Kalimat riya' diambil dari kata ru'yah (melihat) yang demikian itu seperti seseorang menghiasi
amal ibadah nya serta membaguskannya, agar dilihat, dipuji dan disanjung manusia, atau
tujuan-tujuan lainnya , maka ini dinamakan riya' karena dia ingin dilihat manusia.
Riya' adalah amalan-amalan yang dilihat, secara lahiriah nya dikerjakan karena Allah namun di
dalam batinnya dikerjakan karena selain Nya, diantara contoh nya seperti shalat dan shadaqah.
Adapun sum'ah adalah ucapan-ucapan yang didengar, secara lahiriah nya dikerjakan karena
Allah, namun tujuan nya adalah untuk selain Allah, contoh nya seperti :
"Membaca alQur'an, dzikir, memberi nasihat dan selain dari itu dari ucapan-ucapan"
Seorang yang berbicara tersebut bertujuan agar ucapan nya didengar manusia, mereka pun
menyanjungnya seraya mengatakan :
Ucapan nya bagus, dia bagus dalam berdialog, dia bagus dalam berkhutbah, sesungguhnya
suaranya paling bagus dalam membaca Al-Qur'an, apabila dia menghiasi suaranya dengan Al-
Qur'an tujuan nya untuk itu (dipuji ) , apabila menyampaikan muhadharah (tabligh Akbar),
seminar-seminar dan pelajaran-pelajaran, maka tujuannya adalah agar dipuji manusia.
Barang siapa yang ingin didengar dari amalannya, niscaya akan Allah tampakkan, dan
barang siapa yang ingin dilihat dari amalannya niscaya akan Allah tampakkan. { HR. Al-
Bukhari no 6499}.
Makna hadits tersebut adalah barang siapa yang melakukan suatu amal ibadah tanpa
ada keikhlasan, dia hanya ingin dilihat dan didengar manusia, maka niscaya dia akan
dibalasi atas yang demikian itu,
Allah jadikan dia dikenal dan kemudian Allah akan buka kedoknya, serta akan Allah
tampakkan apa yang dia telah sembunyikan (didalam dadanya)...
Secara etimologi kata riya’ ( )الرياءberasal dari kata الرؤية/ru’yah, yang artinya menampakkan.
Dikatakan أراي الرجل/arar-rajulu, berarti seseorang menampakkan amal shalih agar dilihat oleh
orang lain. Makna ini sejalan dengan firman Allah SWT:
)7( َ) ويمنعُونَ الماعُون6( َالَّذِينَ ُهمَ يُرا ُءون
“…Orang-orangْ yangْ berbuatْ riyaْ danْ engganْ menolongْ denganْ barangْ berguna.”ْ (QS.ْ Al-
Maa’uunْ:ْ6-7)
Sedangkan pengertian riya’ secara istilah/terminologi adalah sikap seorang muslim yang
menampakkan amal shalihnya kepada orang lain secara langsung agar dirinya mendapatkan
kedudukan dan/atau penghargaan dari mereka, atau mengharapkan keuntungan materi.
Kata sum’ah ( )السمعةberasal dari kata س ّمعsamma’a (memperdengarkan). Kalimat س ّمع الناس
بعمله/samma’an naasa bi ‘amalihi digunakan jika seseorang menampakkan amalnya kepada
orang lain yang semula tidak mengetahuinya.
Pengertianْ sum’ahْ secaraْ istilah/terminologiْ adalahْ sikapْ seorang muslim yang membicarakan
atau memberitahukan amal shalihnya -yang sebelumnya tidak diketahui atau tersembunyi- kepada
orang lain agar dirinya mendapatkan kedudukan dan/atau penghargaan dari mereka, atau
mengharapkan keuntungan materi.
Dalam kitab Fathul Bari, Ibnu Hajar Al-Asqalani mengetengahkan pendapat Izzudin bin
Abdussalamْyangْmembedakanْantaraْriya’ْdanْsum’ah.ْBahwaْriyaْadalahْsikapْseseorangْyangْ
beramalْ bukanْ untukْ Allah;ْ sedangkanْ sum’ahْ adalahْ sikapْ seseorangْ yangْ menyembunyikanْ
amalnya untuk Allah, namun ia bicarakan hal tersebut kepada orang lain. Sehingga, menurutnya
semuaْriyaْituْtercela,ْsedangkanْsum’ahْadalahْamalْterpujiْjikaْiaْmelakukannyaْkarenaْAllahْ
dan untuk memperoleh ridha-Nya, dan tercela jika dia membicarakan amalnya untuk memperoleh
ridha manusia.
Dalam Al-Qur’anْAllahْtelahْmemperingatkanْtentangْsum’ahْdanْriyaْini:
ِ َّق مال َهُ ِرئاءَ الن
َاس َُ ن واْلذى كالَّذِي يُن ِف
َِّ يا أيُّها الَّذِينَ آمنُوا لَ تُب ِطلُوا صدقاتِكُمَ ِبالم
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan
menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan
hartanya karena riya kepada manusia…” (QS. Al-Baqarah : 264)
Diperlakukan dengan sum’ahْ olehْ Allahْ maksudnyaْ adalahْ diumumkanْ aib-aibnya di akhirat.
Sedangkan dibalas dengan riya artinya diperlihatkan pahala amalnya, namun tidak diberi pahala
kepadanya.ْNa’udzubillahْminْdzalik.
Dalam hadits yang lain, Rasulullah menjelaskan tentang kekhawatirannya atas umat ini terhadap
riya yang akan menimpa mereka. Riya yang tidak lain merupakan syirik kecil.
َالريا ُء
ّ ِ َّللا قال
ََِّ َسول ُ شركَُ اْلصغ َُر يا ر ّ ِ شركَُ اْلصغ َُر قالُوا وما ال ّ ِ اف عليكُمَ الَُ ن أخوفَ ما أخ ََّ ِإ
اس بِأعما ِل ِهمَ اذهبُوا إِلى الَّذِينَ كُنتُمَ تُرا ُءونَ فِي ََّ يقُو َُل
َُ َّّللاُ ع ََّز وج ََّل ل ُهمَ يومَ ال ِقيام َِة إِذا ُج ِزيَ الن
َظ ُروا هلَ ت ِجدُونَ ِعند ُهمَ جزاء ُ الدُّنيا فان
“Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil.” Para sahabat bertanya,
“Apa yang dimaksud dengan syirik kecil itu, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Riya.”
“Allah akan berfirman pada hari kiamat nanti ketika Ia memberi ganjaran amal perbuatan
hamba-Nya, ‘Pergilah kalian kepada orang yang kalian berlaku riya terhadapnya.’ Lihat Apakah
kalian memperoleh balasan dari mereka (HR. Ahmad)
Agar seorang muslim mengetahui posisinya dalam riya dan sum'ah, hendaknya dia memahami
betul fenomena atau tanda-tandanya, antara lain:
Terhadapْduaْciriْini,ْAliْbinْAbuْThalibْr.a.ْPernahْbertutur,ْ“Adaْbeberapaْtandaْbagiْorangْ
yang berlaku riya, yakni malas ketika ia seorang diri, tetapi akan sangat rajin jika bersama orang
lain.ْ Bertambahْ amalnyaْ jikaْ mendapatْ pujianْ danْ berkurangْ amalnyaْ jikaْ mendapatْ celaan.”ْ
(Ihya Ulumuddin, Imam Ghazali dan Al-Kabair, Adz-Dzahabi)
2. Menjauhi larangan Allah jika bersama orang lain, melakukannya saat sendiri
Menjauhi larangan-larangan Allah jika bersama orang lain dan melanggar larangan-larangan-Nya
jika ia sedang sendiri dan jauh dari penglihatan manusia.
Rasulullah SAW bersabda:
“Aku akan mengetahui beberapa kaum dari umatku yang datang pada hari kiamat dengan
membawa kebaikan laksana pegunungan yang tinggi berkilau. Akan tetapi, Allah menjadikannya
debu yang beterbangan (tidak bernilai). Mereka itu adalah saudara-saudara kalian, dan berasal
dari keturunan kalian. Mereka mengerjakan amalan pada waktu malam sebagaimana kalian
mengerjakannya. Akan tetapi mereka adalah kaum yang jika dalam keadaan sendiri akan
melanggar larangan-larangan Allah.” (HR. Ibnu Majah, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih
Jami' as-Saghir)
Namun demikian, Allah telah membuat ketetapan di dalam Al-Qur'an bahwa hidayah itu akan
diberikan kepada orang-orang yang ikhlas.
... dan Ia memberi petunjuk kepada (agama)Nya orang yang kembali (kepada-Nya) (QS. As-Syura
: 13)
Seseorang yang riya dan sum'ah pada dasarnya telah merobek keikhlasan dan menyimpang dari
kebenaran. Karenanya prasyarat untuk mendapatkan hidayah dan taufiq dari Allah telah hilang
darinya. Meskipun tahu banyak ilmu, orang seperti ini akan sulit mengamalkannya. Ini dampak
buruk riya' dan sum'ah.
...Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka; dan Allah
tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik. (QS. As-Shaf : 5)
2. Batal Amalnya
Sesungguhnya salah satu dari syarat diterimanya amal adalah ikhlas. Seperti firman-Nya dalam
QS. Al-Bayyinah ayat 5.
Jika seseorang melakukan ibadah atau amal shalih namun dilandasi dengan riya' atau sum'ah maka
amal itu akan menjadi sia-sia. Tidak diterima Allah SWT.
Lalu Kami hadapkan amal yang mereka kerjakan, kemudian Kami jadikan amal itu (bagaikan)
debu yang beterbangan. (QS. Al-Furqan : 23)
Adapun di akhirat nanti, tidak ada rahasia yang bisa disembunyikan saat yaumul hisab, saat
pengadilan Allah SWT. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Barangsiapa yang berlaku sum'ah, maka ia akan dibalas Allah dengan sum'ah (dibuka aibnya)
pula.
Barangsiapa yang dihinakan Allah, niscaya tiada seorangpun yang akan memuliakannya. (QS.
Al-Hajj : 18)
Pernah suatu ketika Ibnu Hubairah, gubernur Kufah dan Bashrah memanggil Hasan Al-Basri dan
Amir bin Syarahbil untuk meminta nasihat berkenaan dengan intruksi Yazid yang zalim. Amir bin
Syarahbil saat itu menjawab dengan jawaban yang moderat dan cenderung memaafkan Ibnu
Hubairah seandainya ia melakukan intruksi itu karena pada dasarnya ia terpaksa. Namun saat
Hasan Al-Basri dimintai nasihat, ia menjawab dengan tegas: "Wahai Ibnu Hubairah, takutlah
kepada Allah dalam menghadapi Yazid, dan jangan takut kepada Yazid saat menghadapi Allah.
Allah dapat melindungimu dari Yazid, tetapi Yazid tidak dapat melindungimu dari Allah..."
Mendengar nasihat seperti itu Ibnu Hubairah menangis tersedu-sedu dan memakai pendapat Hasan
Al-Basri serta menghormatinya. Ia tidak mengambil pendapat Amir bin Syurahbil.
Ketika keluar dan berhadapan dengan banyak orang, Amir bin Syarahbil mengakui kesalahannya
karena ingin dekat dan mendapat persetujuan Ibnu Hubairah. Ia juga menyatakan kemuliaan Hasan
Al-Basri. Amir bin Syarahbil insaf.
Karena berorientasi pandangan manusia dan materi, orang yang riya' dan sum'ah tidak akan bisa
istiqamah dalam beramal. Saat manusia tidak lagi memperhatikannya, saat media tidak lagi
meliputnya, saat keuntungan-keuntungan materi tidak didapatkannya, ia pun berhenti dari amal
itu.
1. Mengingat dan merenungi akibat riya' dan sum'ah baik di dunia maupun di akhirat
Dengan merenungkan akibat riya' dan sum'ah yang membuat kita tidak mendapatkan apa-apa dari
sisi Allah, bahkan menyeret kita ke neraka, akan membuat kita lebih mudah melawan penyakit
hati yang satu ini. Di dunia pun, kalau kita mau merenungkan, kekecewaan akan sering hadir
bersamaan dengan riya' dan sum'ah yang kita lakukan.
2. Memilih teman dan lingkungan yang relatif bersih dari riya' dan sum'ah
Diakui atau tidak, interaksi kita dengan teman dan lingkungan hanya mengakibatkan dua hal. Kita
yang mempengaruhi mereka atau kita yang akan dipengaruhi mereka. Bagi Anda yang tahu
kapasitas diri bukan pengubah sejati, jagalah dari pertemanan atau lingkungan yang rawan riya'
dan sum'ah. Perbanyaklah teman-teman yang shalih, yang membawa aura keikhlasan serta carilah
lingkungan yang relatif aman dari riya' dan sum'ah.
3. Memperhatikan sejarah orang-orang terdahulu, baik yang menjadi contoh ikhlas maupun
sebaliknya
Membaca atau mendengarkan kisah mereka akan memiliki bekas di hati dan berpengaruh dalam
membantu kita untuk menghindari riya' dan sum'ah. Misalnya para sahabat yang begitu ikhlas.
Ada yang ikhlas dalam amal yang terang-terangan, ada pula yang ikhlas dengan menjaga amal
secara sembunyi-sembunyi. Ada pula seperti Khalid yang saat perang Yarmuk menjadi ikon
keikhlasan. Atau Arab Badui yang tidak mau mendapatkan ghanimah saat perang Khaibar.
Sebaliknya, ada pula orang yang masuk neraka padahal ikut jihad di Khaibar karena tidak ikhlas
dan mencari dunia.
4. Mengkaji nash-nash syar'i tentang ikhlas dan bahaya riya' serta sum'ah
Baik itu ayat-ayat Al-Qur'an (akan lebih baik jika berikut dengan tafsirnya), maupun hadits-hadits
Nabi. Saat jiwa kita terbiasa mengkonsumsi suplemen ruhiyah dan tsaqafah seperti ini, kita akan
lebih mudah membawa diri kepada keikhlasan dan melawan riya' serta sum'ah.
5. Meningkatkan Intensitas Muhasabah
Yakni mengevaluasi amal kita sendiri atau melakukan intospeksi. Akan lebih baik jika hal ini
dijadwalkan secara berkala. Idealnya harian. Seperti para slafaus shalih yang sebelum tidurnya
senantiasa mengingat-ingat apa yang dilakukannya sepanjang hari. Jika ia ingat ada amal yang
dilakukan dengan riya' atau sum'ah, segera bertaubat dan mengazamkan diri untuk tidak melawan
riya' dan sum'ah ini.