Anda di halaman 1dari 4

Khutbah jumat : albirru wal itsmu

ْ :َ‫الثْ ِم فَقَال‬
‫«البِ ُّر ُح ْس ُن‬ ِ ْ ‫ع ِن ْالبِ ِر َو‬
َ ،‫سلَّ َم‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ ‫سأ َ ْلتُ َر‬
َ ِ‫سو َل هللا‬ َ :َ‫ قَال‬،ِ‫اري‬
ِ ‫ص‬َ ‫س ْمعَانَ ْاْل َ ْن‬ ِ ‫ع ِن النَّ َّو‬
َ ‫اس ب ِْن‬ َ

ُ ‫علَ ْي ِه ال َّن‬
‫اس‬ َّ َ‫ َوك َِر ْهتَ أ َ ْن ي‬، َ‫صد ِْرك‬
َ ‫ط ِل َع‬ َ ‫الثْ ُم َما َحاكَ فِي‬ ِ ُ‫ْال ُخل‬
ِ ْ ‫ َو‬،‫ق‬

Dari an-Nawwâs bin Sam’ân Radhiyallahu anhu berkata: Aku bertanya kepada Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa salam tentang kebaikan dan dosa (keburukan)? Lalu beliau bersabda:
Kebaikan adalah bagusnya perangai; sedangkan dosa (keburukan) adalah apa yang mengganjal
di dadamu dan engkau pun tidak suka diketahui oleh orang lain. [HR. Muslim]

KOSA KATA HADITS ‫( ْال ِبر‬al-birru) adalah kebaikan Kata ini diungkapkan untuk menunjuk banyak
makna, yaitu bermakna shilah (berbuat baik kepada kerabat dengan menyambung pertaliannya),
jujur, kebaikan, dan mewujudkan ihsan (berbuat baik) dan ketaatan dalam pengertiannya yang
luas. Secara umum bisa dikatakan maknanya adalah melakukan kebaikan dalam cakupannya
yang luas. Ia adalah sebutan yang universal, menyeluruh untuk semua bentuk kebaikan; berupa
melakukan semua kebaikan, menjauhi semua keburukan dan amalan ikhlas yang terus-menerus.

ِ ُ‫( ُح ْسنُ ْال ُخل‬Husnul khuluq) yaitu akhlaq yang baik Perangai dan tabiat yang baik, bagus dalam
‫ق‬
bergaul dan berbaur dengan sesama, dengan menampakkan wajah berseri, bersahabat, dan
berempati, tidak mengganggu atau menyakiti orang lain, dan berbuat baik kepada mereka. Dan
ada perangai baik yang memang sudah menjadi tabiat atau naluri manusia, ada pula yang harus
diupayakan, dengan berupaya untuk berperilaku baik dan mengikuti (mencontoh) orang lain. Ini
adalah berperangai baik terhadap sesama manusia. Sedangkan berakhlak baik terhadap Allâh
yaitu dengan menunaikan kewajibannnya terhadap Allâh Azza wa Jalla dengan hati lapang serta
menjauhi apa yang Allâh Azza wa Jalla haramkan dengan hati ridha. Disamping juga memiliki
semangat tinggi untuk menambah amalannya dengan melaksanakan hal-hal yang sunnah. Ia
menerima ketetapan takdir-Nya dengan ridha, tanpa menggerutu. Juga menerima ketetapan
syariat-Nya dengan ridha dan pasrah, tunduk kepada syariat-Nya.

Ketika Rasul Shallallahu ‘alaihi wa salam mengatakan bahwa kebaikan adalah perangai yang
bagus; maka diantara maknanya adalah akhlak yang bagus itu merupakan salah satu bentuk
yang sangat agung dari bentuk kebaikan. Bukan berarti bahwa kebaikan hanya akhlak yang baik.
Namun akhlak yang baik adalah jenis kebaikan yang paling agung. Seperti ucapan Rasul
Shallallahu ‘alaihi wa salam : Haji adalah arafah. Artinya bahwa wuquf di Arafah bukan satu-
satunya amaliah haji, akan tetapi ia adalah rukun haji yang paling agung.

‫الثْ ُم‬
ِ ْ (Al-itsm) yaitu dosa. Itsm adalah berbagai maksiat dan dosa-dosa terkait dengan hak Allâh,
ataupun hak sesama makhluk. Ibnu Daqiq al-Id rahimahullah berkata: al-itsm adalah sesuatu
yang menyebabkan hati menjadi berpaling (menjadi tidak tenang dan ingin lari darinya). Ini adalah
makna dasar yang menjadi acuan untuk mengetahui dosa.

‫صد ِْر‬
َّ ‫( َحاكَ فِي ال‬Hâka fi ash-shadr) artinya membuat dada bergejolak dan ragu-ragu sehingga hal
tersebut menggoreskan kegalauan dan keresahan; hati menjadi terusik dan tidak nyaman
karenanya, dan timbul rasa khawatir kalau-kalau itu ternyata adalah dosa.

ُ ‫علَ ْي ِه ال َّن‬
‫اس‬ َّ َ‫( َوك َِر ْهتَ أ َ ْن ي‬Wa karihta an yatthali’’a alaihi an-nâs) artinya engkau tidak suka kalau
َ ‫ط ِل َع‬
orang-orang mengetahuinya. Engkau merasa bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang tercela
dan mengundang aib, tidak diridhai oleh kaum Muslimin. Yang dimaksud dengan ketidaksukaan
di sini (engkau tidak suka) adalah tidak suka atas dasar agama; sedangkan maksud dari (orang-
orang) dalam ucapan tersebut adalah ahli ilmu dan agama. Dan barometer untuk mengetahui
Khutbah jumat : albirru wal itsmu

dosa dalam hadits ini khusus untuk kaum Mukminin pilihan saja. Yaitu mereka yang mempunya
hati yang bersih dan jernih. Karena orang yang keras hatinya, mereka akan merasa enjoy dan
tenang dengan dosa. Jadi, arahan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam di sini adalah khusus untuk
orang yang hatinya bersih dan selamat. Adapun orang fasik, maka dosa tidak lagi membuat
hatinya menjadi risau, dan iapun tidak ambil pusing dengan pandangan orang-orang. Ia justru
akan terang-terangan tanpa ambil peduli.

KANDUNGAN HADITS Hadits ini termasuk jawâmi’ul kalim yang menafsirkan dua kata yaitu al-
birru dan al-itsmu. Jawâmi’ al-kalim adalah ungkapan ringkas, namun penuh dengan mutiara
hikmah dan makna di dalamnya. Mengenai al-birru (kebaikan); Ibnu Rajab rahimahullah berkata,
“Masuk dalam cakupan al-birru yaitu semua bentuk ketaatan batin, seperti iman kepada Allâh
Azza wa Jalla , Malaikat, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya; dan masuk juga ketaatan secara
lahiriah, seperti mendermakan harta untuk hal yang Allâh Azza wa Jalla cintai, mendirikan shalat,
menunaikan zakat, menepati janji, bersabar menghadapi ketentuan takdir Allâh Azza wa Jalla
seperti sakit dan kemiskinan, dan juga bersabar dalam menjalankan ketaatan, seperti bersabar
dalam menghadapi musuh di medan perang.

Jawaban Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam dalam hadits an-Nawwâs di atas bisa mencakup
semua kriteria tersebut. Karena bisa juga yang dimaksudkan dengan akhlak yang bagus adalah
berperilaku dengan tatanan dan norma syariat, dan beretika dengan etika yang diajarkan Allâh
dalam Kitab-Nya. Seperti yang Allâh jelaskan kepada Rasul-Nya dalam firman-Nya:

‫عظِ ٍيم‬ ٍ ُ‫ َو ِإ َّنكَ لَ َعلَ ٰى ُخل‬Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. [Al-
َ ‫ق‬
Qalam/68:4] Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata: َ‫ َكانَ ُخلُقُه ُ ْالقُ ْرآن‬Akhlak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
salam adalah Al-Quran. [HR. Ahmad]

Maksudnya, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam berperangai dan beretika dengan etika yang
diajarkan dalam al-Quran. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam menjalankan perintah Allâh Azza
wa Jalla dan menjauhi larangan-Nya. Pengamalan al-Quran bagi Rasul Shallallahu ‘alaihi wa
salam sudah menjadi perangai, layaknya tabiat yang sudah mendarah daging, di mana itu sama
sekali tidak pernah terpisah dari Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam . Inilah akhlak dan perangai
yang paling bagus, paling mulia dan paling elok. Seperti yang diungkapkan dengan perkataan,
“Sesungguhnya agama ini semua lininya adalah perangai (akhlak)”. Ibnu Daqiq al-Id rahimahullah
berkata mengenai ucapan: al-birru husnul khuluq: Yang dimaksudkan dengan perangai yang
bagus adalah berlaku inshâf (adil dan obyektif) dalam berinteraksi, berlaku lembut dalam bertukar
pikiran (berdebat), adil dalam menjalankan hukum, memberi (atau berkorban) dengan suka rela,
berbuat baik, serta berbagai bentuk sifat kaum Mukminin yang Allâh sifatkan dalam firma-Nya:
َ‫علَ ٰى َربِ ِه ْم يَت ََو َّكلُون‬ َّ ‫ إِنَّ َما ْال ُمؤْ مِ نُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُك َِر‬Sesungguhnya orang-
َ ْ‫َّللاُ َو ِجلَتْ قُلُوبُ ُه ْم َوإِذَا ت ُ ِليَت‬
َ ‫علَ ْي ِه ْم آيَاتُه ُ زَ ا َدتْ ُه ْم إِي َمانًا َو‬
orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allâh gemetarlah hati mereka, dan
apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada
Tuhanlah mereka bertawakkal. [Al-Anfâl/ 8: 2] Juga firman-Nya: َ‫الرا ِكعُون‬ َّ َ‫التَّائِبُونَ ْال َعا ِبدُونَ ْال َحامِ دُونَ السَّائِحُون‬
َ‫َّللا ۗ َو َبش ِِر ْال ُمؤْ مِ نِين‬ ِ َّ ‫ع ِن ْال ُم ْنك َِر َو ْال َحا ِفظُونَ ِل ُحدُو ِد‬ َ َ‫ون‬ ُ
‫ه‬ ‫ا‬َّ ‫ن‬‫ال‬ ‫و‬ ‫ر‬ ‫ع‬‫م‬
َ ِ‫ِ َ ْ ُ وف‬ْ
‫ال‬ ‫ب‬ َ‫ون‬ ‫مِر‬
ُ ْ
‫اْل‬ َ‫ُون‬‫د‬‫َّاج‬
ِ ‫س‬ ‫ال‬ Mereka itu adalah orang-orang
yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji, yang melawat (untuk mencari ilmu atau berjihad,
ataupun yang berpuasa), yang ruku’, yang sujud, yang menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah
berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allâh. Dan gembirakanlah orang-orang
mukmin itu [At-Taubah/ 9: 112] Juga dalam rangkaian firman-Nya, yang artinya, “Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang beriman.” [Al-Mu’minûn/ 23: 1] Juga firman-Nya: َ‫الرحْ ٰ َم ِن الَّذِين‬ َّ ‫َو ِعبَا ُد‬
‫س ََل ًما‬َ ‫وا‬ ُ ‫ل‬‫ا‬َ ‫ق‬ َ‫ون‬ُ ‫ل‬‫ه‬ِ ‫ا‬‫ج‬ ْ
‫ال‬
َ َُُ ‫م‬‫ه‬ ‫ب‬ ‫ط‬َ ‫َا‬
‫خ‬ ‫ا‬َ ‫ذ‬‫إ‬‫و‬ ‫ا‬ً
َِ ْ ِ ْ ‫ن‬‫َو‬
‫ه‬ ‫ض‬ ‫ر‬َ ْ
‫اْل‬ ‫ى‬ َ ‫ل‬‫ع‬َ َ‫ون‬ ُ
‫ش‬ ‫م‬
َْ ‫ي‬ Dan para hamba Allah yang Maha Penyayang itu
(ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil
Khutbah jumat : albirru wal itsmu

menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. [Al-


Furqân/ 25: 63] Oleh karena itu, barangsiapa yang merasa gamang dengan keadaan dirinya,
maka ia bisa mencermati dirinya dan bercermin dengan ayat-ayat tersebut. Bila kriteria-kriteria
tersebut semuanya memang ada, maka ini pertanda bagusnya akhlak dan perangai seseorang.
Bila semua kriteria tersebut tidak didapatkan pada dirinya, maka ini pertanda buruknya akhlak
dan perangainya. Bila hanya sebagian kriteria saja yang ada padanya, ini menunjukkan unsur
ketidaksempurnaan dalam keindahan perangainya. Sehingga ia harus menjaga kriteria-kriteria
yang sudah ada pada dirinya, sekaligus mengupayakan untuk mewujudkan kriteria-kriteria yang
belum ada padanya. Janganlah kita menyangka bahwa perangai yang bagus hanyalah sekedar
berperilaku lembut dan meninggalkan hal-hal keji semata. Jangan kita mengira bahwa kalau
orang sudah menerapkannya, itu artinya telah memperbagus akhlaknya. Namun yang harus
diperhatikan adalah akhlak yang bagus adalah bila seseorang merealisasikan akhlak dan sifat-
sifat kaum Mukminin, menjalankan perilaku dan akhlak mereka, dan bisa menghadapi cobaan
dan gangguan yang menyakitkan dengan baik. Syaikh Ahmad Hijazi dalam Syarah Al-Arba’in
berkata, “Al-Birr, satu ungkapan yang dituntut oleh syariat, baik yang diwajibkan maupun yang
disunnahkan. Kata ini bermakna berbuat baik, sehingga masuk ke dalamnya tiga unsur utama;
yaitu: wajah yang berseri, menahan diri dari gangguan (tidak menyakiti atau mengganggu), dan
mau mendermakan yang ia punya dengan kemurahan hati (baik harta, ilmu atau lainnya). Juga
agar mencintai orang lain sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Masuk pula dalam cakupan
al-birr, berlaku adil dan obyektif dalam berinteraksi, berlemah lembut dalam berdebat, adil dalam
menjalankan hukum, berbuat baik meskipun tidak diketahui orang lain dan berlaku îtsâr
(mendahulukan orang lain dari dirinya sendiri) tatkala dalam kesulitan, juga berteman dengan
cara baik, berlaku lembut, bisa menanggung derita gangguan, melakukan semua kewajiban dan
menjauhi segala yang diharamkan. Al-Itsm (dosa) adalah hal yang meninggalkan bekas (yang
tidak nyaman) di dalam dada; yang membuat hati menjadi sempit dan gelisah, sehingga tidak
merasa nyaman dengannya. Ditambah lagi bahwa hal tersebut adalah hal yang diingkari orang-
orang; di mana mereka tidak suka ketika melihat hal tersebut ada padanya. Ini seperti yang
diucapkan oleh Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, “Semua yang kaum Mukminin menilainya
sebagai perbuatan baik, maka hal tersebut pun baik di sisi Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
Sedangkan yang dilihat kaum Mukminin sebagai hal yang buruk, maka itupun buruk di sisi Allâh
Azza wa Jalla .” Baca Juga Tidak Ada Kesulitan Dalam Islam Singkat kata, sikap seorang
Mukmin bila mendapati nash syariat adalah mentaati Allâh dan Rasul-Nya, seperti diperintahkan
firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala : ‫سولُهُ أ َ ْم ًرا أ َ ْن يَ ُكونَ لَ ُه ُم ْالخِ يَ َرة ُ مِ ْن‬ ُ ‫َّللاُ َو َر‬
َّ ‫ضى‬ َ َ‫َو َما َكانَ ِل ُمؤْ مِ ٍن َو ََل ُمؤْ مِ نَ ٍة إِذَا ق‬
‫ أ َ ْم ِر ِه ْم‬Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mukmin, apabila Allâh dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka
pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. [Al-Ahzâb/ 33: 36] Semua harus diterima dengan dada
lapang penuh keridhaan. Karena semua yang disyariatkan Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya
wajib untuk diimani, diridhai dan diterima. Sebagaimana yang Allâh Azza wa Jalla firmankan: ‫فَ ََل‬
‫س ِل ُموا ت َ ْسلِي ًما‬ َ َ‫ش َج َر بَ ْينَ ُه ْم ث ُ َّم ََل يَ ِجدُوا فِي أ َ ْنفُ ِس ِه ْم َح َر ًجا مِ َّما ق‬
َ ُ‫ضيْتَ َوي‬ َ ‫ َو َربِكَ ََل يُؤْ مِ نُونَ َحت َّ ٰى يُ َح ِك ُموكَ فِي َما‬Maka demi Rabbmu,
mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara
yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka
terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. [An-Nisâ’/ 4:
65] Syaikh Ahmad Hijazi berkata, “al-Itsm bermakna adz-dzanb (dosa); sedangkan kata hâka
artinya yang bercokol dan menggoreskan kebimbangan, keresahan dan ketidaksukaan di dalam
hati. Di mana hatinya merasa tidak sreg (tidak nyaman) dan tidak suka kalau orang-orang
terpandang mengetahuinya sehingga mereka akan mencibirnya (dikarenakan hal tersebut). Hal
itu karena jiwa seseorang ketika berkaca pada asal fitrahnya, sebenarnya punya perasaan
tentang hal-hal yang baik dan terpuji dan perasaan yang buruk dan tercela akibatnya. Akan tetapi
karena dominasi nafsu yang mengalahkan asal fitrahnya, maka ini membuatnya berani untuk
Khutbah jumat : albirru wal itsmu

melakukan hal yang merugikan dirinya. FAEDAH HADITS 1. Hadits ini memotivasi kaum Mukmin
untuk berperilaku dan berakhlak baik dan menjelaskan kutamaannya. Bentuk-bentuk kebaikan,
semuanya masuk dalam husnul khuluq. Bila seorang hamba bagus dalam ahklaknya, maka Allâh
pun akan mencintainya, begitu pula manusia. Orang yang dicintai Allâh Azza wa Jalla akan
menggapai surga dan ridha-Nya. Sedangkan orang yang dicintai manusia, akan berpilaku baik
kepadanya dan hidup di tengah mereka dengan bahagia. Tidak ada sesuatu yang lebih
memuliakan seseorang daripada perangai yang baik. Dan tidak ada sesuatu yang lebih
menghinakannya daripada perangai yang buruk. Abu Nu’aim meriwayatkan dengan sanadnya
dari Ikrimah rahimahullah , ia berkata: “Segala sesuatu ada pilarnya, dan pilar Islam adalah akhlak
yang baik.” Ibnu Sirin rahimahullah berkata: “Mereka (generasi pendahulunya) memandang
bahwa akhlak yang baik menjadi penopang agama.” Terlebih bagi seorang da’i; bila ia berhias
diri dengan akhlak yang baik, maka itu akan memudahkan jalan hidayah bagi manusia; di mana
mereka akan lebih mudah menerima dakwahnya. 2. Hadits ini juga menunjukkan dosa
mempunyai dua pertanda; pertanda internal dan eksternal. Pertanda internal atau yang bisa
dilihat dari dalam diri seseorang, yaitu adanya perasaan galau dan resah serta tidak nyaman
dalam diri jika melakukan perbuatan tersebut. Sedangkan pertanda eksternal adalah adanya
perasaan tidak suka kalau orang-orang terpandang melihatnya melakukan perbuatan tersebut.
Ia khawatir akan menuai cela karena perbuatannya. 3. Hadits tersebut juga mengindikasikan
bahwa dosa itu memang buruk dan hina dalam pandangan orang yang fitrah dan akalnya lurus.
Sebab, diri seseorang punya kecenderungan bahwa ia suka kalau orang-orang melihat
kebaikannya; dan tidak suka kalau mereka mengetahui keburukannya. 4. Hadits ini
mengisyaratkan bahwa sudah semestinya seseorang meninggalkan hal yang membuatnya ragu,
dan berpatokan pada hal yang tidak membuatnya ragu dan bimbang. Ini telah Rasul tegaskan
dalam hadits beliau yang diriwayatkan At-Turmudzi dari hadits Al-Hasan bin Ali Radhiyallahu
anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: َ‫ع َما يَ ِريبُكَ إِلَى َما ََل يَ ِريبُك‬
ْ ‫ َد‬Tinggalkanlah
apa yang membuatmu ragu menuju pada apa yang tidak membuatmu ragu. 5. Nabi Shallallahu
‘alaihi wa salam telah diberikan apa yang disebut jawâmi’ul kalim; ucapan yang ringkas namun
memuat makna agung dan luas. 6. Motivasi untuk berperangai dengan akhlak yang baik. Bila
seseorang memperbagus akhlaknya, artinya ia berada dalam kebaikan. 7. Seorang Mukmin yang
hatinya bersih akan merasa risau terhadap perbuatan dosa, meski belum pasti tahu bahwa itu
adalah dosa; semata-mata ia merasa ragu. Tidak demikian halnya dengan hati orang yang
durhaka dan pendosa. Maka bila ada yang mengganjal di hati, hendaknya menunggu sampai
jelas perkaranya. Kalau tidak, Dia akan terjatuh dalam syubhat, yang barangsiapa yang jatuh
dalam syubhat, artinya ia jatuh dalam hal yang haram. 8. Mukmin tidak suka bila orang lain
mengetahui dosa-dosanya. Berbeda dengan orang yang durhaka. 9. Hadits di atas menjelaskan
dua tanda dosa a. Galau dan resahnya hati terhadap suatu hal. Ini tanda dalam dirinya. b. Adanya
perasaan tidak senang kalau ada orang yang melihat dirinya melakukan hal tersebut. Ini pertanda
yang dilihat dari luar dirinya. 10. Berinteraksi dengan baik termasuk amalan terbesar yang
mendekatkan hamba dengan Rabb-nya. 11. Agama menjadi kekuatan batin yang mengawasi diri
dari dosa. 12. Seseorang haruslah meninggalkan hal yang membuatnya ragu, dan beralih pada
hal yang tidak membuatnya ragu dan gamang. Dan Allah menjadikan jiwa seseorang (yang
hatinya bersih) bisa mengetahui dan mencegah apa yang tidak boleh ia lakukan 13.
Kemungkaran tidak mendapatkan tempat dalam tatanan masyarakat Islami. Wallahu A’lam Bish
Shawwâb.

Referensi: https://almanhaj.or.id/9855-kebaikan-adalah-akhlak-yang-baik.html

Anda mungkin juga menyukai