Anda di halaman 1dari 7

Antara Berbakti kepada Orang Tua

dan Taat kepada Suami


Oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah

Memilih antara menuruti keinginan suami atau tunduk kepada perintah orangtua
merupakan dilema yang banyak dialami kaum wanita yang telah menikah.
Bagaimana Islam mendudukkan perkara ini?

Seorang wanita apabila telah menikah maka suaminya lebih berhak terhadap
dirinya daripada kedua orangtuanya. Sehingga ia lebih wajib menaati suaminya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ِ ‫ات لِ ْل َغ ْي‬
ُ‫ب بِ َما َحفِظَ هللا‬ ٌ َ‫َات َحافِظ‬
ٌ ‫ات قَانِت‬
ُ ‫فَالصَّالِ َح‬

“Maka wanita yang shalihah adalah wanita yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri ketika suaminya tidak ada (bepergian) dikarenakan Allah telah
memelihara mereka…” (An-Nisa’: 34)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam haditsnya:

‫ َوإِ َذا ِغبْتَ َع ْنهَا‬، َ‫ َوإِ َذا أَ َمرْ تَهَا أَطَا َع ْتك‬،َ‫ إِ َذا نَظَرْ تَ إِلَ ْيهَا َس َّر ْتك‬،ُ‫َاعهَا ْال َمرْ أَةُ الصَّالِ َحة‬ ٌ ‫ال ُّد ْنيَا َمتَا‬
ِ ‫ع َوخَ ْي ُر َمت‬
ْ ْ َ
َ‫َحفِظتكَ فِي نَف ِسهَا َو َمالِك‬

“Dunia ini adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasannya adalah wanita yang
shalihah. Bila engkau memandangnya, ia menggembirakan (menyenangkan)mu.
Bila engkau perintah, ia menaatimu. Dan bila engkau bepergian
meninggalkannya, ia menjaga dirinya (untukmu) dan menjaga hartamu1.”

Dalam Shahih Ibnu Abi Hatim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ب ْال َجنَّ ِة‬


ِ ‫ت ِم ْن أَيِّ أَ ْب َوا‬ ْ ‫ َوأَطَاع‬،‫َت فَرْ َجهَا‬
ْ َ‫ َد َخل‬،‫َت بَ ْعلَهَا‬ ْ ‫صن‬ َ ‫ َو‬،‫ت ْال َمرْ أَةُ َخ ْم َسهَا‬
ْ ‫صا َم‬
َ ‫ َو َح‬،‫ت َش ْه َرهَا‬ ِ َ‫صل‬
َ ‫إِ َذا‬
ْ‫َشا َءت‬

“Apabila seorang wanita mengerjakan shalat lima waktunya, mengerjakan puasa


di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya, maka ia akan
masuk surga dari pintu mana saja yang ia inginkan2.”

Dalam Sunan At-Tirmidzi dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َ‫ت ْال َجنَّة‬


ِ َ‫اض َع ْنهَا َدخَ ل‬ ْ ‫أَيُّ َما ا ْم َرأَ ٍة َمات‬
ٍ ‫َت َو َزوْ ُجهَا َر‬

“Wanita (istri) mana saja yang meninggal dalam keadaan suaminya ridha
kepadanya niscaya ia akan masuk surga.”
At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan3.”

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau bersabda:

‫ت ْال َمرْ أَةَ أَ ْن تَ ْس ُج َد لِزَ وْ ِجهَا‬


ُ ْ‫ت آ ِمرًا أِل َ َح ٍد أَ ْن يَ ْس ُج َد أِل َ َح ٍد أَل َ َمر‬
ُ ‫لَوْ ُك ْن‬

“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain
niscaya aku akan memerintahkan istri untuk sujud kepada suaminya.”

Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan ia berkata, “Hadits ini hasan4.”
Diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dan lafadznya:

ِ ْ‫ لِ َما َج َع َل هللاُ َعلَ ْي ِه َّن ِمنَ ْال ُحقُو‬،‫ت النِّ َسا َء أَ ْن يَ ْس ُج ْدنَ أِل َ ْز َوا ِج ِه َّن‬
‫ق‬ ُ ْ‫أَل َ َمر‬

“…niscaya aku perintahkan para istri untuk sujud kepada suami mereka
dikarenakan kewajiban-kewajiban sebagai istri yang Allah bebankan atas
mereka.”5

Dalam Al-Musnad dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu


‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ت ْال َمرْ أَةَ أَ ْن تَ ْس ُج َد لِ َزوْ ِجهَا ِم ْن ِعظَ ِم َحقِّ ِه‬ ُ ْ‫صلَ َح لِبَ َش ٍر أَ ْن يَ ْس ُج َد لِبَ َش ٍر أَل َ َمر‬
َ ْ‫ َولَو‬،‫الَ يَصْ لُ ُح لِبَ َش ٍر أَ ْن يَ ْس ُج َد لِبَ َش ٍر‬
ْ
ُ‫ ثُ َّم ا ْستَ ْقبَلَ ْتهُ فَلح َس ْته‬،‫ص ِد ْي ِد‬ ِ ‫ق َرأ ِس ِه قَرْ َحةً تَجْ ِري بِ ْالقَي‬
َّ ‫ْح َوال‬ ِ ‫ َواَّل ِذي نَ ْف ِس ْي بِيَ ِد ِه لَوْ َكانَ ِم ْن قَ َد ِم ِه إِلَى َم ْف َر‬،‫َعلَ ْيهَا‬
َُّ‫ت َحقه‬ ْ ‫َما أَ ّد‬

“Tidaklah pantas bagi seorang manusia untuk sujud kepada manusia yang lain.
Seandainya pantas/boleh bagi seseorang untuk sujud kepada seorang yang lain
niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya dikarenakan besarnya
hak suaminya terhadapnya. Demi Zat yang jiwaku berada di tangannya,
seandainya pada telapak kaki sampai belahan rambut suaminya ada luka/borok
yang mengucurkan nanah bercampur darah, kemudian si istri menghadap
suaminya lalu menjilati luka/borok tersebut niscaya ia belum purna menunaikan
hak suaminya.”6

Dalam Al-Musnad dan Sunan Ibni Majah, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha dari
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

‫ َولَوْ أَ َّن َر ُجالً أَ َم َر ا ْم َرأَتَهُ أَ ْن تَ ْنقُ َل ِم ْن َجبَ ٍل‬،‫ت ْال َمرْ أَةَ أَ ْن تَ ْس ُج َد لِ َزوْ ِجهَا‬
ُ ْ‫ت أَ َحدًا أَ ْن يَ ْس ُج َد أِل َ َح ٍد أَل َ َمر‬
ُ ْ‫لَوْ أَ َمر‬
ْ ْ َ َ َ َ َ َ َ ْ َ
‫ َو ِمن َجبَ ٍل أ ْس َو َد إِلى َجبَ ٍل أحْ َم َر لكانَ لهَا أن تَف َع َل‬،َ‫أحْ َم َر إِلى َجبَ ٍل أ ْس َود‬ َ َ

“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada seorang


yang lain niscaya aku akan memerintahkan istri untuk sujud kepada suaminya.
Seandainya seorang suami memerintahkan istrinya untuk pindah dari gunung
merah menuju gunung hitam dan dari gunung hitam menuju gunung merah maka
si istri harus melakukannya.”7
Demikian pula dalam Al-Musnad, Sunan Ibni Majah, dan Shahih Ibni Hibban dari
Abdullah ibnu Abi Aufa radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

ُ ‫ أَتَي‬:‫ال‬
‫ْت ال َّشا َم فَ َو َج ْدتُهُ ْم‬ َ َ‫ َما ه َذا يَا ُم َعا ُذ؟ ق‬:‫ل َما َّ قَ ِد َم ُم َعا ٌذ ِمنَ ال َّشام ِ َس َج َد لِلنَّبِ ِّي صلى هللا عليه وسلم فَقَا َل‬
‫فَقَا َل َرسُوْ ُل هللاِ صلى هللا‬. ِ‫ك يَا َرسُوْ َل هللا‬ َ ِ‫ت فِي نَ ْف ِسي أَ ْن تَ ْف َع َل َذلِكَ ب‬ ِ َ‫يَ ْس ُج ُدوْ نَ أِل َ َساقِفَتِ ِه ْم َوبَط‬
ُ ‫ فَ َو ِد ْد‬،‫ارقَتِ ِه ْم‬
َّ َ َ
‫ َوال ِذي‬،‫ت ال َمرْ أةَ أ ْن تَ ْس ُج َد لِ َزوْ ِجهَا‬ْ َ َ َ
ُ ْ‫ت آ ِمرًا أ َحدًا أ ْن يَ ْس ُج َد لِ َغي ِْر هللاِ أَل َمر‬ ُ ‫ فَإِنِّي لَوْ ُكن‬،َ‫ الَ تَ ْف َعلُوا َذلِك‬:‫عليه وسلم‬
ْ
ُ‫ب لَ ْم تَ ْمنَ ْعه‬ َ
ٍ َ‫ َولَوْ َسألَهَا نَ ْف َسهَا َو ِه َي َعلَى قَت‬،‫ق زَ وْ ِجهَا‬ َّ ‫ِّي َح‬َ ‫ق َربِّهَا َحتَّى تُ َؤد‬ َّ ‫نَ ْفسُ ُم َح َّم ٍد بِيَ ِد ِه الَ تُ َؤدِّي ْال َمرْ أَةُ َح‬

Tatkala Mu’adz datang dari bepergiannya ke negeri Syam, ia sujud kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau menegur Mu’adz, “Apa yang kau
lakukan ini, wahai Mu’adz?”

Mu’adz menjawab, “Aku mendatangi Syam, aku dapati mereka (penduduknya)


sujud kepada uskup mereka. Maka aku berkeinginan dalam hatiku untuk
melakukannya kepadamu, wahai Rasulullah.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan engkau lakukan hal


itu, karena sungguh andai aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud
kepada selain Allah niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya.
Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seorang istri tidaklah
menunaikan hak Rabbnya sampai ia menunaikan hak suaminya. Seandainya
suaminya meminta dirinya dalam keadaan ia berada di atas pelana (hewan
tunggangan) maka ia tidak boleh menolaknya8.”

Dari Thalaq bin Ali, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ْ ‫أَيُّ َما َر ُج ٍل َدعَا َزوْ َجتَهُ لِ َحا َجتِ ِه فَ ْلتَأْتِ ِه َولَوْ َكان‬
‫َت َعلَى التَّنُّوْ ِر‬

“Suami mana saja yang memanggil istrinya untuk memenuhi hajatnya9 maka si
istri harus/wajib mendatanginya (memenuhi panggilannya) walaupun ia sedang
memanggang roti di atas tungku api.”

Diriwayatkan oleh Abu Hatim dalam Shahih-nya dan At-Tirmidzi, ia berkata,


“Hadits ini hasan10.”

Dalam kitab Shahih (Al-Bukhari) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia


berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ لَ َعنَ ْتهَا ْال َمالَئِ َكةُ َحتَّى تُصْ بِ َح‬،‫ فَبَاتَ غَضْ بَانَ َعلَ ْيهَا‬،‫ت أَ ْن تَ ِج ْي َئ‬
ْ َ‫إِ َذا َدعَا ال َّر ُج ُل ا ْم َرأَتَهُ إِلَى فِ َرا ِش ِه فَأَب‬

“Apabila seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya, namun si istri


menolak untuk datang, lalu si suami bermalam (tidur) dalam keadaan marah
kepada istrinya tersebut, niscaya para malaikat melaknat si istri sampai ia berada
di pagi hari.”11

Hadits-hadits dalam masalah ini banyak sekali dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu berkata, “Suami adalah tuan (bagi istrinya)
sebagaimana tersebut dalam Kitabullah.” Lalu ia membaca firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala:

ِ ‫َوأَ ْلفَيَا َسيِّ َدهَا لَدَى ْالبَا‬


‫ب‬

“Dan keduanya mendapati sayyid (suami) si wanita di depan pintu.” (Yusuf: 25)

Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nikah itu adalah perbudakan.
Maka hendaklah salah seorang dari kalian melihat/memerhatikan kepada siapa ia
memperbudakkan anak perempuannya.”

Dalam riwayat At-Tirmidzi dan selainnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau bersabda:

ٌ ‫ فَإِنَّ َما ه َُّن ِع ْن َد ُك ْم ع ََو‬،‫ا ْستَوْ صُوا بِالنِّ َسا ِء خَ ْيرًا‬


‫ان‬

“Berwasiat kebaikanlah kalian kepada para wanita/istri karena mereka itu


hanyalah tawanan di sisi kalian.”12

Dengan demikian seorang istri di sisi suaminya diserupakan dengan budak dan
tawanan. Ia tidak boleh keluar dari rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya
baik ayahnya yang memerintahkannya untuk keluar, ataukah ibunya, atau selain
kedua orangtuanya, menurut kesepakatan para imam.

Apabila seorang suami ingin membawa istrinya pindah ke tempat lain di mana
sang suami menunaikan apa yang wajib baginya dan menjaga batasan/hukum-
hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam perkara istrinya, sementara ayah si istri
melarang si istri tersebut untuk menuruti/menaati suami pindah ke tempat lain,
maka si istri wajib menaati suaminya, bukannya menuruti kedua orangtuanya.
Karena kedua orangtuanya telah berbuat zalim. Tidak sepantasnya keduanya
melarang si wanita untuk menaati suaminya. Tidak boleh pula bagi si wanita
menaati ibunya bila si ibu memerintahnya untuk minta khulu’ kepada suaminya
atau membuat suaminya bosan/jemu hingga suaminya menceraikannya. Misalnya
dengan menuntut suaminya agar memberi nafkah dan pakaian (melebihi
kemampuan suami) dan meminta mahar yang berlebihan13, dengan tujuan agar si
suami menceraikannya. Tidak boleh bagi si wanita untuk menaati salah satu dari
kedua orangtuanya agar meminta cerai kepada suaminya, bila ternyata suaminya
seorang yang bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam urusan istrinya.
Dalam kitab Sunan yang empat14 dan Shahih Ibnu Abi Hatim dari Tsauban
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ق ِم ْن َغي ِْر َما بَأْس َفَ َح َرا ٌم َعلَ ْيهَا َرائِ َحةُ ْال َجنَّ ِة‬
َ َ‫ت زَ وْ َجهَا الطَّال‬
ْ َ‫أَيُّ َما ا ْم َرأَ ٍة َسأَل‬

“Wanita mana yang meminta cerai kepada suaminya tanpa ada apa-apa15 maka
haram baginya mencium wanginya surga.”16

Dalam hadits yang lain:


ُ َ‫َات ه َُّن ْال ُمنَافِق‬
‫ات‬ ُ ‫ات َو ْال ُم ْنت َِزع‬
ُ ‫ْال ُم ْختَلِ َع‬

“Istri-istri yang minta khulu’17 dan mencabut diri (dari pernikahan) mereka itu
wanita-wanita munafik.”18

Adapun bila kedua orangtuanya atau salah satu dari keduanya memerintahkannya
dalam perkara yang merupakan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala,
misalnya ia diperintah untuk menjaga shalatnya, jujur dalam berucap, menunaikan
amanah dan melarangnya dari membuang-buang harta dan bersikap boros serta
yang semisalnya dari perkara yang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan atau yang dilarang oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
dikerjakan, maka wajib baginya untuk menaati keduanya dalam perkara tersebut.
Seandainya pun yang menyuruh dia untuk melakukan ketaatan itu bukan kedua
orangtuanya maka ia harus taat. Apalagi bila perintah tersebut dari kedua
orangtuanya.

Apabila suaminya melarangnya dari mengerjakan apa yang Allah Subhanahu wa


Ta’ala perintahkan atau sebaliknya menyuruh dia mengerjakan perbuatan yang
Allah Subhanahu wa Ta’ala larang maka tidak ada kewajiban baginya untuk taat
kepada suaminya dalam perkara tersebut. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:

ِ ِ‫ْصيَ ِة ْالخَال‬
‫ق‬ ٍ ْ‫إِنَّهُ الَ طَا َعةَ لِ َم ْخلُو‬
ِ ‫ق فِي َمع‬

“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Khaliq.”19

Bahkan seorang tuan (ataupun raja) andai memerintahkan budaknya (ataupun


rakyatnya/orang yang dipimpinnya) dalam perkara maksiat kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala, tidak boleh bagi budak tersebut menaati tuannya dalam
perkara maksiat. Lalu bagaimana mungkin dibolehkan bagi seorang istri menaati
suaminya atau salah satu dari kedua orangtuanya dalam perkara maksiat? Karena
kebaikan itu seluruhnya dalam menaati Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-
Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebaliknya kejelekan itu seluruhnya dalam
bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Majmu’atul Fatawa, 16/381-383).
Wallahu a’lam bish-shawab.

Catatan kaki:

1 HR. Ahmad (2/168) dan Muslim (no. 3628), namun hanya sampai pada lafadz:

ُ‫َاع ال ُّد ْنيَا ْال َمرْ أَةُ الصَّالِ َحة‬ ٌ ‫ال ُّد ْنيَا َمتَا‬
ِ ‫ع َو َخ ْي ُر َمت‬

“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang
shalihah.”
Selebihnya adalah riwayat Ahmad dalam Musnad-nya (2/251, 432, 438) dan An-
Nasa’i. Demikian pula Al-Baihaqi, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata:

‫ َوالَ تُخَالِفُهُ فِي نَ ْف ِسهَا َواَل فِي‬،‫ َوتُ ِط ْي ُعهُ إِ َذا أَ َم َر‬،‫ الَّتِي تَسُرُّ هُ إِ َذا نَظَ َر‬:‫ أَيُّ النِّسا َ ِء َخ ْيرٌ؟ قَا َل‬،ِ‫ يَا َرسُو َل هللا‬:‫قِ ْي َل‬
ُ‫َمالِ ِه بِ َما يَ ْك َره‬

Ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wanita (istri) yang


bagaimanakah yang paling baik?” Beliau menjawab, “Yang menyenangkan
suaminya bila suaminya memandangnya, yang menaati suaminya bila suaminya
memerintahnya, dan ia tidak menyelisihi suaminya dalam perkara dirinya dan
tidak pula pada harta suaminya dengan apa yang dibenci suaminya.” (Dihasankan
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Irwa’ul Ghalil no. 1786)

2 Dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami’ Ash-


Shaghir, no. 660.

3 HR. At-Tirmidzi no. 1161 dan Ibnu Majah no. 1854, didhaifkan Al-Imam Al-
Albani rahimahullahu dalam Dha’if Sunan At-Tirmidzi dan Dhaif Sunan Ibni
Majah.

4 HR. At-Tirmidzi no. 1159 dan Ibnu Majah no. 1853, kata Al-Imam Al-Albani
rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, “Hasan Shahih.”

5 HR. Abu Dawud no. 2140, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu


dalam Shahih Sunan Abi Dawud.

6 HR. Ahmad (3/159), dishahihkan Al-Haitsami (4/9), Al-Mundziri (3/55), dan


Abu Nu’aim dalam Ad-Dala’il (137). Lihat catatan kaki Musnad Al-Imam Ahmad
(10/513), cet. Darul Hadits, Al-Qahirah.

7 HR. Ahmad (6/76) dan Ibnu Majah no. 1852, didhaifkan Al-Imam Al-Albani
rahimahullahu dalam Dha’if Sunan Ibni Majah.

8 HR. Ahmad (4/381) dan Ibnu Majah no. 1853, kata Al-Imam Al-Albani
rahimahullahu dalam Shahih Sunan Ibni Majah, “Hasan Shahih.” Lihat pula Ash-
Shahihah no. 1203.

9 Kinayah dari jima’. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ar-Radha’, bab Ma Ja’a fi Haqqiz
Zauj alal Mar’ati)

10 HR. At-Tirmidzi no. 1160 dan Ibnu Hibban no. 1295 (Mawarid), dishahihkan
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, Al-Misykat
no. 3257 dan Ash-Shahihah no. 1202.

11 HR. Al-Bukhari no. 5193.


12 HR. At-Tirmidzi no. 1163 dan Ibnu Majah no. 1851, dihasankan Al-Imam Al-
Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi dan Shahih Sunan Ibni
Majah.

13 Misalnya maharnya tidak tunai diberikan oleh sang suami saat akad namun
masih hutang, dan dijanjikan di waktu mendatang setelah pernikahan.

14 Yaitu Sunan At-Tirmidzi, Sunan Abi Dawud, Sunan An-Nasa’i, dan Sunan
Ibnu Majah.

15 Lafadz: ((‫ )) ِم ْن َغي ِْر َما بَأْس‬maksudnya tanpa ada kesempitan yang memaksanya
untuk meminta pisah. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ath-Thalaq wal Li’an, bab Ma
Ja’a fil Mukhtali’at)

16 HR. At-Tirmidzi no. 1187, Abu Dawud no. 2226, Ibnu Majah no. 2055, dan
Ibnu Hibban no. 1320 (Mawarid), dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu
dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, dll.

17 Tanpa ada alasan yang menyempitkannya. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ath-


Thalaq wal Li’an, bab Ma Ja’a fil Mukhtali’at)

18 HR. Ahmad 2/414 dan Tirmidzi no. 1186, dishahihkan Al-Imam Al-Albani
rahimahullahu dalam Shahih Sunan Tirmidzi, Ash-Shahihah no. 633, dan Al-
Misykat no. 3290. Mereka adalah wanita munafik yaitu bermaksiat secara batin,
adapun secara zahir menampakkan ketaatan. Ath-Thibi berkata, “Hal ini dalam
rangka mubalaghah (berlebih-lebihan/sangat) dalam mencerca perbuatan
demikian.” (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ath-Thalaq wal Li’an, bab Ma Ja’a fil
Mukhtali’at)

19 HR. Ahmad 1/131, kata Syaikh Ahmad Syakir rahimahullahu dalam ta’liqnya
terhadap Musnad Al-Imam Ahmad, “Isnadnya shahih.”

Anda mungkin juga menyukai