Anda di halaman 1dari 9

SOAL UJIAN AKHIR SEMESTER PASCASARJANA 1

1. Da'wah hukumnya wajib atau sunnah? Alasannya!


2. Berdakwah sambil berghibah, bagaimana?
3. Tulis bebeerapa narasi pengalaman saudara melaksanakan da'wah, di kalangan komunitas tertentu, dan
atau di tempat lainnya!
4. Da'wah unik! Pengertiannya?
5. Berdakwah dengan etika merupakan syarat utama untuk keberhasilan da'wah. Jelaskan beberapa point
dari etika da'wah yang menuju risalah Rasul!
6. Beri komentar dan penjelasan ayat berikut:

‫وال تقف ما ليس لك به غلم إن السمع والبصر والفؤاد كل أولئك كان عنه مسؤوال‬

7. Da'wah merupakan jalan dan langkah para Nabi dan Rasul dan jalannya orang-orang yang mengikuti
mereka. Jelaskan dengan dalil-dalil!
8. Tafsirkan dan kaitkan dengan ilmu metedeoogi da'wah ayat berikut:

‫وداعيا إلى هللا بإذنه وسراجا منيرا‬

9. Berdakwah dengan media akhlaq, apa penjelasannya?


10. Ada ungkapan

‫اهنلك وفينا الصاحلون ؟ فقال رسول اهلل ص م نعم!إذا كثر اخلبث‬


a. Terjemahkan
b. Beri catatan atau penjelasan
c. Simpulkan

Jawab 7 dari 10 soal

Jawaban:

AAA

1.
2. Majelis Amar Ma’ruf Nahi Munkar atau Majelis Ghibah?

Diantara bentuk perbuatan yang harus selalu diwaspadai oleh setiap muslim khususnya para da’i adalah
berkumpulnya mereka dalam ‘majelis amar ma’ruf nahi munkar’, namun sebenarnya ia adalah ‘majelis
ghibah’. Bagaimana tidak disebut demikian, jika setiap kali berkumpul di majelis itu, selalu saja
disediakan santapan berupa daging saudaranya sesama muslim, minumannya adalah kehormatannya,
buah-buah hidangannya adalah aib-aibnya, dan manisannya adalah kekurangan-kekurangannya. Majelis
itu hanya diisi dengan serangan terhadap kehornatan orang-orang muslim dan mencari-cari kekurangan
mereka. Semua itu kemudian dianggapnya sebagai ‘amar ma’ruf nahi munkar’.

Al-Ghazaly berkata, “Persoalan ghibah merupakan sesuatu yang paling rumit dan tersamar, karena ia
merupakan kejahatan yang disembunyikan setan dalam selimut kebaikan. Memang disitu ada kebaikan,
kemudian setan memupuknya dengan kejahatan.”

Prosedur amar ma’ruf nahi munkar itu sangat jelas, seperti disabdakan oleh Nabi shalallahu ‘alihi wa
sallam:

ِ ُ‫ َو َذ ِلكَ اَضْ َعف‬,‫ فَِإ ْن لَ ْم يَ ْست َِط ْع فَ ِبقَ ْل ِب ِه‬,‫ فَِإ ْن لَ ْم يَ ْست َِط ْع فَ ِب ِل َسا ِن ِه‬,‫ َم ْن َرَأى ِم ْن ُك ْم ُم ْن َكرً ا فَ ْليُ َغيِّرهُ ِبيَ ِد ِه‬.
ِ ‫اال ْي َم‬
)‫ان (رواه مسلم‬
“Barang siapa di antara kamu melihat kemunkaran maka ubahlah ia dengan tangannya, jika ia tidak
mampu maka ubahlah dengan lisannya, jika ia tidak mampu maka ubahlah dengan hati, dan yang
demikian itu selemah-lemah iman” (HR. Muslim).

Dari hadits di atas kita mengetahui bahwa jika seorang mukmin melihat kemungkaran, yang harus
dilakukannya adalah merubah dengan tangan atau kekuasaannya. Namun jika tidak mampu, ia harus
menghadapinya dengan menggunakan lisan, yakni mendatangi orang yang berbuat munkar, berhadapan
langsung dengannya untuk memberikan nasehat. Tetapi kalau cara ini tidak memungkinkan, maka
berikutnya yang harus dilakukan adalah mengingkarinya dengan hati.

Marah karena Allah tidak mengharuskan seseorang menyebutkan nama pelaku kemungkaran atau
menunjuknya secara langsung. Apalagi menyebutnya di tengah-tengah majelis dimana disana berkumpul
orang-orang dengan beragam niatnya. Ada orang yang datang hanya untuk mengisi kekosongan waktu
dengan sedikit kesenangan dan obrolan yang sejalan dengan tuntunan hawa nafsunya, dan ada pula
orang-orang yang sengaja datang untuk mendengar informasi ghibah. Pada diri Rasulullah shalallahu
alaihi wa sallam terdapat teladan yang baik. Beliau tidak pernah menunjuk secara langsung. Jika beliau
tidak menyukai sesuatu pada diri seseorang, maka beliau bertanya, “Bagaimana kedaan segolongan orang
yang begini dan begitu, atau berbuat begini dan begitu?” atau pertanyaan lain yang serupa dengan ini.
Dari Aisyah radhiyallahu anha, dia berkata, “Jika Nabi shalallahu alaihi wa sallam mendengar sesuatu
pada diri seseorang, maka beliau tidak bertanya, “Ada apa Fulan berkata begitu?” Tetapi beliau bertanya,
“Ada apa segolongan orang berkata begini dan begini?”

Nabi shalallahu alaihi wa sallam bersabda, “Muslim itu saudara muslim lainnya, tidak menzaliminya,
tidak menelantarkannya, dan tidak merendahkannya.” (HR. Muslim).

Menurut An-Nawawy, perkataan Nabi: “Tidak menelantarkannya”, maksudnya tatkala melaksanakan


amar ma’ruf nahi munkar, atau tatkala menuntutnya suatu hak tertentu. Seharusnya dia menolongnya,
membantunya dan menjaganya sekuat tenaga. Perkataan beliau: “Tidak merendahkannya”, artinya dia
tidak boleh menganggap dirinya lebih baik daripada yang lain, tetapi dia harus menganggap bahwa orang
lain lebih baik darinya, atau tidak menganggap apa pun. Sebab apa yang terjadi kemudian masih tersamar
dan seseorang tidak tahu bagaimana kesudahannya.

Seorang muslim yang baik harus marah karena Allah kepada teman-temannya yang menyebutkan
keburukan seseorang. Sebab mereka telah mendurhakai Rabb mereka dengan dosa yang amat keji, yaitu
ghibah. Membenarkan ghibah sama dengan ghibah itu sendiri. Orang yang mendengarkan ghibah
merupakan sekutu orang yang mengghibah, kecuali jika dia mengingkari atau membela kehormatan
saudaranya.

Bahaya Ghibah Bagi Gerakan Dakwah

Ghibah sangat berbahaya bagi gerakan dakwah. Karena salah satu faktor yang dapat merusak barisan,
mengurai ikatan, dan mengguncang bangunan dakwah menurut Ustadz Fathi Yakan, adalah lahirnya
perilaku suka bergunjing, mengadu domba, mengintai aib orang lain, banyak bicara, dan tersebarnya itu
semua tanpa kendali dengan alasan memperbaiki keadaan melalui amar makruf nahi munkar. Penyakit
yang berbahaya ini, lanjut beliau, sayangnya telah mewarnai gerakan Islam diseluruh wilayah Islam, baik
di lingkup lokal, regional, maupun negara. Hasilnya adalah: rasa rendah diri, goncangnya barisan,
tiadanya tsiqah, serta tersingkapnya kelemahan harakah di hadapan musuh.

Membudayanya sikap suka bicara dan menceritakan apa yang didengar tanpa seleksi dapat menyebabkan
gerakan Islam hancur. Bermula dari mencela qiyadah lalu meragukan konsep, akhirnya hancurlah
bangunan harakah sama sekali.

Ustadz Fathi Yakan menegaskan nasehatnya kepada para pengemban dakwah yang berperilaku seperti
itu untuk takut kepada Allah dari menodai kehormatan saudara-saudaranya. Jangan sampai mereka
melukai saudara-saudaranya itu seperti seorang dokter memotong-motong jenazah, atau seperti tukang
jagal memotong hewan, tanpa menjaga ucapan dan etika perbedaan antar sesama, obyektifitas dalam
mengeritik, serta memperhatikan pilihan kata yang tepat ketika melemparkan pembicaraannya.

Hendaknya mereka memperhatikan firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-
amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka
sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS. Al-Ahzab, 33: 70-71).

Mereka pun hendaknya merenungkan hadits berikut,

ُ ‫ قُ ْل‬،‫ قُلْ َرب َِّى هللاُ ثُ َّم ا ْستَقِ ْم‬:‫ال‬


‫ يَا َرسُوْ َل هللاِ َما اَ ْخ َوفُ َما‬:‫ت‬ ِ ‫ يَا َرسُوْ َل هللاِ َحد ِّْثنِي بَِأ ْم ٍر َأ ْعت‬:‫ت‬
َ َ‫ ق‬،‫َص ُم بِ ِه‬ ُ ‫ قُ ْل‬:‫ال‬
َ َ‫ع َْن ُس ْفيَانَ ب ِْن َع ْب ِد هللاِ ق‬
.‫ ه َذا‬:‫ال‬ ُ ْ
َ َ‫ان نَف ِس ِه ث َّم ق‬ِ ‫تَخَ افُ َعلَ َّي؟ فََأخَ َذ بِلِ َس‬

Dari Sufyan bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Saya bertanya, ‘Wahai Rasulullah, katakan
kepadaku sesuatu yang bisa kujadikan pegangan.’ Beliau menjawab, ‘Katakan bahwa Tuhanku adalah
Allah lalu istiqamahlah.’ Saya bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apa yang paling Anda khawatirkan atas
diriku?’ Rasulullah menunjuk mulutnya sendiri dan berkata, ‘Ini’” (HR. Tirmidzi).

Kemudian hendaknya mereka mengindahkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam,

.ُ‫ب اهللُ َعلَْي ِه هِبَا َس َخطَهُ ِإىَل َي ْوِم َيْل َقاه‬ ِ ِ ِِ ِ


ْ َ‫َو ِإ َّن اَ َح َد ُك ْم لَيَتَ َكلَّ ُم بِالْ َكل َم )ة م ْن َس َخط اهلل َما يَظُ ُّن َأ ْن َتْبلُ َ)غ َما َبلَغ‬
ُ ُ‫ت َفيَكْت‬
“Sungguh salah seorang di antara kalian berbicara dengan kata-kata yang membuat murka Allah tanpa
dipertimbangkan akibatnya, maka Allah menetapkan dengan ucapannya itu murka-Nya hingga hari
kiamat” (HR. Tirmidzi).

3. Ketika saya berdakwah di mesjid yang memang memiliki atau menganut madzhab atau aliran yang
berbeda seperti NU, Muhammadiyah, Persis, AL-Irsyad, Salafi, harus bertoleransi sebaik mungkin
karena memiliki perbedaan dalam masalah furu'iyah ataupun praktek ibadah, dan tidak membenarkan
1 madzhab saja, tidak merasa paling benar diantara ormas aliran lain, intinya harus toleransi dalam
berdakwah tersebut, dengan mengaitkan materi dalam berbagai sudut pandang dan tentunya dengan
dalil yang berbeda-berbeda, karena semua ormas islam tersebut intinya menyembah Allah swt, serta
mempercayai Rukun Iman serta mengamalkan Rukun Islam, dengan berdasarkan atas Dalil Naqli
maupun Dalil Aqli dengan berpegang teguh pada Al-Qur'anul Kariim dan Sunnah Nabiyullah.
4. Dakwah unik
5. Di dalam al Qur‟an telah diterangkan mengenai, bagaimana etika dakwah para
dai dalam kegiatan berdakwah? Diantaranya etika dakwah yang diterangkanyaitu ikhlas (QS. al
Bayyinah:5), konsisten antara ucapan dan perbuatan (QS ashShaff: 2-3), lemah lembut (QS Ali Imran:
159), dan takut kepada Allah (QS al Mu‟minuun: 57-61). Selanjutnya akan kita kaji secara lebih
mendalam dari tafsirayat-ayat tersebut.
 Ikhlas dalam Berdakwah

Ikhlas dalam berdakwah berarti tidak menghitung-hitung hasil dakwah kitadengan segala
bentuk imbalan duniawi: materi, pengaruh, nama
besar, popularitas, dukungan massa, dan sebagainya. Dari dakwah yang ikhlas, kitahanya boleh
berharap Allah swt melimpahkan hidayah kepada ummat yang kitadakwahi, melalui ikhtiar optimal
yang kita lakukan.Kita hanya boleh berharapmereka yang kita dakwahi menjadi orang-orang
berkepribadian islami, dan turut bersama-
sama memperjuangkan kalimat Allah. Sebagaimana Allah berfirmandalam QS al Bayyinah:
5 Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah denganmemurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama denganlurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan
menunaikan zakat; dan yangdemikian itulah agama yang lurus.

 Konsisten antara Ucapan dan Perbuatan dalam Berdakwah


Orang yang beramal tanpa konsistensi dapat digambarkan sebagai orangyang telah menanam
tetapi tidak merawat sehingga amalnya layu, kurus kering,hancur diserang dosa, atau bahkan habis
musnah sehingga ketika datang saatnyamenghadap Allah, ia kebingungan karena tidak satu bulir pun
pahala bisadipetiknya.Dalam Kamus Bahasa Indonesia, konsisten diartikan selaras, sesuai yakni antara
perbuatan dengan ucapan. Mengenai konsisten dalam berdakwah, Allah berfirman dalam QS Ash
Shaff: 2-3

Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidakkamu perbuat?.Amat besar
kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakanapa-apa yang tiada kamu kerjakan.maqtan artinya
membenci dengan sangat, yakni marah yangamat sangat dari Allah. Perbuatan yang sangat dimarahi-
Nya itu adalah zina danucapan yang tidak diusahakan pelaksanaanya dengan perbuatan.Asbabun nuzul
ayat di atas menurut riwayat dari „Abdullah bin Salam, ia berkata,” beberapa sahabat Nabi saw
mengajak kami duduk kemudian kami
berkata,‟jika kami tahu perbuatan apa yang telah disukai Allah kami pastimelakukannya,‟ maka
turunlah ayat 1-4 surah as-Saff.Allah swt mengingatkan kaum muslimin akan kekurangan-
kekuranganyang ada pada mereka, yaitu mereka mengatakan suatu perkataan, tetapi merekatidak
merealisasikan atau mengerjakannya. Di antaranya mereka berkata,”kami ingin mengerjakan
kebajikan-kebajikan yang diperintahkan Allah, tetapi jikadatang perintah itu, mereka tidak
mengerjakannya

 Lemah Lembut dalam Berdakwah

Betapa hati manusia itu, pada asalnya, adalah cenderung kepada sikapyang lembut dan tidak
kasar. Betapa indah dan lembutnya cara pengajaran daritauladan kita Nabi Muhammad saw terhadap
seorang yang belum mengerti.Allah berfirman dalam QS Ali Imran: 159

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembutterhadap mereka.Sekiranya kamu
bersikap keras lagi berhati kasar, tentulahmereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.Karena itu
maafkanlah mereka,mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan merekadalam
urusan itu.Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, makabertawakallah kepada
Allah.Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.

Ibnu Katsir menerangkan ayat di atas bahwa Allah swt berfirman kepadarasul-Nya seraya
menyebutkan anugerah yang telah dilimpahkan-Nya kepada dia, juga kepada orang-
orang mukmin, yaitu Allah telah membuat hatinya lemahlembut kepda umatnya yang akibatnya mereka
menaati perintahnya dan menjauhilarangnya, Allah juga membuat tutur katanya terasa menyejukkan
hati mereka. Yakni sikapmu yang lemah lembut terhadap mereka, tiada lain hal itudijadikan oleh Allah
buatmu sebagai rahmat buat dirimu dan juga buat mereka.

 Takut kepada Allah dalam Berdakwah

Allah berfirman dalam QS al Mu‟minuun: 5

Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab)Tuhan mereka. Dan
orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhanmereka. Dan orang-orang yang tidak
mempersekutukan dengan Tuhanmereka (sesuatu apa pun). Dan orang-orang yang memberikan apa
yangtelah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu
bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka. mereka itu bersegera untuk
mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya. Kata
musyfiqun bentuk jamak dari lafal musyfiq yang terambil dari kata syafaqa yaitu bercampurnya cahaya
siang hari dengan gelapnya malam seiringdengan terbenamnya matahari. Allah swt bersumpah dalam
al-Insyiqaq:16, “ maka rasa kasihan lebih besar, Dalam ayat ini di jelaskan tuduhan orang-orangkafir
bahwa para malaikat adalah anak-anak Allah sangatlah keliru dan salah,karena sesungguhnya para
malaikat adalah hamba-hamba Allah yang mulia, yangselalu berhati-hati karena merasa takut dan
senantiasa patuh serta tunduk kepada- Nya.

6. Ayat ini memberi tuntunan bahwa dilarang mengikuti sesuatu yang tidak ada pengetahuan tentang hal
itu, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Bahkan al-Qatadah menegaskan, janganlah seseorang
mengatakan mendengar padahal ia belum mendengarnya, jangan menyatakan melihat padahal ia
sendiri belum melihatnya dan jangan pula menyatakan mengetahui sesuatu padahal ia sendiri belum
mengetahuinya. Karena itulah Rasulullah Saw. “meminta umatnya untuk menjauhi sikap menduga-
duga (dzan) atau berprasangka karena hal itu termasuk perbuatan dosa”. Dari satu sisi tuntunan ayat ini
mencegah sekian banyak keburukan, seperti tuduhan, sangka buruk, kebohongan dan kesaksian palsu.
Di sisi lain ia memberi tuntunan untuk menggunakan pendengaran, penglihatan dan hati sebagai alat-
alat untuk meraih pengetahuan. (QS.An-Nahl : 78) Sayyid Qutub berkomentar bahwa ayat ini dengan
kalimat-kalimatnya yang sedemikain singkat telah menegakkan suatu sistem yang sempurna bagi hati
dan akal. Bahkan ayat ini menambah sesuatu yang berkaitan dengan hati manusia dan pengawasan
Allah SWT. Tambahan dan penekanan ini merupakan keistimewaan Islam dibanding dengan metode-
metode penggunaan nalar yang dikenal selama ini. Pintu-pintu atau media untuk sampainya ilmu
adalah melalui al-sam’u (pendengaran), al-basharu (penglihatan), dan al-fu’adu (perenungan-
pemikiran). Ketiganya harus diintegrasikan dengan baik untuk memaksimalkan pendidikan intelektual
seseorang. Karena itu, perlu dipahami bahwa yang dilihat di sini adalah fungsinya, potensinya, bukan
alatnya. Ada orang yang punya mata tapi tidak melihat, punya telinga tapi tidak mendengar. Punya hati
tapi tidak merenungkan. Bendanya: uzunun, ‘ainun, qalbun (QS. Al-A’raf: 179). Al-Qur’an
mengajarkan manusia agar bersikap kritis, dengan cara menggunakan pendengaran, penglihatan dan
akal pikiran. Karena itu, ajaran Islam melarang orang bertaqlid dalam agama, yaitu mengikuti saja
tanpa mengetahui dalil atau sumber rujukannya. Sikap taqlid sama dengan meniadakan adanya potensi
akal yang Allah Swt berikan kepadanya. Ayat ini sangat relevan dalam konteks pembelajaran aktif
(active learning) yang berusaha memaksimalkan potensi generik inderawi tersebut untuk memperoleh
dan mengembangkan ilmu.
7. Mengikuti manhaj (jalan) Salafush Shalih (yaitu para Sahabat) adalah kewajiban bagi setiap individu
Muslim. Adapun dalil-dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah sebagai berikut:
A. Dalil-dalil dari Al-Qur-an
Allah berfirman:

ِ ‫الس ِم‬ ِ ٍ ِ ‫ِإ‬ ‫ِإ‬ ِ ِِ ِ‫مِب‬ ‫ِإ‬


‫يم‬ ُ َّ ‫فَ ْن َآمنُوا ثْ ِل َما َآمْنتُ ْم به َف َقد ْاهتَ َد ْوا ۖ َو ْن َت َولَّْوا فَ مَّنَا ُه ْم يِف ش َقاق ۖ فَ َسيَكْفي َك ُه ُم اللَّهُ ۚ َو ُه َو‬
ُ ‫يع الْ َعل‬
“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah
mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan
(denganmu). Maka Allah akan memeliharamu dari mereka. Dan Dia-lah Yang Mahamendengar lagi
Mahamengetahui.” [Al-Baqarah: 137]

Al-Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah (wafat th. 751 H) berkata: “Melalui ayat ini Allah
menjadikan iman para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai timbangan (tolok ukur)
untuk membedakan antara petunjuk dan kesesatan, antara kebenaran dan kebathilan. Apabila Ahlul
Kitab beriman sebagaimana berimannya para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka
sungguh mereka mendapat hidayah (petunjuk) yang mutlak dan sempurna. Jika mereka (Ahlul Kitab)
berpaling (tidak beriman) sebagaimana berimannya para Sahabat, maka mereka jatuh ke dalam
perpecahan, perselisihan, dan kesesatan yang sangat jauh …”

Kemudian beliau rahimahullah melanjutkan: “Memohon hidayah dan iman adalah sebesar-besar
kewajiban, menjauhkan perselisihan dan kesesatan adalah wajib; jadi mengikuti (manhaj) Sahabat
Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kewajiban yang paling wajib (utama).”[1]

َّ ‫السبُ َل َفَت َفَّر َق بِ ُك ْم َع ْن َسبِيلِ ِ)ه ۚ َٰذلِ ُك ْم َو‬


‫صا ُك ْم بِِه لَ َعلَّ ُك ْم َتَّت ُقو َن‬ ُّ ‫يما فَاتَّبِ ُعوهُ ۖ َواَل َتتَّبِ ُعوا‬ ِ ِ ِ َّ ‫َو‬
ً ‫َأن َٰه َذا صَراطي ُم ْستَق‬
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; janganlah
kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-
Nya. Yang demikian itu diperintahkan oleh Allah kepada-mu agar kamu bertaqwa.” [Al-An’aam:
153]

Ayat ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu bahwa jalan itu
hanya satu, sedangkan jalan selainnya adalah jalan orang-orang yang mengikuti hawa nafsu dan
jalannya ahli bid’ah. Hal ini sesuai dengan apa yang telah dijelaskan oleh Imam Mujahid ketika
menafsirkan ayat ini. Jalan yang satu ini adalah jalan yang telah ditempuh oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya Radhiyallahu anhum. Jalan ini adalah ash-
Shirath al-Mustaqiim yang wajib atas setiap Muslim menempuhnya dan jalan inilah yang akan
mengantarkan kepada Allah Azza wa Jalla.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ِ‫تم‬
‫ص ًريا‬ ِ ِ ُ‫ول ِمن بع ِد ما َتبنَّي لَه اهْل َد ٰى ويتَّبِع َغير سبِ ِيل الْمْؤ ِمنِني نُولِِّه ما َتوىَّل ٰ ون‬ َّ ‫َو َم ْن يُ َشاقِ ِق‬
َ ْ َ‫َّم ۖ َو َساء‬
َ ‫صله َج َهن‬ْ َ َ َ َ َ ُ َ َ ْ ْ َ َ ُ ُ َ َ َ ْ َ ْ َ ‫الر ُس‬

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan
yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk
tempat kembali.” [An-Nisaa’: 115]

Ayat ini menunjukkan bahwa menyalahi jalannya kaum Mukminin sebagai sebab seseorang terjatuh
ke dalam jalan-jalan kesesatan dan diancam dengan masuk Neraka Jahannam. Ayat ini juga
menunjukkan bahwa mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebesar-besar
prinsip dalam Islam yang mempunyai konsekuensi wajibnya umat Islam untuk mengikuti jalannya
kaum Mukminin sedangkan jalannya kaum Mukminin pada ayat ini adalah keyakinan, perkataan
dan perbuatan para Sahabat Radhiyallahu anhum. Karena, ketika turunnya wahyu tidak ada orang
yang beriman kecuali para Sahabat, seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

َ‫آ َمنَ ال َّرسُو ُل ِب َما ُأ ْن ِز َل ِإلَ ْي ِه ِم ْن َربِّ ِه َو ْال ُمْؤ ِمنُون‬

“Rasul telah beriman kepada Al-Qur-an yang diturunkan kepada-nya dari Rabb-nya, demikian pula
orang-orang yang beriman.” [Al-Baqarah: 285]
Orang-orang Mukmin ketika itu hanyalah para Sahabat Radhiyallahu anhum, tidak ada yang lain.

Ayat di atas menunjukkan bahwasanya mengikuti jalan para Sahabat dalam memahami syari’at
adalah wajib dan menyalahinya adalah kesesatan.[3]

ٍ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ ْم َو َرضُوا َع ْنهُ َوَأ َع َّد لَهُ ْم َجنَّا‬


ž‫ت تَجْ ِري تَحْ تَهَا‬ ٍ ‫ار َوالَّ ِذينَ اتَّبَعُوهُ ْم بِِإحْ َس‬
ِ ‫ان َر‬ ِ ‫ص‬َ ‫اج ِرينَ َواَأْل ْن‬
ِ َ‫َوالسَّابِقُونَ اَأْل َّولُونَ ِمنَ ْال ُمه‬
ْ ْ ٰ ‫َأ‬ ‫َأْل‬
‫ا ْنهَا ُر خَ الِ ِدينَ فِيهَا بَدًا ۚ َذلِكَ الفَوْ ُز ال َع ِظي ُم‬

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang
Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha terhadap
mereka dan mereka ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka Surga-Surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah
kemenangan yang besar.” [At-Taubah: 100]

Ayat tersebut sebagai hujjah bahwa manhaj para Sahabat Radhiyallahu anhum adalah benar. Orang
yang mengikuti mereka akan mendapatkan keridhaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
disediakan bagi mereka Surga. Mengikuti manhaj mereka adalah wajib atas setiap Mukmin. Kalau
mereka tidak mau mengikuti maka mereka akan mendapatkan hukuman dan tidak mendapatkan
keridhaan Allah Azza wa Jalla. Hal ini harus

Sahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata:


‫ ثُ َّم نَظَ َر فِي‬،‫ فَا ْبتَ َعثَهُ بِ ِر َسالَتِ ِه‬،‫ب ْال ِعبَا ِد فَاصْ طَفَاهُ لِنَ ْف ِس ِه‬
ِ ْ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم خَ ي َْر قُلُو‬َ ‫ب ُم َح َّم ٍد‬َ ‫ فَ َو َج َد قَ ْل‬،‫ب ْال ِعبَا ِد‬ِ ْ‫ِإنَّ هللاَ نَظَ َر ِإلَى قُلُو‬
ً ‫ فَ َما َرَأى ْال ُم ْسلِ ُموْ نَ َح َسنا‬،‫ يُقَاتِلُوْ نَ َعلَى ِد ْينِ ِه‬،‫ب ْال ِعبَا ِد فَ َج َعلَهُ ْم ُوزَ َرا َء نَ ِبيِّ ِه‬ ِ ْ‫ب َأصْ َحا ِب ِه خَ ي َْر قُلُو‬َ ْ‫ فَ َو َج َد قُلُو‬،‫ب ُم َح َّم ٍد‬ ِ ‫ب ْال ِعبَا ِد بَ ْع َد قَ ْل‬ِ ْ‫قُلُو‬
‫هللا َسيٌِّئ‬ ‫د‬
ِ َ ِ َْ
‫ن‬ ‫ع‬ ‫ُو‬ ‫ه‬ َ ‫ف‬ ً ‫ا‬ ‫ِّئ‬ ‫ي‬‫س‬ ‫ا‬ ‫َأ‬
َ ْ‫فَه َُو ِ َ ِ َ َ َ َ َ و‬.
‫ر‬ ‫ا‬ ‫م‬‫و‬ ، ٌ‫ن‬ ‫س‬ ‫ح‬ ‫هللا‬ ‫د‬ ْ
‫ن‬ ‫ع‬

“Sesungguhnya Allah melihat hati hamba-hamba-Nya dan Allah mendapati hati Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik hati manusia, maka Allah pilih Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai utusan-Nya dan Allah memberikan risalah kepadanya,
kemudian Allah melihat dari seluruh hati hamba-hamba-Nya setelah Nabi-Nya, maka didapati
bahwa hati para Sahabat merupakan hati yang paling baik sesudahnya, maka Allah jadikan mereka
sebagai pendamping Nabi-Nya yang mereka berperang untuk agama-Nya. Apa yang dipandang
kaum Mus-limin (para Sahabat Rasul) itu baik, maka itu baik pula di sisi Allah dan apa yang
mereka (para Sahabat Rasul) pandang buruk, maka di sisi Allah hal itu adalah buruk.”[9]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan tentang akan terjadinya perpecahan dan
perselisihan pada ummatnya, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan jalan
keluar untuk selamat dunia dan akhirat, yaitu dengan mengikuti Sunnahnya dan Sunnah para
Sahabatnya Radhiyallahu anhum. Hal ini menunjukkan tentang wajibnya mengikuti Sunnahnya
(Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan Sunnah para Sahabatnya Radhiyallahu anhum.
Kemudian dalam hadits yang lain, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan
tentang hadits iftiraq (akan terpecahnya umat ini menjadi 73 golongan), beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:

‫َان َو َس ْبعُوْ نَ ِفي‬ِ ‫ ِث ْنت‬: َ‫ث َو َسب ِْعيْن‬ٍ َ‫ق َعلَى ثَال‬žُ ‫ َوِإنَّ هَ ِذ ِه ْال ِملَّةَ َستَ ْفت َِر‬،ً‫ب اِ ْفت ََرقُوْ ا َعلَى ِث ْنتَي ِْن َو َسب ِْعيْنَ ِملَّـة‬
ِ ‫َأالَ ِإنَّ َم ْن قَ ْبلَ ُك ْم ِم ْن َأ ْه ِل ْال ِكتَا‬
ُ‫ َو ِه َي ْال َج َما َعة‬،‫اح َدةٌ فِي ْال َجنَّ ِة‬ِ ‫ َو َو‬،‫ار‬ َّ
ِ ‫الن‬.

“Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari Ahlul Kitab telah berpecah belah
menjadi tujuh puluh dua golongan. Sesungguhnya (ummat) agama ini (Islam) akan berpecah belah
menjadi tujuh puluh tiga golongan, tujuh puluh dua golongan tempatnya di dalam Neraka dan hanya
satu golongan di dalam Surga, yaitu al-Jama’ah.”[11]

Dalam riwayat lain disebutkan:

‫ َما َأنَا َعلَ ْي ِه َوَأصْ َحابِ ْي‬:ً‫اح َدة‬


ِ ‫ار ِإالَّ ِملَّةً َو‬
ِ َّ‫ ُكلُّهُ ْم فِي الن‬.

“Semua golongan tersebut tempatnya di Neraka, kecuali satu (yaitu) yang aku dan para Sahabatku
berjalan di atasnya.”[12]

Hadits iftiraq tersebut juga menunjukkan bahwa umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan,
semua binasa kecuali satu golongan, yaitu yang mengikuti apa yang telah dilaksanakan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya Radhiyallahu anhum. Jadi, jalan
selamat itu hanya satu, yaitu mengikuti Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salafush
Shalih (para Sahabat).

Hadits di atas menunjukkan bahwa setiap orang yang mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan para Sahabatnya adalah termasuk ke dalam al-Firqatun Naajiyah (golongan yang selamat).
Sedangkan yang menyelisihi (tidak mengikuti) para Sahabat, maka mereka adalah golongan yang
binasa dan akan mendapat ancaman dengan masuk ke dalam Neraka.

B. Dalil-Dalil Dari Penjelasan Para Ulama


‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata:

.ٌ‫ضالَلَة‬
َ ‫اِتَّبِعُوْ ا َوالَ تَ ْبتَ ِد ُعوْ ا فَقَ ْد ُكفِ ْيتُ ْم َو ُكلُّ بِ ْد َع ٍة‬

“Hendaklah kalian mengikuti dan janganlah kalian berbuat bid’ah. Sungguh kalian telah dicukupi
dengan Islam ini, dan setiap bid’ah adalah sesat.”[13]
Kembali ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu mengatakan:

،‫ َوَأ ْق َو َمهَا ه َْديًا‬،‫ َوَأ َقلَّهَا َت َكلُّ ًفا‬،‫ َوَأعْ َم َقهَا عِ ْلمًا‬،ً‫ َفِإ َّن ُه ْم َكا ُن ْوا َأبَرَّ َه ِذ ِه ْاُأل َّم ِة قُل ُ ْوبا‬، ‫هللا صَ لَّى هللا ُ عَ لَ ْي ِه َوسَ لَّ َم‬
ِ ‫ب رَ س ُْو ِل‬ ِ ‫َمنْ َكانَ ِم ْن ُك ْم ُم َتَأسِّيا ً َف ْل َي َتَأسَّ ِبَأصْ حَ ا‬
ْ ْ ‫َأ‬
.‫ َفِإ َّن ُه ْم َكا ُن ْوا عَ لَى الهُدَ ى المُسْ َتقِي ِْم‬،‫ار ِه ْم‬ ِ ‫م فِي آ َث‬6ْ ‫ َوا َّت ِبع ُْو ُه‬،‫ َفاعْ ِرفُ ْوا لَ ُه ْم َفضْ لَ ُه ْم‬،ِ‫ َق ْو ٌم ا ِْخ َتارَ ُه ُم هللا ُ لِصُحْ َب ِة َن ِب ِّي ِه َ ِوِإل َقا َم ِة ِد ْي ِنه‬،ً‫َو حْ سَ َنهَا حَ اال‬

8. A
9. Sebagian kalangan masih menganggap dakwah hanya berbentuk penyampaian materi secara lisan.
Padahal sebenarnya dakwah meliputi aspek lainnya juga; semisal praktek nyata, memberi contoh
amalan, dan akhlak mulia, atau yang lazim dikenal dengan dakwah bil hâl. Bahkan justru yang terakhir
inilah yang lebih berat dibanding dakwah dengan lisan dan lebih mengena sasaran. Banyak orang yang
pintar berbicara dan menyampaikan teori dengan lancar, namun hanya sedikit yang menjalankan
ucapannya dalam praktek nyata. Di sinilah terlihat urgensi adanya qudwah hasanah (potret keteladanan
yang baik) di tengah masyarakat, yang tugasnya adalah menerjemahkan teori-teori kebaikan dalam
amaliah nyata, sehingga teori tersebut tidak selalu hanya terlukis dalam lembaran-lembaran kertas. [3]

Jadi, dakwah dengan akhlak mulia maksudnya mempraktekkan akhlak mulia sebagai sarana untuk
mendakwahi umat manusia kepada kebenaran.

AKHLAK MULIA DAN DAMPAK POSITIFNYA DALAM DAKWAH

Di atas telah dijelaskan bahwa definisi akhlak mulia ialah berbuat baik kepada orang lain, menghindari
sesuatu yang menyakitinya serta menahan diri ketika disakiti. Berdasarkan definisi ini berarti cakupan
akhlak mulia sangatlah luas, dan tidak mungkin dipaparkan satu persatu dalam makalah singkat ini.
Karena itulah penulis hanya akan membawakan beberapa contoh saja. Semoga yang sedikit ini bisa
mendatangkan berkah dan para pembaca dapat menganalogikannya kepada contoh-contoh yang lain.

 Gemar Membantu Orang Lain.


Banyak nash dalam al-Qur’ân maupun Sunnah yang memotivasi kita untuk mempraktekkan karakter
mulia ini. Di antaranya, sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

‫َوهَّللا ُ فِي عَوْ ِن ْال َع ْب ِد؛ َما َكانَ ْال َع ْب ُد فِي عَوْ ِن َأ ِخي ِه‬

Allâh akan membantu seorang hamba jika ia membantu saudaranya [HR. Muslim no. 6793dari Abu
Hurairah]

 Jujur Dalam Bertutur Kata


Sifat jujur merupakan salah satu karakter mulia yang amat dianjurkan dalam Islam. Allâh Azza wa
Jalla berfiman:

ً‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اتَّقُوا هَّللا َ َوقُولُوا قَوْ الً َس ِديدا‬

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allâh dan ucapkanlah perkataan yang
benar [al-Ahzâb/33:70]

Kejujuran bertutur kata dalam kehidupan sehari-hari membuahkan kepercayaan masyarakat terhadap
apa yang kita sampaikan, bukan hanya dalam perkara duniawi, namun juga dalam perkara agama.

 Bertindak Ramah Terhadap Orang Miskin Dan Kaum Lemah


Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ض َعفَاِئ ُك ْم‬ َ ‫ا ْب ُغونِي الضُّ َعفَا َء؛ فَِإنَّ َما تُرْ زَ قُونَ َوتُ ْن‬
ُ ِ‫صرُونَ ب‬

Tolonglah aku untuk mencari (dan membantu) orang-orang lemah. Sesungguhnya kalian dikaruniai
rezeki dan meraih kemenangan lantaran adanya orang-orang miskin di antara kalian”. [HR. Abu
Dâwud no. 2594, dan sanadnya dinilai jayyid (baik) oleh an-Nawawi] [6]
 Santun Dalam Menyampaikan Nasehat, Sambil Memperhatikan Kondisi Psikologis Orang Yang
Dinasehati.
Dari Abu Hurairah, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َ ُ‫َو ْال َك ِل َمةُ الطَّيِّبَة‬


ٌ‫ص َدقَة‬

Ucapan yang baik adalah sedekah [HR. al-Bukhâri no. 2989 dan Muslim no. 2332]

Memilih kata-kata yang baik dan memperhatikan psikologis seseorang sangat menentukan keberhasilan
dakwah. Penulis pernah mendapatkan cerita dari saksi mata obrolan antara seorang ikhwan yang sudah
ngaji dengan seorang awam yang sebelumnya tidak pernah saling bertemu. Orang awam tadi membuka
obrolannya dengan kekagumannya akan perkembangan pembangunan fisik kota tempat mereka berdua
tinggal yang begitu cepat dan maju. Namun ikhwan tadi langsung menangkis, “Ya, itukan cuma
lahiriahnya saja. Tapi kalau kita lihat jiwa-jiwa penduduknya, ternyata kosong dan rapuh!”. Begitu
mendengar balasan lawan bicaranya, muka orang awam tadi langsung berubah dan terdiam.

 Bersifat Pemaaf Terhadap Orang Yang Menyakiti Dan Membalas Keburukan Dengan Kebaikan.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:

ِ ْ‫ُخ ِذ ْال َع ْف َو َوْأ ُمرْ ِب ْالعُر‬


َ‫ف َوَأ ْع ِرضْ ع َِن ْال َجا ِه ِلين‬

Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan kebajikan, serta jangan pedulikan orang-orang jahil
[al-A’râf/7:199]

Potret praktek akhlak mulia ini dalam kehidupan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam amatlah
banyak, baik dengan sesama Muslim, maupun dengan para musuh beliau dari kalangan orang-orang
kafir dan kaum musyrikin.

10. Terjemahan: Dari ummul mukminin Zainab binti Jahsyin Ra. Berkata; Ya Rasulallh apakah akan
diturunkan pada kami semua bencana sedang di tengah-tengah kami ada orang-orang sholeh ? Jawab
Rasul Saw : ya apabila kebejatan moral( kekejian ) merajalela.

Penjelasan: Ayat tersebut menyiratkan bahwa siksaan atau azab yang ditimpakan Allah sebagai
balasan atas kezaliman yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok kecil orang tidak saja menimpa
si pelaku kezaliman tetapi bisa juga menimpa orang-orang lain yang tidak bersalah atau tidak terlibat
dalam kezaliman tersebut. Orang-orang yang tidak bersalah sering harus turut menanggung penderitaan
yang timbul sebagai azab atas kezaliman yang dilakukan orang lain. Korupsi dan eksploitasi sumber
daya alam yang berlebihan adalah bentuk kezaliman lain yang berakibat serupa. Para pelakunya
mendapatkan “kenikmatan” dan “kemakmuran” di atas penderitaan masyarakat banyak.

Kesimpulan:

Anda mungkin juga menyukai