Anda di halaman 1dari 13

Sutrah (pembatas) ketika Shalat

A. Dalil-Dalil Sutrah

Menggunakan sutrah di depan mushalli (orang yang shalat) ketika shalat memiliki
pensyariatan yang kuat. Berikut adalah sebagian saja dari dalil-dalilnya:

Pertama. Dari Sahl bin Abi Hatsmah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:

َ ‫علَي ِه‬
ُ‫ص ََلتَه‬ َ ‫شي‬
َ ‫طا ُن‬ َّ ‫طع ال‬ ُ ‫صلَّى أ َ َح ُد ُكم إِلَى‬
َ ‫ست َرة فَليَد ُن مِ ن َها َل يَق‬ َ ‫إِذَا‬

“Jika salah seorang kalian shalat menghadap sutrah (pembatas) maka hendaklah dia
mendekatinya, niscaya shalatnya tidak akan diputus oleh syetan.” (HR. Abu Daud No.
695, An Nasa’i No. 748, juga dalam As Sunan Al Kubra No. 824, Al Hakim dalam Al
Mustadrak No. 922, Ahmad No. 16090, Ibnu Hibban No. 2373, Ibnu Khuzaimah No.
803, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 3289, dalam Ash Shughra No. 953,
lalu Ma’rifatus Sunan No. 1114, Ath Thabarani dalam Mu’jam Al Kabir No. 6015, Al
Bazzar dalam Musnadnya No. 3438, 4442, Abu Ja’far Ath Thahawi dalam Musykilul
Aatsar No. 2181, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf No. 2891, Abu Nu’aim dalam
Ma’rifatush Shahabah No. 2905. Hadits ini diriwayatkan dari berbagai jalan yakni Sahl
bin Abi Hatsmah, Sahl bin Sa’ad, Jubair bin Muth’im dari ayahnya, Buraidah)

Imam Ibnu Hibban dan Imam Ibnu Khuzaimah memuat hadits ini dalam kitab Shahih
mereka masing-masing. Imam Al Hakim mengatakan: shahih sesuai syarat syaikhan
(Bukhari dan Muslim), dan disepakati oleh Adz Dzahabi. (Al Mustadrak No. 922).
Imam An Nawawi mengatakan: isnadnya shahih. (Khulashah Al Ahkam No. 1732).
Imam Nuruddin Al Haitsami Rahimahullah mengomentari jalur Sahl bin Sa’d:
“Diriwayatkan oleh Ath Thabarani dalam Al Kabir-nya, dan para rijalnya (periwayatnya)
bisa dipercaya.”(Majma’ Az Zawaid, 2/198, No. 2288). Syaikh Al Albany Rahimahullah
juga menyatakan shahih dalam berbagai kitabnya. Begitu pula Syaikh Syu’aib Al
Arnauth menshahihkannya.(Ta’liq Musnad Ahmad No. 16090).

Kedua. Dari Abu Said Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:

‫ست َرة َوليَد ُن مِ ن َها‬ َ ُ‫صلَّى أ َ َح ُد ُكم فَلي‬


ُ ‫ص ِل إِلَى‬ َ ‫إِذَا‬

“Jika salah seorang kalian shalat, maka shalatlah dengan menggunakan sutrah,
dan mendekatlah kepadanya.” (HR. Abu Daud No. 698, dan ini adalah lafaz miliknya.
Ibnu Majah No. 954, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 3258, Ibnu Khuzaimah
No. 841, dari Ar Rabi’ bin Sibrah Al Juhani, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf No.
2892, Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf No. 2303, dari Nafi’ bin Jubair)

Imam An Nawawi mengatakan: shahih. (Khulashah Al Ahkam No. 1734). Syaikh Al


Albani mengatakan: hasan shahih. (Ar Raudhun An Nadhir No. 967, Shahih Abi Daud
No. 694-695, dll)

Ketiga. Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhu:


ُ َّ‫صلِي ِإلَي َها َوالن‬
ُ‫اس َو َرا َءه‬ َ ‫سلَّ َم َكانَ ِإذَا خ ََر َج َيو َم العِي ِد أ َ َم َر ِبال َحر َب ِة فَتُو‬
َ ُ‫ض ُع َبينَ َي َدي ِه فَي‬ َ ‫علَي ِه َو‬ ُ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫ّللا‬ ِ َّ ‫سو َل‬
َ ‫ّللا‬ ُ ‫أ َ َّن َر‬
ُ َّ َ
‫سف َِر فَمِ ن ث َّم ات َخذَهَا اْل َم َرا ُء‬َّ ‫َو َكانَ يَفعَ ُل ذَلِكَ فِي ال‬

“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, jika keluar menuju


lapangan pada shalat hari raya, dia memerintahkan untuk mengambil tombak dan
meletakkan di hadapannya, lalu dia shalat menghadap ke arahnya, dan manusia
melihat hal itu. Demikian itu dilakukannya ketika safar, maka untuk selajutnya hal itu
diikuti oleh para pemimpin umat.” (HR. Bukhari No. 494 dan Muslim No. 541)

Keempat. Dari Musa bin Thalhah, dari Ayahnya, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa sallam bersabda;

َ‫ص ِل َو َل يُبَا ِل َمن َم َّر َو َرا َء ذَلِك‬ َّ ِ‫ض َع أ َ َح ُد ُكم بَينَ يَ َدي ِه مِ ث َل ُمؤخِ َرة‬
َ ُ‫الرح ِل فَلي‬ َ ‫إِذَا َو‬
“Jika salah seorang kalian meletakkan di hadapannya setinggi pelana kuda, maka
shalatlah dan janganlah dia peduli dengan apa-apa yang ada di belakangnya.” (HR.
Muslim No. 499)

Kelima. Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

‫ فإن معه القرين‬، ‫ فإن أبى فقاتله‬، ‫ ول تدع أحدا يمر بين يديك‬، ‫ل تصلوا إل إلى سترة‬

“Janganlah kalian shalat kecuali menghadap sutrah, dan jangan biarkan


seorang pun melewati di hadapanmu, jika dia bersikeras lewat maka bunuhlah, karena
sesungguhnya dia memiliki qarin (kawan dekat dari kalangan syetan).” (HR. Al Hakim,
Al Mustadrak ‘Alash Shahihain No. 921, katanya: sesuai syarat Imam Muslim. Ibnu
Khuzaimah No. 820, Ibnu Hibban No. 2362, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No.
3261)

Demikian beberapa dalil saja, dari sekian banyak dalil tentang anjuran menggunakan
pembatas ketika shalat.

B. Perselisihan Pendapat Ulama Tentang Hukumnya

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum meletakkan sutrah (pembatas) di depan
orang shalat. Di antara mereka ada yang menyunnahkan, ada pula yang mewajibkan.

Para Ulama yang Menyunahkan Sutrah dan Alasannya

Mayoritas ulama menyatakannya sebagai sunah, bukan kewajiban. Kelompok


ini berpendapat bahwa memasang sutrah hanyalah sunah, sebab perintah tidak
selamanya bermakna wajib apalagi ada riwayat yang menunjukkan bahwa Rasulullah
Shalllallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah shalat tidak menggunakan sutrah (pembatas).

Pihak yang menyunnahkan berdalil dengan hadits dari Ibnu Abbas


Radhiallahu ‘Anhuma berikut:

‫س بَينَ يَ َدي ِه شَيء‬ َ َ‫صلَّى فِي ف‬


َ ‫ضاء لَي‬ َ ‫سلَّ َم‬
َ ‫علَي ِه َو‬ ُ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫ّللا‬ ُ ‫أ َ َّن َر‬
ِ َّ ‫سو َل‬
َ ‫ّللا‬

“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat di lapangan terbuka dan


dihadapannya tidak ada apa-apa.” (HR. Ahmad No. 1965)
Berkata Imam Al Haitsami Rahimahullah: “Dalam (sanad) hadits ini terdapat Al Hajaj
bin Artha’ah, dan dia dha’if.” (Majma’ Az Zawaid, 2/205). Tetapi hadits ini memiliki
syahid (jalur lain yang menguatkan) yang membuatnya terangkat derajatnya sehingga
Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: hasan lighairih. (Ta’liq Musnad Ahmad No.
1965)

Jalur lain yang menguatkan kisah tersebut adalah: Pertama, dari Ibnu Abbas
Radhiallahu ‘Anhuma, dia berkata:
ُ‫ فَنَزَ لنَا َو َدخَلنَا َم َعه‬،‫ض‬ ِ ‫ضاء مِ نَ اْلَر‬ ِ َّ‫صلِي ِبالن‬
َ َ‫اس فِي ف‬ َ ُ‫سلَّ َم "ي‬
َ ‫علَي ِه َو‬ ُ ‫صلَّى‬
َ ‫للا‬ َ ِ‫سو ُل للا‬ ُ ‫ َو َر‬، ‫علَى أَت َان‬ َ ‫ َم َررتُ أَنَا َوالفَض ُل‬،
َ
‫فَ َما قَا َل لنَا فِي ذَلِكَ شَيئًا‬
Aku dan Al Fadhl menunggangi keledai betina dan melewati Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang shalat bersama manusia di lapangan terbuka,
lalu kami turun dan masuk bersamanya (ke dalam shaf, pen), dan Beliau (nabi) tidak
berkata apa-apa kepada kami sedikit pun tentang itu. (HR. Ahmad No. 3017, Syaikh
Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 3017)
Kedua, dari Al Fadhl bin ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma:
‫ارة لَنَا‬
َ ‫ست َرة َوحِ َم‬ ُ ‫س بَينَ يَ َدي ِه‬ َ ‫صح َرا َء لَي‬َ ‫صلَّى فِي‬ َ ُ‫سلَّ َم َونَح ُن فِي بَا ِديَة لَنَا َو َمعَه‬
َ َ‫عبَّاس ف‬ َ ‫علَي ِه َو‬ ُ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫ّللا‬ ِ َّ ‫سو ُل‬
َ ‫ّللا‬ ُ ‫أَت َانَا َر‬
َ‫ان َبينَ َي َدي ِه فَ َما َبالَى ذَلِك‬
ِ َ ‫َوكَل َبة ت َع َبث‬
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendatangi kami dan kami sedang berada di
gurun, bersama kami dan Beliau ada ‘Abbas. Lalu Beliau shalat di padang pasir dan
di hadapannya tidak ada sutrah. Di hadapannya keledai betina dan anjing betina kami
bersenda gurau, dan dia tidak mempedulikannya. (HR. Abu Daud No. 718. Hadits ini
dihasankan oleh Imam An Nawawi. (Khulashah Al Ahkam No. 1746), juga dihasankan
oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth. (Ta’liq Musnad Ahmad No. 1965) )
Demikian dua hadits yang menguatkan hadits di atas.

Namun ada hadits lain yang serupa dengan ini, dari Ibnu Abbas Radhiallahu
‘Anhuma:
ُ‫سلتُ اْلَتَانَ تَرتَ ُع فَ َدخَلت‬َ ‫ف َوأَر‬
ِ ‫ص‬
َّ ‫ض ال‬ َ ُ‫سلَّ َم ي‬
ِ ‫صلِي ِبمِ نًى ِإلَى غَي ِر ِج َدار فَ َم َررتُ َبينَ َي َدي َبع‬ َ ‫علَي ِه َو‬ ُ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫ّللا‬ ِ َّ ‫سو ُل‬
َ ‫ّللا‬ ُ ‫َر‬
‫ي‬ َ
َّ ‫عل‬ َ
َ َ‫ف فَلم يُنكَر ذَلِك‬ ِ ‫ص‬َّ ‫فِي ال‬

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat di Mina tanpa menghadap tembok,


maka aku lewat di hadapan sebagian shaff lalu aku gembalakan keledaiku, lalu aku
masuk ke barisan, namun tidak ada yang mengingkari itu.” (HR. Bukhari No. 76)

Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan:

“Maksud ,“tanpa menghadap tembok,” adalah tanpa menghadap sutrah, demikianlah


perkataan Asy Syafi’i, dan bentuk kalimat menunjukkan hal itu. Lantaran Ibnu Abbas
telah menyampaikan sisi pendalilannya tentang lewatnya dihadaan orang shalat
tidaklah memutuskan shalat. Hal ini di dukung oleh riwayat Al Bazzar: “Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan shalat wajib dan di hadapannya tidak sesuatu
untuk sutrah.” (Fathul Bari, 1/171)

Imam Ibnu Baththal Rahimahullah berkata:


‫ وذلك يدل أن الصَلة ل يقطعها شىء‬، ‫سترة‬
ُ ‫أن اإلمام يجوز أن يصلى إلى غير‬: ‫وفيه‬
Pada hadits ini menunjukkan bahwa imam dibolehkan shalat tanpa adanya sutrah,
dan hadits ini juga menunjukkan bahwa shalat tidaklah terputus oleh apa pun yang
lewat di depannya. (Syarh Shahih Al Bukhari, 1/162)
Demikianlah alasan-alasan pihak yang menyunnahkan sutrah, mereka tidak
mewajibkannya. Nama-nama seperti Imam Asy Syafi’i, Imam Ibnu Hajar, dan Imam
Ibnu Baththal di atas sekaligus menunjukkan bahwa mereka termasuk dipihak yang
menyunnahkan saja.

Siapa sajakah ulama yang menyunnahkan?

1. Imam An Nawawi Rahimahullah

Beliau berkata ketika mengomentari hadits sutrah setinggi ‘pelana kuda’:

َ ‫ِي قَدر‬
‫عظم الذ َِراع‬ َّ ‫صلِي َوبَيَان أ َ َّن أَقَل السُّت َرة ُمؤخِ َرة‬
َ ‫الرحل َوه‬ َ ‫َوفِي َهذَا ال َحدِيث النَّدب إِلَى السُّت َرة بَين يَ َدي ال ُم‬
“Hadits ini menunjukkan sunah-nya meletakkan sutrah (pembatas) di depan orang
shalat, dan juga terdapat penjelasan tentang ukuran minimal sutrah sebesar pelana
kuda, yaitu kira-kira sepanjang satu hasta.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 4/216)
Bagi mayoritas madzhab Asy Syafi’i, tidak menjadi masalah jika sutrah adalah garis
saja. Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:

‫ّللا أَعلَم‬
َّ َ ‫ َو‬. ‫علَى بُط ََلن الخَط‬
َ ‫الرحل َدلِيل‬ َ ‫ َولَي‬، ‫ َوقَا َل ُجم ُهور أَص َحابه بِاستِحبَابِ ِه‬.
َّ ‫س فِي َحدِيث ُمؤخِ َرة‬
“Menurut mayoritas sahabat-sahabatnya (Asy Syafi’i) sutrah adalah sunah, dan hadits
tentang setinggi pelana kuda itu tidak menunjukkan kesalahan dengan membuat
garis. Wallahu A’lam” (Ibid)
Dalam kitabnya yang lain Imam An Nawawi mengatakan:
‫يستحب للمصلي أن يكون بين يديه سترة من جدار أو سارية ويدنو منها بحيث ل يزيد بينهما على ثَلثة أذرع وإن كان‬
‫في صحراء غرز عصا ونحوها أو جمع شيئا من رحله أو متاعه وليكن قدر مؤخرة الرحل فإنلم يجد شيئا شاخصا خط بين‬
‫يديه خطا أو بسط مصلى وقال إمام الحرمين والغزالي ل عبرة بالخط والصواب ما أطبق عليه الجمهور وهو الكتفاء‬
‫بالخط كما إذا استقبل شيئا شاخصا‬.
“Disukai (sunah) bagi orang yang shalat untuk membuat sutrah di
hadapannya berupa dinding atau tiang dan mendekatinya, dengan keadaan antara
keduanya tidak melebihi tiga hasta. Jika shalat di gurun hendaknya menancapkan
tongkat dan yang semisalnya, atau dengan mengumpulkan sesuatu dari
tunggangannya atau perhiasannya, hingga menjadi seukuran pelana kuda. Jika tidak
menemukan suatu barang untuk sutrah, maka membuat garis di hadapannya, atau
karpet tempat shalat. Berkata Imam Al Haramain dan Al Ghazali, tidak ada ‘ibrah
dengan membuat garis (maksudnya tidak boleh). Yang benar adalah, apa yang
diterapkan oleh jumhur, bahwa sudah mencukupi dengan garis sebagaimana jika dia
berada di hadapan satu barang.” (Raudhatuth Thalibin, 1/108. Mawqi’ Al Warraq)

2. Imam Ash Shan’ani Rahimahullah berkata:

َّ ِ‫ َوأَنَّهُ يَكفِي ِه مِ ث ُل ُم َؤ ِخ َرة‬، ‫ست َرة‬


‫الرح ِل‬ ُ ‫صلِي إلَى اتِخَا ِذ‬
َ ‫ث نَدب لِل ُم‬
ِ ‫َوفِي ال َحدِي‬

“Hadits ini menunjukkan sunah-nya bagi orang shalat menggunakan


pembatas, dan sudah cukup baginya seumpama ukuran pelana kuda.” (Subulus
Salam, Juz.1, Hal. 497)

3. Imam Al Baghawi Rahimahullah berkata:

ِ‫صفُوف‬
ُّ ‫ َو َكذَلِكَ َبينَ ال‬، ‫س ُجو ِد‬ ُ ‫اِست َ َحبَّ أَه ُل العِل ِم ال ُّدنُو مِ ن السُّت َر ِة ِب َحي‬: ‫ َوقَا َل ال َبغَ ِوي‬.
ِ ‫ث َي ُكو ُن َبينَهُ َو َبينَ َها قَد ُر ِإمك‬
ُّ ‫َان ال‬
“Para ulama menyunnahkan untuk mendekati sutrah (pembatas) dengan jarak antara
dirinya dan sutrah seukuran tempat sujud, begitu pula halnya dengan mendekati shaf
(yang di depannya, pen).” (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 1/575)

4. Para tabi’in. Diriwayatkan dari Khalid bin Abu Bakar, bahwa Al Qasim dan Salim,
pernah shalat di gurun tanpa menggunakan sutrah. Dari Jabir: aku pernah melihat
Ja’far dan Amir shalat tanpa menggunakan pembatas. Dari Hisyam, bahwa: aku
pernah melihat ayahku shalat tanpa sutrah. Mahdi bin Maimun mengatakan: aku
pernah melihat Al Hasan shalat tanpa menggunakan sutrah. (Al Mushannaf, Ibnu Abi
Syaibah No. 2886, 2888, 2889)

Imam As Sarkhasi –tokoh madzhab Hanafi- dalam kitab Al Mabsuth mengatakan:


‫ فَ ََل يَمنَ ُع‬، ِ‫ص ََلة‬ َّ ‫عي ِن ال‬َ ‫اجع إلَى‬ ِ ‫س ِل َمعنًى َر‬ َ ‫ص ََلتُهُ َجائ َِرة ؛ ِْل َ َّن اْلَم َر ِب ِاتِخَا ِذ السُّت َرةِ لَي‬
َ َ‫ ف‬، ‫َو ِإن لَم يَ ُكن بَينَ يَ َدي ِه شَيء‬
ِ‫صَلة‬َ ُ
َّ ‫ ت َركهُ َج َوازَ ال‬.
“Jika dihadapannya tidak ada apa-apa, maka shalatnya itu boleh-boleh saja.
Sebab, perintah menggunakan sutrah maknanya tidaklah kembali kepada kewajiban
dalam shalat. Maka, tidak terlarang meninggalkannya (sutrah), shalatnya tetap boleh.”
(Al Mabsuth, 2/46. Mawqi’ Al Islam)
Imam Muhammad bin Hasan –murid dan sahabat Imam Abu Hanifah- juga
membolehkan tanpa sutrah:
‫س َواء ؛ ِْلَنَّهُ َل يَبدُو لِلنَّاظِ ِر‬َ ُ‫ط َوت َر ُكه‬َّ ‫ فَإِ َّن ال َخ‬، ‫ط بَينَ يَ َدي ِه‬
ُّ ‫ست َرة ً يَ ُخ‬
ُ ‫ّللا تَعَالَى إذَا لَم يَ ِجد‬ َ َ‫َو َحكَى أَبُو ِعص َمة‬
ُ َّ ُ‫عن ُم َح َّمد َرحِ َمه‬
‫مِ ن بُعد‬
“Abu ‘Ishmah menceritakan dari Muhammad Rahimahullah, jika seseorang
tidak menemukan sutrah maka hendaknya dia membuat garis di hadapannya,
sesungguhnya membuat garis dan meninggalkannya adalah sama saja, sebab hal itu
tidak nampak dari kejauhan bagi orang yang melihatnya.” (Al Mabsuth, 2/50)
Imam Al Marghinani Al Hanafi juga membolehkan tanpa sutrah jika yakin aman dari
orang yang lewat:
َ‫ط ِريق‬ َّ ‫اجه ال‬
ِ ‫ور َولَم ي َُو‬َ ‫س ِبتَركِ السُّت َر ِة إذَا أَمِ نَ ال ُم ُر‬ َ ‫َو َل َبأ‬
“Tidak apa-apa meninggalkan sutrah jika memang aman dari orang yang
lewat dan tidak memandang ke jalan.” (Al ‘Inayah Syarh Al Hidayah, 2/150. Mawqi’ Al
Islam)
Imam Kamaluddin bin Al Hummam Al Hanafi memliki pendapat yang sama dengan
Imam Al Marghinani. (Fathul Qadir, 2/297. Mawqi’ Al Islam)

Imam Ibnu Nujaim Al Hanafi mengatakan:


ِ ‫ب شَيئًا َويَستَت َِر فَأَفَا َد أ َ َّن الك ََرا َهةَ تَن ِزي ِهيَّة فَحِ ينَئِذ َكانَ اْلَم ُر لِلنَّ َد‬
‫ب‬ َ ‫ص‬ ِ ‫صح َراءِ إن يَن‬ َ ُ‫َوال ُمست َ َحبُّ ِل َمن ي‬
َّ ‫ص ِلي فِي ال‬
“Disunahkan bagi yang shalat di gurun pasir untuk memasang sesuatu
sebagai penghalang, maka faedahnya adalah bahwa hal itu makruh tanzih (jika tidak
memakainya), saat itu perintah menunjukkan sunah.” (Imam Ibnu Nujaim, Bahr Ar
Raiq, 4/95. Mawqi’ Al Islam). Beliau juga mengatakan tidak apa-apa tidak memakai
sutrah jika aman dari orang yang lewat. (Ibid, 4/98)
Sementara itu, Imam Malik membedakan antara orang safar dan mukim. Berikut ini
ucapannya:
ُ ‫ص ِلي َّإل إلَى‬
‫ست َرة‬ َ ُ‫ض ِر فَ ََل ي‬ َ ‫ست َرة َوأَ َّما فِي ال َح‬ ُ ‫ي إلَى غَي ِر‬ َ ُ‫س أَن ي‬
َ ‫ص ِل‬ َ ‫ َو َمن َكانَ فِي‬: ‫َوقَا َل َمالِك‬
َ ‫سفَر فَ ََل بَأ‬
“Malik berkata: “barang siapa dalam perjalanan maka tidak mengapa shalat
dengan tanpa sutrah, ada pun ketika mukim maka janganlah shalat kecuali dengan
sutrah.” (Al Mudawanah, 1/289. Mawqi’ Al Islam)
Imam Ibnu Rusyd Al Maliki mengatakan:
‫ وذلك لقوله عليه الصَلة‬،‫ إذا صلى منفردا كان أو إماما‬،‫ والقبلة‬،‫واتفق العلماء بأجمعهم على استحباب السترة بين المصلي‬
‫ليس‬: ‫ فقال الجمهور‬،‫ إذا لم يجد سترة‬،‫ فليصل واختلفوا في الخط‬،‫إذا وضع أحدكم بين يديه مثل مؤخرة الرحل‬: ‫والسَلم‬
‫يخط خطا بين يديه‬: ‫وقال أحمد بن حنبل‬. ‫عليه أن يخط‬.
“Ulama sepakat dengan ijma’ mereka atas sunahnya sutrah di antara orang
yang shalat dan kiblat, jika shalat sendiri atau menjadi imam. Hal ini berdasarkan
hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “jika salah seorang kalian meletakkan di
hadapannya semisal pelana kuda, maka shalatlah.” Mereka berbeda pendapat
tentang membuat garis jika tidak menemukan sutrah. Jumhur (mayoritas)
mengatakan: Tidak harus baginya membuat garis. Berkata Ahmad bin Hambal:
hendaknya dia membuat garis di hadapannya.” (Bidayatul Mujtahid, 1/94. Darul Fikr)
Ibnu Naji menceritakan bahwa ada tiga pandangan ulama tentang sutrah ini, ada yang
mengatakan mustahabbah (disukai), seperti pendapat ‘Iyadh dan yang semisalnya,
atau mandubah (dianjurkan) seperti pendapat Al Baji. Kedua adalah sunah
sebagaimana dalam Al Kafi. Ketiga adalah wajib, dikatakan oleh Izzuddin bin Abdis
Salam. (Mawahibul Jalil, 4/126. Mawqi’ Al Islam)
Istilah mustahab, mandub, tathawwu’, dan nafilah biasanya diartikan sama
oleh umumnya para ulama, yakni sunah.
Imam Ibnu Habib mengatakan:
َ‫سنَ ِن َها َواف َهم ذَلِك‬
ُ ‫ َومِ ن‬، ‫ص ََل ِة‬ ُ ‫ي اُن‬
َّ ‫مِ ن هَيئ َ ِة ال‬: ُ‫ظر قَولَه‬ َّ ‫ص ََلة ُ إلَى السُّت َر ِة َوأ َ َّن ذَلِكَ مِ ن هَيئ َ ِة ال‬
ُّ ‫ص ََل ِة التُّونُ ِس‬ َّ ‫سنَّةُ ال‬
ُّ ‫ال‬
ُّ ‫علَى ال ُحك ِم فِي ت َِاركِ ال‬
‫ انتَ َهى‬، ‫سن َِن‬ َ ُ‫ َو َرتِبه‬.
Sunahnya shalat adalah menghadap ke sutrah, demikian itu adalah di
antara wujud/bentuk dari shalat. Lihatlah Ucapannya: “Di antara wujud shalat” dan di
antara sunah-sunahnya. Dan fahamilah hal itu dan yang demikian masuk dalam
deretan hukum meninggalkan sunah-sunah shalat. Selesai.” (Ibid)
Syaikh Abul Hasan Ash Shaghir mengatakan:

‫ص ََلةِ انت َ َهى‬ َ َ‫ِي مِ ن ف‬


َّ ‫ضائِ ِل ال‬ َ ‫ الك َََل ُم هُنَا فِي السُّت َرةِ َوه‬.
“Pembicaraan di sini adalah tentang sutrah, bahwa sutrah adalah diantara
bab keutamaan dari shalat.” (Ibid) jadi, menurutnya sutrah bukan wajib, melainkan
keutamaan saja.
Imam Muhammad Al Kharrasyi Al Maliki mengatakan:
َ ‫ور َبينَ أَيدِي ِه َما َو ِإن لَم َيخ‬
‫ش َيا فَ ََل‬ َ ‫ِي ُكل ال ُم ُر‬ ِ ‫س ُّن ل‬
َ ‫ِْل َم ِام َوالفَ ِذ إن َخش‬ َ ‫َوال َمعنَى أ َ َّن السُّت َرة َ أَي ِالستِت‬
َ ُ ‫َار َولَو فِي النَّف ِل ت‬
ِ‫ان بِالسُّت َرة‬ َ
ِ َ‫يُطلب‬
“Maknanya adalah sesungguhnya sutrah itu merupakan penutup walau pun
pada shalat nafilah, disunahkan bagi imam dan shalat sendiri jika dikhawatiri ada
yang lewat dihadapannya. Jika tidak dikhawatiri demikian, maka tidak dituntut adanya
sutrah.” (Syarh Mukhtashar Khalil, 3/372. Mawqi’ Al Islam)
Imam Ahmad bin Muhammad Ash Shawi Al Maliki juga mengatakan bahwa sutrah
adalah sunah. (Hasyiyah Ash Shawi ‘Ala Asy Syarh Ash Shaghir, 2/59. Mawqi’ Al
Islam) Begitu pula Imam Ahmad bin Muhammad ‘Alisy Al Maliki. (Manhal Jalil Syarh
Mukhtashar Khalil, 2/59. Mawqi’ Al Islam)

17. Berkata Asy Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

‫يستحب للمصلي أن يجعل بين يديه سترة تمنع المرور أمامه وتكف بصره عما وراءها‬

“Disukai (sunah) bagi orang yang shalat meletakkan di depannya sebuah pembatas
untuk mencegah orang lewat di depannya, dan menghalanginya melihat hal-hal
dibelakang pembatas itu.” (Fiqhus Sunnah, 1/255)
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah mengatakan bahwa sutrah
adalah sunah muakadah, bukan wajib. Dan menurutnya, sutrah dengan garis juga
sudah mencukupi. Katanya:
‫ كابن الصَلح‬، ‫أما زعمهم أن الخط ل يجوز جعله سترة فهذا تقليد منهم لمن ضعف حديث الخط وزعم أنه مضطرب‬
‫ كما أوضح ذلك الحافظ ابن حجر في (بلوغ المرام )حيث قال‬، ‫ والصواب أنه حديث حسن ليس فيه اضطراب‬، ‫والعراقي‬
‫ بل هو حسن‬، ‫ ولم يصب من زعم أنه مضطرب‬، ‫رواه أحمد وابن ماجه وصححه ابن حبان‬: ‫ لما ذكره‬.
“Ada pun sangkaan mereka bahwa garis tidak boleh dijadikan sebagai
sutrah, itu merupakan sikap taklid mereka terhadap pihak yang mendhaifkan hadits
garis, mereka menyangka hadits tersebut mudhtharib (guncang), seperti Ibnush
Shalah dan Al ‘Iraqi. Yang benar adalah bahwa hadits tersebut adalah hasan dan tidak
ada keguncangan sebagaimana yang dijelaskan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dalam
Bulughul Maram di mana dia berkata: “Diriwayatkan oleh Ahmad, Ibnu Majah, dan
dishahihkan Ibnu Hibban, dan tidak benar orang yang menyangka bahwa hadits ini
mudhtharib, justru hadits ini hasan.” (Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Majmu’ Fatawa wa
Maqalat, 23/385. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Beliau ditanya tentang apa hukum sutrah bagi orang shalat, beliau
menjawab:
‫باب الدنو من السترة‬, ‫ )كتاب الصَلة‬596( ‫أخرجه أبو داود برقم‬: ‫ وقد قال النبي صلى للا عليه وسلم‬،‫السترة سنة مؤكدة‬
‫باب اْلمر بالدنو من السترة إذا صلى أحدكم فليصل إلى سترة وليدن منها رواه أبو‬, ‫ )كتاب القبلة‬740( ‫والنسائي برقم‬
‫ وكان النبي صلى للا عليه وسلم في أسفاره إذا سافر تنقل معه العنزة وكان يصلي إليها عليه الصَلة‬، ‫داود بإسناد جيد‬
‫ فهي سنة مؤكدة وليست واجبة ؛ ْلنه قد ثبت عنه صلى للا عليه وسلم أنه صلى في بعض اْلحيان إلى غير سترة‬،‫والسَلم‬.
“Sutrah adalah sunah muakadah. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah
bersabda yang dikeluarkan oleh Abu Daud (No. 596) Kitab Ash Shalah Bab Ad Danu
Minas Sutrah. juga An Nasa’i (No. 740) Kitab Al Qiblah Bab Al Amru bid Danu minas
Sutrah: “Jika salah seorang kalian shalat maka shalatlah dengan menghadap sutrah
dan mendekatkah kepadanya.” Diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad jayyid.
Adalah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada beberapa perjalanannya, jika dalam
safar beliau membawa tombak dan beliau shalat menghadapnya. Ini adalah sunah
muakadah bukan wajib. Lantaran telah tsabit (kuat/shahih) darinya Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam bahwa beliau shalat kadangkala tanpa memakai sutrah.” (Ibid, 24/21)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah mengatakan dalam
fatwanya, bahwa sutrah hanyalah sunah. Berikut ini fatwanya:
‫السترة للمأموم ليست بمشروعة ْلن سترة اإلمام سترة له ولمن وراءه وأما لْلمام والمنفرد فهي مشروعة فيسن أن ل يصلي‬
‫إل إلى سترة ولكنها ليست بواجبة على القول الراجح الذي عليه جمهور أهل العلم لحديث ابن عباس رضي للا عنهما أن‬
‫النبي صلى للا عليه وسلم كان يصلي في منى إلى غير جدار وكان راكبا ً على حمار أتان أي أنثى فمر بين يديه بعض‬
‫الصف فلم ينكر ذلك عليه أحد فقوله إلى غير جدار قال بعض أهل العلم إنما أراد رضي للا عنه إلى غير سترة ْلن الغالب‬
‫في عهد الرسول صلى للا عليه وسلم أن منى ليس فيها بناء ولحديث أبي سعيد إذا صلى أحدكم إلى شيء يستره من الناس‬
‫فأراد أحد أن يجتاز بين يديه فليدفعه فقوله إذا صلى إلى شئ يستره يدل على أن الصَلة إلى السترة ليس بَلزمة وإل لما‬
‫احتيج إلى القيد وعلى هذا فيكون اْلمر بالسترة أمرا ً للندب وليس للوجوب هذا هو القول الراجح في اتخاذ السترة وأما قول‬
ً ‫السائل هل يكفي الخط فنقول إنه قد روي عن النبي صلى للا عليه وسلم أنه أمر باتخاذ السترة وقال فإن لم يجد فليخط خطا‬
‫وهذا الحديث علله بعض العلماء وطعن فيه بأنه مضطرب ولكن ابن حجر في بلوغ المرام قال لم يصب من قال إنه‬
‫مضطرب بل هو حسن ولهذا لو كان اإلنسان ليس عنده ما يكون شاخصا ً يجعله سترة فليخط خطا ً وإذا لم يكن له سترة فله‬
‫حق بمقدار ما ينتهي إليه سجوده وما وراء ذلك فليس له حق في منع الناس من المرور به إل إذا كان يصلي على سجادة‬
‫أو نحوها فإن له الحق في منع من يمر على هذه السجادة‬.
“Sutrah bagi makmum tidaklah disyariatkan, karena sutrahnya imam adalah sutrah
baginya juga, dan orang-orang dibelakangnya. Ada pun bagi yang shalatnya sendiri,
maka itu disyariatkan, maka disunahkan agar jangan shalat melainkan dengan adanya
sutrah. Tetapi hal itu tidak wajib berdasarkan pendapat yang kuat yang menjadi
pegangan jumhur (mayoritas) ulama. Sebagaimana hadits Ibnu Abbas Radhiallahu
‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat di Mina tanpa menghadap
dinding. Sebagian ulama mengatakan, bahwa maksud Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu
adalah tanpa menghadap ke sutrah. Sebab, pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam secara umum kota Mina tidak memiliki bangunan. Juga hadits Abu Said,
“Jika salah seorang kalian shalat maka hendaknya dia membuat penghalang dari
manusia.” Maka, maksudnya adalah seorang boleh mencegah orang yang
dihadapannya. Lalu sabdanya: “Jika shalat hendaknya membuat penghalang”
menunjukkan bahwa sesungguhnya shalat menghadap sutrah bukanlah kelaziman,
jika hal itu lazim kenapa pemakaiannya dikaitkan karena adanya kebutuhan? Oleh
karena itu, urusan sutrah ini adalah sesuatu yang sunah bukan wajib, inilah pendapat
yang kuat dalam hal pemakaian sutrah.
Ada pun pertanyaan penanya, apakah cukup sutrah dengan membuat garis? Kami
katakan: Telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau
memerintahkan menggunakan sutrah, beliau bersabda: jika tidak ada maka buatlah
garis. Sebagian ulama ada yang menyatakan bahwa hadits ini cacat dan adanya
penyakit di dalamnya, yakni mudhtharib (guncang). Tetapi Ibnu Hajar dalam Bulughul
Maram mengatakan: “Tidak benar orang yang mengatakan hadits ini mudhtharib,
justru hadits ini hasan.” Oleh karena itu jika seseorang tidak memiliki sesuatu yang
bisa dijadikan sutrah, maka hendaknya dia membat sutrah dengan membuat garis,
jika dia tidak memiliki sutrah maka dia berhak untuk mencegah orang lewat sejauh
ukuran tempat dia sujud. Sedangkan yang diluar batasan itu maka dia tidak berhak
untuk mencegah manusia melewatinya, kecuali jika dia shalat menggunakan sajadah
atau yang semisalnya, maka dia berhak untuk mencegah orang yang melewati
sajadahnya.” (Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Fatawa Nur ‘Alad Darb No.
840)
Hadits tentang sutrah dengan membuat garis, telah dishahihkan oleh Imam Ibnu
Hibban, Imam Al Hakim, Imam Ahmad, Imam Ali Al Madini, sedangkan Imam Ibnu
Hajar menghasankannya. Ada pun Imam Al Mizzi, Imam Abu Ja’far Ath Thahawi,
Imam Ibnu Shalah, Imam Adz Dzahabi, dan Syaikh Al Albani mendhaifkannya.
(Pembahasan lengkapnya pada tulisan kami sebelumnya)
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Al Jibrin juga mengatakan sutrah adalah sunah,
bukan wajib:
‫ أو شيء مرتفع‬،‫ وذلك أن يصلى إلى سارية أو جدار‬،‫ وليست بواجبه‬،‫وأما السترة التي هي الشاخص أمام المصلي فهي سنة‬
‫ وتتأكد في الصحراء كمصلي‬،‫ وذلك في حق اإلمام والمنفرد‬،‫ فإن لم يجد فليخط خطا ً كالهَلل‬،‫عن اْلرض كسرير أو كرسي‬
‫ أو يكتفى بطرف السجادة‬،‫ والكتفاء بحيطان ممتدة في الصفوف‬،‫ فأما في المساجد فاْلصل عدم الحاجة‬،‫ وفي السفر‬،‫العيد‬
‫ وقد ورد الحديث الذي في السنن بلفظ "إذا صلى أحدكم إلى سترة‬،‫ وليس هناك ما يدل على الوجوب‬،‫التي يصلي عليها‬
‫"فليدن منها "وفي حديث آخر "إذا صلى أحدكم إلى شيء يستره فَل يدعن أحدا ً يمر بين يديه فإن أبي فليقاتله فإنما هو شيطان‬
‫وللا أعلم‬.

“Ada pun sutrah yaitu suatu pembatas di depan orang shalat itu adalah sunah, bukan
kewajiban. Hal itu dengan cara shalat menghadap tiang atau dinding, atau sesuatu
yang tinggi dari permukaan bumi, seperti kasur dan kursi. Jika tidak ada maka
hendaknya dia membuat garis seperi bulan sabit. Hal ini merupakan hak imam dan
shalat sendiri, dan lebih ditekankan lagi ketika shalat di lapangan luas seperti
lapangan ketika shalat hari raya dan dalam perjalanan. Ada pun di masjid, pada
dasarnya tidaklah diperlukan. Telah mencukupi dinding yang tersusun di barisan atau
tepi sejadah tempat dia shalat. Tidak ada dalil yang menunjukkan kewajibannya. Telah
datang riwayat dalam kitab Sunan dengan lafaz: “Jika salah seorang kalian shalat
menghadap sutrah, maka hendaknya mendekatinya.” Dalam hadits lain: “Jika salah
seorang kalian shalat menghadap sesuatu yang menghalanginya, maka jangan
biarkan seorang pun melewati di depannya, jika dia menolak maka bunuhlah
sesungguhnya dia itu syetan.” Wallahu A’lam (Fatawa Ibnu Jibrin, 13/32)
Para ulama Kuwait mengatakan:
‫يستحب للمصلي أن يصلي إلى سترة واْلولى أن ل يقصدها بوجهه بل تكون مواجهة لحاجبة اْليمن أو اْليسر والسترة‬
ً ‫أقبلت راكبا‬: "‫ فإن صلى إلى غير سترة لم يكن به بأس لما أخرجه البخاري عن عبد للا بن عباس أنه قال‬،‫ليست شرطا‬
‫ فمررت بين‬،‫على حمار أتان يومئذ قد ناهزت الحتَلم ورسول للا صلى للا عليه وسلم يصلي بالناس بمنى إلى غير جدار‬
‫إن المراد بقول ابن‬: ‫ ودخلت الصف فلم ينكر ذلك علي أحد "قال الشافعي‬،‫يدي بعض الصف فنزلت وأرسلت اْلتان ترتع‬
‫ وإن كان في فضاء‬،‫ فإن كان في مسجد أو بيت صلى إلى الجدار أو سارية‬،‫عباس "إلى غير جدار "أي إلى غير سترة‬
‫ وسترة اإلمام سترة لمن خلفه ْلن النبي صلى للا عليه‬،ً‫ أو نصب بين يديه حربة أو عصا‬،‫صلى إلى شيء شاخص بين يديه‬
‫ويستحب للمصلي أن يدنو من سترته ْلن ذلك أبعد عن أن‬. ‫وسلم صلى إلى سترة ولم يأمر أصحابه بنصب سترة أخرى‬
‫وللا أعلم‬. ‫يمر بينه وبينها شيء يحول بينه وبينها‬.
Disunahkan bagi orang shalat agar shalat menghadap sutrah. Dan yang
utamanya adalah tidak memaksudkannya untuk menghadapnya, bahkan hendaknya
menjadikannya sebagai penghalang dari menengok ke kanan atau kiri. Sutrah
bukanlah syarat, maka jika shalat tanpa sutrah tidaklah mengapa. Sebagaimana yang
dikeluarkan oleh Bukhari dari Abdullah bin Abbas, bahwa dia berkata: “Aku datang
dengan mengendarai keledai betina, saat itu aku telah bersih-bersih dari mimpi basah
dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat di Mina, maka aku lewat di depan
shaf lalu aku turun dari kendaraan keledai betina, lalu aku masuk ke shaf dan tak ada
satu pun yang mengingkari perbuatan itu.” Asy Syafi’i berkata: Sesungguhnya maksud
ucapan Ibnu Abbas: “Tidak menghadap tembok” adalah tidak menghadap ke sutrah.
Jika shalat di masjid atau di rumah maka shalat menghadap dinding atau tiang. Jika
shalatnya di tanah lapang, shalat menghadap sesuatu benda di hadapannya, atau
menegakkan dihadapannya tombak atau tongkat. An sutrahnya imam adalah juga
sutrah orang di belakangnya, karena ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat
menghadap sutrah, beliau tidak memerintahkan para sahabatnya untuk membuat
sutrah lainnya. Dan juga disunahkan bagi orang shalat untuk mendekati sutrahnya,
karena yang demikian itu dapat menghindarkan orang yang lewat antara dirinya dan
sutrah. Wallahu A’lam (Fatawa Qutha’ Al Ifta bil Kuwait, 4/27. Cet. 1. 1996M-1417H.
Wizarah Al Awqaf wasy Syu’un Al Islamiyah)
Syaikh ‘Athiyah Shaqr – mantan mufti Mesir- mengatakan:
‫ لحديث رواه أبو داود وابن ماجه "إذا صلى أحدكم فليصل‬، ‫ويستحب للمصلى أن يجعل بين يديه سترة تمنع المرور أمامه‬
‫إلى سترة وليَد ُن منها "وروى البخارى ومسلم أن النبى صلى للا عليه وسلم كان إذا خرج يوم العيد أمر بالحربة فتوضع‬
‫ ثم اتخذها اْلمراء‬،‫ وكان يفعل ذلك فى السفر‬، ‫ بين يديه فيصلى إليها والناس وراءه‬.
‫إذا‬: ‫واستحباب جعل السترة يستوى فيه خشية مرور أحد وعدم الخشية كما قال الشافعية والحنابلة وقال الحنفية والمالكية‬
‫إن النبى صلى للا عليه وسلم صلى فى فضاء وليس‬: ‫ ْلن ابن عباس رضى ّللا عنهما قال‬، ‫أمن مرور أحد فَل يستحب‬
‫له شاهد بإسناد أصح من هذا عن الفضل بن عباس‬: ‫رواه أحمد وأبو داود ورواه البيهقى وقال‬. ‫ بين يديه شيء‬.
“Disunahkan bagi orang shalat untuk meletakkan sutrah
(penghalang/pembatas) di hadapannya sebagai mencegah orang lewat di depannya,
sebagaimana ditunjukkan oleh hadits Abu Daud dan Ibnu Majah: “Jika salah seorang
kalian shalat, maka shalatlah menghadap ke sutrah dan hendaknya dia
mendekatinya.” Dan juga diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, bahwa Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika dia keluar pada hari raya, dia memerintahkan untuk
mengambil tombak dan meletakkan di hadapannya, lalu dia shalat menghadap ke
arahnya, dan manusia melihat hal itu. Demikian itu dilakukannya ketika safar, maka
untuk selanjutnya hal itu diikuti oleh para pemimpin umat.”
Dan disunahkan meletakkan sutrah, sama saja baik keadaan khawatir
adanya orang yang lewat atau tidak, sebagaimana yang dikatakan kalangan
Syafi’iyyah dan Hanabilah. Sedangkan, Hanafiyah dan Malikiyah mengatakan: “Jika
telah aman dari orang yang lewat maka tidaklah disunahkan.” Karena Ibnu Abbas
Radhiallahu ‘Anhuma mengatakan: “Sesungguhnya Nabi Shalat di lapangan luas dan
di hadapannya tidak ada penghalang apa-apa.” Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud,
dan juga Al Baihaqi, dan dia berkata: “Hadits ini memiliki syahid (saksi/penguat)
dengan sanad yang lebih shahih dari ini, dari jalur Al Fadhl bin Abbas.” (Fatawa Al
Azhar, 9/7)
Syaikh Wahbah Az Zuhaili Hafizhahullah mengatakan:
‫ ول يدع أحداً يمر بين‬،‫ وليَدن منها‬،‫إذا صل أحدكم فليصل إلى سترة‬: « ‫ لقوله صلى للا عليه وسلم‬،‫هي سنة مشروعة‬
‫ إذ ل يلزم من‬،‫ فإنه شيطان »وليست واجبة باتفاق الفقهاء؛ ْلن اْلمر باتخاذها للندب‬،‫ فليقاتله‬،‫ فإن جاء أحد يمر‬،‫يديه‬
‫ وْلن اإلثم على‬،‫ ولو كان واجبا ً للتزموه‬،‫ ولعدم التزام السلف اتخاذها‬،‫عدمها بطَلن الصَلة وليست شرطا ً في الصَلة‬
‫ وْلن «النبي صلى للا عليه وسلم صلى في فضاء ليس بين يديه شيء‬،‫ ولو كانت واجبة ْلثم المصلي‬،‫»المار أمام المصلي‬
‫رواه البخاري‬.
“Sutrah adalah sunah yang disyariatkan sesuai dengan sabda Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Jika salah seorang kalian shalat, maka shalatlah
dengan menggunakan sutrah, dan mendekatlah kepadanya, dan jangan biarkan
seorang pun lewat di hadapannya, jika ada seorang yang lewat maka bunuhlah karena
dia adalah syetan.”
Sutrah bukanlah kewajiban menurut kesepakatan fuqaha (ahli fiqih), sebab
perintah untuk memakainya menunjukkan sunah, Jika hal itu wajib maka batal-lah
shalatnya, padahal dia bukanlah syarat shalat. Para salaf tidak selalu memakainya,
seandainya wajib niscaya mereka akan selalu memakainya. Alasan lainnya, lantaran
dosa diperuntukkan bagi orang yang lewat di depan orang yang shalat, jika hal itu
wajib, tentu dosanya adalah untuk yang shalat. Lagi pula Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam pernah shalat di tanah lapang dan dihadapannya tidak ada sesuatu apa pun.
(HR. bukhari). (Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 2/118. Maktabah Misykah)
Masih sangat banyak lagi pandangan serupa dari berbagai madzhab, bahwa sunah
bagi orang yang shalat membuat sutrah di hadapannya. Namun nama-nama ini sudah
cukup mewakili. Demikianlah pandangan para ulama tentang sutrah, mayoritas
mereka mengatakan sunah, bahkan ada yang menyebutnya kesunahan itu adalah
ijma’ (aklamasi), seperti yang dikatakan oleh Imam Ibnu Rusyd Rahimahullah.

Para Ulama yang mewajibkan Sutrah

Bagi kelompok ini, hadits-hadits yang memerintahkan memasang pembatas


menunjukkan kewajibannya, sebab hukum asal dari perintah adalah menunjukkan
wajib selama belum ada dalil lain yang membelokkan kewajiban tersebut.
Pihak yang mengatakan sutrah adalah wajib, telah menafsirkan bahwa makna
ucapan Nabi “ ’Ala Ghairi Jidar (Tidak menghadap dinding)” bukan berarti tanpa
sutrah. Menurut mereka sutrah ada tetapi bukan dinding (ghairu jidar), melainkan
tombak. Lantaran dalam riwayat shahih yang lain disebutkan bahwa Nabi membawa
tombak ketika shalat menuju lapangan lalu menjadikannya sebagai sutrah. Apa yang
dipahami mereka ini tentu harus ditunjukkan oleh dalil, bahwa hadits tentang ‘tombak’
yang memberikan rincian terhadap hadits ‘Ala Ghairi Jidal, wajib ditinjau kembali
secara dirayah (pemahamannya). Benarkah hadits tombak itu menjadi perinci dan
penjelas bagi hadits ‘Ala ghairi jidar?
Yang benar adalah keduanya merupakan hal yang terpisah dan merupakan
dua peristiwa yang berbeda. Dengan kata lain, Nabi Shallallahu ‘Alahi wa Sallam
pernah shalat menghadap tombak, dan pernah juga tanpa penghalang apa pun,
sebagaimana yang dikatakan Syaikh Ibnu Baz. Demikian.
Berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah tentang hadits: “Hendaklah dia
shalat menggunakan pembatas.” Katanya:
ِ ‫فِي ِه أ َ َّن اتِخَاذَ السُّت َرةِ َو‬
‫اجب‬
“Di dalam hadits ini menunjukkan wajibnya menggunakan sutrah.” (Nailul Authar, 3/2)
C. Makmum Tidak Perlu Sutrah

Pembahasan di atas adalah kaitannya dengan shalat sendiri, dan bagi imam
shalat. Adapun bagi makmum dalam shalat berjamaah, maka bagi mereka sutrah
imam adalah sutrah bagi mereka juga. Imam Ibnu Hajar telah membahasnya secara
detil dalam Fathul Bari-nya (1/572), pada Bab Sutratul Imam Sutratul Man Khalfahu,
Bab: Sutrah Imam adalah Sutrah bagi orang di belakangnya.

Tertulis dalam Fathul Bari:

‫صلِي فَ ََل يَ َدعُ أ َ َحدًا يَ ُم ُّر بَينَ يَ َدي ِه "فَإِ َّن‬


َ ُ‫سعِيد " ِإذَا َكانَ أَ َح ُد ُكم ي‬َ ‫ص َحدِيث أَ ِبي‬ ُّ ‫عبَّاس َهذَا يَ ُخ‬ َ ‫ِيث اِبن‬ ُ ‫ َحد‬: ‫عبد البَر‬َ ‫َوقَا َل اِبن‬
َ‫ َو َهذَا ُكلُّهُ ل‬: ‫ قَا َل‬، ‫عبَّاس َهذَا‬ َ ‫ث اِبن‬ َ َ َ َ
ِ ‫ فأ َّما ال َمأ ُمو ُم فَل يَض ُُّرهُ َمن َم َّر بَينَ يَ َدي ِه ِل َحدِي‬، ‫اإل َم ِام َوال ُمنف َِرد‬
ِ ِ‫صوص ب‬ُ ‫ذَلِكَ َمخ‬
ِ‫ف فِي ِه بَينَ العُلَ َماء‬
َ ‫خِ ََل‬

Berkata Ibnu Abdil Bar: “Hadits Ibnu Abbas ini menjadi takhsis (pembatas) bagi
hadits Abu Said yang berbunyi ‘Jika salah seorang kalian shalat maka janganlah
membiarkan seorang pun lewat di hadapannya,’ sebab hadits ini dikhususkan untuk
imam dan shalat sendiri. Ada pun makmum maka tidak ada yang memudharatkannya
siapa pun yang lewat di hadapannya, sebagaimana yang ditegaskan oleh hadits Ibnu
Abbas ini. Semua ini tidak ada perselisihan pendapat di antara para ulama.” (Ibid)

Hadits Ibnu Abbas Yang dimaksud adalah sebagai berikut:

‫صلِي بِالنَّاس‬ َ ُ‫سلَّ َم ي‬


َ ‫ع َلي ِه َو‬ ُ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫ّللا‬ ِ َّ ‫سو ُل‬
َ ‫ّللا‬ ُ ‫علَى أَت َان َوأَنَا يَو َمئِذ قَد نَاهَزتُ ِالحت ََِل َم َو َر‬ َ ‫عبَّاس قَا َل أَقبَلتُ َرا ِكبًا‬
َ ‫عن اب ِن‬
َ
‫ي أَ َحد‬ َ ‫ل‬ ‫ع‬
َّ َ َ‫ِك‬ ‫ل‬ َ ‫ذ‬ ‫ِر‬
‫ك‬ ‫ُن‬ ‫ي‬ ‫م‬َ ‫ل‬ َ ‫ف‬ ‫ف‬ ‫ص‬
ِ َّ ‫ال‬ ‫ِي‬ ‫ف‬ ُ‫ت‬‫َل‬‫خ‬ ‫د‬ ‫و‬ ‫ع‬
َ َ ُ َ ‫ت‬‫َر‬ ‫ت‬ َ‫َان‬ ‫ت‬َ ‫اْل‬ ُ‫ت‬‫ل‬ ‫س‬
َ ‫ر‬َ ‫أ‬ َ ‫ف‬ ُ‫ت‬‫ل‬ َ‫َز‬ ‫ن‬َ ‫ف‬ ‫ف‬ ‫ص‬
ِ َّ ‫ال‬ ‫ي‬ ‫د‬ ‫ي‬ ‫ي‬
َ َ َ‫َ ن‬ ‫ب‬ ُ‫ت‬ ‫ر‬ ‫ر‬
َ َ‫م‬ َ ‫ف‬ ‫ى‬ ً ‫ن‬ ِ‫ِم‬‫ب‬

Dari Ibnu Abbas, dia berkata: “Aku datang dengan mengendarai keledai betina,
saat itu aku telah bersih-bersih dari mimpi basah dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam shalat di Mina, maka aku lewat di depan shaf lalu aku turun dari kendaraan
keledai betina, lalu aku masuk ke shaf dan tak ada satu pun yang mengingkari
perbuatan itu.” (HR. Muslim No. 504)

Hadits ini menunjukkan bahwa Ibnu Abbas berjalan di depan shaf makmum,
dan tidak seorang pun mencegahnya. Artinya, larangan melewati (berjalan) di depan
orang shalat, hanya berlaku jika melewati imam dan orang yang shalatnya sendiri
menurut keterangan riwayat ini, melewati di depan makmum (karena ada keperluan)
tidaklah mengapa. Wallahu A’lam

D. Apa sajakah Sutrah itu?

Benda-benda yang bisa dijadikan sebagai pembatas (sutrah) adalah benda suci apa
pun yang minimal setinggi pelana kuda. Bisa tiang mesjid, punggung manusia, dinding
mesjid, batu besar, tas koper, dan lain-lain.

‫عن نافع أن ابن عمر كان يقعد رجَل فيصلي خلفه والناس يمرون بين يدي ذلك الرجل‬.
Dari Nafi’, bahwa Ibnu Umar sedang duduk lalu ada seorang laki-laki yang
shalat di belakangnya, dan manusia lalu lalang di depan laki-laki tersebut. (Al
Mushannaf, Ibnu Abi Syaibah No. 2898)

Imam Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya, dari Anas bahwa para


sahabat mendekati tiang mesjid ketika hendak shalat maghrib.

Sutrah Telah Mencukupi Dengan Garis

Inilah pandangan Imam Said bin Jubeir, Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad,
Imam Al Baihaqi, Imam Ibnu Hajar, Syaikh Ibnu Utsaimin, dan lain-lain.

Dalilnya, hadits berikut:

ًّ ‫ط َخ‬
‫طا ث ُ َّم َل يَض ُُّرهُ َمن َم َّر بَينَ يَ َدي ِه‬ َّ ‫ فَإِن لَم يَ ُكن فَليَ ُخ‬، ‫صا‬
ً ‫ع‬ ِ ‫ فَإِن لَم يَ ِجد فَليَن‬، ‫صلَّى أ َ َح ُد ُكم فَليَجعَل تِلقَا َء َوج ِه ِه شَيئًا‬
َ ‫صب‬ َ ‫إذَا‬
“Jika kalian shalat, maka hendaknya meletakkan sesuatu di hadapannya, kalau tidak
menemukan pembatas gunakanlah tongkat, jika tidak maka buatlah garis, maka
tidaklah merusakkan shalatnya orang lewat di hadapannya itu.” (HR. Ibnu Majah No.
943, Abu Daud No. 689, Ahmad No. 7386, Al Baihaqi dalam As Sunan Ash Shughra
No. 950, lihat juga Ma’rifatus Sunan wal Aatsar No. 1118, Al Humaidi dalam
Musnadnya No. 993. Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah No. 541)

Disebutkan dalam Al Mausu’ah:

‫اج ُح عِن َد ُمتَأ َ ِخ ِري‬ َّ ‫ َو‬، ‫شافِ ِعيَّ ِة َوال َحنَابِلَ ِة‬
ِ ‫الر‬ َّ ‫ال‬: ( ِ‫ور الفُقَ َهاء‬ ِ ‫ َو َهذَا عِن َد ُجم ُه‬، ‫طا‬ ًّ ‫ط َخ‬ َّ ‫صبُهُ أ َ َما َمهُ فَليَ ُخ‬ ِ ‫صلِي َما يَن‬َ ‫ِإن لَم يَ ِج ِد ال ُم‬
‫صب‬ َ َ َ ً َ
ِ ‫صلى أ َح ُدكم فليَجعَل تِلقا َء َوج ِه ِه شَيئا فإِن لم يَ ِجد فليَن‬ َ ُ َ َّ َ
َ ‫إِذا‬: ‫سل َم قال‬ َ َّ َ
َ ‫علي ِه َو‬ َ ‫ّللا‬
ُ َّ ‫صلى‬ َّ َ ‫ي‬ َّ َّ َ
َّ ِ‫ال َحنَ ِفيَّ ِة ) ِل َما َو َر َد أن النب‬
‫صو َد َجم ُع الخَاطِ ِر بِ َربطِ ال َخيَال كَي‬ ُ ‫ َوْلََِ َّن ال َمق‬. ُ‫ ث ُ َّم لَ يَض ُُّرهُ َما َم َّر أ َ َما َمه‬، ‫طا‬ ًّ ‫ط َخ‬ َّ ‫صا فَليَ ُخ‬ً ‫ع‬ َ ُ‫ فَإِن لَم يَ ُكن َمعَه‬، ‫صا‬ ً ‫ع‬ َ
‫َط‬‫خ‬ ‫ال‬ ‫ب‬ ‫ل‬
ِ ِ ُ َ َ َ َ َ‫ص‬ ‫ح‬ ‫ي‬ ‫ُو‬ ‫ه‬ ‫و‬ ، ‫ِر‬ ‫ش‬َ ‫ت‬‫ن‬‫ي‬ َ ‫ل‬ .
َ ُّ ‫ْلََِ َّن ال‬: ‫َط َوقَال‬
ِ َ‫سنَّةَ أولَى بِالِتِب‬
‫اع‬ ِ ‫ستُّ ِر بِالخ‬ َ َّ ‫ص َّحةَ الت‬ِ ‫َو َر َّج َح ال َك َمال ب ُن ال ُه َم ِام مِ نَ ال َحنَ ِفيَّ ِة‬
Jika seorang yang shalat tidak mendapatkan sesuatu yang bias dipasang di
hadapannya, maka hendaknya dia membuat garis. Ini adalah menurut mayoritas ahli
fiqih (Syafi’iyah, Hanabilah, dan yang rajih (argumentatif) dari kalangan muta’akhirin
Hanafiyah), karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Jika kalian shalat,
maka hendaknya meletakkan sesuatu di hadapannya, kalau tidak menemukan
pembatas gunakanlah tongkat, jika tidak maka buatlah garis, maka tidaklah
merusakkan shalatnya orang lewat di hadapannya itu.” Karena maksud dari sutrah
adalah membatasi imajinasi agar terikat dan tidak ke mana-mana, dan hal itu sudah
tercapai oleh adanya garis. Kamaluddin bin Al Hummam dari kalangan Hanafiyah
menguatkan sahnya sutrah dengan garis, dan dia berkata: “Karena sunnah lebih
utama untuk diikuti.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 24/179-180)

Tidak sedikit ulama yang menolak garis dijadikan sutrah. Berikut keterangan dari Al
Mausu’ah:

َ ‫ َو َهذَا قَول ُمتَقَدِمِ ي ال َحنَ ِفيَّ ِة أَيضًا َواخت‬، ‫ض‬


َ‫َارهُ فِي ال ِه َدايَ ِة ؛ ْلََِ نَّهُ ل‬ ُّ ‫ست ُّ ُر ِبخَط يَ ُخ‬
ِ ‫طهُ فِي اْلََ ر‬ ِ َ‫لَ ي‬: ُ‫َوقَال ال َما ِل ِكيَّة‬
َ َّ ‫ص ُّح الت‬
َ
‫ إِذ ل يَظ َه ُر مِ ن بَعِيد‬، ‫صو ُد‬ ُ ‫صل بِ ِه ال َمق‬
ُ ‫يَح‬
Kalangan Malikiyah berpendapat: tidak sah membuat sutrah dengan garis di tanah,
ini pendapat generasi terdahulu kalangan Hanafiyah juga dan dipilih dalam kitab Al
Hidayah, karena garis tidak membawa kepada maksud adanya sutrah, karena dia
tidak Nampak dari kejauhan. (Ibid)
Kemudian, ketika membahas hadits Shahih Muslim: “Jika salah seorang kalian
meletakkan di hadapannya setinggi pelana kuda, maka shalatlah dan janganlah dia
peduli dengan apa-apa yang ada di belakangnya.” Imam Al Qadhi ‘Iyadh membantah
kebolehkan membuat batas (sutrah) sekedar garis karena hadits ini. Berikut ini
keterangannya:

َ ‫علَى أ َ َّن الخَط َبين َي َدي ال ُم‬


‫صلِي َل َيكفِي‬ َ ‫ّللا ت َ َعالَى ِب َهذَا ال َحدِيث‬ ِ َ‫َواست َ َد َّل الق‬
َّ ُ‫اضي ِع َياض َرحِ َمه‬

“Al Qadhi ‘Iyadh Rahimahullah berdalil dengan hadits ini bahwa membuat garis
tidaklah mencukupi bagi orang yang shalat.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 4/216)

Sebab hadits yang menyebutkan sutrah hanya sekedar garis adalah dha’if
menurutnya. Berikut keterangan selanjutnya dalam:

‫ضعف‬ َ ‫ َو َحدِيث الخَط َر َواهُ أَبُو َد ُاو َد َوفِي ِه‬، ‫اضي‬ َ ‫ّللا ت َ َعالَى َو َل‬
ِ َ‫ َهذَا ك َََلم الق‬. ‫عا َّمة الفُقَ َهاء الخَط‬ َّ ُ‫َولَم يَ َر َمالِك َرحِ َمه‬
‫َواضطِ َراب‬

“Imam Malik dan kebanyakan fuqaha tidaklah berpendapat tentang garis.”


Demikianlah ucapan Al Qadhi. Dan hadits tentang garis diriwayatkan oleh Abu Daud,
sanadnya idhtirab (goncang)” (Ibid).

Bagi yang ingin mengetahui pembahasan lengkap tentang hadits dari Abu Hurairah
bahwa sutrah sudah cukup dengan garis silahkan buka:
http://www.ustadzfarid.com/2013/02/bolehkah-sutrah-hanya-sebatas-garis.html

Selesai. Wallahu A’lam

Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhamamdin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi ajmain.

Anda mungkin juga menyukai