Anda di halaman 1dari 7

Pembahasan

A.      Pengertian atau Definisi Ghibah


Secara etimologi, ghibah berasal dari kata Ghaba- Yaghibu yang artinya adalah
mengupat, menurut Jalaluddin bin Manzur, ini juga berarti fitnah, umpatan, atau gunjingan.
Dapat juga diartikan membicarakan keburukan orang lain dibelakangnya atau tanpa
sepengetahuan yang dibicarakan. Disisi lain an-Nawawi mendefinisikan ghibah adalah mengupat
atau menyebut orang lain yang ia tidak suka atau memebencinya, terutama dalam hal
kehidupannya. Beliau mengatakan bahwa jarang sekali orang yang bisa lepas dari menggunjing
orang lain.[1]
Adapun secara terminologi ghibah adalah memebicarakan orang lain tanpa
sepengetahuannya mengenai sifat atau kehidupannya, sedangkan jika ia mendegar maka ia tidak
menyukainya. Dan terlebih jika yang dibicarakan tidak terdapat dalam diri yang dibicarakan itu
berarti dusta atau mengada-ada dan itu merupaka dosa yang lebih besar dari ghibah itu sendiri.
[2] Tidak berbeda dengan definisi yang disebutkan oleh al-Maragi dalam menjelaskan tentang
ghibah yaitu menbicarakan kejelekan atau aib orang lain dibelakangnya, dan jika ia mnegetahui
maka ia tidak suka walaupun yang dibicarakan adalah benar.
Dalam hadits Nabi saw pun telah dijelaskan pengertian ghibah sebagai beriku;
‫هَّللا‬
‫ول ِ َم'ا‬ َ '‫يَ''ا َر ُس‬ ‫يز بْنُ ُم َح َّم ٍد ع َْن ْال َعاَل ِء ْب ِن َع ْب ِد الرَّحْ َم ِن ع َْن أَبِي ِه ع َْن أَبِي هُ َر ْي' َرةَ قَ''ا َل قِي' َل‬ ِ ‫َح َّدثَنَا قُتَ ْيبَةُ َح َّدثَنَا َع ْب ُد ْال َع ِز‬
‫ك أَ َخاكَ بِ َما يَ ْك َرهُ قَا َل أَ َرأَيْتَ إِ ْن َكانَ فِي ِه َما أَقُو ُل قَ'ا َل إِ ْن َك''انَ فِي' ِه َم''ا تَقُ'و ُل فَقَ' ْد ا ْغتَ ْبتَ'هُ َوإِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن فِي' ِه َم''ا تَقُ''و ُل‬ َ ‫ْال ِغيبَةُ قَا َل ِذ ْك ُر‬
‫يح‬
ٌ ‫ص ِح‬ َ ٌ‫سن‬ َ ‫يث َح‬ ٌ ‫سى َه َذا َح ِد‬ َ ‫ قَا َل َوفِي ا ْلبَاب عَنْ أَبِي بَ ْرزَ ةَ َوا ْب ِن ُع َم َر َو َع ْب ِد هَّللا ِ ْب ِن َع ْم ٍرو قَا َل أَبُو ِعي‬ ُ‫بَ َهتَّه‬ ‫فَقَ ْد‬
“Seseorang bertanya pada Nabi saw, wahai Rosulullah, apakah yang dinamakan ghibah
itu?, ghibah ialah menceritakan saudaramu tentang sesuatu yang ia benci, si penanya bertanya
kembali:  wahai Rosullullah bagaimana pendapatmu bila apa yang diceritakan itu benar apa
adanya?, Rosulullah menjawab, kalau memang ada padanya maka itu ghibah namanya, dan jika
tidak maka kamu telah berbuat buhtan (dusta)”.
Berikut disimpulkan beberapa poin penting mengenai definisi ghibah diatas:
1.      Membicarakan keburukan orang lain tanpa sepengetahuan yang dibicarakan, baik dengan
ucapan, sindiran ataupun dengan isyarat.
2.      Menbicarakan aib orang lain, walaupun yang dibicarakan adalah benar adanya pada diri yang
dibicarakan.
3.      Jika yang dibicarakan mengetahui maka ia akan tidak suka aibnya dibicarakan pada orang lain.
4.      Hal yang dibicarakan meliputi, kehidupan pribadi, keluarga maupun spiritual sesorang.
5.      Karena membicarakan tanpa sepengetahuan yang dibicarakan, ini artinya perbuatan licik dan
pasti perbuatan ini mengandung unsur keinginan untuk merusak harga diri, atau kemulyaan
seseorang.
B.       Sumber al-Qur’an dan Hadits
Dalam al-Qur’an juga terdapat ayat yang berbicara tentang larangan untuk membicarakan
orang lain dan itu merupakan perbuatan buruk, hal ini dijelaskan dalam Qs, al-Hujurat: 12, ƒ 
‫ۖم َو‬ٞ ‫ن إ ِ ۡث‬ َ
ِّ َّ ‫ض ٱلظ‬ َ ‫ن ب َۡع‬ ِّ َّ ‫ن ٱ لظ‬
َّ ِ ‫ن إ‬ َ ‫م‬ ِّ ‫يرا‬ ٗ ِ ‫منُوا ْ ۡٱجتَنِبُوا ْ كَث‬ َ ‫ين ءَا‬ َ ِ‫يَٰٓأيُّهَا ٱلَّذ‬
ِ‫خي ه‬ ِ َ‫م أ‬ َ ‫ل ل َ ۡح‬َ ُ ‫حدُك ُ مۡ أَن ي َ ۡأك‬ َ
َ ‫بأ‬ ُّ ‫ح‬ ِ ُ ‫ض ۚا أَي‬
ً ‫ضكُم ب َ ۡع‬ ُ ‫سوا ْ وَاَل ي َ ۡتغَب ب َّ ۡع‬ ُ ‫س‬ َ َ ‫اَل ت‬
َّ ‫ج‬
١٢ ‫م‬ٞ ‫حي‬ ِ ‫ب َّر‬ٞ ‫ه تَوَّا‬ َّ ِ ‫مو ۚهُ وَٱتَّقُوا ْ ٱلل َّ ۚ َه إ‬
َ َّ ‫ن ٱلل‬ ُ ُ ‫م ۡيتٗا فَكَرِ ۡهت‬َ

 “ Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan),


Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan
janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan
daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang”. (Q.S. al-Hujurat [49]: 12)
Dari ayat tersebut dapat ditegaskan kembali bahwa perbuatan mengunjing orang lain
merupakan perbuatan yang keji dan menjijikkan seperti yang digambarkan oleh Allah bahwa
seseorang yang mengunjing diibaratkan dengan seseorang yang memakan daging saudaranya
yang sudah mati (bangkai saudarnya).
Adapun hadits yang berbicara mengenai Ghibah atau bahaya lisan sangat banyak
dijumpai dalam beberapakitab hadits berikut;
َ ِ ‫ح ع َْن أَبِي ه َُر ْي َرةَ قَا َل قَا َل َرسُو ُل هَّللا‬
‫ص 'لَّى‬ ٍ ِ‫صال‬َ ‫صي ٍن ع َْن أَبِي‬ ِ ‫ص ع َْن أَبِي َح‬ ِ ‫ َح َّدثَنَا أَبُو بَ ْك ٍر َح َّدثَنَا أَبُو اأْل َحْ َو‬      Ø
‫ت‬ْ ‫هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َم ْن َكانَ ي ُْؤ ِمنُ بِاهَّلل ِ َو ْاليَوْ ِم اآْل ِخ ِر فَ ْليَقُلْ خَ ْيرًا أَوْ لِيَ ْس ُك‬
“ Barang siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah berkata benar atau
diam”.(HR.Bukhari-Muslim)
  ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَا َم ْع َش َر َم ْن آ َمنَ بِلِ َسانِ ِه َولَ ْم يَ ْد ُخلْ اإْل ِ ي َمانُ قَ ْلبَهُ اَل تَ ْغتَابُوا‬ َ ِ ‫ع َْن أَبِي بَرْ َزةَ اأْل َ ْسلَ ِم ِّي قَا َل قَا َل َرسُو ُل هَّللا‬
َ ‫ْال ُم ْسلِ ِمينَ َواَل تَتَّبِعُوا عَوْ َراتِ ِه ْم فَإِنَّهُ َم ْن اتَّبَ َع عَوْ َراتِ ِه ْم يَتَّبِ ُع هَّللا ُ عَوْ َرتَهُ َو َم ْن يَتَّبِ ْع هَّللا ُ عَوْ َرتَهُ يَ ْف‬
‫ضحْ هُ فِي بَ ْيتِ ِه‬
“ wahai sekalian yang beriman dilidahnya dan belum masuk kedalam hatinya, janganlah kalian
menggunjing orang-orang muslim dan janganlah kalian mencari-cari aib mereka karena siapa
yang mencari-cari aib saudaranya, niscaya Allah akan mencari aibnya, niscaya Dia akan
membuka kejelekannya meskipun berada dalam rumahnya”. (HR. Abu Daud, Ahmad dan Ibn
Hibban).
   ُ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم اَل يَ ْستَقِي ُم إِي َمانُ َع ْب ٍد َحتَّى يَ ْستَقِي َم قَ ْلبُهُ َواَل يَ ْستَقِي ُم قَ ْلبُه‬
َ ِ ‫ك قَا َل قَا َل َرسُو ُل هَّللا‬ ٍ ِ‫َس ب ِْن َمال‬ ِ ‫َح َّدثَنَا قَتَا َدةُ ع َْن أَن‬
ُ‫َحتَّى يَ ْستَقِي َم لِ َسانُه‬
“Iman seorang hamba tidak istiqomah sebelum hatinya istiqomah, dan hatinya tidak istiqomah
sebelum lidahnya istiqomah.”(HR. Ahmad)
  ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ ِ ‫از ٍم ع َْن َس ْه ِل ْب ِن َس ْع ٍد ع َْن َرسُو ِل هَّللا‬ ِ ‫َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد بْنُ أَبِي بَ ْك ٍر ْال ُمقَ َّد ِم ُّي َح َّدثَنَا ُع َم ُر بْنُ َعلِ ٍّي َس ِم َع أَبَا َح‬
َ‫ال َم ْن يَضْ َم ْن لِي َما بَ ْينَ لَحْ يَ ْي ِه َو َما بَ ْينَ ِرجْ لَ ْي ِه أَضْ َم ْن لَهُ ْال َجنَّة‬ َ َ‫ق‬
“ Siapa yang menjamin bagiku apa diantara dua tulang dagunya (lidah) dan apa diantara dua
kakinya (kemaluannya), maka aku menjamin baginya surga.”(HR. al-Bukhari, Tirmudzi, dan
Ahmad)
Ada dua pelanggaran yang dilakukan oleh yang suka membicarakan orang lain, yaitu
pelanggaran terhadap hak Allah, karena ia melakukan apa yang dimurkainya, dan tebusannya
adalah dengan taubat dan menyesali perbuatannya. Sedangkan yang kedua adalah pelanggaran
terhadap kehormatan sesama. Jika ghibah telah di dengar oleh orangnya maka dia harus
menemuinya dan meminta maaf atas perbuatannya dalam membicarakan aibnya. Dalam hal ini
sangatlah berat karena dosanya tidak hilang selama orang tersebut tidak memaafkan. Dalam hal
ini Abu Hurairah meriwayatkan dari Nabi saw, beliau bersabda:
‫َت‬ْ ‫ال َم ْن َكان‬ َ ِ ‫ي ع َْن أَبِي هُ َر ْي َرةَ أَ َّن َرسُو َل هَّللا‬
َ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ق‬ ِّ ‫ك ع َْن َس ِعي ٍد ْال َم ْقب ُِر‬ ٌ ِ‫َح َّدثَنَا إِ ْس َما ِعي ُل قَا َل َح َّدثَنِي َمال‬
‫َات أُ ِخ َذ ِم ْن‬
ٌ ‫ْس ثَ َّم ِدينَا ٌر َواَل ِدرْ هَ ٌم ِم ْن قَب ِْل أَ ْن ي ُْؤ َخ َذ أِل َ ِخي ِه ِم ْن َح َسنَاتِ ِه فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَهُ َح َسن‬ ْ ‫ِع ْن َدهُ َم‬
َ ‫ظلِ َمةٌ أِل َ ِخي ِه فَ ْليَتَ َحلَّ ْلهُ ِم ْنهَا فَإِنَّهُ لَي‬
‫ت َعلَ ْي ِه‬ ْ ‫ت أَ ِخي ِه فَطُ ِر َح‬ ِ ‫َسيِّئَا‬
“Siapa yang melakukan suatu kedzoliman terhadap saudaranya, harta atau
kehormatannya, maka hendaklah ia menemuainya dan meminta maaf kepadanya dari dosa
ghibah itu, sebelum dia dihukum, sementara dia tidak memepunyai dirham atau pun dinar.  Jika
dia memilki kebaikan, maka kebaikan-kebaikan itu akan diambil lalu diberikan pada saudarnya
itu. Dan jika tidak, maka sebagian keburukan-keburukan saudaranya itu diambil dan diberikan
padanya”.  (HR. Bukhari)
C.      Hal-hal yang mendorong Ghibah dan Cara mengantisipasinya
Adalah sebuah “keniscayaan” ghibah merupakan perbuatan yang sangat digandrungi
sebagian besar dari kalangan ibu-ibu. Sebelum membicarakan bagaimana cara agar terhindar dari
sifat ghibah, terlebih dahulu akan dijelaskan sebab umum terjadinya ghibah dalam masyrakat,
berikut sebab-sebabnya;
1.      Ingin mengangkat derajat diri sendiri dengan membicarakan keburukan orang lain. Artinya
untuk menguatkan posisinya atas orang lain serta agar orang lain menganggap ia yang lebih dari
orang lain.
2.      Karena penyakit hati, seperti iri dengan keberhasilan dan kemuliyaan teman atau tetangganya,
sombong akan kelebihan diri sehingga merendahkan orang lain dengan ghibah, serta balas
dendam terhadap kejahatan yang pernah orang lain lakukan terhadap dirinya.
3.      Dalam rangka melampiaskan amarah yang memuncak, ketika ia sedang marah maka ia
melakukan ghibah untuk melampiaskan amarahnya tersebut.
4.      Terkadang terdapat dalam lelucon atau gurauan yang merendahkan orang lain.
5.      Terkadang karena iba terhadap teman yang ditimpa kesedihan karena perbuatan
seseorang. Maka ia dengan tidak sadar agar temannnya merasa lega yaitu dengan menggunjing
orang tersebut, dalam hal ini dikarenakan salah paham dalam memahami maksud
kesetiakawanan.
6.      Dalam realitas social, ghibah terjadi juga dikarenakan oleh nilai materi, misalnya dalam
tayangan infotaiment yang akan menjadi daya jual bagi produser-produser televise.
Setelah mengetahui  beberapa factor yang mendorong terjadinya ghibah, maka hendaklah
dihindari dengan beberapa tips sebagai berikut;[3]
1.       Dengan slalu ingat bahwa Allah sangat membenci seseorang yang mengunjing saudaranya,
sedangkan kebaikan akan kembali pada orang yang dibicarakan dan jika pun orang yang
dibicarakan tidak memilki kebaikan maka keburukannya akan kembali pada yang menggunjing.
2.      Jika terlintas dalam pikiran untuk melakukan ghibah, maka hendaklah introspeksi diri dengan
melihat aib diri sendiri dan slalu berusaha memperbaikinya. Mestinya merasa malu jika
membicarakan aib orang lain sedangkan aib sendiri tidak terhitung jumlahnya.
3.      Jika pun merasa tidak memiliki aib, maka hendaklah senantiasa mensyukuri nikmat yang telah
dilebihkan Allah, bukan malah dengan mengotori diri dengan melakukan ghibah.
4.      Menjaga diri dari sifat-sifat tercela, seperti iri, dengki dengan keberhasilan orang lain,
sombong dengan kelebihan diri sendiri serta menjauhi sifat dendam.
5.      Jika berghibah karena pengaruh teman, atau karena takut dikucilkan karena tidak ikut serta
dalam ghibah, maka hendaklah selalu mengingat bahwa murka Allah terhadap siapa yang
mencari keridhaan manusia dengan sesuatu yang membuat Allah murka.
6.      Berdo’a mohon perlindungan Allah agar terhindar dari perbuatan-perbuatan keji. Serta sebisa
mungkin menjauhi perkumpulan-perkumpulan yang tidak bermanfaat.
D.      Alasan-Alasan yang ditolerir dalam Ghibah
Ada beberapa hal yang ditolerir karena menyebut-nyebut keburukan orang lain adalah
yang mempunyai tujuan yang benar menurut sayri’at yang tujuan ini menurutnya tidak dapat
dicapai kecuali hanya dengan cara itu, dalam hal ini dosa ghibah dianggap tidak ada,
[4] diantarnya adalah:[5]
1.      Karena adanya tindak kedzoliman. Orang yang didzolimi boleh menyebut keburukan orang
yang berbuat dzolim kepada seseorang yang mampu atau bisa mengembalikan haknya
(penguasa/pemerintah, hakim atau yang berwenang dalam memutuskan perkara yang hak),
dalam al-Qur’an surah an-Nisa ayat 148 Allah berfirman:
َ ُ ‫سو ِء ِمنَ ا ْلقَ ْو ِل إِاَّل َمنْ ظُلِ َم َو َكانَ هَّللا‬
 ‫س ِمي ًعا َعلِي ًما‬ ُّ ‫اَل يُ ِح ُّب هَّللا ُ ا ْل َج ْه َر بِال‬
“Allah tidak mencintai orang yang suka menceritakan keburukan orang lain kecuali bagi orang
yang teraniaya, dan Allah Maha Melihat dan Maha Mengetahui”
2.      Sebagai sarana untuk mengubah kemungkaran dan mengembalikan orang dzalim atau yang
berbuat maksiat kepada jalan yang benar (memperingati dari kejahatan). Dalam hal ini umat
muslim saling tolong-menolong dalam ber-amar ma’ruf nahi munkar.
3.      Dibolehkan dalam menyebutkan ciri-ciri seperti pincang, si buta, si pendek agar orang lain
cepat faham (bukan membicarakan keburukan akan tetapi mengungkapkan bentuk atau ciri
kepada orang yang bertanya).
4.      Dalam hal ini ulama sepakat dalam menilai rawi (al-Jarh wa Ta’dil) boleh dan bahkan harus
diungkapkan pada kaum muslimin untuk kemaslahatan dalam beribadah (ini kaitannya dalam
penelitian hadits sohih atau do’if).
5.      Boleh menceritakan kepada khalayak ramai tentang orang yang melakukan perbuatan yang
terlarang, seperti mabuk-mabukan, menjarah, dan perbuatan bathil lainnya, seperti dalam hadits
Nabi berikut, (Ibn Qudaimah, h. 214).
6.      Dalam rangka meminta fatwa, artinya dalam rangka membela haknya, namun dalam
menyebutkan keburukan lebih baiknya dengan kat-kat yang halus.

E.       Kontekstualisasi Hadits tentang Ghibah dalam Realita Sosial (Infotaiment)


Ghibah atau bergunjing dalam masyarakat menyebabkan ketidaknyamanan. Ghibah
merupakan perbuatan yang benar-benar harus dihindarkan dalam kehidupan sehari-hari. Dewasa
ini berita-berita di media, baik cetak maupun elektronik sarat dengan mengumbar-ngumbar aib
sesorang. Anehnya, hal tersebut sudah menjadi bagian dari kebutuhan “primer” masyarakat
setiap hari. Jika kebiasaan tersebut terus dibudaykan maka berghibah atau menggunjing orang
lain sudah menjadi hal biasa. Seperti  perselingkuhan, perceraian yang terkesan propokatif. Hal
ini jelas-jelas melanggar ajaran Islam yang sangat melarang. Mencela, menggunjing, dan
meremehkan orang lainmerupakan prilaku yang sangat dilarang dalam islam. Meskipun dalam
hukum Islam ghibah atau gosip tidak memilki sanksi yang disebut denagn Ta’dzir[6], hanya
diterangkan bahwa bagi pelakunya akan mendapat dosa atau azab siksa yang berat yang secara
epistemologi disebutkan dalam Qur’an dan al-Hadits. Hanya saja terkadang di daerah-daerah
tertentu mendapat sanksi moral dari masyarakat tertentu.
Dalam permasalahan ghibah atau gossip, beberapa komunitas atau lembaga baik
pemerintah maupun non pemerintah misalnya Majlis Nahdatul ‘Ulama telah mengeluarkan fatwa
haram terhadap infotaiment dengan alasan bahwa acara gosip cenderung membuka aib dan
mempergunjingkan keburukan orang lain.
Dalam hadits nabi yang menyatakan tentang ghibah ada dua hal yang sangat urgen yaitu
“menceritakan aib” dan “benci jika ia  diketahui”. Dengan dua kalimat inti tersebut dapat kita
simpulkan bahwa yang ternasuk ghibah adalah yang membuka aib orang lain dan jika ia
mngetahui maka ia tidak suka dan akibatnya akan mendatangkan permusuhan, kemarahan, dan
bahkan bisa pembunuhan. Dalam kasus ini yang perlu kita cermati dalam relita
social.Infotaiment misalnya yang memberitakan seorang public figure. Terkadang  ia merasa
diuntungkan dengan adanya pemberitaan mengenai dirinya, akan tetapi yang menjadi
permasalahan adalah khawatir akan adanya pergeseran pemahaman masyarakat tentang makna
akan bahaya ghibah, dan itu akan dianggap sepele. Sedangkan hukuman bagi yang menggosip
adalah tidak ringan seperti yang dijelaskan dalam surah al-Hujurat ayat 12, disana ghibah
dianalogikan seperti seseorang yang memakan daging saudaranya yang sudah busuk.
Dari pemaparan tentang gosip di infotaiment diatas dapat disimpulkan bahwa berita yang
memalukan seperti perceraian, perselingkuhan, putus cinta, seks bebas termasuk unsur ghibah
yang tidak ingin dikonsumsi public karena mendorong ahl-hal yang akan merusak. Sedangkan
berita-berita bahagia seperti pernikahan (walaupun tidak semua mereka ingin diberitakan) jika
ditarik pada makna ghibah diatas ini bukan termasuk dalam kategori ghibah.
Kesimpulan
            Dari keterangan al-Qur’an dan hadits Nabi di atas jelaslah bahwa ghibah merupakan
perbuatan tercela yang harus dihindari oleh muslim karena akan mengakibatkan perselisihan
dikalangan masyarakat. Ghibah akan mendatangkan banyak mudharat, diantaranya perselisishan,
permusuhan, dendam, perceraian dan bahkan bisa saja terjadi pembunuhan. Islam sebagai
agama Rahmatan lil ‘Alamin mencegah hal-hal tersebut, dan mengecam bagi yang melakukan
perbuatan tersebut akan mendapatkan siksaan Allah.
            Ghibah dapat dicegah dengan slalu mengingat bahwa Allah Maha Melihat dan Maha
Mengetahui, ingat akan aib diri sendiri, dan tidak iri dengan keberhasilah saudaranya serta
senantiasa bersyukur atas nikmat yang telah diberikan Allah. Adapun ghibah yang dibebaskan
atau ditolerir adalah ghibah dalam hal amr ma’ruf nahi munkar, dalam rangka menegakkan
kebenaran, dalam hal ini termasuk berita tentang kasus suap (korupsi).
            Melihat realita masyarakat dewasa ini ghibah seakan dianggap sepele karena masyarakat
slalu disuguhi dengan berita-berita selebriti dari pagi hingga siang, terkadang sangat berlebihan
dan tidak proporsional. Ini akan menimbulkan berbagai problem dalam masyarakat. Namun tidak
semuanya gossip tersebut mengandung unsure ghibah seperti penjelasan hadits Nabi diatas.
DAFTAR PUSTAKA

[1]  An-Nawawi, al-Adzkar,  terj. M. Tarsi Hawi, ( Bandung: Pustaka Ma’arif, 1984),


hlm. 809
[2]  Abullah bin Jarullah, Awas Bahaya Lidah, terj. Abu Haidar dan Abu Fahmi, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2004), hlm. 18
[3]  Ibnu Qudamah, Jalan Orang-Orang yang Dapat Petunjuk, terj. Kathur Suhardi,
(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007), cet XIII, hlm. 211, lihat Imam al-Ghazali, Bahaya Lisan dan
Cara Mengatasinya,terj. A. Hufaf Ibry, (Surabaya: Tiga Dua, 1995), hlm. 28-29
[4]  Ibnu Qudamah, Jalan Orang-Orang yang Dapat Petunjuk, terj. Kathur Suhardi, hlm.
213
[5]  Abullah bin Jarullah, Awas Bahaya Lidah, terj. Abu Haidar dan Abu Fahmi, hlm. 22-
23, lihat Ibnu Taimiyah dkk,Ghibah, terj. Abu Azzam, (Jakarta: Pustaka Kautsar, 1992), hlm. 24-
25, dan Muhammad Yasin Suhaimi, Bahaya Lisan Menurut al-Qur’an dan Sunnah, (Malang:
UMM Press, t.th), hlm. 6
[6]  Ta’dzir  yaitu tindakan edukatif terhadap pelaku perbuatan dosa yang tidak memiliki
sanksi atau denda.

Anda mungkin juga menyukai