Anda di halaman 1dari 5

NAMA : RIZMA VERIKA AFIYANTI

NIM : 202210040311034

KELAS : N / IKOM B

TUGAS : AIK 12

 PENGERTIAN BUSANA DALAM ISLAM


Busana muslimah adalah busana yang sesuai dengan ajaran Islam, dan pengguna gaun tersebut
mencerminkan seorang muslimah yang taat atas ajaran agamanya dalam tata cara berbusana.
Busana muslimah bukan sekedar symbol melainkan dengan mengenakannya berarti seorang
perempuan telah memproklamirkan kepada makhluk Allah Swt akan keyakinan, pandangannya
terhadap dunia, dan jalan hidup yang ia tempuh. Dimana semua itu didasarkan pada keyakinan
mendalam terhadap Tuhan yang Maha Esa dan Kuasa. Busana muslim adalah berbagai jenis
busana yang dipakai oleh wanita muslimah sesuai dengan ketentuan syariat Islam, dimaksud
untuk menutupi bagian-bagian tubuh yang tidak pantas untuk diperlihatkan kepada publik. Yang
pada intinya busana muslimah harus dikaitkan dengan sikap taqwa yang menyangkut nilai
psikologis terhadap pemakainya. Untuk menumbuhkan konsep diri busana muslimah semua itu
kembali kepada masing-masing individu, namun dengan memperlihatkan bentuk mode (biasa
dilakukan dengan tiru-tiru atau iseng- iseng saja, mode ini didalam masyarakat biasanya sangat
cepat perkembangannya. Pada dasarnya orang mengikuti mode unttuk mempertinggi gengsinya
menurut pandangan. Contohnya pada pakaian dan celana) pakaian, warna, keindahan,
merupakan salah satu factor pendukung yang tidak dapat dipungkiri.

Begitu pula dengan berbusana muslimah atau perilaku dalamberbusana muslimah harus
menyesuaikan apa yang ia kenakan. Didalam Islam pun mengajarkan etika tentang menutup
aurat, atau busana yaitu
Yang Artinya: Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali
yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya,
dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka,
atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau
saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera
saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki,
atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-
anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua
agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada
Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”

Islam kemudian memerintahkan wanita-wanita muslim untuk meamakai busana muslimah yang
membedakan orang-orang muslim dengan non muslim. Islam memberikan ketetapan yang
begitu jelas dalam Al-Qur‟an sebagai panduan bagi seluruh kaum muslimah dalam berbusana.
Namun, dalam kenyataan sekarang ini banyak sekali jenis pakaian muslim yang tidak sesuai
dengan apa yang digambarkan dalam Al-Qur‟an. Berbusana muslimah selain menjadi sarana
untuk menjaga
pandangan dari nafsu syahwat, juga memberikan pengaruh dalam persepsi sosial dan tingkah
laku seseorang untuk tetap berusaha berada dalam aturan Islam.

 MODEL DAN KARAKTERISTIK BUSANA YANG SESUAI SYARI’AT MENURUT PANDANGAN ISLAM
Dalam pandangan KH Ali Mustafa Yaqub, walaupun Islam tidak merekomendasikan satu model
pakaian tertentu, tetapi Islam memiliki aturan umum berpakaian. Aturan umum ini diistilahkan
oleh almarhum dengan 4T, yaitu tidak terbuka (tutup aurat), tidak transparan, tidak ketat, dan
tidak menyerupai lawan jenis.

1.Tutup Aurat

Menutup aurat merupakan prinsip pertama yang menjadi dasar agar pakaian tersebut dapat
dikatakan sesuai dengan hukum Islam. Sebagaimana telah mafhum bahwa aurat laki-laki adalah
antara pusar sampai lutut dan aurat perempuan adalah seluruh badan kecuali dua telapak
tangan dan wajah.

Syariat untuk menutup aurat telah ada sejak zaman nabi Adam dan Hawa ketika mereka berdua
mendakati pohon yang dilarang oleh Allah swt untuk mendekatinya. Hal ini terdapat dalam
surah al-A’raf [7]: 22,
‫ق ْال َجنَّ ِة‬ ِ ‫َت لَهُ َما سَوْ آتُهُ َما َوطَفِقَا يَ ْخ‬
ِ ‫صفَا ِن َعلَ ْي ِه َما ِم ْن َو َر‬ ْ ‫فَلَ َّما َذاقَا ال َّش َج َرةَ َبد‬

“(Yakni serta-merta dan dengan cepat) tatkala keduanya telah merasakan buah pohon itu,
tampaklah bagi keduanya, aurat masing-masing dan mulailah keduanya menutupinya dengan
daun-daun surga secara berlapis-lapir,”

2. Tidak Transparan

Pakaian yang tembus pandang, yang memperlihatkan bentuk tubuh yang harusnya ditutup
secara samar-samar bukan merupakan pakaian yang Islami. Sebab, secara tidak langsung
pakaian yang transparan berarti tidak menutup aurat. Memilih warna dan bahan pakaian
menentukan pakaian tersebut transparan atau tidak khususnya dalam keadaan keringatan atau
kehujanan. Sehingga ketika membeli pakaian sangat dianjurkan untuk memilih bahan yang baik
agar tidak transparan.

Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh imam Muslim dalam kitabnya Shohih Muslim/2128
sebagai berikut,
َ‫ب ْالبَقَ ِر يَضْ ِربُون‬ ,ِ ‫ قَوْ ٌم َم َعهُ ْم ِسيَاطٌ َكَأ ْذنَا‬،‫ار لَ ْم َأ َرهُ َما‬
ِ َّ‫ص ْنفَا ِن ِم ْن َأ ْه ِل الن‬ َ ِ‫ قَا َل َرسُو ُل هللا‬:‫ قَا َل‬،َ‫ع َْن َأبِي هُ َري َْرة‬
ِ « :‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
‫ وَِإ َّن‬،‫ َواَل يَ ِج ْدنَ ِري َحهَا‬،َ‫ اَل يَ ْد ُخ ْلنَ ْال َجنَّة‬،‫ت ْال َماِئلَ ِة‬ ِ ‫ة ْالب ُْخ‬,ِ ‫ ُر ُءو ُسه َُّن َكَأ ْسنِ َم‬،‫ت‬ ٌ ‫ت َماِئاَل‬ ٌ ‫ات ُم ِمياَل‬
ٌ َ‫َاري‬
ِ ‫ات ع‬,ٌ َ‫َاسي‬
ِ ‫ َونِ َسا ٌء ك‬،‫اس‬ َ َّ‫بِهَا الن‬
‫يحهَا لَيُو َج ُد ِم ْن َم ِسي َر ِة َك َذا َو َك َذا‬
َ ‫»ر‬ ِ

Artinya:
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah: ”Dua (jenis manusia) dari ahli neraka yang aku belum
melihatnya sekarang yaitu; kaum yang membawa cemeti-cemeti seperti ekor sapi, mereka
memukul manusia dengannya, dan wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang, berjalan
berlenggak lenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang condong. Mereka tidak akan masuk
surga bahkan tidak akan mendapat wanginya, dan sungguh wangi surga itu telah tercium dari
jarak perjalanan sekian dan sekian.

3. Tidak Ketat

Pakaian yang digunakan oleh umat Islam mesti longgar dan tidak ketat. Pakaian yang baik ialah
pakaian yang tidak memperlihatkan lekukan tubuh supaya orang yang melihat kita tidak
terpancing untuk melakukan perbuatan negatif.

4. Tidak Menyerupai Lawan Jenis

Dalam sebuah Hadis yang terdapat dalam Shohih Bukhari/159, sebagai berikut:
,ِ ‫ َوال ُمتَ َشبِّهَا‬,،‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ال ُمتَ َشبِّ ِهينَ ِمنَ ال ِّر َجا ِل بِالنِّ َسا ِء‬
‫ت ِمنَ النِّ َسا ِء‬ َ ِ ‫ لَعَنَ َرسُو ُل هَّللا‬:‫ال‬
َ َ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ َما ق‬
ِ ‫س َر‬
ٍ ‫ع َِن اب ِْن َعبَّا‬
‫الرِّجا ِل‬
َ ِ‫ب‬

Diriwayatkan Ibn ‘Abbas Ra., berkata: “Rasulullah saw melaknat laki-laki yang menyerupai
perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki.

Hadis di atas tidak secara eksplisit menjelaskan bahwa laki-laki tidak boleh menyerupai pakaian
perempuan atau sebaliknya. Secara umum hadis di atas menjelaskan bahwa Nabi saw melarang
umatnya untuk menyerupai lawan jenisnya, termasuk dalam dalam hal berpakaian.

Di samping itu etika berpakaian yang perlu diperhatikan adalah kesederhanaan. Karena
kesederhanaan dalam segala hal termasuk dalam berpakaian adalah bagian dari iman. Dalam
sebuah Hadis Rasulullah saw., sebagaimana terdapat dalam Sunan Ibn Majah/1379 sebagai
berikut:

ِ ‫ « ْالبَ َذا َذةُ ِمنَ اِإْل ي َم‬:‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
‫ان‬ َ ِ ‫ال َرسُو ُل هَّللا‬
َ َ‫ق‬

Rasulullah saw., bersabda kesederhanaan adalah bagian dari iman.

Keempat kriteria ini perlu diperhatikan ketika memilih, membeli, dan menggunakan pakaian.
Perempuan yang menggunakan “hijab” tidak akan ada gunanya kalau pakaian yang mereka
gunakan transparan dan ketat. Begitu pula laki-laki, tidak ada gunanya memakai jubah, kalau
tembus pandang dan auratnya terlihat oleh orang lain.

 PANDANGAN ISLAM TERGADAP FENOMENA SOCIAL: HIJABERS DAN NIQAB


Tafsir maqāṣidi berupaya untuk mengupas makna dan maksud yang ingin disampaikan oleh al-
Qur’an untuk kemudian direalisasikan dalam kehidupan sesuai dengan kemaslahatan manusia,
baik secara global maupun parsial. Tafsir ini senantiasa berkontribusi dalam dunia penafsiran,
dan tidak dapat dipisahkan dari ragam tafsir lainnya, karena memiliki relasi yang sangat kuat.
Meminjam bahasa Abu Zayd, tafsir ini dapat dikatakan sebagai “bapak” dari ragam tafsir yang
ada. Karena pada dasarnya setiap metode tafsir yang ada, seperti tafsir mauḍu’i, dalam
menggunakan metodenya seorang mufassir tentu butuh kepada perspektif maqāṣidi untuk
menciptakan keselarasan antar hukum yang tertera dalam al-Qur’an dan maqāṣid al-
Qur’annya.56 Demikian juga dengan metode tafsir lainnya yang tidak bisa dipisahkan dari tafsir
maqāṣidi.

Ada tiga surah al-Qur’an yang menjadi rujukan tafsir maqāṣidi terkait persoalan pakaian wanita.
Di antaranya Q.S al-A’rāf (7): 26;31, Q.S al-Aḥzāb (33): 53;59, dan Q.S al-Nūr (24): 30-31. Dari
beberapa ayat tersebut dapat ditafsirkan bahwa di antara maqāṣid (tujuan) dari agama adalah
menjaga kehormatan manusia. Salah satu jalan manusia melindungi kehormatannya yaitu
dengan menutup aurat. Meskipun prinsip dasar dari menutup aurat yang diterangkan dalam al-
Qur’an adalah secara ẓahir, dalam arti dengan pakaian yang tertutup, namun dalam waktu yang
bersamaan al-Qur’an juga menegaskan bahwa menutup aurat itu tidak hanya secara ẓahir,
tetapi seimbang dengan prinsip bathiniyah (pakaian taqwa) yang biasanya prinsip tersebut
dikenal dengan istilah inner beauty (kecantikan batin). Sehingga dengan seimbangnya kedua
prinsip tersebut, manusia menjadi insān kāmil (manusia seutuhnya) sebagaimana yang
dikemukakan oleh Muthahhari bahwa insān kāmil merupakan manusia yang teladan dan ideal.

Menurut Abdul Mustaqim seorang pakar tafsir maqāṣidi, ada tiga fungsi pakaian yang
mengandung kemaslahatan bagi manusia. Pertama, fungsi dasar, yaitu menutup aurat. Dalam
hal ini, seseorang tidak diperkenankan untuk memperlihatkan bagian anggota tubuh yang
termasuk aurat, kecuali dalam kondisi yang mendesak atau sangat membutuhkan. Misalnya
ketika berobat, kecelakaan dan memberi kesaksian. Sebagaimana diketahui bahwa batas aurat
laki-laki dan perempuan jauh berbeda. Aurat laki-laki di antara pusar dan lutut, sehingga wajib
ditutupi bagian tersebut. Sedangkan perempuan auratnya meliputi seluruh tubuh kecuali wajah
dan dua telapak tangan.

Oleh sebab itu, Allah memerintahkan kepada wanita untuk memakai kerudung yang berfungsi
sebagai penutup kepala dan rambut. Selain itu, Allah juga memerintahkan kepada wanita agar
menggunakan jilbāb, yakni pakaian longgar yang dapat menutupi seluruh tubuh kecuali wajah
dan dua telapak tangan. Ulama berbeda pendapat dalam hal wajib atau tidaknya menutup
kedua anggota (wajah dan dua telapak tangan). Sebagian di antara mereka ada yang
mewajibkan menutupnya apabila diduga akan timbul fitnah jika terbuka. Hal ini menutup
peluang kerusakan dan meluasnya fitnah. Maka dari itu, dalam menggunakan jilbāb jangan
sampai berhias yang menyebabkan timbulnya fitnah jika pandangan laki-laki tertuju kepadanya.
Dalam berjilbab juga ada aturannya, misalnya tidak pendek dan transparan. Sebab tujuan dari
berpakaian adalah menutupi, dan maksud menutupi di sini, tidak memadai dengan bahan atau
sesuatu yang sifatnya transparan, bahkan dengan memakai yang transparan dapat menambah
fitnah bagi wanita. Kedua, fungsi ganda (bilateral), yaitu menjaga kaum pria dan wanita dari
bahaya iklim/cuaca, manakala dalam kondisi dingin atau panas. Selain itu menjaga dari
bahaya/kerugian sosial disebabkan tidak menyetujui kebiasaan dan kondisi setempat, sebagai
contoh di daerah Aceh, dengan kondisi masyarakatnya mayoritas muslim dan memiliki qanun
khusus, di antaranya wanita wajib berkerudung serta berbusana muslimah ketika berada di luar
rumah dan yang melanggar aturan tersebut diberikan sanksi oleh pihak yang berwenang.
Terlepas daripada itu, ada manfaat lain dari menutup aurat yaitu terhindar dari tatapan yang
mengandung syahwat disebabkan terbukanya aurat. Oleh karena itu Allah memerintahkan agar
menundukkan pandangan, tidak hanya berlaku bagi laki-laki mukmin, tetapi juga bagi
perempuan, disebabkan adanya kesamaan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam
menjaga keamanan dan keselamatan dari fitnah sebagaimana yang dijelaskan dalam Q.S al-Nūr
[24]: 30-31.61

Selanjutnya yang ketiga, fungsi tambahan, yaitu sebagai hiasan bagi manusia dan untuk
memperbaiki penampilan sehingga tampak indah. Akan tetapi, jika berhias lebih dari kebutuhan,
maka hal ini dianggap buruk. Demikian juga Allah melarang adanya sifat berlebih- lebihan dalam
berpakaian. Fenomena niqab sepertinya menjadi bagian dari berlebihan dan boros, khususnya di
Indonesia, karena niqab bukan perkara syariat, hanya saja merupakan kebiasaan orang Arab,
maka harus dibedakan antara kebiasaan orang Arab dengan nilai-nilai keislaman yang
fundamental, yakni menutup aurat.62 Pernyataan ini juga didukung oleh Sayyid Muhammad
Tantawi bahwa penggunaan cadar merupakan salah satu bagian dari budaya. Syekh Ali Jumu’ah
juga menambahkan bahwa wajah tidak termasuk aurat, sehingga penggunaan niqab tidak wajib,
meskipun ada sebagian ulama yang mengatakan wajib menggunakan niqab, namun dalil yang
dijadikan sebagai pegangan masih bersifat debatable.63 Lebih lanjut Quraish Shihab
menuturkan bahwa jika merujuk pada riwayat-riwayat yang dikemukakan oleh para sahabat
Nabi saw. atau merujuk kepada pendapat Imam mazhab maka dapat dipahami bahwa wanita-
wanita muslimah pada zaman Nabi Muhammad saw. memperlihatkan wajah dan telapak tangan
mereka, meskipun ada di antara mereka yang juga memakai niqab. Selain itu, tidak ada ayat
yang secara gamblang memerintahkan wanita untuk berniqab, juga dalam hadis riwayat al-
Bukhari disebutkan bahwa wanita yang sedang melakukan ihram tidak boleh mengenakan
niqab.

Anda mungkin juga menyukai