Anda di halaman 1dari 9

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidzahullah.

Kalimat riya' diambil dari kata ru'yah (melihat) yang demikian itu seperti seseorang menghiasi
amal ibadah nya serta membaguskannya, agar dilihat, dipuji dan disanjung manusia, atau
tujuan-tujuan lainnya , maka ini dinamakan riya' karena dia ingin dilihat manusia.

Perbedaan antara riya' dan sum'ah .

Riya' adalah amalan-amalan yang dilihat, secara lahiriah nya dikerjakan karena Allah namun di
dalam batinnya dikerjakan karena selain Nya, diantara contoh nya seperti shalat dan shadaqah.

Adapun sum'ah adalah ucapan-ucapan yang didengar, secara lahiriah nya dikerjakan karena
Allah, namun tujuan nya adalah untuk selain Allah, contoh nya seperti :

"Membaca alQur'an, dzikir, memberi nasihat dan selain dari itu dari ucapan-ucapan"

Seorang yang berbicara tersebut bertujuan agar ucapan nya didengar manusia, mereka pun
menyanjungnya seraya mengatakan :

Ucapan nya bagus, dia bagus dalam berdialog, dia bagus dalam berkhutbah, sesungguhnya
suaranya paling bagus dalam membaca Al-Qur'an, apabila dia menghiasi suaranya dengan Al-
Qur'an tujuan nya untuk itu (dipuji ) , apabila menyampaikan muhadharah (tabligh Akbar),
seminar-seminar dan pelajaran-pelajaran, maka tujuannya adalah agar dipuji manusia.

Maka ini namanya adalah sum'ah.

HENDAKLAH SETIAP MUSLIM BERUPAYA SELALU UNTUK IKHLAS DAN


MEWASPADAI DUA PENYAKIT HATI YANG SANGAT BERBAHAYA

Riya' (dan) Sum'ah.

Rasullullah _shalallahu alaihi wa salam_ bersabda :

ْ‫س َّم َْع َمن‬


َ ‫س َّم َْع‬
َ ‫ّللاه‬ َّْ ‫بِ ِْه‬.
َّْ ‫ بِ ِْه‬، ْ‫ّللاه ي َهرائِي ي َهرائِي َو َمن‬

Barang siapa yang ingin didengar dari amalannya, niscaya akan Allah tampakkan, dan
barang siapa yang ingin dilihat dari amalannya niscaya akan Allah tampakkan. { HR. Al-
Bukhari no 6499}.

‫_هللا رحمه_ العسقالني حجر ابن الحافظ قال‬:

❒‫ل‬ َّ ‫ ال َخ‬: ‫ل َمنْ َمـعنَا ْهه‬


َْ ‫طا ِبـيْ قـَا‬ ْ ً ‫ ِإخ َالصْ غَـي ِْر َعلَى َع َم‬، ‫ـرا ْهه أَنْ ي ِهريـ ْد ه َو ِإنَّـ َما‬
َْ ‫ال َع ِـم‬ َ ‫اس َي‬ْ‫ َو َيسـ َمعهو ْهه الـنَّ ه‬: ‫ي‬ ِ ‫ ذَ ِلكَْ َعلَى هج‬، ْ‫ِبأَن‬
َْ ‫ـوز‬
َ ‫ َويَف‬، ‫يهب ِطـنهه كَـانَْ َمـا َويهظـ ِه َْر‬..ُ‫ ه‬.
َّْ ‫ضـ َح ْهه‬
‫ّللاه يهش َِه َر ْهه‬
Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar Al asqalani _rahimahullah_ : Berkata Al-khattabi
_rahimahullah_ :

Makna hadits tersebut adalah barang siapa yang melakukan suatu amal ibadah tanpa
ada keikhlasan, dia hanya ingin dilihat dan didengar manusia, maka niscaya dia akan
dibalasi atas yang demikian itu,
Allah jadikan dia dikenal dan kemudian Allah akan buka kedoknya, serta akan Allah
tampakkan apa yang dia telah sembunyikan (didalam dadanya)...

Fathul Bari : 11/409


Abu Fudhail Abdurrahman Ibnu 'Umar _‫_له هللا غفر‬.

Riya dan Sum’ah

A. Pengertian Riya’ dan Sum’ah

Secara etimologi kata riya’ (‫ )الرياء‬berasal dari kata ‫ الرؤية‬/ru’yah, yang artinya menampakkan.
Dikatakan ‫ أراي الرجل‬/arar-rajulu, berarti seseorang menampakkan amal shalih agar dilihat oleh
orang lain. Makna ini sejalan dengan firman Allah SWT:
)7( َ‫) ويمنعُونَ الماعُون‬6( َ‫الَّذِينَ ُهمَ يُرا ُءون‬
“…Orang-orangْ yangْ berbuatْ riyaْ danْ engganْ menolongْ denganْ barangْ berguna.”ْ (QS.ْ Al-
Maa’uunْ:ْ6-7)

Sedangkan pengertian riya’ secara istilah/terminologi adalah sikap seorang muslim yang
menampakkan amal shalihnya kepada orang lain secara langsung agar dirinya mendapatkan
kedudukan dan/atau penghargaan dari mereka, atau mengharapkan keuntungan materi.

Kata sum’ah (‫ )السمعة‬berasal dari kata ‫ س ّمع‬samma’a (memperdengarkan). Kalimat ‫س ّمع الناس‬
‫ بعمله‬/samma’an naasa bi ‘amalihi digunakan jika seseorang menampakkan amalnya kepada
orang lain yang semula tidak mengetahuinya.

Pengertianْ sum’ahْ secaraْ istilah/terminologiْ adalahْ sikapْ seorang muslim yang membicarakan
atau memberitahukan amal shalihnya -yang sebelumnya tidak diketahui atau tersembunyi- kepada
orang lain agar dirinya mendapatkan kedudukan dan/atau penghargaan dari mereka, atau
mengharapkan keuntungan materi.

Dalam kitab Fathul Bari, Ibnu Hajar Al-Asqalani mengetengahkan pendapat Izzudin bin
Abdussalamْyangْmembedakanْantaraْriya’ْdanْsum’ah.ْBahwaْriyaْadalahْsikapْseseorangْyangْ
beramalْ bukanْ untukْ Allah;ْ sedangkanْ sum’ahْ adalahْ sikapْ seseorangْ yangْ menyembunyikanْ
amalnya untuk Allah, namun ia bicarakan hal tersebut kepada orang lain. Sehingga, menurutnya
semuaْriyaْituْtercela,ْsedangkanْsum’ahْadalahْamalْterpujiْjikaْiaْmelakukannyaْkarenaْAllahْ
dan untuk memperoleh ridha-Nya, dan tercela jika dia membicarakan amalnya untuk memperoleh
ridha manusia.

Dalam Al-Qur’anْAllahْtelahْmemperingatkanْtentangْsum’ahْdanْriyaْini:
ِ َّ‫ق مال َهُ ِرئاءَ الن‬
َ‫اس‬ َُ ‫ن واْلذى كالَّذِي يُن ِف‬
َِّ ‫يا أيُّها الَّذِينَ آمنُوا لَ تُب ِطلُوا صدقاتِكُمَ ِبالم‬
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan
menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan
hartanya karena riya kepada manusia…” (QS. Al-Baqarah : 264)

Rasulullah SAW juga memperingatkan dalam haditsnya:


َ‫ّللاُ بِ ِه‬
ََّ ‫ّللاُ بِ َِه ومنَ يُرائِي يُرائِي‬
ََّ َ‫منَ س َّمعَ س َّمع‬
Siapa yang berlaku sum’ah maka akan diperlakukan dengan sum’ah oleh Allah dan siapa yang
berlaku riya maka akan dibalas dengan riya. (HR. Bukhari)

Diperlakukan dengan sum’ahْ olehْ Allahْ maksudnyaْ adalahْ diumumkanْ aib-aibnya di akhirat.
Sedangkan dibalas dengan riya artinya diperlihatkan pahala amalnya, namun tidak diberi pahala
kepadanya.ْNa’udzubillahْminْdzalik.

Dalam hadits yang lain, Rasulullah menjelaskan tentang kekhawatirannya atas umat ini terhadap
riya yang akan menimpa mereka. Riya yang tidak lain merupakan syirik kecil.
َ‫الريا ُء‬
ّ ِ َ‫ّللا قال‬
ََِّ َ‫سول‬ ُ ‫شركَُ اْلصغ َُر يا ر‬ ّ ِ ‫شركَُ اْلصغ َُر قالُوا وما ال‬ ّ ِ ‫اف عليكُمَ ال‬َُ ‫ن أخوفَ ما أخ‬ ََّ ِ‫إ‬
‫اس بِأعما ِل ِهمَ اذهبُوا إِلى الَّذِينَ كُنتُمَ تُرا ُءونَ فِي‬ ََّ ‫يقُو َُل‬
َُ َّ‫ّللاُ ع ََّز وج ََّل ل ُهمَ يومَ ال ِقيام َِة إِذا ُج ِزيَ الن‬
َ‫ظ ُروا هلَ ت ِجدُونَ ِعند ُهمَ جزاء‬ ُ ‫الدُّنيا فان‬
“Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil.” Para sahabat bertanya,
“Apa yang dimaksud dengan syirik kecil itu, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Riya.”
“Allah akan berfirman pada hari kiamat nanti ketika Ia memberi ganjaran amal perbuatan
hamba-Nya, ‘Pergilah kalian kepada orang yang kalian berlaku riya terhadapnya.’ Lihat Apakah
kalian memperoleh balasan dari mereka (HR. Ahmad)

B. Fenomena Riya dan Sum'ah

Agar seorang muslim mengetahui posisinya dalam riya dan sum'ah, hendaknya dia memahami
betul fenomena atau tanda-tandanya, antara lain:

1. Giat beramal saat bersama orang lain atau mendapat pujian


Giat beramal dan melipatgandakan tenaganya jika mendapat pujian atau sanjungan, dan malas atau
cenderung mengurangi amal jika mendapat celaan dan kecaman. Juga apabila sedang bersama-
sama dengan orang lain cenderung menambah dan meningkatkan amal, sementara kalau sendirian
dan jauh dari pantauan orang lain cenderung mengurangi amal.

Terhadapْduaْciriْini,ْAliْbinْAbuْThalibْr.a.ْPernahْbertutur,ْ“Adaْbeberapaْtandaْbagiْorangْ
yang berlaku riya, yakni malas ketika ia seorang diri, tetapi akan sangat rajin jika bersama orang
lain.ْ Bertambahْ amalnyaْ jikaْ mendapatْ pujianْ danْ berkurangْ amalnyaْ jikaْ mendapatْ celaan.”ْ
(Ihya Ulumuddin, Imam Ghazali dan Al-Kabair, Adz-Dzahabi)
2. Menjauhi larangan Allah jika bersama orang lain, melakukannya saat sendiri
Menjauhi larangan-larangan Allah jika bersama orang lain dan melanggar larangan-larangan-Nya
jika ia sedang sendiri dan jauh dari penglihatan manusia.
Rasulullah SAW bersabda:
“Aku akan mengetahui beberapa kaum dari umatku yang datang pada hari kiamat dengan
membawa kebaikan laksana pegunungan yang tinggi berkilau. Akan tetapi, Allah menjadikannya
debu yang beterbangan (tidak bernilai). Mereka itu adalah saudara-saudara kalian, dan berasal
dari keturunan kalian. Mereka mengerjakan amalan pada waktu malam sebagaimana kalian
mengerjakannya. Akan tetapi mereka adalah kaum yang jika dalam keadaan sendiri akan
melanggar larangan-larangan Allah.” (HR. Ibnu Majah, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih
Jami' as-Saghir)

C. Faktor-faktor Penyebab Riya dan Sum'ah


Faktor-faktor penyebab riya dan sum'ah adalah sebagai berikut:

1. Latar belakang kehidupan


Jika seorang anak tumbuh dalam asuhan keluarga yang memiliki suasana riya dan sum'ah, atau ia
tumbuh dalam lingkungan dengan tradisi perilaku riya dan sum'ah yang kental, maka sangat besar
kemungkinannya ia juga terjangkit penyakit hati itu. Jika penyakit tersebut telah lama hinggap
padanya, sulit baginya untuk melepaskan diri dari riya dan sum'ah. Karenanya, Rasulullah
berpesan agar umatnya memilih pasangan hidup yang islami.

Kepada kaum laki-laki, beliau berpesan :


َ‫ِين ت ِربتَ يداك‬
َِ ‫ت ال ّد‬
َِ ‫فاظفرَ بِذا‬
“...Maka pilihlah wanita yang taat menjalankan agama, niscaya engkau akan beruntung.”
(Muttafaqْ‘Alaih)HR.ْTirmidzi,ْAbuْDawud,ْdanْIbnuْMajah)

Kepada orang tua atau wali dari akhwat beliau berpesan :


َ ِ ‫ِإذا أتاكُمَ منَ ترضونَ ُخلُق َهُ ودِين َهُ فز ّ ِو ُجو َهُ ِإ ََّل تفعلُوا تكُنَ فِتنةَ فِي اْلر‬
َ‫ض وفسادَ ع ِريض‬
“Jika didatangi oleh seseorang (untuk meminang putrimu) yang engkau ridha akhlak dan
agamanya, maka nikahkanlah ia (dengan putrimu), jika kamu tidak melakukannya, maka akan
terjadi suatu fitnah di permukaaan bumi dan kerusakan yang besar”. (HR. Ibnu Majah)

2. Persahabatan yang buruk


Persahabatan yang buruk juga bisa mengakibatkan riya dan sum'ah. Terutama bagi orang yang
lemah kepribadiannya sehingga mudah terpengaruh. Bahkan bagi orang yang tidak terlalu lemah
sekalipun, jika ia biasa bergaul dan berinteraksi dengan teman-teman yang suka riya dan sum'ah
sertaْ cenderungْ mencelaْ “cacat”ْ danْ “kekurangan”ْ padaْ temannya,ْ iaْ punْ akanْ terpengaruh.ْ
Sangat pentingnya persahabatan ini sehingga Rasulullah mengumpamakan dengan penjual minyak
wangiْdanْpandaiْbesi.ْKitaْbisaْmendapatْ“bauْharum”ْdari pertemanan, kita juga bisa terkena
“asap”ْ danْ “bauْ tidakْ sedap”ْ dariْ pertemanan.ْ Makaْ memilihْ temanْ yangْ baik,ْ persahabatanْ
dengan orang-orang shalih, memperkuat ukhuwah imaniyah, adalah hal penting yang harus
dilakukan sejak dini sebagai solusi.
3. Tidak memiliki ma'rifatullah
Tidak memiliki ma'rifatullah menjadikan manusia bersikap riya dan sum'ah. Sebab orang yang
tidak mengenal Allah tidak dapat bersikap benar terhadap-Nya. Jika seseorang memiliki
ma'rifatullah yang baik, ia akan beribadah ikhlas kepada Allah dan yakin ibadah itu dilihat oleh
Allah dan dinilai-Nya. Ia juga sadar jika niatnya sudah beralih kepada pandangan manusia, Allah
justru tidak memberinya apa-apa.

4. Ambisi mendapatkan kedudukan atau kepemimpinan


Ini faktor penyebab yang kerap terjadi. Seseorang karena ingin memiliki kedudukan tinggi dalam
pandangan manusia atau supaya orang lain menilai ia layak mendapatkan amanah kepemimpinan
menjadikannya bersikap riya dan sum'ah. Ia ingin segala amal kebaikannya terekspos dan secara
langsung mempengaruhi pencitraannya. Ia dianggap baik, shalih, dihormati, dikagumi, dan
diangkat atau dipilih menjadi pemimpin.

5. Tamak terhadap milik orang lain


sikap rakus terhadap harta atau kepemilikan orang lain juga bisa mengakibatkan riya dan sum'ah.
Seperti orang yang berperang tetapi niatnya mendapatkan ghanimah, atau popularitas.
Sebagaimanaْ diriwayatkanْ Abuْ Musaْ bahwaْ Rasulullahْ pernahْ ditanya,ْ “Yaْ Rasulullah, ada
seorang yang berperang untuk memperoleh ghanimah, ada yang ingin disebut-sebut, dan ada yang
inginْ posisinyaْ dilihatْ manusia.ْ Manakahْ diْ antaraْ merekaْ yangْ berperangْ diْ jalanْ Allah?”ْ
RasulullahْSAWْmenjawab,ْ“Barangsiapaْberperangْdenganْtujuanْmeninggikan kalimat Allah,
dialahْmujahidْfiْsabilillah.”ْ(HR.ْBukhari)

6. Suka dipuji dan disanjung


perangai suka dipuji dan disanjung akan mendorong seseorang berlaku riya dan sum'ah. Berupaya
menjadi buah bibir. Berusaha menjadi news maker. Sikap ini harus dilawan dengan menyadari
bahwa pujian makhluk kerap mencelakakan, sementara kritik justru akan membuatnya maju
menjadi lebih baik.

7. Terlalu ketat penilaian pemimpin/qiyadah


Dalam sebuah organisasi atau jamaah, jika pemipin atau qiyadah terlalu ketat dalam menilai
seseorang, bisa mengakibatkan timbulnya riya dan sum'ah pada orang tersebut, khususnya yang
tidak memiliki jiwa besar. Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa yang baik itu tidak mengerjakan sesuatu kecuali ia menilainya baik dan tidak
meninggalkan sesuatu kecuali jika ia menilainya buruk.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)

8. Terlalu dikagumi orang lain


Terlalu dikagumi orang lain juga bisa bisa menjadi sebab timbulnya riya dan sum'ah. Kekaguman
bisa menjadi semacam candu. Semakin dikagumi seseorang akan semakin berusaha agar
kekaguman orang lain bertahan atau meningkat. Karenanya Rasulullah mengingatkan agar tidak
memuji orang di depannya secara langsung.

9. Takut menjadi omongan orang lain


Ini juga bisa menyebabkan timbulnya riya dan sum'ah. Karena takut dinilai jelek orang lain, atau
menjadi bahan perbincangan, menjadi obyek ghibah, maka seseorang kemudian berbuat yang baik
dan berupaya mengeksposnya, atau mendemonstrasikan kebaikan dan amal shalihnya.

10. Lalai terhadap dampak buruk riya dan sum'ah


Ketidaktahuan dan kelalaian seseorang terhadap dampak buruk dan bahaya riya dan sum'ah
menjadikannya tidak merasa salah atau menyesal berlaku riya dan sum'ah, bahkan larut dalam
sikap itu. Sebaliknya, jika seseorang memahami dengan baik dampak riya dan sum'ah, yang sangat
merugikan dirinya di akhirat kelak, ia akan berusaha menjaga diri agar terhindar dari riya dan
sum'ah itu.
D. Dampak Buruk Riya' dan Sum'ah
Sebagaiْ penyakitْjiwa,ْ riya’ْdanْsum’ahْdapatْ menimbulkanْdampakْburukْbagipelakunya.ْ Diْ
antara dampak buruknya yang terpenting adalah :

1. Terhalang dari Hidayah dan Taufiq Allah


Hidayah Allah SWT adalah anugerah Allah yang dikaruniakan-Nya kepada orang-orang yang
dikehendaki-Nya. Ini hak prerogatif Allah. Ia tidak bisa dipaksa untuk menghampiri kita atau
orang-orang tertentu. Kita bisa berdoa agar mendapat hidayah, namun terserah Allah apakah
menurunkan hidayah-Nya atau tidak.

Namun demikian, Allah telah membuat ketetapan di dalam Al-Qur'an bahwa hidayah itu akan
diberikan kepada orang-orang yang ikhlas.

... dan Ia memberi petunjuk kepada (agama)Nya orang yang kembali (kepada-Nya) (QS. As-Syura
: 13)

...dan Ia menunjuki orang-orang yang bertaubat kepada-Nya (QS. Ar-Ra'd : 27)

Seseorang yang riya dan sum'ah pada dasarnya telah merobek keikhlasan dan menyimpang dari
kebenaran. Karenanya prasyarat untuk mendapatkan hidayah dan taufiq dari Allah telah hilang
darinya. Meskipun tahu banyak ilmu, orang seperti ini akan sulit mengamalkannya. Ini dampak
buruk riya' dan sum'ah.

...Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka; dan Allah
tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik. (QS. As-Shaf : 5)

2. Batal Amalnya
Sesungguhnya salah satu dari syarat diterimanya amal adalah ikhlas. Seperti firman-Nya dalam
QS. Al-Bayyinah ayat 5.
Jika seseorang melakukan ibadah atau amal shalih namun dilandasi dengan riya' atau sum'ah maka
amal itu akan menjadi sia-sia. Tidak diterima Allah SWT.

Lalu Kami hadapkan amal yang mereka kerjakan, kemudian Kami jadikan amal itu (bagaikan)
debu yang beterbangan. (QS. Al-Furqan : 23)

Dalam hadits qudsi Allah berfirman:


Aku adalah yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa yang beramal untuk-Ku dengan
menyekutukan selain-Ku, maka Aku bebas dari dia dan dia Aku serahkan kepada sekutunya itu.
(HR. Ibnu Majah dan Ahmad)

3. Mendapat Azab di Akhirat


Amal-amal yang banyak, yang disangka membuat masuk surga, justru menyeret manusia ke
neraka ketika amal-amal itu dibangun di atas riya' dan sum'ah. Seperti hadits shahih yang
diriwayatkan Imam Muslim bahwa di pengadilan akhirat nanti ada 3 orang yang diadili pertama
kali; orang yang mati syahid, orang alim yang mengajarkan ilmunya, dan orang kaya yang
dermawan. Ketiganya menyangka akan masuk surga. Ini tercermin dari jawabannya saat ditanya
tentang apa yang dilakukan dengan nikmat-nikmat itu. Tapi rupanya, Allah menilai berbeda dari
persangkaan ketiga orang itu sebab mereka melakukannya karena riya' dan sum'ah. Lalu Allah
memerintahkan malaikat untuk menyeret mereka ke neraka.

4. Aibnya akan terbuka baik di dunia maupun di akhirat


Orang yang riya' dan sum'ah ingin mendapatkan pujian, penghormatan, atau kedudukan dari orang
lain. Namun seringkali Allah justru membuka aib orang seperti itu di dunia sehingga terbongkarlah
kebusukannya.

Adapun di akhirat nanti, tidak ada rahasia yang bisa disembunyikan saat yaumul hisab, saat
pengadilan Allah SWT. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

Barangsiapa yang berlaku sum'ah, maka ia akan dibalas Allah dengan sum'ah (dibuka aibnya)
pula.

5. Menderita Kesempitan dan Kegelisahan


Orang yang riya' atau sum'ah akan dilanda kegelisahan dalam hidupnya. Ia berada dalam dua
kesempitan. Merasa sempit karena khawatir niatnya terbongkar, dan merasa sempit saat niatnya
tidak tercapai. Berbeda dengan orang ikhlas yang sejak awal melakukan amal telah mendapatkan
ketenangan karena Allah-lah yang melihat dan akan membalas amalnya meskipun tidak ada orang
lain yang tahu.

6. Tercabutnya kewibawaan dan pengaruh


Kewibawaan seorang muslim bisa hadir karena Allah yang menanamkan pada dirinya. Maka saat
seorang hamba ikhlas dalam menjalankan agama-Nya, ibadah, dan dakwah, Allah memberikan
kewibawaan itu. Namun jika Allah menghinakan seseorang, maka dengan cara bagaimanapun
kewibawaan itu dipoles, ia tetap saja luntur dan tak berbekas.

Barangsiapa yang dihinakan Allah, niscaya tiada seorangpun yang akan memuliakannya. (QS.
Al-Hajj : 18)

Pernah suatu ketika Ibnu Hubairah, gubernur Kufah dan Bashrah memanggil Hasan Al-Basri dan
Amir bin Syarahbil untuk meminta nasihat berkenaan dengan intruksi Yazid yang zalim. Amir bin
Syarahbil saat itu menjawab dengan jawaban yang moderat dan cenderung memaafkan Ibnu
Hubairah seandainya ia melakukan intruksi itu karena pada dasarnya ia terpaksa. Namun saat
Hasan Al-Basri dimintai nasihat, ia menjawab dengan tegas: "Wahai Ibnu Hubairah, takutlah
kepada Allah dalam menghadapi Yazid, dan jangan takut kepada Yazid saat menghadapi Allah.
Allah dapat melindungimu dari Yazid, tetapi Yazid tidak dapat melindungimu dari Allah..."
Mendengar nasihat seperti itu Ibnu Hubairah menangis tersedu-sedu dan memakai pendapat Hasan
Al-Basri serta menghormatinya. Ia tidak mengambil pendapat Amir bin Syurahbil.

Ketika keluar dan berhadapan dengan banyak orang, Amir bin Syarahbil mengakui kesalahannya
karena ingin dekat dan mendapat persetujuan Ibnu Hubairah. Ia juga menyatakan kemuliaan Hasan
Al-Basri. Amir bin Syarahbil insaf.

7. Tidak tekun dalam beramal

Karena berorientasi pandangan manusia dan materi, orang yang riya' dan sum'ah tidak akan bisa
istiqamah dalam beramal. Saat manusia tidak lagi memperhatikannya, saat media tidak lagi
meliputnya, saat keuntungan-keuntungan materi tidak didapatkannya, ia pun berhenti dari amal
itu.

E. Kiat Mengatasi Riya' dan Sum'ah

1. Mengingat dan merenungi akibat riya' dan sum'ah baik di dunia maupun di akhirat
Dengan merenungkan akibat riya' dan sum'ah yang membuat kita tidak mendapatkan apa-apa dari
sisi Allah, bahkan menyeret kita ke neraka, akan membuat kita lebih mudah melawan penyakit
hati yang satu ini. Di dunia pun, kalau kita mau merenungkan, kekecewaan akan sering hadir
bersamaan dengan riya' dan sum'ah yang kita lakukan.

2. Memilih teman dan lingkungan yang relatif bersih dari riya' dan sum'ah
Diakui atau tidak, interaksi kita dengan teman dan lingkungan hanya mengakibatkan dua hal. Kita
yang mempengaruhi mereka atau kita yang akan dipengaruhi mereka. Bagi Anda yang tahu
kapasitas diri bukan pengubah sejati, jagalah dari pertemanan atau lingkungan yang rawan riya'
dan sum'ah. Perbanyaklah teman-teman yang shalih, yang membawa aura keikhlasan serta carilah
lingkungan yang relatif aman dari riya' dan sum'ah.

3. Memperhatikan sejarah orang-orang terdahulu, baik yang menjadi contoh ikhlas maupun
sebaliknya
Membaca atau mendengarkan kisah mereka akan memiliki bekas di hati dan berpengaruh dalam
membantu kita untuk menghindari riya' dan sum'ah. Misalnya para sahabat yang begitu ikhlas.
Ada yang ikhlas dalam amal yang terang-terangan, ada pula yang ikhlas dengan menjaga amal
secara sembunyi-sembunyi. Ada pula seperti Khalid yang saat perang Yarmuk menjadi ikon
keikhlasan. Atau Arab Badui yang tidak mau mendapatkan ghanimah saat perang Khaibar.
Sebaliknya, ada pula orang yang masuk neraka padahal ikut jihad di Khaibar karena tidak ikhlas
dan mencari dunia.

4. Mengkaji nash-nash syar'i tentang ikhlas dan bahaya riya' serta sum'ah
Baik itu ayat-ayat Al-Qur'an (akan lebih baik jika berikut dengan tafsirnya), maupun hadits-hadits
Nabi. Saat jiwa kita terbiasa mengkonsumsi suplemen ruhiyah dan tsaqafah seperti ini, kita akan
lebih mudah membawa diri kepada keikhlasan dan melawan riya' serta sum'ah.
5. Meningkatkan Intensitas Muhasabah
Yakni mengevaluasi amal kita sendiri atau melakukan intospeksi. Akan lebih baik jika hal ini
dijadwalkan secara berkala. Idealnya harian. Seperti para slafaus shalih yang sebelum tidurnya
senantiasa mengingat-ingat apa yang dilakukannya sepanjang hari. Jika ia ingat ada amal yang
dilakukan dengan riya' atau sum'ah, segera bertaubat dan mengazamkan diri untuk tidak melawan
riya' dan sum'ah ini.

6. Senantiasa berdoa kepada Allah


Ini karena Allah-lah penguasa dan pemilik hati. Memohon kepada Allah agar hati lurus dan ikhlas
adalah solusi yang harus dilakukan. Saat kita merasa bisa ikhlas karena usaha kita, sesungguhnya
kita telah terjamah riya' kepada Allah. Rasulullah mencontohkan sebuah doa yang sering beliau
panjatkan: Ya muqallibal quluub, tsabbit qalbii 'alaa diinik (Wahai Dzat yang membolak-balikkan
hati, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu)

7. Menyadari bahwa segala sesuatu berjalan di atas takdir-Nya


Pemahaman yang benar terhadap takdir akan membuat kita sadar bahwa tak pantas kita bersikap
riya' dan sum'ah. Toh, segala keberhasilan sejatinya atas karunia-Nya. Ini sangat perlu dimiliki
khususnya oleh seorang muslim yang terlibat intes dengan amal jama'i atau aktif dalam jama'ah
dakwah. Pemahaman takdir yang benar membuatnya lebih ikhlas, bukan menganggap bahwa
kemenanangan dakwah adalah karena peran dan prestasinya.

(‫)وهللا أعلم بالصواب‬


(Sumber: Aafaat 'Ala Ath-Thariq, oleh Dr. Sayyid Muhammad Nuh)

Anda mungkin juga menyukai