Anda di halaman 1dari 9

Hasad atau Dengki

Apa itu hasad? Apa saja sebab-sebab terjadinya hasad (iri hati, dengki)? Lalu
bagaimana cara menghadapi orang yang hasad?
Kalau kita melihat dari sisi pengertian hasad sebenarnya lebih dari sekadar iri hati
dan dengki. Baiknya bahasan ini dikaji lebih mendalam.
PENGERTIAN HASAD
Menurut jumhur ulama, hasad adalah berharap hilangnya nikmat Allah pada orang
lain. Nikmat ini bisa berupa nikmat harta, kedudukan, ilmu, dan lainnya. Demikian
penjelasan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah, hlm.
368.
Perkataan jumhur ulama di atas diungkapkan oleh Syaikh Musthafa
Al-‘Adawi hafizhahullah,
‫احبِهَا‬
ِ ‫ص‬ َ ‫ال َح َس ُد هُ َو تَ َمنَّى َز َو‬
َ ‫ال النِّ ْع َم ِة َع ْن‬
“Hasad adalah menginginkan hilangnya nikmat yang ada pada orang lain.” (At-
Tashiil li Ta’wil At-Tanziil Juz ‘Amma fii Sual wa Jawab, hlm. 720)
Hasad menurut Ibnu Taimiyah adalah,
‫ال ْال َمحْ سُو ِد‬ ِ ‫ْال َح َس َد هُ َو ْالبُ ْغضُ َو ْال َك َراهَةُ لِ َما يَ َراهُ ِم ْن ُحس‬
ِ ‫ْن َح‬
“Hasad adalah membenci dan tidak suka terhadap keadaan baik yang ada pada
orang yang dihasad.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 10:111).
 
LARANGAN HASAD
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
«،‫ْض‬ ٍ ‫ض ُك ْم َعلَى بَي ِْع بَع‬ ُ ‫ َوالَ يَبِ ْع بَ ْع‬،‫ َوالَ تَ َدابَرُوا‬،‫ َوالَ تَبَا َغضُوا‬،‫اج ُشوا‬ َ َ‫ َوالَتَن‬،‫الَ تَ َحا َس ُدوا‬
.ُ‫ َواَل يَحْ قِ ُره‬،ُ‫ َواَل يَ ْك ِذبُه‬،ُ‫ َوالَ يَخ ُذلُه‬،ُ‫ظلِ ُمه‬ ْ َ‫ الَ ي‬،‫ ال ُم ْسلِ ُم َأ ُخو ال ُم ْسلِ ِم‬.ً‫خوانا‬
َ ‫َو ُك ْونُوا ِعبَا َد هللاِ ِإ‬
ُ‫ب ا ْم ِرى ٍء ِم َن ال َّشرِّ َأ ْن يَحْ قِ َر َأ َخاه‬ ِ ‫ بِ َح ْس‬-‫ت‬ٍ ‫ث َمرَّا‬ َ َ‫ص ْد ِر ِه ثَال‬ َ ‫التَّ ْق َوى هَاهُنَا‬
َ ‫وي ُِش ْي ُر ِإلَى‬-
ُ ‫ضه‬ُ ْ‫ َد ُمهُ َو َمالُهُ َو ِعر‬:‫ ُكلُّ ال ُم ْسلِ ِم َعلَى ال ُم ْسلِ ِم َح َرا ٌم‬.‫»ال ُم ْسلِ َم‬.
“Janganlah kalian saling hasad (mendengki), janganlah saling tanajusy
(menyakiti dalam jual beli), janganlah saling benci, janganlah saling
membelakangi (mendiamkan), dan janganlah menjual di atas jualan saudaranya.
Jadilah hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara untuk
muslim lainnya. Karenanya, ia tidak boleh berbuat zalim, menelantarkan,
berdusta, dan menghina yang lain. Takwa itu di sini–beliau memberi isyarat ke
dadanya tiga kali–. Cukuplah seseorang berdosa jika ia menghina saudaranya
yang muslim. Setiap muslim atas muslim lainnya itu haram darahnya, hartanya,
dan kehormatannya.’” (HR. Muslim, no. 2564)
 
SIFAT MANUSIA SAAT HASAD
Hasad itu sifatnya manusiawi. Setiap orang pasti punya rasa tidak suka jika ada
orang yang setipe dengannya melebihi dirinya dari sisi keutamaan.
Manusia dalam hal hasad ada empat keadaan yaitu:
Pertama: Ada yang berusaha menghilangkan nikmat pada orang yang ia hasad. Ia
berbuat melampaui batas dengan perkataan ataupun perbuatan. Inilah hasad
yang tercela.
Kedua: Ada yang hasad pada orang lain. Namun, ia tidak menjalankan
konsekuensi dari hasad tersebut di mana ia tidak bersikap melampaui batas dengan
ucapan dan perbuatannya. Al-Hasan Al-Bashri berpandangan bahwa hal ini
tidaklah berdosa.
Ketiga: Ada yang hasad dan tidak menginginkan nikmat orang lain hilang. Bahkan
ia berusaha agar memperoleh kemuliaan semisal. Ia berharap bisa sama dengan
yang punya nikmat tersebut. Hal ini dirinci menjadi dua, yaitu dalam urusan dunia
dan urusan agama.
Jika kemuliaan yang dimaksud hanyalah urusan dunia, tidak ada kebaikan di
dalamnya. Contohnya adalah keadaan seseorang yang ingin seperti Qarun.
ُ ‫ْت لَنَا ِم ْث َل َما ُأوتِ َي قَار‬
‫ُون‬ َ ‫يَا لَي‬
“Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada
Qarun.” (QS. Al-Qasas: 79)
Jika kemuliaan yang dimaksud adalah urusan agama, inilah yang baik.  Inilah yang
disebut ghib-thah.
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallambersabda,
ِ َّ‫ق ِمنهُ آنا َء الل‬
ِ َّ‫يل وآنا َء الن‬
‫ ور ُج ٌل‬،‫هار‬ ِ َ‫ال َح َس َد إاَّل على اثنت‬
ُ ِ‫ فهو يُ ْنف‬، ‫ ر ُج ٌل آتاهُ هللاُ مااًل‬:‫ين‬
ِ َّ‫يل وآنا َء الن‬
‫هار‬ ِ َّ‫ فهو يَقو ُم به آنا َء الل‬،‫رآن‬
َ ُ‫آتاهُ هللاُ الق‬.
“Tidak boleh ada hasad kecuali pada dua perkara: ada seseorang yang
dianugerahi harta lalu ia gunakan untuk berinfak pada malam dan siang, juga
ada orang yang dianugerahi Al-Qur’an, lantas ia berdiri dengan membacanya
malam dan siang.” (HR. Bukhari, no. 5025, 7529 dan Muslim, no. 815)
Keempat: Jika dapati diri hasad, ia berusaha untuk menghapusnya. Bahkan ia
ingin berbuat baik pada orang yang ia hasad. Ia mendoakan kebaikan
untuknya. Ia pun menyebarkan kebaikan-kebaikannya. Ia ganti sifat hasad itu
dengan rasa cinta. Ia katakan bahwa saudaranya itu lebih baik dan lebih mulia.
Bentuk keempat inilah tingkatan paling tinggi dalam iman. Yang memilikinya
itulah yang memiliki iman yang sempurna, di mana ia mencintai saudaranya
sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.
Lihat Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:260-263.
 
TINGKATAN HASAD
1- Berkeinginan nikmat yang ada pada orang lain hilang meski tidak berpindah
padanya. Orang yang hasad lebih punya keinginan besar nikmat orang lain itu
hilang, bukan bermaksud nikmat tersebut berpindah padanya.
Seharusnya setiap orang memperhatikan bahwa setiap nikmat sudah pas diberikan
oleh Allah pada setiap makhluknya sehingga tak perlu iri dan hasad.
Allah Ta’ala berfirman,
‫صيبٌ ِم َّما ا ْكتَ َسبُوا َولِلنِّ َسا ِء‬ ٍ ‫ض ُك ْم َعلَى بَع‬
ِ َ‫ْض لِل ِّر َجا ِل ن‬ َ ‫َواَل تَتَ َمنَّ ْوا َما فَض ََّل هَّللا ُ بِ ِه بَ ْع‬
َ ‫صيبٌ ِم َّما ا ْكتَ َسب َْن َوا ْسَألُوا هَّللا َ ِم ْن فَضْ لِ ِه ِإ َّن هَّللا َ َك‬
‫ان بِ ُكلِّ َش ْي ٍء َعلِي ًما‬ ِ َ‫ن‬
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada
sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang
laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para
wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah
kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu.” (QS. An-Nisaa’: 32)
2- Berkeinginan nikmat yang ada pada orang lain hilang, lalu berkeinginan nikmat
tersebut berpindah padanya. Misalnya, ada wanita cantik yang sudah menjadi istri
orang lain, ia punya hasad seandainya suaminya mati atau ia ditalak, lalu ingin
menikahinya. Atau bisa jadi pula ada yang punya kekuasaan atau pemerintahan
yang besar, ia sangat berharap seandainya raja atau penguasa tersebut mati saja
biar kekuasaan tersebut berpindah padanya.
Tingkatan hasad kedua ini sama haramnya, tetapi lebih ringan dari yang pertama.
3- Tidak punya maksud pada nikmat orang lain, tetapi ia ingin orang lain tetap
dalam keadaannya yang miskin dan bodoh. Hasad seperti ini membuat seseorang
akan mudah merendahkan dan meremehkan orang lain.
4- Tidak menginginkan nikmat orang lain hilang, tetap ia ingin orang lain tetap
sama dengannya. Jika keadaan orang lain lebih dari dirinya, barulah ia hasad
dengan menginginkan nikmat orang lain hilang sehingga tetap sama dengannya.
Yang tercela adalah keadaan kedua ketika menginginkan nikmat saudaranya itu
hilang.
5- Menginginkan sama dengan orang lain tanpa menginginkan nikmat orang lain
hilang. Inilah yang disebut dengan ghib-thah sebagaimana terdapat dalam hadits
berikut.
Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِ ‫ َف ْهوَ يَق‬، ‫ وَ رَ ُج ٌل آتَا ُه اللَّ ُه ا ْل ِح ْك َم َة‬، ِّ‫سلِّط َ عَ لَى َهلَ َك ِت ِه ِفى ا ْل َحق‬
‫ْضى ِب َها وَ يُ َعلِّ ُم َها‬ ُ ‫ْن رَ ُج ٌل آتَا ُه اللَّ ُه مَاالً َف‬ َ ‫الَ َح‬
ِ ‫س َد ِإالَّ ِفى ا ْثنَتَي‬
“Tidak boleh hasad (ghibtoh) kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allah
anugerahkan padanya harta lalu ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang
yang Allah beri karunia ilmu (Al-Qur’an dan As-Sunnah), ia menunaikan dan
mengajarkannya.” (HR. Bukhari, no. 73 dan Muslim, no. 816)
Inilah maksud berlomba-lomba dalam kebaikan,
َ‫س ا ْل ُمتَنَا ِفسُون‬
ِ ‫وَ ِفي َذلِكَ َف ْليَتَنَا َف‬
“Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” (QS. Al-
Muthaffifin: 26)
Ini adalah ringkasan dari Fiqh Al-Hasad karya Syaikh Musthafa
Al-‘Adawi hafizhahullah.
 
CARA MENGHADAPI DAMPAK JELEK ORANG YANG HASAD
Pertama: Bertawakal kepada Allah.
Allah Ta’ala berfirman,
‫سبُ ُه‬ْ ‫وَ مَنْ يَتَوَ َّكلْ عَ لَى اللَّ ِه َف ُهوَ َح‬
“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan
mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaq: 3)
Kedua: Bertakwa kepada Allah.
Allah Ta’ala berfirman,
ٌ ‫ش ْيًئا ۗ ِإنَّ اللَّ َه ِبمَا يَ ْع َملُونَ ُم ِحيط‬ َ ‫وَ ِإنْ تَصْ ِبرُوا وَ تَتَّقُوا اَل يَضُ رُّ ُك ْم َك ْي ُد ُه ْم‬
“Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sediki tpun tidak
mendatangkan kemudaratan kepadamu. Sesungguhnya Allah mengetahui segala
apa yang mereka kerjakan.” (QS. Ali ‘Imran: 120)
Ketiga: Meminta perlindungan kepada Allah dari kejahatan orang yang hasad.
Dari hadits Mu’adz bin ‘Abdillah bin Khubaib dari bapaknya, ia berkata, “Kami
pernah keluar pada malam yang hujan dan sangat gelap. Kami meminta
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mau mendoakan kebaikan untuk
kami. Kami pun mendapati beliau. Beliau berkata, ‘Ucapkanlah’. Aku tidak
mengucapkan apa pun. Beliau berkata lagi, ‘Ucapkanlah’. Aku pun tidak
mengucapkan apa pun. Beliau berkata lagi, ‘Ucapkanlah’. Aku lantas bertanya,
“Apa yang mesti aku ucapkan?’ Beliau menjawab,
‫َأ‬
‫شىْ ٍء‬ َ ‫َّات تَ ْكفِيكَ مِنْ ُك ِّل‬ ٍ ‫ث َمر‬ َ َ‫ْن حِينَ تُمْ ِسى وَ تُصْ ِبحُ ثَال‬ ِ ‫ُقلْ ( ُهوَ اللَّ ُه َحدٌ) وَ ا ْل ُمعَوِّ َذتَي‬
‘Bacalah: surah Al-Ikhlas, lalu surah al-mu’awwidzatain (surah Al-Falaq dan An-
Naas) ketika petang dan pagi sebanyak tiga kali, maka itu akan mencukupimu
dari segala sesuatu.’” (HR. Tirmidzi, no. 3575. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan
bahwa sanad hadits ini hasan).
Syaikh Musthafa Al-‘Adawi hafizhahullah mengatakan, “Benteng yang paling kuat
untuk melindungi diri dari kejahatan orang yang hasad adalah dengan berpegang
pada Al-Qur’an dan ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu
meminta perlindungan kepada Allah Rabb semesta alam.” (At-Tashiil li Ta’wil At-
Tanziil Juz ‘Amma fii Sual wa Jawab, hlm. 726)
Keempat: Jangan beritahu orang yang hasad tentang nikmatmu.
Coba ambil pelajaran dari apa yang dikatakan oleh Nabi Ya’qub pada putranya Nabi
Yusuf ‘alaihimas salam,
ٌ‫َان عَ ُد ٌّو م ُِبين‬ ِ ‫ش ْيطَانَ ِلِإْل ْنس‬ َّ ‫ي اَل تَ ْقصُ صْ رُ ْؤ يَاكَ عَ لَىٰ ِإخْ وَ تِكَ َفيَ ِكيدُوا لَكَ َك ْيدًا ۖ ِإنَّ ال‬ َّ َ‫َقا َل يَا بُن‬
“Ayahnya berkata: “Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada
saudara-saudaramu, maka mereka membuat makar (untuk membinasakan)mu.
Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia”.” (QS. Yusuf: 5)
Dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang mimpi baik
dan mimpi buruk,
َ ْ‫ وَ ِإ َذا رَ َأى مَا يَ ْكرَ ُه َف ْليَتَ َع َّو ْذ ِباللَّ ِه مِن‬، ُّ‫ث ِب ِه ِإالَّ مَنْ يُحِب‬
« ‫شرِّ َها‬ ْ ‫ َفِإ َذا رَ َأى َأ َح ُد ُك ْم مَا يُحِبُّ َفالَ ي َُح ِّد‬، ‫سنَ ُة مِنَ اللَّ ِه‬
َ ‫ال ُّرْؤ يَا ا ْل َح‬
‫ث ِب َها َأ َحدًا َفِإنَّ َها لَنْ تَضُ َّر ُه‬ ْ ‫ان وَ ْليَ ْتفُلْ ثَالَثًا وَ الَ ي َُح ِّد‬
ِ َ ‫ش ْيط‬ َّ ‫شرِّ ال‬ َ ْ‫ وَ مِن‬، »
“Mimpi yang baik itu dari Allah. Jika salah seorang di antara kalian bermimpi
sesuatu yang disenangi, janganlah menceritakannya selain pada orang yang
menyukai saja. Namun, jika bermimpi yang tidak disukai, mintalah perlindungan
kepada Allah dari keburukan mimpi tersebut dan juga dari kejahatan setan.
Kemudian, meludahlah sebanyak tiga kali dan jangan menceritakan hal tadi
kepada seorang pun. Karena mimpi tersebut tidak akan memudaratkan orang
yang bermimpi tadi.” (HR. Bukhari, no. 7044 dan Muslim, no. 2261, dari Abu
Qatadah radhiyallahu ‘anhu)
Kelima: Jangan ambil peduli dengan orang yang hasad, sibukkan diri dan tidak
banyak memikirkan dia.
Ibnul Qayyim rahimahullah secara ringkas mengatakan bahwa jika ada yang hasad
pada kita, tidak usah dipedulikan, tidak perlu takut, dan hati kita tidak usah
memikirkan dia. Lihat At-Tashiil li Ta’wil At-Tanziil Juz ‘Amma fii Sual wa Jawab.
Syaikh Musthafa Al-‘Adawi, hlm. 727-728.
Keenam: Menghadap dan ikhlas kepada Allah, dengan menyibukkan hati untuk
mencintai, rida, dan bertaubat kepada-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,
َ‫ش ِر ُكون‬ ْ ‫س ْلطَانُ ُه عَ لَى الَّذِينَ يَتَوَ لَّوْ نَ ُه وَ الَّذِينَ ُه ْم ِب ِه ُم‬ ُ ‫ ِإنَّمَا‬, َ‫س ْلطَانٌ عَ لَى الَّذِينَ آ َمنُوا وَ عَ لَىٰ رَ بِّ ِه ْم يَتَوَ َّكلُون‬ ُ ‫ِإنَّ ُه لَيْسَ لَ ُه‬
“Sesungguhnya setan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang
beriman dan bertawakkal kepada Rabbnya. Sesungguhnya kekuasaannya (setan)
hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-
orang yang mempersekutukannya dengan Allah.” (QS. An-Nahl: 99-100)
Ketujuh: Tabah (sabar) dalam menghadapi orang yang hasad.
Allah Ta’ala berfirman,
۞ ‫ي عَ لَ ْي ِه لَيَ ْنصُ رَ نَّ ُه اللَّ ُه ۗ ِإنَّ اللَّ َه لَ َع ُفوٌّ َغفُو ٌر‬ َ ‫ٰ َذلِكَ وَ مَنْ عَ ا َقبَ ِب ِم ْث ِل مَا عُ وقِبَ ِب ِه ثُ َّم بُ ِغ‬
“Demikianlah, dan barangsiapa membalas seimbang dengan penganiayaan yang
pernah ia derita kemudian ia dianiaya (lagi), pasti Allah akan menolongnya.
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-
Hajj: 60). Jika Allah benar-benar memberikan jaminan, padahal ia telah membalas
sesuai dengan haknya. Bagaimana lagi jika seseorang yang tidak membalas sama
sekali, berarti ia bersabar, ia terus dizalimi dan ia mau bersabar. Bukankah kita
tahu sendiri bahwa hukuman bagi orang yang bertindak zalim dan memutus
silaturahim itu lebih cepat mendapatkan hukuman. Ingatlah bahwa sudah
jadi sunnatullah:
‫َاغي ِم ْن ُهمَا َد ًّكا‬ ِ ‫لَوْ بَ َغى َجبَ ٌل عَ لَى َجبَ ٍل َجعَل َالب‬
Jika satu gunung menzalimi gunung yang lain, salah satu yang zalim nantinya akan
rata dengan tanah. Ini yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Badai’ Al-
Fawaid.
Kedelapan: Berbuat baik pada orang yang hasad.
Allah Ta’ala berfirman,
َ‫ وَ مَا يُلَقَّا َها ِإاَّل الَّذِين‬,‫ي َح ِمي ٌم‬ ٌّ ‫ي َأ ْحسَنُ َفِإ َذا الَّ ِذي بَ ْينَكَ وَ بَ ْينَ ُه عَ دَاوَ ٌة َكَأنَّ ُه وَ ِل‬ َ ‫سيَِّئ ُة ۚ ا ْد َفعْ ِبالَّ ِتي ِه‬
َّ ‫سنَ ُة وَ اَل ال‬
َ ‫ستَ ِوي ا ْل َح‬
ْ َ‫وَ اَل ت‬
‫س ِمي ُع ا ْل َع ِلي ُم‬َّ ‫ستَ ِع ْذ ِباللَّ ِه ۖ ِإنَّ ُه ُهوَ ال‬ ْ ‫ان نَزْ ٌغ َفا‬ ِ َ ‫ش ْيط‬ َّ ‫ وَ ِإمَّا يَ ْنزَ َغنَّكَ مِنَ ال‬, ‫صَ بَرُوا وَ مَا يُلَقَّا َها ِإاَّل ُذو َحظٍّ عَ ِظ ٍيم‬
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan
cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada
permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang
baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan
tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai
keuntungan yang besar. Dan jika syetan mengganggumu dengan suatu
gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah
yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Fussilat: 34-36).
Juga dalam ayat,
‫َأ‬ ‫ُأ‬
َ‫سيَِّئ َة وَ ِممَّا رَ زَ ْقنَا ُه ْم يُ ْن ِفقُون‬ َّ ‫سنَ ِة ال‬َ ‫ْن ِبمَا صَ بَرُوا وَ يَدْرَ ءُونَ ِبا ْل َح‬ ِ ‫و ٰلَِئكَ يُْؤ تَوْ نَ ْجرَ ُه ْم مَرَّ تَي‬
“Mereka itu diberi pahala dua kali disebabkan kesabaran mereka, dan mereka
menolak kejahatan dengan kebaikan, dan sebagian dari apa yang telah Kami
rezekikan kepada mereka, mereka nafkahkan.” (QS. Al-Qasas: 54)
Lihat pula bagaimana sikap para nabi ketika mereka disakiti dan dizalimi oleh
kaumnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri saat perang Uhud malah
berdoa,
َ‫اغفِرْ ِل َقوْ ِمى َفِإنَّ ُه ْم الَ يَعْ لَمُون‬ ْ ‫اللَّ ُه َّم‬
“Ya Allah ampunilah kaumku karena mereka sejatinya tidak mengetahui.” (HR.
Bukhari, no. 3477 dan Muslim, no. 1792). Doa ini mengandung pelajaran
bagaimanakah keburukan dibalas dengan kebaikan dalam empat bentuk:
‫َّاب ُع اِسْ ِت ْعطَا ُف ُه لَ ُه ْم بِِإضَ ا َف ِت ِه ْم ِإلَ ْي ِه‬ ‫َأ‬ ْ ‫َأ َح ُد َها عَ ْفوُ ُه عَ ْن ُه ْم وَ الثَّا ِني ِا‬
ِ ‫ث اِعْ ِت َذارُ ُه عَ ْن ُه ْم ِب نَّ ُه ْم الَ يَعْ لَمُوْ نَ الر‬ ُ ‫س ِتغْ َفارُ ُه لَ ُه ْم الثَّا ِل‬
1. Memaafkan.
2. Memintakan ampun untuk yang berbuat zalim.
3. Memberikan uzur pada mereka karena mereka tidak tahu.
4. Para nabi itu begitu sayang dan simpati pada kaumnya sendiri karena mereka
tetap menyatakan itu kaumnya.
Empat hal di atas disampaikan oleh Ibnul Qayyim dalam Badai’ Al-Fawaid.
Kesembilan: Segera bertaubat atas dosa.
Kesepuluh: Orang yang hasad itu mandi dan airnya disiramkan pada orang yang
kena hasad.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallambersabda,
‫اغ ِسلُوا‬ ْ ‫ستُغْ ِس ْلتُ ْم َف‬
ْ ‫سبَ َق ْت ُه ا ْل َعيْنُ وَ ِإ َذا ا‬
َ َ‫شىْ ٌء سَاب ََق ا ْل َقدَر‬ َ َ‫ا ْل َعيْنُ َحقٌّ وَ لَوْ َكان‬
“‘Ain itu benar adanya. Segala sesuatu terjadi dengan takdir, termasuk pula ‘ain
terjadi dengan takdir. Apabila kalian diminta untuk mandi (karena memberi
dampak ‘ain), maka mandilah.” (HR. Muslim, no. 2188. Lihat Syarh Shahih
Muslim tentang hadits ini).
Kesebelas: Lakukan ruqyah syariyyah.
Kedua belas: Memiliki iman dan tauhid yang kuat.
Cara menghadapi hasad ini diringkas dari kitab karya Syaikh Musthafa Al-‘Adawi
yaitu At-Tashiil li Ta’wil At-Tanziil Juz ‘Amma fii Sual wa Jawab, hlm. 723-740.
 
SEBAB TERJADINYA HASAD
1. Permusuhan dan kebencian.
2. Cinta dunia terutama terkait dengan kekuasaan dan kepemimpinan.
3. Pelit membagi kebaikan pada orang lain.
4. Lemahnya iman.
5. Kesombongan.
6. Tidak ingin dikalahkan yang lain.
7. Takut disaingi.
8. Takut diejek orang lain.
Sebab-sebab di atas disebutkan oleh Syaikh Musthafa Al-‘Adawi di kitab At-Tashiil
li Ta’wil At-Tanziil Juz ‘Amma fii Sual wa Jawab, hlm. 752-753.
Semoga bahasan hasad ini bermanfaat. Semoga Allah menjauhkan kita dari sifat
hasad.
Sepuluh Sebab Terhindar dari Kejahatan Orang yang Hasad

1. Berlindung kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari kejahatan


orang yang hasad dan membentengi diri dengan-Nya.

2. Bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan menjalankan


perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Allah subhanahu wa ta’ala telah menjamin penjagaan bagi orang yang bertakwa.


Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

‫وا اَل يَضُرُّ ُكمۡ َك ۡي ُدهُمۡ َشۡ‍ئً ۗا‬


ْ ُ‫ُوا َوتَتَّق‬
ْ ‫َصبِر‬
ۡ ‫َوِإن ت‬

“Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya mereka sedikit pun tidak
mendatangkan kemudaratan kepadamu.” (Ali Imran: 120)

3. Bersabar atas musuh.

Sebab, tidaklah seorang ditolong dari orang yang hasad dan musuhnya,
sebagaimana orang yang bersabar atasnya dan bertawakal kepada Allah subhanahu
wa ta’ala.

4. Tawakal.

Irang yang bertawakal kepada Allah subhanahu wa ta’ala, akan dicukupi oleh-Nya.


Tawakal termasuk faktor terkuat untuk menangkal gangguan dan kezaliman
makhluk yang tidak mampu dihadapi.

5. Mengosongkan hati agar tidak sibuk memikirkan orang yang


hasad kepada dirinya.

Setiap kali terbetik di benak, ia menepisnya dan memikirkan sesuatu yang lebih
bermanfaat. Ia melihat bahwa di antara siksaan batin yang besar adalah sibuk
memikirkan musuhnya.

6. Mengarahkan hatinya kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan


ikhlas kepada-Nya, serta menjadikan kecintaan kepada-Nya dan
keridhaan-Nya di tempat terbetiknya pikiran.
Jadi, benaknya penuh dengan segala yang dicintai Allah subhanahu wa ta’ala dan
zikir kepada-Nya. Orang yang seperti ini tidak akan ridha bila pikiran dan hatinya
dipenuhi dengan memikirkan orang yang hasad dan zalim kepadanya, serta
memikirkan untuk membalasnya.

7. Bertobat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari segala dosa.

Seseorang dikuasai oleh musuh karena dosanya. Tidaklah seorang hamba disakiti
kecuali karena dosa, baik yang ia ketahui maupun tidak. Dosa yang tidak dia
ketahui jauh lebih berlipat daripada yang ia ketahui. Dosa yang ia lupakan lebih
besar daripada yang ia ingat.

Sungguh, tiada sesuatu pun yang lebih bermanfaat bagi hamba bila dia dizalimi dan
disakiti lawannya daripada tobat yang tulus. Tanda kebahagiaannya adalah
mengalihkan pikirannya untuk melihat dirinya, dosa, dan cacatnya, sehingga ia pun
sibuk untuk memperbaiki diri dan bertobat.

8. Bersedekah dan berbuat baik semampunya.

Sebab, hal itu memiliki pengaruh yang hebat dalam menangkal bencana, mata yang
jahat, dan kejelekan orang yang hasad. Orang yang berbuat baik dan bersedekah
kepada orang lain, hampir-hampir tidak pernah terkuasai oleh jahatnya hipnotis,
hasad, dan yang menyakitkan. Jika ia terkena suatu kejahatan, ia akan
diperlakukan lembut oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan akan memperoleh
dukungan.

9. Yang paling berat adalah memadamkan api orang yang hasad dan
zalim serta menyakitinya, dengan berbuat baik kepadanya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
ۚ
َ‫ َو َما يُلَقَّ ٰىهَٓا ِإاَّل ٱلَّ ِذين‬٣٤ ‫ َأنَّ ۥهُ َولِ ٌّي َح ِمي ٌم‬d‫ ٰ َد َوةٌ َك‬d‫كَ َوبَ ۡينَ ۥهُ َع‬ddَ‫ِإ َذا ٱلَّ ِذي بَ ۡين‬dَ‫نُ ف‬d‫ٱلَّتِي ِه َي َأ ۡح َس‬ddِ‫ع ب‬dۡ dَ‫َواَل ت َۡست َِوي ۡٱل َح َسنَةُ َواَل ٱل َّسيَِّئةُ ۡٱدف‬
٣٥ ‫َظ ٍيم‬ ِ ‫ظع‬ ْ ‫صبَر‬
ٍّ ‫ُوا َو َما يُلَقَّ ٰىهَٓا ِإاَّل ُذو َح‬ َ

“Dan tidaklah sama antara kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan) itu
dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara
dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-
sifat yang baik itu tidaklah dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang
sabar dan tidaklah dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang
mempunyai keberuntungan yang besar.” (Fushilat: 34—35)

Perhatikanlah keadaan Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika dipukul oleh


kaumnya sampai berdarah. Beliau shallallahu alaihi wa sallam mengusap darah
itu seraya mengucapkan,

ِ ِ ِ
ُ ‫اللَّ ُه َّم ا ْغف ْر ل َق ْومي فَِإن‬
‫َّه ْم الَ َي ْعلَ ُمو َن‬
“Ya Allah, ampunilah kaumku, sesungguhnya mereka tidak mengetahui.”

Orang yang memaafkan orang lain dan berbuat baik kepada orang yang berbuat
jelek kepadanya akan mendapatkan pertolongan dari Allah subhanahu wa
ta’ala. Seorang sahabat datang mengadu kepada beliau tentang karib kerabatnya. Ia
berbuat baik kepada mereka, tetapi mereka berbuat jelek terhadapnya.
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepada

ِ ِ ِ َ ‫واَل يز ُال مع‬


‫ك‬ َ ‫ك م َن اهلل ظَ ِهريٌ َعلَْي ِه ْم َما ُد ْم‬
َ ‫ت َعلَى ذَل‬ َ َ ََ َ

“Senantiasa ada penolong dari Allah selagi kamu di atas keadaan yang seperti
itu.”

Di samping itu pula, manusia akan memujinya dan bergabung bersamanya


menghadapi musuhnya.

10. Memurnikan tauhid.

Makhluk-makhluk ini ada yang menggerakkannya. Tidaklah makhluk mendapatkan


manfaat dan mudarat kecuali seizin Penciptanya. Jika seseorang
memurnikan tauhid, hilanglah ketakutan kepada selain Allah subhanahu wa
ta’ala dari hatinya.

Musuhnya menjadi lebih ringan di matanya daripada ditakuti bersama


Allah subhanahu wa ta’ala. Kesibukan memperhatikan musuhnya akan hilang dari
hatinya. Hatinya lalu akan dipenuhi dengan cinta, takut, kembali,
dan tawakal kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Ia memandang bahwa menggunakan pikirannya untuk memikirkan musuhnya


adalah bentuk lemahnya tauhid. Sebab, jika ia telah memurnikan tauhid, niscaya
dalam hatinya ada kesibukan tersendiri. (Dinukil secara ringkas dari at-Tafsirul
Qayyim lil Imam Ibnul Qayyim, hlm. 585—594)

Anda mungkin juga menyukai