hati-hati dan murni dalam
rangka maksud nasehat agar tidak salah paham dalam masalah ini. Tidak
boleh dilakukan dalam rangka dengki atau permusuhan.

Contoh lain, jika ada seseorang yang memegang sebuah jabatan namun ia
tidak menunaikannya dengan baik, baik itu karena sengaja, lalai, atau
memang dia tidak layak memegang jabatan tersebut, maka kasus seperti ini
harus dilaporkan kepada pimpinannya. Agar dirinya mendapatkan nasehat,
peringatan, atau bahkan dialihkan jabatannya pada pekerjaan yang dia
mampu.

5. Ghibah dalam Rangka Menjelaskan Perbuatan Fasik dan Bid’ah


Seseorang yang Dilakukan Secara Terang-Terangan

Misalnya, orang yang secara terang-terangan minum khamr, merampas


harta orang lain, mengambil harta secara zalim, dan melakukan tindakan-
tindakan batil, orang berperilaku seperti ini boleh digunjing
tentang keburukan yang dia kerjakan secara terang-terangan.

Namun, tidak boleh menggunjing aib-aibnya yang lain kecuali jika ada
sebab lain yang membolehkannya.

6. Ghibah dalam Rangka Mengenalkan

Jika seseorang dikenal dengan julukan tertentu, maka boleh mengenalkan


dengan julukan itu. Seperti si fulan yang buta matanya, si fulan yang
pincang kakinya. Tapi, penyebutan itu tidak dboleh dilakukan dalam rangka
menghina, hanya sekedar untuk mudah mengenali. Yang lebih baik adalah
mengenalinya dengan sebutan-sebutan yang baik dan positif. (Riyadhus
Shalihin, Imam an-Nawawi, 441/442)

Hal yang perlu diperhatikan dalam enam jenis ghibah yang dibolehkan
dalam Islam di atas adalah, niat, maksud dan tujuannya harus mengarah
kepada kebaikan, upaya menasehati, mengislah, dan tanpa ada unsur
niat tercela apapun. (Disadur dari buku Rihlah Ma’a ash-Shadiqin karya
Mahmud al-Mishri Abu Ammar. wallahu a’lam [dakwah.id]

Anda mungkin juga menyukai