،ٌسا َء َو َم َعهُ ِبالَل ِ ث ُ َّم أَت َى،ص ِل قَ ْبلَ َها َوالَ َب ْعدَهَا
َ الن ْ صلَّى َي ْو َم ال ِف
َ ُط ِر َر ْكعَتَي ِْن لَ ْم ي َ سلَّ َم
َ علَ ْي ِه َو َ ُصلَّى هللا َ ي َّ ِأ َ َّن النَّب
ص َها َو ِسخَا َب َهاَ فَ َج َع ْلنَ ي ُْلقِينَ ت ُ ْل ِقي ال َم ْرأَة ُ ُخ ْر،صدَقَ ِة
َّ فَأ َ َم َر ُه َّن بِال
وأما ثقب الصبي فال مصلحة له فيه وهو قطع عضو من أعضائه ال مصلحة دينية وال دنيوية فال يجوز
Ketiga, Seperti yang kita tahu, tradisi lelaki bertindik datang dari barat.
Bagian dari budaya hedonis yang diadopsi sebagian remaja di tanah air.
Karena itu, di masyarakat kita, tindik bagi lelaki, dipandang sebagai ciri
khas manusia ’golongan kiri’. Kami pernah mendapat aduhan, ada
seorang gadis yang dilamar oleh lelaki bertindik, dan spontan orang
tuanya melarangnya. Karena mereka memandang lelaki bertindik,
umumnya bukan orang baik-baik.
Tentu saja penilaian sang bapak, tetap kita hargai. Karena penilaian ini
berdasarkan ciri lahiriyah dan bukan batin. Sang bapak tidak menebak
batinnya, namun dia menilai berdasarkan lahirnya.
Jika seorang lelaki tidak ingin dianggap sebagai bagian orang ’golongan
kiri’, hindari memakai tindik.
Dalam al-Ushul min Ilmil Ushul – kitab Ushul Fiqh – dijelaskan bahwa
kaidah ini berlaku jika larangan itu kembali kepada dzat ibadah atau
syaratnya. Namun jika larangan itu tidak berhubungan dengan dzat
ibadah, maka ibadahnya tetap sah.
(al-Ushul min Ilmil Ushul, dengan syarh Ibnu Utsaimin, hlm. 188).
KESIMPULAN :