Anda di halaman 1dari 10

Khutbah Jumat: Bahaya Hasad bagi Peradaban Manusia

ُ‫ت فِ ْي ِعبَا َدتِ ِه َوتَ ْق َواه‬ِ ‫ َونَقُوْ َم بِ ْال َوا ِجبَا‬،‫الرِّضا َوال َّس َعا َد ِة‬
َ ‫َح ْم ُد هللِ الَّ ِذيْ َأ َم َرنا َ َأ ْن نُصْ لِ َح َم ِع ْي َشتَنَا لِنَ ْي ِل‬
‫ص ِّل‬ َ ‫ اللهم‬.ُ‫ي بَ ْع َده‬ َّ ِ‫ َوَأ ْشهَ ُد َأ َّن ُم َح َّمدًا َع ْب ُدهُ َو َرسُوْ لُهُ اَل نَب‬،ُ‫ك لَه‬ َ ‫َأ ْشهَ ُد َأ ْن اَل ِإلَهَ ِإالَّ هللاُ َوحْ َدهُ الَ َش ِر ْي‬
:‫ َأ ّما بَ ْع ُد‬، َ‫صحْ بِ ِه ال ُم َجا ِه ِد ْينَ الطَّا ِه ِر ْين‬َ ‫ار ْك َعلَى َسيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد َو َعلَى آلِ ِه َو‬ ِ َ‫َو َسلِّ ْم َوب‬
‫ بِس ِْم‬،‫ال هللاُ تَ َعالَى فِ ْي ِكتَابِ ِه ْال َك ِريْم‬ َ َ‫ ق‬. َ‫ فَقَ ْد فَا َز ْال ُمتَّقُوْ ن‬،ِ‫ص ْينِي نَ ْف ِسي َوِإيَّا ُك ْم بِتَ ْق َوى هللا‬
ِ ْ‫فَيَا ِعبَا َد هللا اُو‬ 
َ‫ق تُقَاتِ ِه َواَل تَ ُموْ تُ َّن ِإالَّ َوَأ ْنتُ ْم ُم ْسلِ ُموْ ن‬
َّ ‫ يَا َأيُّهَا الّذين آمنوا اتَّقُوْ ا هللاَ َح‬.‫َّحي ِْم‬
ِ ‫هللاِ الرَّحْ َم ِن الر‬

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah

Pertama kali, marilah kita panjatkan puji syukur kepada Allah Swt yang telah

menganugerahkan nikmat iman dan Islam serta kesehatan sehingga kita dapat

menghadiri sidang Jumat yang penuh berkah ini. 

Shalawat serta salam semoga tercurah ke pangkuan junjungan kita Nabi besar

Muhammad Saw, beserta keluarga, para sahabat, dan orang-orang beriman hingga akhir

zaman. 

Mengawali khutbah Jumat kali ini, khatib mengingatkan kita semua, khususnya diri

khatib sendiri, agar senantiasa meningkatkan takwa kepada Allah Swt dengan sebenar-

benar takwa. Yaitu, menjalankan seluruh perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-

Nya. Takwa adalah “jalan terang” menuju ke hadirat-Nya, sehingga kita akan

menemukan nilai-nilai kebajikan dan kemuliaan sejati, baik di dunia maupun di akhirat

kelak.

Sidang Jumat yang dimuliakan Allah


Manusia adalah makhluk unik dan istimewa. Berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya,

manusia dianugerahi unsur-unsur immaterial yang lengkap, yaitu: ruh, akal, hati,

dan nafs (syahwat dan ghadlab) yang terbentuk dalam satu kesatuan yang disebut jiwa

(soul). Dari komponen immaterial ini, manusia hakikatnya adalah sebagai makhluk

spiritual. Masing-masing unsur tersebut memiliki fungsi yang berbeda. 

Ruh memiliki sifat yang suci, cenderung kepada kesejatian (hakikat) dan lebih dekat

dengan Allah. Akal berfungsi untuk berfikir, mengingat, menghitung, dan berlogika. Hati

berfungsi untuk meyakini (beriman), mencintai, membenci, empati, dan hal-hal yang

berhubungan dengan rasa. Sedangkan nafsu merupakan energi jiwa yang berpotensi pada

kesenangan dan kemarahan (nafs al-ammarah). 

Bagi yang mampu mengendalikan “jiwa tirani” (al-nafs al-ammarah) dengan selalu

mendekatkan diri kepada Allah, maka ia akan menjadi pribadi yang utuh. Sebaliknya, jika

seseorang dikendalikan oleh jiwa tirani dengan memenuhi kesenangan-kesenangan dasar

(pleasure principle), maka ia akan menjadi pribadi yang pincang. Sebagai makhluk

spiritual, manusia seharusnya mampu membersihkan hatinya dengan melakukan latihan-

latihan kebaikan untuk melawan kecenderungan nafsu rendah yang menyukai dosa dan

kemaksiatan.

Sidang Jumat yang dirahmati Allah

Di dalam jiwa manusia, sesungguhnya ada unsur energi negatif yang dapat

menghancurkan diri, lingkungan, dan peradaban, yaitu “penyakit hati” atau “amradlul

qulub” yang menimbulkan sifat sangat buruk. Imam Al-Ghazali dalam kitab Bidayat Al
Hidayah menuturkan bahwa ada tiga sifat hati yang sangat berbahaya, dimana sifat hati

tersebut selalu muncul dari zaman ke zaman. 

Tiga sifat hati tersebut akan membawa kepada kebinasaan diri dan penyebab dari sifat-

sifat tercela lainnya, yaitu: hasad (iri hati), riya (pamer), dan ujub (angkuh, sombong

atau berbangga diri).

Dari ketiga penyakit hati tersebut yang memiliki dampak paling dahsyat adalah “hasad”

atau dengki. Hasad adalah klaster problem jiwa yang memiliki dampak luar biasa bagi

kehidupan diri, lingkungan, masyarakat, bahkan peradaban itu sendiri. Betapa banyak

perkelahian, percekcokan, dan peperangan fisik dengan saling membunuh dan

meniadakan, diakibatkan oleh munculnya sikap dengki.  

Menurut Asy-Sya’rawi, penyakit jiwa bernama “hasad” benar-benar nyata. Al-Qur’an

sendiri dengan jelas menyebut sifat ini. Dalam Alquran disebutkan tentang sikap sebagian

ahli kitab terhadap Rasulullah Saw.

   ‫اس ع َٰلى َمٓا ٰا ٰتىهُ ُم هّٰللا ُ ِم ْن فَضْ لِ ٖ ۚه‬


َ َّ‫اَ ْم يَحْ ُس ُدوْ نَ الن‬

Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) karena karunia yang telah

diberikan Allah kepadanya? (QS: an-Nisa: 54)

Demikian juga Rasulullah Saw menyebut dengan jelas agar siapapun menghindari

penyakit hati ini:

‫ب‬ َ ‫ت َك َما تَاْ ُك ُل النَّا ُر ال َح‬


َ ‫ط‬ ِ ‫اِيا َّ ُكم َوال َح َس َد فَا ِ َّن ْال َح َس َد يَاْ ُك ُل ْال َح َسنَا‬
Artinya: ”Jauhkanlah dirimu dari hasad karena sesungguhnya hasud itu memakan

kebaikan-kebaikan sebagaimana api memakan kayu-bakar.” (HR. Abu Dawud). 

Hasad adalah kejahatan energi tersembunyi yang dapat membahayakan manusia. Allah

menyuruh kita untuk meminta perlindungan Allah darinya: “Dan dari kejahatan orang

yang dengki apabila dia dengki” (Q.S. Al-Falaq: 5) 

Hasad dapat dianalogikan sebagai suatu benda yang tidak terlihat secara kasat mata.

Namun keberadaannya justru memiliki pengaruh dan dampak yang luar biasa serta

bahaya yang lebih ganas dibandingkan dengan sesuatu yang dapat terlihat mata. Meski

hasad tidak terlihat secara kasat mata, namun efek terhadap jiwa dan tatanan sosial

sangat nyata.

Secara psikologi, hasad memiliki dampak, diantaranya:

1. Membentuk jiwa yang tidak mau mensyukuri atas nikmat yang diberikan oleh Allah

(kufur nikmat).  

2. Menyiksa diri sendiri karena hatinya tak tenang yang disebabkan munculnya rasa

tidak nyaman atas kebahagiaan orang lain. 

3. Munculnya ghibah, fitnah dan sebagainya yang dapat menimbulkan perpecahan dalam

keluarga dan ikatan persaudaraan sesama.

4. Munculnya kebencian dan permusuhan yang dapat menimbulkan kerusakan dalam

jangka waktu yang tak terbatas.


Imam Ahmad dan at-Tirmidzi meriwayatkan hadits dari az-Zubair bin al-Awwam ra dari

Nabi Saw, beliau bersabda:

،‫ْر‬ َّ ُ‫ َحالِقَةُ ال[ ِّد ْي ِن الَ َحالِقَ[ة‬، ُ‫ضا ُء ِه َي ْال َحالِقَة‬


ِ ‫الش[ع‬ َ ‫ َو ْالبَ ْغ‬، ‫ضا ُء‬ َ ‫ اَ ْل َح َس ُد َو ْالبَ ْغ‬:‫َدبَّ ِإلَ ْي ُك ْم دَا ُء اُأْل َم ِم قَ ْبلَ ُك ْم‬
َّ ‫ َأفَالَ ُأنَبُِّئ ُك ْم بِ َش ْي ٍء ِإ َذا فَ َع ْلتُ ُم[[وْ هُ تَ َح[ ابَ ْبتُ ْم؟ َأ ْف ُش[وا‬،‫َوالَّ ِذيْ نَ ْفسُ ُم َح َّم ٍد بِيَ ِد ِه الَ تُْؤ ِمنُوْ ا َحتَّى ت ََحابُّوْ ا‬
‫الس[الَ َم‬
‫بَ ْينَ ُك ْم‬

Penyakit umat-umat sebelum kalian telah menyerang kalian yaitu dengki dan benci.

Benci adalah pemotong; pemotong agama dan bukan pemotong rambut. Demi Dzat yang

jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, kalian tidak beriman hingga kalian saling

mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang jika kalian kerjakan maka

kalian saling mencintai? Sebarkanlah salam diantara kalian. (HR. Tirmizi) 

Sifat hasad (dengki), Al-Ghazali pernah berkisah tentang bahayanya kepada orang lain.

Hasad adalah sikap batin yang tidak senang terhadap kebahagiaan orang lain dan

berusaha untuk menghilangkannya dari orang tersebut. Menurutnya, hasad adalah cabang

dari syukh, yaitu sikap batin yang bakhil untuk berbuat baik. 

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah

Hasad atau dengki adalah menginginkan nikmat yang dimiliki orang lain dan

menghendaki nikmat tersebut berpindah kepada dirinya. Hasad berawal dari sikap tidak

menerima nikmat yang diberikan Allah kepadanya, karena ia melihat orang lain diberi
nikmat yang dianggap lebih besar. Hasad pun bisa timbul bila seseorang menganggap

dirinya lebih berhak mendapatkan nikmat dibanding orang lain.

Pada hakikatnya, penyakit ini mengakibatkan si penderita tidak rela atas qadha’ dan

qadar Allah, sebagaimana perkataan Ibnul Qayyim ra: “Sesungguhnya hakikat hasad

adalah bagian dari sikap menentang Allah karena ia (membuat si penderita) benci

kepada nikmat Allah atas hamba-Nya; padahal Allah menginginkan nikmat tersebut

untuknya. Hasad juga membuatnya senang dengan hilangnya nikmat tersebut dari

saudaranya, padahal Allah benci jika nikmat itu hilang dari saudaranya. Jadi, hasad itu

hakikatnya menentang qadha’ dan qadar Allah”. (Al-Fawa’id, hal. 157).

Dampak hasad sungguh luar biasa. Hadis yang diriwayatkan Abu Dawud tersebut

menyebutkan bahwa hasad bisa menghancurkan seluruh catatan amal saleh. Hasad pun

bisa menimbulkan kebencian, sehingga ia sulit berbuat kebaikan pada orang yang ia

dengki. Pada saat yang sama ia pun akan sulit menerima kebaikan yang diberikan orang

itu.

Orang yang hasad akan sangat lelah. Sebab ia tidak pernah puas dengan nikmat yang

telah Allah karuniakan. Pikiran dan hatinya menjadi tumpul karena selalu memikirkan

dan cemburu atas kenikmatan orang lain. Bila hasadnya memuncak akan mendoronya

untuk berbuat apapun dengan menghilangkan kenikmatan orang lain, termasuk mencuri,

memfitnah, bahkan membunuhnya. Dampak terpaling besar adalah hancurnya tali

persaudaraan dan tumbuh suburnya kebencian. 


Dikisahkan, ada seorang raja memerintah di suatu negeri. Pada suatu hari seseorang

datang ke istananya dan menasehati Raja, “Balaslah orang yang berbuat baik karena

kebaikan yang ia lakukan kepada Baginda. Tetapi jangan hiraukan orang yang berbuat

dengki pada Baginda, karena kedengkian itu sudah cukup untuk mencelakakan dirinya.”

Maksud orang itu, hendaknya kita membalas kebaikan orang yang berbuat baik pada

kita, namun kita jangan membalas orang yang berbuat dengki dengan kedengkian lagi.

Cukup kita biarkan saja.

Hadir di istana itu, seorang yang pendengki. Sesaat setelah orang memberi nasehat pergi,

ia menghadap raja dan berkata, “Tadi orang itu berbicara padaku, bahwa mulut Baginda

bau. Jika Baginda tak percaya, panggillah lagi orang itu esok hari. Jika ia menutup

mulutnya, itu pertanda bahwa ia menghindari bau mulut Paduka.” Raja tersinggung dan

berjanji akan memanggil si pemberi nasehat esok hari.

Sebelum orang itu dipanggil, si pendengki menghampirinya terlebih dahulu dan

mengundangnya untuk makan bersama. Si pendengki memberi orang itu banyak bawang

dan makanan yang berbau tajam, sehingga mulut si penasehat menjadi bau. Keesokan

harinya ia dipanggil Raja dan kembali memberikan nasehat yang sama. Raja lalu berkata,

“Kemarilah engkau mendekat.” Orang yang telah memakan banyak bawang itu lalu

mendekati Raja dan menutupi mulutnya sendiri karena khawatir aroma mulutnya akan

mengganggu sang Raja.

Melihat orang itu menutupi mulutnya, Raja pun berkesimpulan bahwa orang ini sedang

bermaksud untuk menghina dirinya. Sang Raja lalu menulis surat dan memberikannya
pada orang itu. “Bawalah surat ini kepada salah seorang menteriku,” ucap Raja, “Niscaya

ia akan memberimu hadiah.”

Sebetulnya surat yang ditulis Raja ini bukanlah surat utuk pemberian hadiah. Raja sangat

tersinggung, karena itu ia menulis dalam surat itu, “Hai menteriku, jika engkau bertemu

dengan orang yang membawa surat ini, penggallah kepalanya. Kemudian bawalah kepala

orang ini ke hadapanku.”

Pergilah si pemberi nasehat itu dari istana. Di pintu keluar, ia bertemu dengan si

pendengki. “Apa yang dilakukan baginda kepadamu?” Pendengki ingin tahu. “Raja

menjanjikanku hadiah dari salah seorang menterinya,” ujar si pemberi nasehat seraya

memperlihatkan surat dari Raja. “Kalau begitu biar aku yang membawanya,” kata si

pendengki. Akhirnya, orang yang pendengki itulah yang celaka dan mendapat hukuman

mati. 

Dari uraian tersebut menunjukkan bahwa hasad atau dengki memang betul-betul musuh

orang-orang beriman, dan salah satu obat yang dapat menetralisirnya adalah

memperbanyak syukur atas nikmat yang kita peroleh, sekecil apapun, untuk menjaga

keseimbangan hidup. Bukankah Allah telah menjanjikan bahwa semakin banyak kita

bersyukur kepada-Nya, justru Allah akan menambah kenikmatan hingga tak terbatas.

   ‫َواِ ْذ تَا َ َّذنَ َربُّ ُك ْم لَ ِٕى ْن َش َكرْ تُ ْم اَل َ ِز ْي َدنَّ ُك ْم َولَ ِٕى ْن َكفَرْ تُ ْم اِ َّن َع َذابِ ْي لَ َش ِد ْي ٌد‬

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur,

niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari

(nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (QS: Ibrahim: 7)


‫[و ْالبَ[[رُّ‬
‫ت َوال ِّذ ْك ِر ْال َح ِكي ِْم‪ِ .‬إنَّهُ هُ[ َ‬
‫ك هللاُ لِى َولَ ُك ْم فِي ْالقُرْ آ ِن ْال َع ِظي ِْم‪َ ،‬ونَفَ َعنِي َوِإيَّا ُك ْم بِ َما فِ ْي ِه ِمنَ اآْل يا َ ِ‬
‫ار َ‬
‫بَ َ‬
‫َّح ْي ُم‬ ‫التَّوَّابُ الرَُّؤ وْ ُ‬
‫ف الر ِ‬

‫‪Khutbah Kedua‬‬

‫لى تَ ْوفِ ْيقِ ِه َواِ ْمتِنَانِ ِه‪َ .‬وَأ ْشهَ ُد َأ ْن الَ اِلَهَ ِإالَّ هللاُ َوهللاُ َوحْ َدهُ‬
‫لى ِإحْ َسانِ ِه َوال ُّش ْك ُر لَهُ َع َ‬
‫الحمد هللِ َع َ‬
‫ص ِّل َعلَى‬ ‫إلى ِرضْ َوانِ ِه‪ .‬اللهُ َّم َ‬ ‫أن َسيِّ َدنَا ُم َح َّمدًا َع ْب ُدهُ َو َرس ُْولُهُ ال َّدا ِعى َ‬ ‫ْك لَهُ َوَأ ْشهَ ُد َّ‬
‫الَ َش ِري َ‬
‫َسيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد ِو َعلَى اَلِ ِه َوَأصْ َحابِ ِه َو َسلِّ ْم تَ ْسلِ ْي ًما ِكث ْيرًا‪َ .‬أ َّما بَ ْع ُد‪:‬‬
‫فَيا َ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا هللاَ فِ ْي َما َأ َم َر َوا ْنتَه ُْوا َع َّما نَهَى َوا ْعلَ ُم ْوا َأ َّن هللاَ َأ َم َر ُك ْم بَِأ ْم ٍر بَ َدَأ فِ ْي ِه‬
‫لى النَّبِى يآ اَيُّهَا‬ ‫ُصلُّ ْو َن َع َ‬ ‫ال تَعاَلَى ِإ َّن هللاَ َو َمآلِئ َكتَهُ ي َ‬ ‫بِنَ ْف ِس ِه َوثَـنَّى بِ َمآل ِئ َكتِ ِه بِقُ ْد ِس ِه َوقَ َ‬
‫صلُّ ْوا َعلَ ْي ِه َو َسلِّ ُم ْوا تَ ْسلِ ْي ًما‬
‫الَّ ِذي َْن آ َمنُ ْوا َ‬
‫ك َو َمآلِئ َك ِة‬
‫ك َو ُر ُسلِ َ‬‫آل َسيِّ ِدنا َ ُم َح َّم ٍد َو َعلَى اَ ْنبِيآِئ َ‬
‫ص ِّل َعلَى َسيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد َو َعلَى ِ‬
‫اللهُ َّم َ‬
‫ض اللّهُ َّم َع ِن ْال ُخلَفَا ِء الرَّا ِش ِدي َْن َأبِى بَ ْك ٍر َو ُع َمر َو ُع ْث َمان َو َعلِ ّى َو َع ْن بَقِيَّ ِة‬ ‫ْال ُمقَ َّربِي َْن َوارْ َ‬
‫ض َعنَّا َم َعهُ ْم‬ ‫ص َحابَ ِة َوالتَّابِ ِعي َْن َوتَابِ ِعي التَّابِ ِعي َْن لَهُ ْم ِباِحْ َس ٍ‬
‫ان اِلَى يَ ْو ِم ال ِّدي ِْن َوارْ َ‬ ‫ال َّ‬
‫ك يَا َأرْ َح َم الرَّا ِح ِمي َْن‬‫بِ َرحْ َمتِ َ‬
‫ت اللهُ َّم َأ ِع َّز‬
‫ت اَالَحْ يآ ُء ِم ْنهُ ْم َو ْاالَ ْم َوا ِ‬ ‫ت َو ْال ُم ْسلِ ِمي َْن َو ْال ُم ْسلِ َما ِ‬‫اَللهُ َّم ا ْغفِرْ لِ ْل ُمْؤ ِمنِي َْن َو ْال ُمْؤ ِمنَا ِ‬
‫ك ْال ُم َوحِّ ِدين َوا ْنصُرْ َم ْن نَ َ‬
‫ص َر‬ ‫ك َو ْال ُم ْش ِر ِكي َْن َوا ْنصُرْ ِعبَا َد َ‬ ‫ْاِإل ْسالَ َم َو ْال ُم ْسلِ ِمي َْن َوَأ ِذ َّل ال ِّشرْ َ‬
‫اخ ُذلْ َم ْن َخ َذ َل ْال ُم ْسلِ ِمي َْن َو َد ِّمرْ َأ ْع َدا َء ال ِّدي ِْن َواَ ْع ِل َكلِ َماتِ َ‬
‫ك ِإلَى يَ ْو ِم ال ِّد ْي ِن‪ .‬اللهُ َّم‬ ‫ال ِّدي َْن َو ْ‬
‫لوبَا َء َوال َّزالَ ِز َل َو ْال ِم َح َن َوس ُْو َء ْالفِ ْتنَ ِة َو ْال ِم َح َن َما ظَهَ َر ِم ْنهَا َو َما بَطَ َن‬ ‫ا ْدفَ ْع َعنَّا ْالبَالَ َء َو ْا َ‬
‫صةً َو َساِئ ِر ْالب ُْل َدا ِن ْال ُم ْسلِ ِمي َْن عآ َّمةً يَا َربَّ ْال َعالَ ِمي َْن‪.‬‬
‫َع ْن بَلَ ِدنَا اِ ْن ُدونِي ِْسيَّا خآ َّ‬
‫ظلَ ْمنَا اَ ْنفُ َسنَا َو ْ‬
‫إن لَ ْم‬ ‫ار‪َ .‬ربَّنَا َ‬ ‫‪َ  ‬ربَّنَا آتِنا َ فِ ْي ال ُّد ْنيَا َح َسنَةً َوفِ ْي ْاآل ِخ َر ِة َح َسنَةً َوقِنَا َع َذ َ‬
‫اب النَّ ِ‬
‫اس ِري َْن‬ ‫تَ ْغفِرْ لَنَا َوتَرْ َح ْمنَا لَنَ ُك ْونَ َّن ِم َن ْا َ‬
‫لخ ِ‬
‫بى َويَ ْنهَى َع ِن ْالفَحْ شآ ِ[ء َو ْال ُم ْن َك ِر‬‫ان َوِإيْتآ ِء ِذي ْالقُرْ َ‬ ‫ِعبَا َدهللاِ ! ِإ َّن هللاَ يَْأ ُم ُر بِاْل َع ْد ِل َو ْاِإل حْ َس ِ‬
‫َو ْالبَ ْغي يَ ِعظُ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّكر ُْو َن َو ْاذ ُكرُوا هللاَ ْال َع ِظ ْي َم يَ ْذ ُكرْ ُك ْم َوا ْش ُكر ُْوهُ َع َ‬
‫لى نِ َع ِم ِه يَ ِز ْد ُك ْم‬
‫َولَ ِذ ْك ُر هللاِ َأ ْكبَر‬
‫‪ ‬‬

Anda mungkin juga menyukai