Anda di halaman 1dari 12

HAK-HAK SUAMI ATAS ISTERI

    

KITAB NIKAH

Oleh

Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi

Hak-Hak Suami Atas Isteri

Sesungguhnya hak suami atas isteri mempunyai kedudukan yang sangat agung, sebagaimana hal
tersebut telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam satu hadits yang
diriwayatkan oleh al-Hakim dan selainnya dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :

ْ ‫َت بِ ِه قَرْ َحةٌ فَلَ َح َس ْتهَا! َما َأ َّد‬


ُ‫ت َحقَّه‬ ْ ‫ج َعلَى َزوْ َجتِ ِه َأ ْن لَوْ كَان‬
ِ ْ‫ق ال َّزو‬
ُّ ‫ َح‬.

“Hak bagi seorang suami atas isterinya adalah jika saja ia (suami) mempunyai luka di kulitnya, kemudian
sang isteri menjilatinya, maka pada hakikatnya ia belum benar-benar memenuhi haknya.” [1]

Di antara hak-hak suami atas isterinya adalah sebagai berikut :

1. Wanita yang cerdas dan pandai akan mengagungkan apa yang telah diagungkan oleh Allah dan Rasul-
Nya dan menghormati suaminya dengan sebenar-benarnya, ia bersungguh-sungguh untuk selalu taat
kepada suami, karena ketaatan kepada suami termasuk salah satu di antara syarat masuk Surga.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ِ ‫ي َأ ْب َوابِهَا ِشْئ‬
‫ت‬ ِّ ‫ قِ ْي َل لَهَا ا ْد ُخلِي ْال َجنَّةَ ِم ْن َأ‬،‫َت زَ وْ َجهَا‬
ْ ‫ َوَأطَاع‬،‫ت فَرْ َجهَا‬
ْ َ‫ َو َحفِظ‬،‫ت َشه َْرهَا‬ َ ‫! َو‬،‫ت ْال َمرْ َأةُ خَ ْم َسهَا‬
ْ ‫صا َم‬ ِ َّ‫صل‬
َ ‫ِإ َذا‬.

“Apabila seorang wanita mau menunaikan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga
kemaluannya dan taat terhadap suaminya, maka akan dikatakan kepadanya (di akhirat), ‘Masuklah ke
Surga dari pintu mana saja yang engkau kehendaki.’”[2]

Perhatikanlah wahai wanita muslimah, bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan ketaatan
kepada suami termasuk syarat masuk Surga seperti halnya shalat dan puasa. Maka dari itu taatlah
kepada suami dan janganlah engkau mendurhakainya, karena di balik kedurhakaan isteri kepada suami
terdapat kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta’alal

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َ ْ‫ َوالَّ ِذيْ نَ ْف ِس ْي بِيَ ِد ِه َما ِم ْن َرج ٍُل يَ ْدعُو ا ْم َرَأتَهُ ِإلَى فِ َرا ِش ِه فَتَْأبَى َعلَ ْي ِه ِإالَّ َكانَ الَّ ِذيْ فِي ال َّس َما ِء َسا ِخطًا َعلَ ْيهَا َحتَّى يَر‬.
‫ضى َع ْنهَا‬

“Dan Rabb yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami mengajak isterinya ke tempat
tidur, lalu ia menolaknya kecuali Yang ada di langit murka kepadanya hingga suaminya ridha
kepadanya.” [3]

Maka kewajibanmu sebagai seorang isteri wahai para wanita muslimah adalah untuk selalu mendengar
dan taat terhadap setiap perintah suami selama tidak menyelisihi syari’at. Akan tetapi berhati-hatilah,
jangan sampai engkau berlebih-lebihan dalam mentaati perintah suami sehingga mau mentaatinya
dalam kemaksiatan. Karena sesungguhnya jika melakukan hal tersebut, maka engkau telah berdosa.
Sebagai contoh: apabila engkau mentaati perintahnya agar menghilangkan alis mata wajahmu untuk
memperindah diri di hadapannya. Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat an-
Naamishah (wanita yang mencabut alis matanya) dan al-Mutanammishah (wanita yang minta dicabuti
alis matanya).[4]

Atau sebagai contoh yang lain: engkau mentaati perintahnya menanggalkan jilbab tatkala keluar rumah
karena suamimu mau berbangga diri dengan memperlihatkan kecantikanmu di depan orang banyak.
Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
َ َّ‫ب ْالبَقَ ِر يَضْ ِربُونَ بِهَا الن‬ ِ ‫ قَوْ ٌم َم َعهُ ْم ِسيَاطٌ َكَأ ْذنَا‬:‫ار لَ ْم َأ َرهُ َما‬ ‫ُأ‬
‫ت‬ ٌ َ‫ت َماِئال‬ ٌ َ‫ات ُم ِميال‬ٌ َ‫َاري‬
ِ ‫ات ع‬ !ٌ َ‫ َونِ َسا ٌء كَا ِسي‬،‫اس‬ ِ َّ‫ص ْنفَا ِن ِم ْن َّمتِ ْي ِم ْن َأ ْه ِل الن‬
ِ
َّ ْ ْ ْ
‫ َوِإ َّن ِري َحهَا لَيُو َج ُد ِم ْن َم ِسي َر ِة َك َذا َو َك َذا‬،‫ت ال َماِئلَ ِة الَ يَ ْد ُخلنَ ال َجنةَ َوالَ يَ ِج ْدنَ ِر ْي َحهَا‬ ْ ْ ‫َأ‬
ِ ‫ ُر ُءو ُسه َُّن َك ْسنِ َم ِة البُخ‬.

“Terdapat dua golongan dari umatku sebagai penghuni Neraka yang tidak pernah aku lihat sebelumnya,
yaitu suatu kaum yang memegang cambuk seperti ekor sapi lalu mencambukkannya ke tubuh manusia.
Dan sekelompok wanita yang mengenakan pakaian tetapi telanjang, mereka miring, kepala mereka
seperti punuk unta. Mereka tidak akan masuk Surga, bahkan tidak akan dapat mencium baunya.
Sesungguhnya bau Surga itu dapat tercium dari jarak perjalanan segini dan segini” [5]

Atau engkau hendak diajak bersetubuh pada saat haidh atau pada apa yang tidak dihalalkan oleh Allah.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ص َّدقَهُ بِ َما يَقُو ُل فَقَ ْد َكفَ َر بِ َما ُأ ْن ِز َل َعلَى ُم َح َّم ٍد‬


َ َ‫ َم ْن َأتَى َحاِئضًا َأ ِو ا ْم َرَأةً فِي ُدب ُِرهَا َأوْ كَا ِهنًا ف‬.

“Barangsiapa yang mendatangi isterinya pada waktu haidh atau lewat duburnya atau mendatangi
dukun, kemudian mempercayai apa yang ia ucapkan, maka ia telah kafir dengan apa yang telah
diturunkan kepada Muhammad (al-Qur-an).”[6]

Atau mau mentaatinya untuk menampakkan diri di tengah-tengah kaum pria yang bukan mahram dan
bercampur-baur serta bersalaman dengan mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ْ ‫ب ۚ ٰ َذلِ ُك ْم َأ‬
‫طهَ ُر لِقُلُوبِ ُك ْم َوقُلُوبِ ِه َّن‬ ٍ ‫َوِإ َذا َسَأ ْلتُ ُموه َُّن َمتَاعًا فَا ْسَألُوه َُّن ِمن َو َرا ِء ِح َجا‬

“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari
belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” [Al-Ahzaab: 53]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ِإيَّا ُك ْم َوال ُّد ُخوْ َل َعلَى النِّ َسا ِء‬.


“Janganlah kalian masuk ke tempat para wanita (yang bukah mahram)!”

Di antara para Sahabat ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan al-Hamwu (yaitu
kerabat suami, seperti saudara laki-laki, anak saudara laki-laki, paman, anak paman atau selain dari
mereka)?” Beliau bersabda:

ُ ْ‫اَ ْل َح ْم ُو ْال َمو‬.


‫ت‬

“Al-Hamwu (ipar) adalah bencana.”

Dan qiyaskan apa yang telah disebutkan di atas dengan segala macam sikap ketaatan kepada suami yang
menyelisihi syari’at Rabb-mu, maka jangan sampai karena merasa wajib taat kepada suami sehingga
mau mentaatinya meskipun dalam hal kemaksiatan. Sesungguhnya ketaatan hanya ada pada yang
ma’ruf dan tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal kemaksiatan terhadap al-Khaliq.

2. Di antara hak suami atas isteri, seorang isteri harus menjaga kehormatan dan memelihara
kemuliaannya serta mengurusi harta, anak-anak dan segala hal yang berhubungan dengan pekerjaan
rumah, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

ِ ‫ات لِّ ْل َغ ْي‬


ُ ‫ب بِ َما َحفِظَ هَّللا‬ ٌ َ‫َات َحافِظ‬
ٌ ‫ات قَانِت‬
!ُ ‫فَالصَّالِ َح‬

“Sebab itu, maka wanita yang shalih, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya
tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).”[An-Nisaa’: 34]

Dan sabda Rasulullah :

ِ ‫َو ْال َمرْ َأةُ َرا ِعيَةٌ فِ ْي بَ ْي‬


‫ت َزوْ ِجهَا َو َم ْسُئوْ لَةٌ ع َْن َر ِعيَّتِهَا‬
“Dan seorang isteri adalah pemimpin di dalam rumah suaminya dan ia akan dimintai
pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.” [8]

3. Berhias dan memperindah diri untuk suami, selalu senyum dan jangan bermuka masam di depannya.
Jangan sampai menampakkan keadaan yang tidak ia sukai. Ath-Thabrani telah mengeluarkan sebuah
hadits dari ‘Abdullah bin Salam Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َ َ‫ َوتَحْ فَظُ َغ ْيبَت‬، َ‫ َوتُ ِط ْيعُكَ ِإ َذا َأ َمرْ ت‬، َ‫ْصرْ ت‬


َ ِ‫ك فِ ْي نَ ْف ِسهَا َو َمال‬
‫ك‬ َ ‫ك ِإ َذا َأب‬
َ ُّ‫خَ ْي ُر النِّ َسا ِء َم ْن تَسُر‬.

“Sebaik-baik isteri ialah yang engkau senang jika melihatnya, taat jika engkau perintah dan menjaga
dirinya dan hartamu di saat engkau pergi.” [9]

Dan sungguh mengherankan sekali jika ada wanita yang tidak memperhatikan penampilan dirinya pada
saat di rumahnya di mana ia sedang bersama suami, namun pada saat keluar rumah ia mempercantik
diri dan menampakkan perhiasannya, sampai-sampai benarlah apa yang dikatakan oleh orang tentang
perempuan seperti ini, yaitu, “Seperti kera dalam rumah akan tetapi seperti kijang bila di jalan.” Oleh
karena itu, takutlah engkau wahai wanita hamba Allah, takutlah kepada Allah pada dirimu dan suamimu,
karena sesungguhnya suami adalah orang yang paling berhak untuk melihat dan menikmati penampilan
indahmu. Janganlah engkau sekali-kali menampakkan perhiasan pada orang yang tidak boleh
melihatnya, karena hal itu adalah merupakan perkara yang diharamkan.

4. Isteri harus selalu berada di dalam rumahnya dan tidak keluar meskipun untuk pergi ke masjid kecuali
atas izin suami.

Allah berfirman:

‫َوقَرْ نَ فِي بُيُوتِ ُك َّن‬

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu.” [Al-Ahzaab: 33]

5. Janganlah seorang isteri memasukkan orang lain ke dalam rumah kecuali atas izinnya. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
َ‫ َوالَ يَْأ َذ َّن فِ ْي بُيُوْ تِ ُك ْم لِ َم ْن تَ ْك َرهُوْ ن‬، َ‫فَ َحقُّ ُك ْم َعلَ ْي ِه َّن َأ ْن الَ يُوْ ِطْئنَ فُ َر َش ُك ْم َم ْن تَ ْك َرهُوْ ن‬.

“Hak kalian atas para isteri adalah agar mereka tidak memasukkan ke dalam kamar tidur kalian orang
yang tidak kalian sukai dan agar mereka tidak mengizinkan masuk ke dalam rumah kalian bagi orang
yang tidak kalian sukai.” [10]

6. Isteri harus menjaga harta suami dan tidak menginfaqkannya kecuali dengan izinnya. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ض ُل َأ ْم َوالِنَا‬
َ ‫ك َأ ْف‬
َ ِ‫ َذل‬:‫ َوالَ الطَّ َعا َم؟ قَا َل‬:‫ت َزوْ ِجهَا ِإالَّ بِِإ ْذ ِن َزوْ ِجهَا قِ ْي َل‬
ِ ‫ق ا ْم َرَأةٌ َش ْيًئا ِم ْن بَ ْي‬
ِ ِ‫ َوالَ تُ ْنف‬.

“Janganlah seorang isteri menginfaqkan sesuatu pun dari harta suaminya kecuali atas izinnya.”
Kemudian ada yang bertanya, “Tidak juga makanan?” Beliau menjawab, “Bahkan makanan adalah harta
yang paling berharga.” [11]

Bahkan di antara hak suami atas isteri adalah agar ia tidak menginfaqkan harta miliknya jika ia
mempunyai harta kecuali jika sang suami mengizinkannya, karena dalam sebuah hadits yang lain
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ْس لِ ْل َمرْ َأ ِة َأ ْن تَ ْنتَ ِهكَ َش ْيًئا ِم ْن َمالِهَا ِإالَّ بِِإ ْذ ِن زَ وْ ِجهَا‬


َ ‫لَي‬.

“Janganlah seorang isteri menggunakan sesuatu pun dari hartanya kecuali dengan izin suaminya.” [12]

7. Janganlah seorang isteri melakukan puasa sunnah sedangkan suami berada di rumah kecuali atas
izinnya, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi:

‫الَ يَ ِحلُّ لِ ْل َمرْ َأ ِة َأ ْن تَصُوْ َم َو َزوْ ُجهَا شَا ِه ٌد ِإالَّ بِِإ ْذنِ ِه‬.
“Tidak boleh bagi isteri melakukan puasa (sunnah) sedangkan suaminya ada kecuali dengan izinnya.”
[13]

8. Janganlah seorang isteri mengungkit-ungkit apa yang pernah ia berikan dari hartanya untuk suami
maupun keluarga, karena menyebut-nyebut pemberian akan dapat membatalkan pahala. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

‫ص َدقَاتِ ُكم بِ ْال َمنِّ َواَأْل َذ ٰى‬


َ ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اَل تُ ْب ِطلُوا‬

“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-
nyebutnya dan menyakiti perasaan (si penerima).” [Al-Baqarah: 264]

9. Isteri harus ridha dan menerima apa adanya, janganlah ia membebani suami dengan sesuatu yang ia
tidak mampu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ٍ ‫لِيُنفِ ْق ُذو َس َع ٍة ِّمن َس َعتِ ِه ۖ َو َمن قُ ِد َر َعلَ ْي ِه ِر ْزقُهُ فَ ْليُنفِ ْق ِم َّما آتَاهُ هَّللا ُ ۚ اَل يُ َكلِّفُ هَّللا ُ نَ ْفسًا ِإاَّل َما آتَاهَا ۚ َسيَجْ َع ُل هَّللا ُ بَ ْع َد ُعس‬
‫ْر يُ ْسرًا‬

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan
rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan
beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan
memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” [Ath-Thalaq: 7]

10. Isteri harus bersungguh-sungguh dalam mendidik anak-anaknya dengan kesabaran. Janganlah ia
marah kepada mereka di depan suami dan jangan memanggil mereka dengan kejelekan maupun
mencaci-maki mereka, karena yang demikian itu akan dapat menyakiti hati suami. Dan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

‫ك ِإلَ ْينَا‬ ِ َ‫ك َأ ْن يُف‬


َ َ‫ارق‬ ِ َ‫ الَ تُْؤ ِذ ْي ِه قَاتَل‬:‫ت زَ وْ َجتُهُ ِمنَ ْالحُوْ ِر ْال ِعي ِْن‬
َ ‫ فَِإنَّ َما هُ َو َد ِخ ْي ٌل ِع ْن َد‬،ُ‫ك هللا‬
ُ ‫ك يُوْ ِش‬ ْ َ‫الَ تُْؤ ِذى ا ْم َرَأةٌ َزوْ َجهَا فِي ال ُّد ْنيَا ِإالَّ قَال‬.
“Tidaklah seorang isteri menyakiti suaminya di dunia kecuali isterinya dari para bidadari akan
mengatakan kepadanya, ‘Janganlah engkau menyakitinya (suami) atau Allah akan mencelakakanmu. Ia
adalah simpanan bagimu yang sebentar lagi meninggalkanmu untuk kembali kepada kami.’” [14]

11. Isteri harus dapat berbuat baik kepada kedua orang tua dan kerabat suami, karena sesungguhnya
isteri tidak dianggap berbuat baik kepada suami jika ia memperlakukan orang tua dan kerabatnya
dengan kejelekan.

12. Janganlah isteri menolak jika suami mengajaknya melakukan hubungan intim, karena Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ٌ َ‫اش ِه فَلَ ْم تَْأتِ ِه فَبَاتَ غَضْ ب‬


‫ان َعلَ ْيهَا لَ َعنَ ْتهَا ْال َمالَِئ َكةُ َحتَّى تُصْ بِ َح‬ ِ ‫ِإ َذا َدعَا ال َّر ُج ُل ا ْم َرَأتَهُ ِإلَى فِ َر‬.

“Apabila seorang suami mengajak isterinya ke tempat tidur, tapi ia menolak untuk datang, lalu sang
suami marah sepanjang malam, maka para Malaikat melaknatnya (sang isteri) hingga datang waktu
pagi.” [15]

Dan di dalam hadits yang lain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ْ ‫ِإ َذا َدعَا ال َّر ُج ُل َزوْ َجتَهُ لِ َحا َجتِ ِه فَ ْلتَْأتِ ِه َوِإ ْن كَان‬.
‫َت َعلَى التَّنُّوْ ِر‬

“Apabila seorang suami mengajak isterinya untuk berhubungan intim, maka hendaknya sang isteri
melayaninya meskipun ia sedang berada di atas unta.” [16]

13. Isteri harus dapat menjaga rahasia suami dan rahasia rumah tangga, janganlah sekali-kali ia
menyebarluaskannya. Dan di antara rahasia yang paling penting yang sering diremehkan oleh para isteri
sehingga ia menyebarluaskannya kepada orang lain, yaitu rahasia yang terjadi di ranjang suami isteri.
Sungguh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang hal demikian.
Dari Asma’ binti Yazid Radhiyallahu anhuma bahwasanya pada suatu saat ia bersama Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat dari kalangan laki-laki dan para perempuan sedang
duduk-duduk. Beliau bersabda, “Apakah ada seorang laki-laki yang menceritakan apa yang telah ia
lakukan bersama isterinya atau adakah seorang isteri yang menceritakan apa yang telah ia lakukan
dengan suaminya?” Akan tetapi semuanya terdiam, kemudian aku (Asma’) berkata, “Demi Allah wahai
Rasulullah, sesungguhnya mereka semua telah melakukan hal tersebut.” Maka Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian melakukannya, karena sesungguhnya yang demikian itu
seperti syaitan yang bertemu dengan syaitan perempuan, kemudian ia menggaulinya sedangkan
manusia menyaksikannya.” [17]

14. Isteri harus selalu bersungguh-sungguh dalam menjaga keberlangsungan kehidupan rumah tangga
bersama suaminya, janganlah ia meminta cerai tanpa ada alasan yang disyari’atkan.

Dari Tsauban Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda:

ٍ ‫ق ِم ْن َغي ِْر َما بَْأ‬


‫س فَ َح َرا ٌم َعلَ ْيهَا َراِئ َحةُ ْال َجنَّ ِة‬ َ َ‫ت َزوْ َجهَا الطَّال‬
ْ َ‫َأيُّ َما ا ْم َرَأ ٍة َسَأل‬.

“Isteri mana saja yang minta cerai dari suaminya tanpa adanya alasan, maka ia tidak akan mencium bau
wanginya Surga.” [18]

Dan dalam hadits yang lain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ُ َ‫ات ه َُّن ْال ُمنَافِق‬


‫ات‬ !ُ ‫اَ ْل ُم ْختَلِ َع‬.

“Para isteri yang minta cerai adalah orang-orang munafik.” [19]

Inilah -wahai muslimah- hak-hak suamimu atas dirimu. Bersungguh-sungguhlah dalam menunaikan hak-
hak tersebut dan lupakanlah jika suamimu kurang dapat memenuhi hak-hakmu, karena sesungguhnya
yang demikian itu akan dapat melanggengkan cinta dan kasih sayang di antara kalian, dapat memelihara
keharmonisan rumah tangga sehingga dengannya masyarakat akan menjadi baik pula.
Dan bagi para ibu harus memahami bahwa sesungguhnya di antara kewajiban mereka adalah
memberikan pengertian kepada anak-anak perempuan mereka tentang hak-hak suami mereka,
hendaklah setiap ibu selalu mengingatkan anak perempuannya akan hak-hak tersebut sebelum ia
memasuki jenjang pernikahan. Hal ini merupakan Sunnahnya para wanita Salaf Radhiyallahu ‘anhunna,
sebagaimana diceritakan bahwasanya ‘Amr bin Hajr, Raja Kindah meminang Ummu Iyash binti ‘Auf as-
Syaibani, maka tatkala datang waktu pernikahannya, Ibu dari Ummu Iyash yang bernama Umamah binti
al-Harits memberikan beberapa wasiat kepadanya tentang pokok-pokok dasar kehidupan rumah tangga
yang harmonis dan tentang apa yang wajib dilakukannya bagi suaminya. Ia berkata, “Puteriku,
sesungguhnya wasiat ini jika aku tinggalkan karena keutamaan suatu adab, maka niscaya aku akan
meninggalkan adab tersebut karena dirimu. Akan tetapi wasiat ini merupakan peringatan bagi orang
yang lalai dan penolong bagi orang yang berakal. Kalaulah seorang isteri tidak membutuhkan suaminya
untuk mencukupi kedua orang tuanya dan mereka berdua sangat butuh kepadanya, maka engkau telah
menjadi manusia yang paling tidak bergantung kepada suami. Akan tetapi wanita itu diciptakan untuk
laki-laki dan laki-laki pun diciptakan untuk wanita. Puteriku, engkau akan meninggalkan rumah tempat
kelahiranmu dan tempat tinggalmu selama ini menuju rumah yang belum engkau ketahui keadaannya
untuk menyertai kawan hidup yang belum engkau ketahui kebiasaannya, sehingga engkau menjadi
pengawas dan pemilik kerajaan suamimu. Karena itu lakukanlah beberapa perbuatan. Jadilah engkau
seorang budak baginya, maka ia akan menjadi budak bagimu. Jagalah sepuluh perkara baginya agar ia
menjadi simpananmu yang berharga.

Yang pertama dan kedua: Tunduklah kepadanya dengan menerima apa adanya dan dengarlah baik-baik
ucapannya serta taatilah perintahnya.

Ketiga dan keempat: Perhatikan baik-baik kedua mata dan penciumannya. Jangan sampai ia melihatmu
dalam keadaan berpenampilan buruk dan jangan sampai ia mencium kecuali bau harum dari wangi
tubuhmu.

Kelima dan keenam: Perhatikan baik-baik waktu tidur dan makannya, karena sesungguhnya jika seorang
merasa lapar, maka emosinya akan mudah terbakar dan jika tidurnya merasa terganggu, maka ia akan
mudah marah.

Ketujuh dan kedelapan: Jagalah baik-baik hartanya, kehormatannya dan keluarganya. Cara terbaik
menjaga hartanya adalah menghematnya dan cara terbaik menjaga keluarganya adalah mendidiknya
dengan baik.
Kesembilan dan kesepuluh: Janganlah engkau menentang perintahnya sedikit pun dan jangan pula
membuka rahasianya. Apabila engkau menentang perintahnya, maka engkau menyakiti hatinya. Apabila
engkau membuka rahasianya, maka engkau tidak akan aman dari pengkhianatannya. Janganlah engkau
bergembira dihadapannya ketika ia susah dan janganlah engkau susah dihadapannya ketika ia
bergembira.” [20]

((Wahai Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami

isteri dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami) dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang
yang bertakwa))

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai
al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit
Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]

_______

Footnote

[1]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 3148)], Ahmad (XVI/227, no. 247).

[2]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 660)], Ahmad (XVI/228, no. 250).

[3]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 7080)], Shahiih Muslim (II/ 1060, no. 1436 (121)).

[4]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (VIII/630, no. 4886), Shahiih Muslim (III/1678, no. 2125), Sunan
Abi Dawud (XI/225, no. 4151), Sunan an-Nasa-i (VIII/146), Sunan at-Tirmidzi (IV/193, no. 2932), Sunan
Ibni Majah (I/640, no. 1989).

[5]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 3799)], [Mukhtashar Shahiih Muslim 1388], Shahiih
Muslim (III/1680, no. 2128).

[6]. Shahih: [Aadaabuz Zifaaf, hal. 31], Sunan Ibni Majah (I/209, no. 639), Sunan at-Tirmidzi (I/90, no.
135) tanpa kalimat “Fashaddaqahu bima yaquul”.

[7]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/330, no. 5232), Shahiih Muslim (IV/1711, no. 2172), Sunan at-
Tirmidzi (II/318, no. 1181).

[8]. Bagian dari hadits “Warrajulu raa’in”.

[9]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 3299)].

[10]. Bagian dari hadits yang telah lalu yaitu “‘Alaa inna lakum ala nisaa-ikum haqqan.”
[11]. Hasan: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1859)], Sunan at-Tirmidzi (III/ 293, no. 2203), Sunan Abi
Dawud (IX/478, no. 3548), Sunan Ibni Majah (II/770, no. 2295)

[12]. Dikeluarkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 775), beliau
berkata, “Telah dikeluarkan oleh Tamam dalam al-Fawaa-id (II/182, no. 10) dari jalan ‘Anbasah bin Sa’id
dari Hammad, maula (budak yang dibebaskan). Bani Umayyah dari Janaah maula al-Walid dari Watsilah,
ia berkata, ‘Rasulullah J bersabda, kemudian ia menyebutkan hadits tersebut.” Beliau (al-Albani)
berkata, “Sanad hadits ini lemah, akan tetapi ada beberapa riwayat penguat yang menunjukkan bahwa
hadits ini adalah tsabit.”

[13]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/295, no. 5195), Shahiih Muslim (no. 1026).

[14]. Sunan Tirmidzi (II/320, no. 1184).

[15]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/294, no. 5194), Shahiih Muslim (II/1060, no. 1436), Sunan
Abu Dawud (VI/179, no. 2127).

[16]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ as-Shaghiir 534], Sunan at-Tirmidzi (II/314, no. 1160).

[17]. Shahih: [Aadaabuz Zifaaf, hal. 72], Ahmad (XVI/223, no. 237).

[18]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 2035)], Sunan at-Tirmidzi (II/329, no. 1199), Sunan Abi Dawud (VI/308,
no. 2209), Sunan Ibni Majah (I/662, no. 2055).

[19]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 6681)], [Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 632)],
Sunan Tirmidzi (II/329, no. 1198).

[20]. Fiqhus Sunnah (II/200)

Sumber: https://almanhaj.or.id/1086-hak-hak-suami-atas-isteri.html

Anda mungkin juga menyukai