Assalamu’alaikum. Bu Herlini, teman saya pernah bercerita bahwa temannya jika akan
berhubungan suami istri dengan suaminya diawali dengan menonton film porno. Katanya,
supaya terangsang dalam melakukan hubungan tersebut. Pertanyaan saya, bagaimana
hukumnya, bukankah menjadi zina mata? Mohon penjelasannya. Terimakasih.
Wassalamu’alaikum.
Waalaikumsalam.
Syariat Islam telah mengatur hukum pandang memandang terhadap lawan jenis yang bukan
mahram. Dalam Al Qur’an surat An Nur ayat 30, “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman
agar mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya yang demikian itu lebih suci
bagi mereka. Sungguh Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat”. Ayat ini ditujukan
kepada laki-laki yang beriman agar menjaga pandangannya.
Sementara ayat berikutnya, An-Nur ayat 31, ditujukan kepada perempuan yang beriman. “Dan
katakanlah kepada para perempuan yang beriman agar mereka menjaga pandangannya dan
menjaga kemaluannya...”
Rasulullah SAW bahkan pernah memalingkan wajah Fadhl bin Abbas ke arah yang lain ketika ia
menatap wajah perempuan yang bukan mahramnya saat hajjatul wada’. Ketika itu ada seorang
perempuan yang meminta fatwa kepada Nabi Muhammad SAW. Ibnu Abbas yang meriwayatkan
hadits ini mangatakan, “...maka Fadhl mulai mengarahkan pandangannya kepada perempuan itu,
sedangka dia adalah seorang perempuan yang cantik. Maka Nabi pun memegang dagu Fadhl dan
memalingkan mukanya ke arah lain,” (HR Bukhari dan Muslim).
Rasulullah SAW saja sudah begitu hati-hati ketika menatap wajah yang bukan mahramnya.
Bagaimana dengan aurat yang lainnya? Terlebih, kemaluan yang merupakan aurat mughollazoh
(aurat besar/kemaluan).
Memang ada pengecualian boleh memandang lawan jenis di luar aurat mughollazoh, yakni
ketika ada kemaslahatan yang lebih besar seperti saat khitbah atau melamar, dalam pengobatan
jika tidak ada lagi dokter perempuan, atau menjadi saksi dalam suatu perkara di pengadilan atau
transaksi jual beli.
Secara umum, Rasulullah SAW melarang umatnya melihat dan memperlihatkan aurat
mughollazoh. Tidak saja kepada lawan jenis, bahkan sesama jenis pun tidak dibenarkan. Seperti
hadits “seorang lelaki tidak boleh melihat kemaluan laki-laki dan seorang wanita tidak boleh
melihat kemaluan wanita,” (HR. Muslim).
Sehingga, menonton film porno dengan alasan apapun tidak bisa dibenarkan. Termasuk, jika
tujuannya untuk keberlangsungan hubungan suami-istri. Masih ada cara-cara halal yang
dibenarkan Islam untuk hal itu. Mereka bisa membaca buku fiqh tentang arahan Rasulullah SAW
bagaimana berhubungan suami istri.
Jika kita melihat aurat orang lain yang bukan mahram maka tergolong zina mata. Sebagaimana
dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah
telah menetapkan terhadap anak-anak Adam bagian dari zina yang bisa jadi ia mengalaminya
dan hal itu tidaklah mustahil. Zina mata adalah penglihatan, zina lisan adalah perkataan di mana
diri ini menginginkan dan menyukai serta kemaluan membenarkan itu semua atau
mendustainya,” (HR. Bukhari).
Jadi, zina tidak terbatas hanya pada apa yang telah dilakukan oleh kemaluan seseorang. Namun,
mata juga bisa melakukan zina dengan melihat dan memandang sesuatu yang diharamkan seperti
melihat aurat orang lain. Apalagi melihat adegan hubungan suami istri yang bisa jadi pelakunya
bukanlah pasangan suami istri. Kemaluanlah yang membuktikan seseorang tersebut telah berzina
dan berhak mendapatkan sanksi/hukuman/had bagi pelakunya. Wallahu a’lam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan manusia, maka tentunya Allahpun telah mengatur
segala aspek kehidupan manusia, termasuk didalamnya bagaimana hukum yang berlaku bagi
laki-laki dan wanita yang tidak semahram dalam memandang dan berjabat tangan. Olehnya kita
simak uraian dalil Al-Quran dan Sunnah tentang masalah ini, agar hati kita tenang dan dapat
mengamalkannya sesuai dengan perintah agama.
Imam Bukhary dalam menjelaskan hadits ini menyatakan bahwa selain kemaluan, anggota badan
lainnya dapat berzina, sebagaimana beliau sebutkan dalam sebuah bab bahwa selain kemaluan,
anggota badan lainnya dapat berzina.
Dan Al-Hafizh Ibnu Hajar telah menukil dari Ibnu Baththol, beliau berkata bahwa : “mata, mulut
dan hati dinyatakan berzina karena asal sesungguhnya dari zina kemaluan itu adalah memandang
kepada hal-hal yang haram”. (Fathul Bary 11/26).
Maka dari pernyataan ini menunjukkan bahwa hukum memandang kepada selain mahram adalah
haram karena memandang adalah wasilah (jalan) yang mengantar kita untuk berbuat zina
kemaluan yang mana hal itu termasuk dosa besar.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata : “Hadits ini menunjukkan disyari’atkannya meminta izin
disebabkan karena hal memandang dan adapun larangan memandang ke dalam rumah orang
tanpa memberitahu pemiliknya karena dikhawatirkan ia akan melihat hal-hal yang haram”.
(Fathul Bary : 11/221).
Syaikh Salim Al-Hilaly hafizhohullah berkata : “Hadits ini menjelaskan bahwa tidak ada dosa
memandang kepada selain mahram secara tiba-tiba (tidak disengaja) akan tetapi wajib untuk
memalingkan pandangan berikutnya, karena hal itu sudah merupakan dosa”. (Bahjatun Nadzirin
3/146).
Imam An-Nawawy mengatakan : “Memandang kepada selain mahram secara tiba-tiba tanpa
maksud tertentu pada pandangan pertama maka tak ada dosa. Adapun selain itu, bila ia
meneruskan pandangannya maka hal itu sudah terhitung sebagai dosa”. (Syarh Shohih Muslim
4/197).
Dari uraian dalil Al-Qur`an dan Sunnah di atas menunjukkan bahwa hukum memandang kepada
selain mahram adalah haram. Dan tidak terjadi khilaf di antara para ulama akan hal itu.
Al-Imam An-Nawawy telah menukil kesepakatan para ‘ulama tentang haramnya memandang
kepada selain mahram dengan syahwat. (Syarh Shohih Muslim oleh An-Nawawy 6/262).
Adapun khusus wanita bila memandang dengan tanpa syahwat maka terjadi perselisihan
pendapat, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya, bahwa : “Kebanyakan
para ulama menyatakan haram bagi wanita memandang selain mahramnya baik dengan syahwat
ataupun tanpa syahwat dan sebagian lagi dari mereka menyatakan bahwa haram wanita
memandang dengan syahwat, adapun tanpa syahwat maka hal itu boleh. (Tafsir Ibnu Katsir
3/354).
Adapun dalil pendapat Jumhur ulama yang menyatakan haram memandang secara mutlak adalah
:
Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini bahwa ayat ini merupakan dalil akan haramnya wanita
memandang kepada selain mahram. (Tafsir Ibnu Katsir 3/345).
Dan berkata Muhammad Ibnu Yusuf Al-Andalusy dalam Tafsirnya (Tafsirul Bahrul Muhit :
6/411) dan Imam Asy-Syaukany (Fathul Qodir : 4/32) : “Bahwa surah An-Nuur ayat 31 ini
sebagai taukid (penjelas) ayat sebelumnya yaitu An-Nur ayat 30, bahwa hukum laki-laki
memandang kepada selain mahram adalah haram secara mutlak maka begitupun hukum wanita
memandang kepada selain mahram adalah haram secara mutlak pula”.
Tapi hadits ini ada kelemahan didalamnya yaitu seorang rawi yang bernama Nabhan maula
Ummu Salamah dan ia ini adalah seorang rawi yang majhul. Karena itu hadits ini dilemahkan
oleh syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 1806.
Imam An- Nawawi berkata : ada dua pendapat dalam masalah hukum wanita memandang tanpa
dengan syawat, dan yang rojih dalam masalah ini adalah haram, berdasarkan dalil Surah An-
Nuur : 31. dan dalil yang paling kuat dalam masalah ini adalah hadits Ummi Salamah dan beliau
berkata bahwa haditsnya hasan.
(Lihat Syarah Muslim oleh An-Nawawi 6/262)
Adapun dalil yang digunakan oleh orang-orang yang membolehkan wanita memandang kepada
selain mahram tanpa syahwat adalah hadits Aisyah radhyiallahu ‘anha :
صلَّى َ ِس ْو ِل هللاُ س ِج ِد َر ْ شةُ يَ ْل َعبُ ْونَ بِ ِح َرابِ ِه ْم فِ ْي َم
َ َب ُح ْج َرتِ ْي َوا ْل َحب
ِ سلَّ َم يَقُ ْو ُم َعلَى بَا
َ صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َعلَى آلِ ِه َو ُ َرَأيْتُ َر
َ ِس ْو َل هللا
ستُ ُرنِ ْي بِ ِردَاِئ ِه لِ َك ْي َأ ْنظُ ُر ِإلَى لَ ْعبِ ِه ْم
ْ َسلَّ َم ي
َ هللاُ َعلَ ْي ِه َو َعلَى آلِ ِه َو
“Aku melihat Rasullullah Shollallahu shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam di pintu kamarku
dan orang-orang Habasyah bermain dalam masjid Rasullullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi
wasallam, (beliau) menghijabiku dengan rida`nya supaya aku dapat melihat permainan
mereka”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Akan tetapi tidak ada pendalilan (alasan) bagi mereka dalam hadits ini untuk membolehkan
memandang kepada laki-laki yang bukan mahram tanpa syahwat. Dan penjelasan hal tersebut
sebagai berikut :
Berkata Imam An-Nawawy (Syarh Muslim 6/262) : “Adapun hadits yang menceritakan tentang
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha melihat orang-orang Habasyah bermain dalam masjid memiliki
beberapa kemungkinan, antara lain saat itu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha belum mencapai masa
baligh”.
Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar (Al-Fath 2/445) : “Dalam hadits ‘Aisyah tersebut kemungkinan
saat itu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha hanya bermaksud melihat permainan mereka bukan wajah
dan badannya dan bila ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha sampai melihat mereka maka hal itu terjadi
secara tiba-tiba dan tentunya ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha akan memalingkan pandangannya
setelah itu”.
Kemungkinan lainnya ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha melihat orang-orang Habasyah bermain dalam
mesjid dari jarak jauh karena dalam hadits itu diceritakan bahwa ‘Aisyah berada dalam
kamarnya sedangkan orang-orang Habasyah bermain dalam masjid. Wallahu A’lam.
1. Tentang boleh atau tidaknya jika hal yang dipandang itu di dalam televisi, majallah atau
koran.
Maka dijawab bahwa tidak ada perbedaan melihat di televisi, majallah dan lain-lain, karena ayat
dan hadits-hadits yang kita sebutkan sebelumnya secara umum memerintahkan untuk
menundukkan pandangan (Lajnah Fatawa oleh Syeikh Ibnu Bazz).
2. Pandangan pertama adalah rahmat.
Hal ini tidak betul, sebab dalam hadits Jarir yang telah lalu diceritakan ketika Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam ditanya tentang memandang secara tiba-tiba (tidak
disengaja) yang terjadi pada awal kali memandang, maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi
wasallam memerintahkan untuk memalingkan pandangan itu. Maka tentunya memandang
dengan sengaja adalah dosa walaupun terjadi pada awal kali memandang.
3. Melihat ciptaan Allah adalah ibadah.
Ibnu Taymiyah berkata : “Siapa yang berkata bahwa melihat kepada ciptaan Allah adalah ibadah
termasuk melihat kepada yang haram (yang bukan mahramnya), ini berarti dia telah menyatakan
bahwa perbuatan keji itu adalah ibadah. Ini adalah perkataan kufur dan murtad sebagaimana ayat
:
َقُ ْل ِإنَّ هَّللا َ الَ يَْأ ُم ُر بِا ْلفَ ْحشَا ِء َأتَقُولُونَ َعلَى هَّللا ِ َما الَ تَ ْعلَ ُمون
“Katakanlah: “Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji.”
Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?” (Q.S.Al-A’raf :
28)
Catatan:
Tidak bolehnya melihat kepada perempuan yang bukan mahram ini berlaku umum kecuali kalau
seseorang ingin meminang maka boleh ia melihat kepada pinangannya dalam batas-batas yang
diperbolehkan oleh syari’at sebatas keperluan sebagaimana yang dijelaskan dalam dalil-dalil
yang sangat banyak. Wallahu A’lam.
Adapun hukum berjabat tangan kepada selain mahram adalah haram, dalilnya sangat jelas, antara
lain :
Imam An-Nawawy dalam Syarah Muslim (16/316) menjelaskan : “Hadits ini menerangkan
bahwa haramnya memegang dan menyentuh selain mahram karena hal itu adalah pengantar
untuk melakukan zina kemaluan”.
Hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh/berjabat tangan dengan selain mahram adalah dosa
besar (Nashihati lin-Nisa hal.123).
Berkata Asy-Syinqithy (Adwa` Al-Bayan 6/603) : “Tidak ada keraguan bahwa fitnah yang
ditimbulkan akibat menyentuh/berjabat tangan dengan selain mahram lebih besar dan lebih kuat
dibanding fitnah memandang”.
Berkata Abu ‘Abbas Ahmad bin Muhammad bin ‘Ali Al-Makky Al-Haitamy (Az-Zawajir 2/4)
bahwa : “dalam hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh dan berjabat tangan dengan selain
mahram adalah termasuk dosa besar”.
@ Hadits Amimah bintu Raqiqoh radhiyallahu ‘anha, sesungguhnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa
‘alahi wasallam bersabda :
َ ِإنِّ ْي الَ ُأ
َ ِّصافِ ُح الن
سا َء
“Sesungguhnya aku tidak pernah berjabat tangan dengan wanita”. (HR. Malik no. 1775,
Ahmad 6/357, Ishaq Ibnu Rahaway dalam Musnadnya 4/90, ‘Abdurrozzaq no. 9826, Ath-
Thoyalisy no. 1621, Ibnu Majah no. 2874, An-Nasa`i 7/149, Ad-Daraquthny 4/146-147, Ibnu
Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 4553, Al-Baihaqy 8/148, Ath-Thobary dalam Tafsirnya
28/79, Ibnu Abi ‘Ashim dalam Al-Ahad wal Matsany no. 3340-3341, Ibnu Sa’d dalam Ath-
Thobaqot 8/5-6, Ath-Thobarany 24/no. 470,472,473 dan Al-Khollal dalam As-Sunnah no. 45.
Dan dihasankan oleh Al-Hafizh dalam Fathul Bary 12/204, dan dishohihkan oleh Syeikh Al-
Albany dalam Ash-Shohihah no. 529 dan Syeikh Muqbil dalam Ash-Shohih Al-Musnad Mimma
Laisa Fii Ash-Shohihain.
Dan hadits ini mempunyai syahid dari hadits Asma` binti Yazid diriwayatkan oleh Ahmad
6/454,479, Ishaq Ibnu Rahawaih 4/182-183, Ath-Thobarany 24/no. 417,456,459 dan Ibnu ‘Abdil
Barr dalam At-Tamhid 12/244. Dan di dalam sanadnya ada rawi yang bernama Syahr bin
Hausyab dan ia lemah dari sisi hafalannya namun bagus dipakai sebagai pendukung.)
Berkata Ibnu ‘Abdil Barr dalam At-Tamhid 12/243 : “Dalam perkataan beliau “aku tidak pernah
berjabat tangan dengan wanita” ada dalil tentang tidak bolehnya seorang lelaki bersentuhan
dengan perempuan yang tidak halal baginya (bukan mahramnya-pent.) dan menyentuh
tangannya dan berjabat tangan dengannya”.
@ Hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim, beliau berkata :
سلَّ َم َي َد ا ْم َرَأ ٍة قَطٌّ فِي ا ْل ُمبَايَ َع ِة
َ صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َعلَى آلِ ِه َو
َ ِس ْو ِل هللا
ُ ستْ َي ُد َر
َّ َوهللاِ َما َم
“Demi Allah tidak pernah sama sekali tangan Rasulullah menyentuh tangan wanita dalam
berbai’at dan beliau tidak membai’at para wanita kecuali dengan perkataannya”.
Berkata Imam An-Nawawy (Syarh Muslim 13/16) : “Dalam hadits ini menjelaskan bahwa bai’at
wanita dengan ucapan, bukan dengan menyentuh tangan”.
Berkata Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir 4/60) : “Hadits ini sebagai dalil bahwa bai’at wanita
dengan ucapan tanpa dengan menyentuh tangan”.
Jadi bai’at terhadap wanita dilakukan dengan ucapan tidak dengan menyentuh tangan. Adapun
asal dalam berbai’at adalah dengan cara menyentuh tangan sebagaimana Rasulullah shollallahu
‘alaihi wa ‘alahi wasallam membai’at para shahabatnya dengan cara menyentuh tangannya. Hal
ini menunjukkan haramnya menyentuh/berjabat tangan kepada selain mahram dalam berbai’at,
apalagi bila hal itu dilakukan bukan dengan alasan bai’at tentu dosanya lebih besar lagi.
SYUBHAT-SYUBHAT YANG TERSEBAR DALAM MENYENTUH/BERJABAT
TANGAN DENGAN SELAIN MAHRAM
1. Boleh menyentuh/berjabat tangan dengan selain mahram dengan dalil 2 hadits dari Ummu
‘Athiyah radhiallahu ‘anha :
ش َه ْد ِ ت َو َم َد ْدنَا َأ ْي ِديَنَا ِمنْ دَا ِخ ِل ا ْلبَ ْي
ْ ت ثُ َّم قَا َل اللَّ ُه َّم ا ِ ج ا ْلبَ ْي
ِ يَ َدهُ ِمنْ َخا ِر سلَّ َم َ فَ َم َّد النَّبِ ُّي
َ صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َعلَى آلِ ِه َو
“Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam memanjangkan tangannya dari luar rumah
dan kamipun memanjangkan tangan kami dari dalam rumah kemudian beliau berkata : “Ya
Allah saksikanlah”.
Hadits pertama kata Al-Hadizh Ibnu Hajar diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban,
Al-Bazzar, Ath-Thobary dan Ibnu Mardaway dari jalan Isma’il bin ‘Abdirrahman dan dia ini
kata syeikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah 2/65 laisa bimasyhur (tidak terkenal) maka beliau
hukumi haditsnya sebagai hadits laisa bil qawy (tidak kuat).
Kata Al-hafizh Ibnu Hajar bahwa mereka memanjangkan tangan dari belakang hijab, itu
sebagai isyarat bahwa baiat telah terjadi walaupun tidak berjabat tangan.
Dalam hadits pertama ini tidak ada kejelasan bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi
wasallam menyentuh/berjabat tangan dengan wanita, bahkan yang dipahami dalam hadits itu
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam hanya memanjangkan tangannya.
Pada hadits kedua, dimaksud yang memegang tangannya adalah tangan wanita itu sendiri
bukan tangan Rasulullah.
Kemudian dalam dua hadits ini sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Albany
rahimahullah bukan pernyataan yang shorih (tegas,jelas) bahwa para wanita ini berjabat tangan
dengan beliau maka tidak boleh hadits yang seperti ini menggugurkan kandungan dari hadits
Amimah bintu Raqiqah dan hadits ‘Aisyah yang jelas menyatakan bahwa rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam sama sekali tidak pernah berjabat dan menyentuh tangan wanita baik dalam
bai’at maupun di luar bai’at.
2. Boleh menyentuh/berjabat tangan bila dilapisi dengan kain atau semacamnya,dengan dalil
hadits Sya’by radhiallahu ‘anhu :
َ ض َع َها َعلَى يَ ِد ِه َوقَا َل َأنِّ ْي الَ ُأ
َ ِّصافِ ُح الن
سا َء ٍ سا َء ُأتِ َي بِثَ ْو
َ ب قَ ْط ٍر فَ َو َ ِّسلَّ َم لَ َّما بَايَ َع الن َ َأنَّ النَّبِ َّي
َ صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َعلَى آلِ ِه َو
“Bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alahi wasallam ketika beliau membai’at para wanita,
beliau diberi kain sutra, kemudian beliau meletakkannya atas ditangannya dan berkata : “Saya
tidak berjabat tangan dengan wanita”.
4. Saya berjabat tangan kepada selain mahram itu karena niat yang baik.
Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu :
ص َو ِر ُك ْم َوَأ ْم َوالِ ُك ْم َولَ ِكنْ يَ ْنظُ ُر ِإلَى قُلُ ْوبِ ُك ْم َوَأ ْع َمالِ ُك ْم
ُ ِإنَّ هللاَ الَ يَ ْنظُ ُر ِإلَى
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk-bentuk dan harta-harta kalian tetapi Allah
melihat kepada hat-hati dan amalan-amalan kalian”. (HR. Muslim).
Berkata Al-Imam Al-Ajurry di kitab Asy-Syari’ah hal. 128 : “Amalan yang dilakukan oleh
anggota tubuh sebagai pembenaran iman yang ada dalam hati, maka barangsiapa yang tidak
beramal tidak dikatakan sebagai orang yang beriman bahkan meninggalkan amalan adalah
pendustaan terhadap imannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Wallahu A’lam bishshowab.
KESIMPULAN :
Dari uraian dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah diatas maka telah jelas bagi kita tentang
larangan memandang dan berjabat tangan kepada selain mahram. Bahwa hukum memandang dan
berjabat tangan kepada selain mahram adalah haram.
Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin.