Anda di halaman 1dari 7

Jakarta, Kominfo - Berdasarkan data astronomi, pada hari Rabu (8/10) ini akan terjadi gerhana

bulan total atau khusuful qamar yang diperkirakan akan berlangsung sejak pukul 16:15 s.d 19:34
WIB, atau pukul 17:15 s.d 20:34 WITA, serta pukul 18:15 s.d 21:34 WIT.

Sehubungan itu, Kementerian Agama (Kemenag) melalui Ditjen Bimas Islam mengimbau umat Islam
agar melakukan shalat sunnah gerhana secara berjamaah.

Kami mengimbau kaum muslimin agar melakukan Shalat Gerhana, kata Direktur Urusan Agama Islam
dan Pembinaan Syariah Ditjen Bimas Islam Kemenag yang juga Pelaksana Tugas Dirjen Bimas Islam,
Muchtar Ali, Rabu (08/10).

Menurutnya, sesuai tuntunan Nabi Muhammad SAW, umat Islam sangat dianjurkan (sunah
muakkadah) untuk melakukan salat gerhana, walaupun dalam posisi gerhana bulan sebagian.

Mempertimbangkan waktu terbit Bulan di masing-masing daerah, maka Shalat Gerhana dilakukan
setelah shalat Maghrib sampai selesai Gerhana sesuai dengan waktu di atas, ujarnya.

Amalan yang bisa dilakukan oleh kaum muslimin ketika terjadi gerhana.

Pertama: perbanyaklah dzikir, istighfar, takbir, sedekah dan bentuk ketaatan lainnya.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َ َ‫صلُّوا َوت‬
‫ص َّدقُوا‬ َ ِ‫ فَِإ َذا َرَأ ْيتُ ْم َذل‬، ‫ت َأ َح ٍد َوالَ لِ َحيَاتِ ِه‬
َ ‫ َو‬، ‫ك فَا ْدعُوا هَّللا َ َو َكبِّرُوا‬ ِ ‫ الَ َي ْن‬، ِ ‫ت هَّللا‬
ِ َ‫خَسف‬
ِ ْ‫ان لِ َمو‬ ِ ‫س َو ْالقَ َم َر آيَت‬
ِ ‫َان ِم ْن آيَا‬ َ ‫ِإ َّن ال َّش ْم‬

“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah.
Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal
tersebut maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.” (HR.
Bukhari no. 1044)

Kedua: keluar mengerjakan shalat gerhana secara berjama’ah di masjid.

Salah satu dalil yang menunjukkan hal ini sebagaimana dalam hadits dari ’Aisyah bahwasanya Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam mengendari kendaraan di pagi hari lalu terjadilah gerhana. Lalu Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam melewati kamar istrinya (yang dekat dengan masjid), lalu beliau berdiri
dan menunaikan shalat. (HR. Bukhari no. 1050). Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam mendatangi tempat shalatnya (yaitu masjidnya) yang biasa dia shalat di situ. (Lihat
Shohih Fiqh Sunnah, 1: 343)

Ibnu Hajar mengatakan, ”Yang sesuai dengan ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah
mengerjakan shalat gerhana di masjid. Seandainya tidak demikian, tentu shalat tersebut lebih tepat
dilaksanakan di tanah lapang agar nanti lebih mudah melihat berakhirnya gerhana.” (Fathul Bari, 4:
10)

Apakah mengerjakan dengan jama’ah merupakan syarat shalat gerhana?

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin mengatakan, ”Shalat gerhana secara jama’ah bukanlah
syarat. Jika seseorang berada di rumah, dia juga boleh melaksanakan shalat gerhana di rumah. Dalil
dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam,

َ َ‫فَِإ َذا َرَأ ْيتُ ْم ف‬


‫صلُّوا‬

“Jika kalian melihat gerhana tersebut, maka shalatlah”. (HR. Bukhari no. 1043)

Dalam hadits ini, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam tidak mengatakan, ”(Jika kalian melihatnya),
shalatlah kalian di masjid.” Oleh karena itu, hal ini menunjukkan bahwa shalat gerhana
diperintahkan untuk dikerjakan walaupun seseorang melakukan shalat tersebut sendirian. Namun,
tidak diragukan lagi bahwa menunaikan shalat tersebut secara berjama’ah tentu saja lebih utama
(afdhol). Bahkan lebih utama jika shalat tersebut dilaksanakan di masjid karena Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam mengerjakan shalat tersebut di masjid dan mengajak para sahabat untuk
melaksanakannya di masjid. Ingatlah, dengan banyaknya jama’ah akan lebih menambah kekhusu’an.
Dan banyaknya jama’ah juga adalah sebab terijabahnya (terkabulnya) do’a.” (Syarhul Mumthi’, 2:
430)

Ketiga: wanita juga boleh shalat gerhana bersama kaum pria

Dari Asma` binti Abi Bakr, beliau berkata,

8ٌ‫ وَِإ َذا ِه َى قَاِئ َمة‬، َ‫صلُّون‬َ ُ‫ فَِإ َذا النَّاسُ قِيَا ٌم ي‬، ُ‫ت ال َّش ْمس‬ ُ ‫َأتَي‬
ِ َ‫ْت عَاِئ َشةَ – رضى هللا عنها – زَ وْ َج النَّبِ ِّى – صلى هللا عليه وسلم – ِحينَ َخ َسف‬
‫ت َأىْ نَ َع ْم‬ َ ‫ت آيَةٌ فََأش‬
8ْ ‫َار‬ ُ ‫ فَقُ ْل‬. ِ ‫ت ُس ْبحَانَ هَّللا‬
ْ َ‫ َوقَال‬، ‫ت بِيَ ِدهَا ِإلَى ال َّس َما ِء‬ َ ‫اس فََأش‬
8ْ ‫َار‬ ُ ‫صلِّى فَقُ ْل‬
ِ َّ‫ت َما لِلن‬ َ ُ‫ت‬

“Saya mendatangi Aisyah radhiyallahu ‘anha -isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika terjadi
gerhana matahari. Saat itu manusia tengah menegakkan shalat. Ketika Aisyah turut berdiri untuk
melakukan sholat, saya bertanya: “Kenapa orang-orang ini?” Aisyah mengisyaratkan tangannya ke
langit seraya berkata, “Subhanallah (Maha Suci Allah)”. Saya bertanya: “Tanda (gerhana)?” Aisyah
lalu memberikan isyarat untuk mengatakan iya.” (HR. Bukhari no. 1053)

Bukhari membawakan hadits ini pada bab:

ِ ‫ِّجا ِل فِى ْال ُكس‬


‫ُوف‬ َ ‫صالَ ِة النِّ َسا ِء َم َع الر‬
َ

“Shalat wanita bersama kaum pria ketika terjadi gerhana matahari.”

Ibnu Hajar mengatakan,

‫صلِّينَ فُ َرادَى‬ َ ‫َأش‬


َ ِ‫َار بِهَ ِذ ِه التَّرْ َج َمة ِإلَى َر ّد قَوْ ل َم ْن َمنَ َع َذل‬
َ ُ‫ ي‬: ‫ك َوقَا َل‬

“Judul bab ini adalah sebagai sanggahan untuk orang-orang yang melarang wanita tidak boleh shalat
gerhana bersama kaum pria, mereka hanya diperbolehkan shalat sendiri.” (Fathul Bari, 4: 6)

Kesimpulannya, wanita boleh ikut serta melakukan shalat gerhana bersama kaum pria di masjid.
Namun, jika ditakutkan keluarnya wanita tersebut akan membawa fitnah (menggoda kaum pria),
maka sebaiknya mereka shalat sendiri di rumah. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 1: 345)

Keempat: menyeru jama’ah dengan panggilan ’ash sholatu jaami’ah’ dan tidak ada adzan maupun
iqomah.

Dari ’Aisyah radhiyallahu ’anha, beliau mengatakan,

‫ َوتَقَ َّد َم فَكَب َّر َوصلَّى أربَ َع‬.‫ فَاجتَ َمعُوا‬،‫ الصالَةَ َجا ِم َعة‬:‫ث ُمنَاديا ً يُنَا ِدي‬ 8ْ َ‫أن ال َّشمس خَ َسف‬
ِ ‫ت َعلَى َع ْه ِد َر‬
َ ‫ فَبَ َع‬،‫سول هللاِ صلى هللا عليه وسلم‬ َّ
‫ت‬ ‫َا‬
‫د‬ ‫ج‬
ٍ َ َ َ َ‫س‬ ‫ع‬ ‫أرب‬‫و‬ ‫َين‬ ‫ت‬ ‫ع‬
َ ‫رك‬ ‫في‬ ‫ت‬ ‫ا‬
ٍ َ َ ‫ع‬ َ
‫ك‬ ‫ر‬.

“Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
terjadi gerhana matahari. Beliau lalu mengutus seseorang untuk memanggil jama’ah dengan: ‘ASH
SHALATU JAMI’AH’ (mari kita lakukan shalat berjama’ah). Orang-orang lantas berkumpul. Nabi lalu
maju dan bertakbir. Beliau melakukan empat kali ruku’ dan empat kali sujud dalam dua raka’at.”
(HR. Muslim no. 901) . Dalam hadits ini tidak diperintahkan untuk mengumandangkan adzan dan
iqomah. Jadi, adzan dan iqomah tidak ada dalam shalat gerhana.
Kelima: berkhutbah setelah shalat gerhana

Disunnahkah setelah shalat gerhana untuk berkhutbah, sebagaimana yang dipilih oleh Imam Asy
Syafi’i, Ishaq, dan banyak sahabat (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 1: 435). Hal ini berdasarkan hadits:

‫صلَّى َرسُو ُل هللا صلى هللا عليه وسلم‬ َ َ‫ فَقَا َم ف‬.‫ت الشمسُ َعلَى عَه ِد َرسُول هللا صلى هللا عليه وسلم‬ ِ َ‫ خَ َسف‬:‫ت‬ ْ َ‫ع َْن عَاِئشةَ َرضي هللا َع ْنهَا قَال‬
َ َ‫ ثُ َّم قَا َم فَأط‬،َ‫ال الرُّ ُكوع‬
ِ ‫ ثم َر َك َع فَأطَا َل الرُّ كو َع وه َُو ُدونَ الرُّ ُك‬،‫ال القيَا َم َوهو ُدونَ القِيَام األ َّو ِل‬
‫وع‬ َ َ‫ ثُ َّم َر َك َع فَأط‬،‫بالنَّاس فَأطَا َل القِيَام‬
َّ
َ َ‫ فَخ‬، ُ‫ت الش ْمس‬
‫طب‬ ْ َ ُ ْ َ ْ
ِ ‫ ث َّم انص َرفَ َوقد ان َجل‬،‫ ثم فَ َع َل في الرك َع ِة األخ َرى ِمثل َما ف َعل في الرك َع ِة األولى‬،َ‫ ثُم َس َج َد فَأطَا َل ال ُّسجُود‬،‫األو َِّل‬
ْ
‫الناس فَ َح ِم َد هللا وأثنَى عَلي ِه ثم قا َل‬:
َ

َ ‫صلُّوا َوت‬
” ‫َص َّد قوا‬ َ ‫ فَإ َذا َرأيت ْم ذلك فَادعُوا هللا َوكبروا َو‬.‫ َوالَ لِ َحيَاتِ ِه‬.‫ت أحد‬ ِ ‫ت هللا الَ ت ْن‬
ِ َ‫خَسف‬
ِ ‫ان لِ َمو‬ ِ ‫”إن ال َّشمس و القَ َمر آيتا ِن ِم ْن آيَا‬.

‫ َوهللا لو تَعْل ُمونَ َما أعلم‬،‫ يَا أمةَ ُم َحمد‬.ُ‫ وهللا َما ِم ْن أ َحد أ َْغيَ ُر ِمنَ هللا ُس ْب َحانَهُ من أن يَ ْزنَي َع ْب ُدهُ أوْ تَزني أ َمتُه‬: ” ‫ ” يَا أمةَ ُمح َّمد‬:‫ثم قال‬
ً‫لضح ْكتُ ْم قَليالً َولَبَكَيتم كثِيرا‬
َ “.

Dari Aisyah, beliau menuturkan bahwa gerhana matahari pernah terjadi pada masa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dan mengimami
manusia dan beliau memanjangkan berdiri. Kemuadian beliau ruku’ dan memperpanjang ruku’nya.
Kemudian beliau berdiri lagi dan memperpanjang berdiri tersebut namun lebih singkat dari berdiri
yang sebelumnya. Kemudian beliau ruku’ kembali dan memperpanjang ruku’ tersebut namun lebih
singkat dari ruku’ yang sebelumnya. Kemudian beliau sujud dan memperpanjang sujud tersebut.
Pada raka’at berikutnya, beliau mengerjakannya seperti raka’at pertama. Lantas beliau beranjak
(usai mengerjakan shalat tadi), sedangkan matahari telah nampak.

Setelah itu beliau berkhotbah di hadapan orang banyak, beliau memuji dan menyanjung Allah,
kemudian bersabda,

“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah.
Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal
tersebut maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.”

Nabi selanjutnya bersabda,

“Wahai umat Muhammad, demi Allah, tidak ada seorang pun yang lebih cemburu daripada Allah
karena ada seorang hamba baik laki-laki maupun perempuan yang berzina. Wahai Umat
Muhammad, demi Allah, jika kalian mengetahui yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit
tertawa dan banyak menangis.” (HR. Bukhari, no. 1044)

Khutbah yang dilakukan adalah dua kali khutbah sebagaimana pada Khutbah Jumat dan Khutbah Ied.
(Kifayatul Akhyar, hal. 202).

Tata Cara Shalat Gerhana

Shalat gerhana dilakukan sebanyak dua raka’at dan ini berdasarkan kesepakatan para ulama.
Namun, para ulama berselisih mengenai tata caranya.

Ada yang mengatakan bahwa shalat gerhana dilakukan sebagaimana shalat sunnah biasa, dengan
dua raka’at dan setiap raka’at ada sekali ruku’, dua kali sujud. Ada juga yang berpendapat bahwa
shalat gerhana dilakukan dengan dua raka’at dan setiap raka’at ada dua kali ruku’, dua kali sujud.
Pendapat yang terakhir inilah yang lebih kuat sebagaimana yang dipilih oleh mayoritas ulama. (Lihat
Shohih Fiqh Sunnah, 1: 435-437)

Hal ini berdasarkan hadits-hadits tegas yang telah kami sebutkan:

“Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
terjadi gerhana matahari. Beliau lalu mengutus seseorang untuk menyeru ‘ASH SHALATU JAMI’AH’
(mari kita lakukan shalat berjama’ah). Orang-orang lantas berkumpul. Nabi lalu maju dan bertakbir.
Beliau melakukan empat kali ruku’ dan empat kali sujud dalam dua raka’at. (HR. Muslim no. 901)

“Aisyah menuturkan bahwa gerhana matahari pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dan mengimami manusia dan beliau
memanjangkan berdiri. Kemuadian beliau ruku’ dan memperpanjang ruku’nya. Kemudian beliau
berdiri lagi dan memperpanjang berdiri tersebut namun lebih singkat dari berdiri yang sebelumnya.
Kemudian beliau ruku’ kembali dan memperpanjang ruku’ tersebut namun lebih singkat dari ruku’
yang sebelumnya. Kemudian beliau sujud dan memperpanjang sujud tersebut. Pada raka’at
berikutnya beliau mengerjakannya seperti raka’at pertama. Lantas beliau beranjak (usai
mengerjakan shalat tadi), sedangkan matahari telah nampak.” (HR. Bukhari, no. 1044)

Ringkasnya, tata cara shalat gerhana -sama seperti shalat biasa dan bacaannya pun sama-,
urutannya sebagai berikut.
[1] Berniat di dalam hati dan tidak dilafadzkan karena melafadzkan niat termasuk perkara yang tidak
ada tuntunannya dari Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam dan beliau shallallahu ’alaihi wa sallam
juga tidak pernah mengajarkannya lafadz niat pada shalat tertentu kepada para sahabatnya.

[2] Takbiratul ihram yaitu bertakbir sebagaimana shalat biasa.

[3] Membaca do’a istiftah dan berta’awudz, kemudian membaca surat Al Fatihah dan membaca
surat yang panjang (seperti surat Al Baqarah) sambil dijaherkan (dikeraskan suaranya, bukan lirih)
sebagaimana terdapat dalam hadits Aisyah:

ِ ‫صالَ ِة ْال ُخس‬


‫ُوف بِقِ َرا َءتِ ِه‬ َ ‫َجهَ َر النَّبِ ُّى – صلى هللا عليه وسلم – فِى‬

“Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menjaherkan bacaannya ketika shalat gerhana.” (HR. Bukhari no.
1065 dan Muslim no. 901)

[4] Kemudian ruku’ sambil memanjangkannya.

[5] Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal) sambil mengucapkan ’SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH,
RABBANA WA LAKAL HAMD’

[6] Setelah i’tidal ini tidak langsung sujud, namun dilanjutkan dengan membaca surat Al Fatihah dan
surat yang panjang. Berdiri yang kedua ini lebih singkat dari yang pertama.

[7] Kemudian ruku’ kembali (ruku’ kedua) yang panjangnya lebih pendek dari ruku’ sebelumnya.

[8] Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal).

[9] Kemudian sujud yang panjangnya sebagaimana ruku’, lalu duduk di antara dua sujud kemudian
sujud kembali.

[10] Kemudian bangkit dari sujud lalu mengerjakan raka’at kedua sebagaimana raka’at pertama
hanya saja bacaan dan gerakan-gerakannya lebih singkat dari sebelumnya.

[11] Tasyahud.
[12] Salam.

[13] Setelah itu imam menyampaikan khutbah kepada para jama’ah yang berisi anjuran untuk
berdzikir, berdo’a, beristighfar, sedekah, dan membebaskan budak. (Lihat Zaadul Ma’ad, Ibnul
Qayyim, 349-356, Darul Fikr dan Shohih Fiqih Sunnah, 1: 438)

*) Dari berbagai sumber

Anda mungkin juga menyukai