Anda di halaman 1dari 7

‫بسم اهلل الرحمن الرحيم‬

“JANGAN TINGGALKAN GENERASI YANG LEMAH”


Oleh: Faqih Aulia (14.3887)
MUQADDIMAH:
Setelah menjelaskan anjuran berbagi sebagian dari harta warisan yang didapat kepada kerabat yang tidak
mendapatkan bagian, ayat ini memberi anjuran untuk memperhatikan nasib anak-anak mereka apabila menjadi
yatim. Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan di
kemudian hari anak-anak yang lemah dalam keadaan yatim yang belum mampu mandiri di belakang mereka
yang mereka khawatir terhadap kesejahteraan-nya lantaran mereka tidak terurus, lemah, dan hidup dalam
kemiskinan. Oleh sebab itu, hendaklah mereka para wali bertakwa kepada Allah dengan mengindahkan
perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar, penuh
perhatian dan kasih sayang terhadap anak-anak yatim dalam asuhannya.
)9( ‫َو ْلَيْخ َش اَّلِذ يَن َلْو َتَر ُك وا ِم ْن َخ ْلِف ِه ْم ُذِّر َّيًة ِض عافًا خاُفوا َعَلْيِه ْم َفْلَيَّتُقوا الَّلَه َو ْلَيُقوُلوا َقْو ًال َس ِد يدًا‬
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak
yang lemah. yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka
bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. (Q.S. An-Nisa {4}: 9)
TAFSIR MUFRADAT:
Firman Allah Swt.:
‫ِم ِف ِه‬ ‫ِذ‬
‫َو ْلَيْخ َش اَّل يَن َلْو َتَر ُك وا ْن َخ ْل ْم‬
Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka. (An-
Nisa: 9), hingga akhir ayat.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ayat ini berkenaan dengan seorang lelaki yang
sedang menjelang ajalnya, lalu kedengaran oleh seorang lelaki bahwa dia mengucapkan suatu wasiat yang
menimbulkan mudarat terhadap ahli warisnya. Maka Allah Swt. memerintahkan kepada orang yang mendengar
wasiat tersebut. hendaknya ia bertakwa kepada Allah, membimbing si sakit serta meluruskannya ke jalan yang
benar. Hendaknya si sakit memandang kepada keadaan para ahli warisnya. sebagaimana diwajibkan baginya
berbuat sesuatu untuk ahli warisnya, bila dikhawatirkan mereka akan terlunta-lunta.
Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang. Di dalam sebuah hadis
dalam kitab Sahihain disebutkan seperti berikut:
‫ ِإيِّن ُذو‬،‫ َيا َرُس وَل الَّل ِه‬: ‫َأَّن َرُس وَل الَّلِه َص َّلى اهلل عليه وسلم َلَّم ا َدَخ َل َعَلى َس ْع د ْبِن َأيِب َو َقاٍّص َيُع وُدُه َقاَل‬
: ‫ َف الُّثُلُث ؟ َق اَل‬: ‫ َق اَل‬." ‫ "اَل‬: ‫ فالَّش ْطر؟ َق اَل‬: ‫ َق اَل‬." ‫ "اَل‬: ‫ َأَفَأَتَص َّد ُق ِبُثُلَثْي َم ايِل ؟ َق اَل‬،‫َم اٍل َو اَل َيِر ُثيِن ِإاَّل اْبَن ًة‬
‫ "إنك أن َتذر َو َر َثَت ك أغنياء َخرْي من َأْن‬: ‫ َّمُث َقاَل َر ُس وُل الَّلِه َص َّلى الَّلُه َعَلْي ِه َو َس َّلَم‬."‫ َو الُّثُلُث َك ِثٌري‬، ‫"الُّثُلُث‬
" ‫َتَذ َر هم َعالًة يتَك َّف ُفون الَّناَس‬
Ketika Rasulullah Saw. masuk ke dalam rumah Sa’d ibnu Abu Waqqas dalam rangka menjenguknya, maka Sa'd
bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai harta, sedangkan tidak ada orang yang mewarisiku
kecuali hanya seorang anak perempuan. Maka bolehkah aku menyedekahkan dua pertiga dari hartaku?"
Rasulullah Saw. menjawab, "Tidak boleh." Sa'd bertanya.” Bagaimana kalau dengan separonya?" Rasulullah
Saw. menjawab, "Jangan." Sa'd bertanya, "Bagaimana kalau sepertiganya?" Rasulullah Saw. menjawab,
"Sepertiganya sudah cukup banyak." Kemudian Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya kamu bila
meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan adalah lebih baik daripada kamu membiarkan
mereka dalam keadaan miskin meminta-minta kepada orang.
1
Di dalam kitab sahih dari Ibnu Abbas mengatakan:
"‫ َو الُّثُلُث َك ِثٌري‬، ‫ "الُّثُلُث‬: ‫َلْو َأَّن الَّناَس َغّض وا ِم َن الُّثُلِث ِإىَل الُّر ُبِع َفِإَّن َر ُس وَل الَّلِه َص َّلى الَّلُه َعَلْيِه َو َس َّلَم َقاَل‬
"Seandainya orang-orang menurunkan dari sepertiga ke seperempat, maka sesungguhnya Rasulullah Saw.
bersabda, 'Sepertiganya sudah cukup banyak'."
Para ahli fiqih mengatakan, "Jika ahli waris si mayat adalah orang-orang yang berkecukupan, maka si mayat
disunatkan berwasiat sebanyak sepertiga dari hartanya secara penuh. Jika ahli warisnya adalah orang-orang
yang miskin. maka wasiatnya kurang dari sepertiga."
Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud oleh ayat ialah takutlah kalian kepada Allah dalam
memegang harta anak-anak yatim.
}‫{َو ال َتْأُك ُلوَه ا ِإْس َر اًفا َو ِبَد اًر ا َأْن َيْك َبُر وا‬
Dan janganlah kalian makan harta anak yatim lebih dari batas keperluan dan (janganlah kalian) tergesa-gesa
(membelanjakannya). (An-Nisa: 6)
Demikianlah menurut yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui jalur Al-Aufi dari Ibnu Abbas. Hal ini
merupakan pendapat yang baik lagi mengukuhkan makna ancaman yang terdapat dalam ayat berikutnya
sehubungan dengan memakan harta anak-anak yatim secara aniaya.
Dengan kata lain, sebagaimana kamu menginginkan bila keturunanmu sesudahmu diperlakukan dengan baik,
maka perlakukanlah keturunan orang lain dengan perlakuan yang baik bila kamu memelihara mereka.
Kemudian Allah Swt. memberitahukan kepada mereka bahwa orang yang memakan harta anak-anak yatim
secara aniaya, sesungguhnya ia memakan api sepenuh perutnya. Karena itulah maka Allah Swt. berfirman:
}‫{ِإَّن اَّلِذ يَن َيْأُك ُلوَن َأْم َو اَل اْلَيَتاَم ى ُظْلًم ا ِإَمَّنا َيْأُك ُلوَن يِف ُبُطوِهِنْم َناًر ا َو َسَيْص َلْو َن َس ِعًريا‬
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara aniaya, sebenarnya mereka itu menelan
api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (An-Nisa: 10)
Bila mereka makan harta anak yatim tanpa alasan yang dibenarkan. sesungguhnya yang mereka makan itu
adalah api yang menyala-nyala di dalam perut mereka di hari kiamat kelak.
Di dalam kitab Sahihain melalui hadis Sulaiman ibnu Bilal. Dari Saur ibnu Zaid, dari Salim Abul Gais, dari
Abu Hurairah, disebutkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
‫ َو َقْت ُل الَّنْف ِس اَّليِت‬، ‫ َو الِّس ْح ُر‬،‫ «الِّش ْر ُك ِبالَّل ِه‬: ‫ َو َم ا ُه َّن ؟ َقاَل‬،‫ َيا َرُس وَل الَّلِه‬:‫«اْج َتِنُبوا الَّس ْبَع اْلُم وِبَق اِت » ِقيَل‬
‫َناِت اْل ْؤ ِم َن اِت‬ ‫ْل‬ ‫ا‬ ‫ُف‬ ‫ْذ‬ ‫َق‬ ، ‫الَّز ْح ِف‬ ‫يِّل‬ ‫َّت‬ ‫ال‬ ، ‫ِم‬ ‫ي‬‫ َأْك اِل اْل ِت‬،‫ َأْك الِّر ا‬، ‫َّر الَّل ِإاَّل ِب ا ِّق‬
‫ُم‬ ‫ْحَص‬ ‫ُم‬ ‫َو‬ ‫َم‬ ‫َحْل َو ُل َب َو ُل َم َي َو َو ْو‬
‫َي‬ ‫َح َم ُه‬
» ‫اْلَغاِفاَل ِت‬
"Jauhilah oleh kalian tujuh macam dosa yang membinasakan." Ditanyakan, "Apa sajakah dosa-dosa itu, wahai
Rasulullah?" Beliau Saw. menjawab, "Mempersekutukan Allah. Sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh
Allah kecuali dengan alasan yang hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang,
menuduh berzina wanita-wanita mukmin yang memelihara kehormatannya yang sedang lalai."
،‫ َح َّد َثَنا ُعَبْي َد ُة َأْخ َبَر َن ا َأُب و َعْب ِد الَّص َم ِد َعْب ُد اْلَعِز ي ِز ْبُن َعْب ِد الَّص َم ِد العِّم ى‬، ‫ َح َّد َثَنا َأيِب‬: ‫َق اَل اْبُن َأيِب َح اٍمِت‬
: ‫ ما رأيت َلْيَلَة ُأَس ِر َي ِبَك ؟ َقاَل‬،‫ يا رسول اهلل‬:‫ ُقْلَنا‬: ‫حدثنا أبو هاروي الَعْبدي َعْن َأيِب َس ِعيٍد اُخْلْد ِر ِّي َقاَل‬
‫ِهِب‬ ‫ِع‬ ‫ِم‬ ‫ِم‬ ‫ِه ِث‬ ‫ِم‬ ‫ِإ‬
‫ َو ُه َو مَو َّك ل ْم‬، ‫ ُك ُّل َرُج ٍل َلُه ْش َف ران َك ْش َف َر ِي اْلَب ِري‬،‫ ِر َج ال‬، ‫"انَطَل ق يِب ىَل َخ ْل ٍق ْن َخ ْل ِق الَّل َك ٍري‬
‫ٍة ِم َن اٍر ْق َذ ف يِف يِف َأ ِدِه ىَّت ْخَي ِم َأ َف ِلِه‬ ‫ِب‬ ‫ا‬ ‫َّمُث‬ ، ‫ِر اٌل ُف ُّك وَن ا َأ ِدِه‬
‫ُهَل‬
‫َو ْم‬ ‫ْس‬ ‫َح ْم َح ُر َج ْن‬ ‫ُء َص َر ْن َفُت‬ ‫ْخ‬ ‫َجُي‬ ‫َحِل َء َح ْم‬ ‫َج َي‬
2
‫ َه ُؤ اَل ِء اَّلِذ ي َيْأُك ُلوَن َأْم اَل اْلَيَت اَم ى ُظْل ا ِإَمَّنا َيْأُك ُلوَن يِف‬: ‫ َمْن َهُؤ اَل ِء ؟ َقاَل‬، ‫ ُقْلُت َيا ِج ِرْب ي‬.‫ُخ وار وُص اخ‬
‫ًم‬ ‫َو‬ ‫َن‬ ‫ُل‬ ‫َر‬
."‫ُبُطوِهِنْم َناًر ا وَسَيْص َلْو ن َس ِعًريا‬
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami
Ubaidah, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Abdus Samad Al-Ama, telah menceritakan kepada
kami Abu Harun Al-Abdi, dari Abu Said Al-Khudri yang mengatakan bahwa kami pernah bertanya.” Wahai
Rasulullah, apa sajakah yang telah engkau lihat sewaktu engkau melakukan isra?" Nabi Saw. menjawab, "Aku
dibawa ke arah sekumpulan makhluk Allah yang jumlahnya banyak, semuanya terdiri atas kaum laki-
laki. Masing-masing dari mereka memegang sebuah pisau besar seperti yang digunakan untuk menyembelih
unta. Mereka ditugaskan untuk menyiksa sejumlah orang yang terdiri atas kaum laki-laki. Mulut seseorang
dari mereka dibedah, lalu didatangkan sebuah batu besar dari neraka, kemudian dimasukkan ke dalam mulut
seseorang di antara mereka hingga batu besar itu keluar dari bagian bawahnya, sedangkan mereka menjerit
dan menggeram (karena sakit yang sangat). Lalu aku bertanya. 'Hai Jibril. siapakah mereka? Jibril
menjawab: 'Mereka adalah orang-orang yang memakan harta anak-anak yatim secara aniaya, sebenarnya
mereka itu menelan api sepenuh perutnya, dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala
(neraka)'."
As-Saddi mengatakan bahwa di hari kiamat kelak pemakan harta anak yatim dibangkitkan, sedangkan dari
mulut dan telinganya, kedua lubang hidung dan kedua matanya keluar api; setiap orang yang melihatnya
mengetahui bahwa dia adalah pemakan harta anak yatim.
‫ٍر‬ ‫ َّد ا ِإ اُق ِإ اِه ي ِن ٍد‬:‫ِه‬
‫ُن‬‫ْب‬ ‫ُة‬ ‫َب‬ ‫ْق‬‫ُع‬ ‫ا‬‫َن‬
‫َث‬ ‫َّد‬ ‫َح‬ ،‫و‬ ‫ْم‬ ‫َع‬ ‫ُن‬‫ْب‬ ‫ُد‬‫َمْح‬‫َأ‬ ‫ا‬‫َن‬
‫َث‬ ‫َّد‬ ‫َح‬ ، ‫َق اَل َأُب و َبْك ِر اْبُن َمْر َدَو ْي َح َثَن ْس َح ْبُن ْبَر َم ْب َز ْي‬
‫ َعْن َن اِفِع ْبِن اَحْلاِر ِث َعْن َأيِب َبْر َز َة؛ َأَّن رسول اهلل‬، ‫ َح َّد َثَنا ِز َياُد ْبُن اْلُم ْن ِذ ِر‬،‫ َح َّد َثَنا ُيوُنُس ْبُن ُبَك ري‬، ‫ُمْك َر ٍم‬
،‫ َيا َرُس وَل الَّل ِه‬:‫ "ُيْبَعُث َيْو َم اْلِق َياَم ِة اْلَق ْو ُم ِم ْن ُقُبوِر ِه ْم َتَأَّج ج َأْفَو اُه ُه ْم َناًر ا" ِقيَل‬:‫صلى اهلل عليه وسلم قال‬
} ]‫ {ِإَّن اَّلِذ يَن َيْأُك ُلوَن َأْم َو اَل اْلَيَتاَم ى ُظْلًم ا [ِإَمَّنا َيْأُك ُلوَن يِف ُبُطوِهِنْم َن اًر ا‬: ‫ "َأْمَل َتَر َأَّن الَّلَه َقاَل‬: ‫َمْن ُه ْم ؟ َقاَل‬
.‫اآْل َيَة‬
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim ibnu Zaid, telah
menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Amr, telah menceritakan kepada kami Uqbah ibnu Makram, telah
menceritakan kepada kami Yunus ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Ziad ibnul Munzir, dari Nafi'
ibnul Haris, dari Abu Barzah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Dibangkitkan di hari kiamat suatu
kaum dari kuburan mereka, sedangkan dari mulut mereka keluar api yang menyala-nyala. Ketika ditanyakan,
"Wahai Rasulullah, siapakah mereka?" Beliau bersabda, "Tidakkah kamu membaca firman-Nya yang
mengatakan: 'Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim' (An-Nisa: 101. hingga
akhir ayat."
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari ibnu Makram. Ibnu Hibban mengetengahkannya di dalam kitab sahih-nya,
dari Ahmad ibnu Ali ibnul Musanna, dari Uqbah ibnu Makram.
‫ِه‬ ‫ِم ِد‬ ‫ أمحد ْب ِع اٍم‬،‫ َّد َنا َعْبُد الَّل ِه ْب جعفر‬:‫َقاَل اْب ردويه‬
‫ َح َّد َثَنا َعْب ُد الَّل ْبُن‬، ‫َح َّد َثَنا َأُبو َع ا ٍر اْلَعْب ُّي‬ ‫ُن َص‬ ‫ُن‬ ‫َح َث‬ ‫ُن َم‬
‫ َق اَل وُل الَّل ِه َّلى الَّل َل ِه‬: ‫َة َق اَل‬
‫ُه َع ْي‬ ‫َص‬ ‫َرُس‬ ‫ُه َر ْيَر‬ ‫ َعْن َأيِب‬، ‫ َعِن املقِرب ّي‬، ‫ َعْن ُعْثَم اَن ْبِن َحُمَّم ٍد‬، ‫َج ْع َف ٍر الُّز ْه ِر ُّي‬
" ‫ اْلَمْر َأِة َو اْلَيِتيِم‬: ‫ "ُأَح ِّر ُج َم اَل الَّض ِعيفنْي‬: ‫َو َس َّلَم‬
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada
kami Ahmad ibnu Isam, telah menceritakan kepada kami Abu Amir Al-Abdi telah menceritakan kepada kami
3
Abdullah ibnu Ja’far Az-Zuhri Muhammad, dari Al-Maqbari, dari abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw. pernah
bersabda: Aku enggan terhadap harta dua orang yang lemah, yaitu wanita dan anak yatim.
Makna yang dimaksud ialah 'aku berwasiat kepada kalian agar menjauhi harta kedua orang tersebut'.
Telah diketengahkan di dalam surat Al-Baqarah sebuah asar melalui jalur Ata ibnus Saib, dari Sa'id ibnu Jubair.
dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa ketika diturunkan firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang
memakan harta anak yatim secara aniaya. (An-Nisa: 10), hingga akhir ayat.

Maka berangkatlah orang-orang yang di dalam pemeliharaannya terdapat anak yatim, lalu ia memisahkan
makanannya dengan makanan anak yatimnya. begitu pula antara minumannya dengan minuman anak yatimnya.
sehingga akibatnya ada sesuatu dari makanan itu yang lebih tetapi makanan tersebut disimpan buat si anak
yatim hingga si anak yatim memakannya atau makanan menjadi basi. Maka hal tersebut terasa amat berat bagi
mereka, lalu mereka menceritakan hal tersebut kepada Rasulullah Saw. Maka Allah menurunkan firman-
Nya: Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak-anak yatim, katakanlah mengurus urusan mereka secara
patut adalah baik." (Al-Baqarah: 220), hingga akhir ayat. Maka mereka kembali mencampurkan makanan dan
minurnan mereka dengan makanan dan minurnan anak-anak yatimnya.
JANGAN TINGGALKAN GENERASI YANG LEMAH:
Islam merupakan agama yang sangat memperhatikan pembinaan generasi penerus. Salah satunya ditegaskan
oleh Allah SWT di dalam Alquran, Surat An-Nisa ayat 9.
Lemah yang dimaksudkan dalam ayat di atas menyangkut beberapa hal. “Yang utama adalah jangan sampai kita
meninggalkan generasi penerus yang lemah akidah, ibadah, ilmu, dan ekonominya, Generasi penerus atau anak
di sini, tidak hanya anak biologis, melainkan juga anak didik (murid) dan generasi muda Islam pada umumnya.”
PERTAMA: Jangan sampai meninggalkan anak yang lemah akidahnya atau imannya. “Akidah merupakan
sumber kekuatan, kenyamanan dan kebahagiaan dalam hidup. Orang yg lemah akidahnya mudah sekali terkena
virus syirik dan munafik. Hidupnya mudah terombang-ambil, tidak teguh pendirian. Ia pun bisa gampang
menggadaikan iman.” Hal ini pun dicontohkan oleh Luqmanul Hakim saat mendidik anak-anaknya (lihat Q.S
Luqman). “Yang pertama ditekankan adalah soal akidah, yakni ‘janganlah engkau mempersekutukan Allah’.
Barulah kemudian Luqman membahas hal-hal yang lain kepada anak-anaknya.”
)13( ‫َو ِإْذ َقاَل ُلْق َم اُن الْبِنِه َو ُه َو َيِعُظُه َيا ُبَّيَن اَل ُتْش ِر ْك ِبالَّلِه ِإَّن الِّش ْر َك َلُظْلٌم َعِظ يٌم‬
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya, "Hai
anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar
kezaliman yang besar.” (Q.S. Luqman {31}: 13)
KEDUA: Jangan sampai meninggalkan anak yang lemah ibadahnya. Orang yang istiqomah dalam ibadahnya,
in sya Allah akan bahagia dan punya pegangan dalam hidupnya. Ia tidak mudah terintenvensi oleh orang lain.
“Sebaliknya, orang yang lemah ibadahnya atau menyia-nyiakan ibadah, maka hidupnya tidak akan bahagia. Ia
pun mudah diintervensi orang lain.”
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫ َفِّر ُقْو ا َبْيَنُه ْم يِف‬، ‫ اْض ِر ُبْو ُه ْم َعَلْيَه ا ُه ْم َأْبَنا َعْش ِر ِس ِنَنْي‬، ‫ُم ْو ا َأْو اَل َدُك ْم ِبالَّصاَل ِة ُه ْم َأْبَنا َس ْبِع ِس ِنَنْي‬
‫َو‬ ‫ُء‬ ‫َو‬ ‫َو‬ ‫ُء‬ ‫َو‬ ‫ُر‬
‫اْلَم َض اِج ع‬
Suruhlah anak kalian shalat ketika berumur tujuh tahun! Dan pukullah mereka ketika berusia sepuluh tahun
(jika mereka meninggalkan shalat)! Dan pisahkanlah tempat tidur mereka (antara anak laki-laki dan anak
perempuan)! (H.R. Abu Daud)
KETIGA: Jangan sampai meninggalkan anak yang lemah ilmunya. “Islam sangat menekankan pentingnya
ilmu pengetahuan. Rasulullah menegaskan dalam salah satu hadisnya, ‘Tidak ada kebaikan kecuali pada dua
kelompok, yaitu orang yang mengajarkan ilmu dan orang yang mempelajari ilmu’.”

4
KEEMPAT: Jangan meninggalkan generasi yang lemah ekonominya. “Orang tua perlu menyiapkan generasi
yang kuat secara ekonomi, agar hidupnya tidak menjadi beban bagi orang lain.” Sebuah hadis yang
menceritakan seorang lelaki punya seorang anak perempuan. Karena sangat bersemangat bersedekah, ia berniat
menyedekahkan 100 persen hartanya, tapi Nabi melarangnya. Lalu, ia berniat menyedekahkan 50 persen
hartanya. Hal itu pun masih dilarang. Akhirnya ketika dia berniat menyedekahkan sepertiga hartanya, barulah
Nabi mengizinkan. “Dengan demikian, orang tua tadi tidak meninggalkan generasi yang lemah secara
ekonomi. Hadis ini pun menjadi dalil dalam pemberian wasiat, yakni harta yang diwasiatkan untuk
disedekahkan, maksimal sepertiga dari total harta warisan.”

MENCETAK GENERASI TANGGUH:


Generasi lemah dalam Al-Quran disebut dengan dzurriyyatan dhi’afa. Dalam Al-Quran dan
Tafsirnya (Departemen Agama RI, 122-123), dzurriyyatan dhi’afan berarti “keturunan yang serba
lemah”. Baik lemah fisik, mental sosial, ekonomi, ilmu, pengetahuan, spiritual dan lain-lain.
Lemah yang menyebabkan mereka tidak mampu menjalankan fungsi utama manusia, baik sebagai
khalifah maupun sebagai makhluk-Nya yang harus beribadah kepada-Nya.
Tegasnya Allah berpesan kepada generasi yang tua agar jangan sampai membiarkan generasi
penerus yang akan melanjutkan perjuangan sebagai generasi yang tak berdaya. Generasi yang
tidak mengemban fungsi dan tanggung jawabnya. Upaya pemberdayaan generasi penerus terletak
di pundak generasi sebelumnya, orang tua dan masyarakat. Lafaz yang menyinggung generasi
lemah terdapat dalam surah An-Nisa ayat 9.
Asbabun nuzul ayat ini dilatarbelakangi kisah Saad bin Abi Waqas yang hendak menyerahkan
harta untuk diinfakkan. Maka Rasulullah bersabda, “Lebih baik kamu meninggalkan ahli warismu
dalam keadaan berkecukupan daripada miskin yang meminta-minta kepada manusia.” (HR.
Bukhari dan Muslim).
Dalam Tafsir Al-Misbah, surat an-Nisa ayat 9 merupakan pedoman bagi umat Islam agar
memperhatikan kesejahteraan anak-anaknya. Ayat ini merupakan peringatan bagi pemilik harta
yang membagikan hartanya hingga anak-anaknya terbengkalai. Meski zahir ayat ini menerangkan
aspek ekonomi, tetapi sesungguhnya pesan dari ayat ini berlaku untuk seluruh aspek. Tidak
hanya peringatan agar tidak menghasilkan keturunan yang lemah dari aspek ekonomi saja.
Mia Muyasaroh dkk (2019: 91) dalam jurnal penelitiannya mengutip pendapat Imam Nawawi.
Bahwa yang dimaksud dzurriyyatan dhi’afa (keturunan yang lemah) yang perlu dicemaskan yaitu
jangan sampai meninggalkan keturunan atau generasi yang lemah dalam hal ekonomi
(menyebabkan kemiskinan), ilmu pengetahuan, keagamaan (pemahaman/penguasaan) dan
akhlaknya. Oleh karena itulah, makna lemah di sini berlaku pada banyak aspek.
Ayat ini sarat dengan sentuhan parenting. Dalam ayat ini disebutkan kehati-hatian agar tidak
meninggalkan generasi lemah. Artinya, memang kita diperintahkan untuk mencetak generasi
yang tangguh.
Meskipun ayat ini berisikan peringatan. Namun sekaligus terdapat solusi yang diberikan agar kita
semua dapat berhati-hati dan lebih fokus pada membentuk generasi tangguh. Ada dua tips yang
tertera dalam ayat tersebut. Falyattaqullah (perintah kepada orang tua agar bertakwa), dan wa
qulu qaulan sadida (perintah kepada orang tua agar berkomunikasi denhgan benar).
PERTAMA: Penanaman ketakwaan.
Diantara metode penanaman akidah anak adalah dimulai dari ketakwaan dan kesalehan orang
tuanya.Perhatikan firman Allah berikut:
‫َو َأَّما اْلِج َد اُر َفَك اَن ِلُغاَل َمْيِن َيِتيَم ْيِن ِفي اْلَم ِديَنِة َو َك اَن َتْح َتُه َك ْنٌز َلُه َم ا َو َك اَن َأُبوُه َم ا َص اِلًح ا َفَأَر اَد َر ُّبَك َأْن َيْبُلَغ ا‬
‫َأُشَّد ُهَم ا َو َيْس َتْخ ِرَج ا َك ْنَزُه َم ا َر ْح َم ًة ِم ْن َر ِّبَك‬

5
“Adapun dinding rumah (yang ditegakkan Khidir) adalah kepunyaan dua orang anak yatim di
kota itu. Di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua. Ayah kedua anak tersebut
adalah seorang yang sholeh. Maka Rabb-mu menghendaki ketika mereka sampai pada masa
kedewasaannya kemudian mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Rabbmu”. (Q.S.
Al Kahfi: 82)
Keterangan:
Ibnu Katsir menafsirkan ayat di atas dengan mengatakan, ayat tersebut adalah dalil bahwasanya
orang tua yang saleh akan dijaga keturunannya. Keberkahan ibadahnya akan mengalir kepada
mereka di dunia dan akhirat. (Tafsir Ibnu Katsir: 5/187)
Bahkan berkah dari keshalihan itu tidak hanya diperoleh anak atau cucu. Al-Qurthubi sampai
berpendapat bisa sampai jauh ke generasi setelahnya, bahkan bisa jadi kesalehan seseorang
berkat kesalihan kakek buyutnya.
Itulah mengapa di dalam surat an-Nisa ayat 9 ini memerintahkan para orang tua untuk bertakwa.
Sebab ketakwaan orang tua adalah diantara modal utama upaya mensalehkan anak, mencetak
generasi tangguh sehingga dapat terhindar dari dhurriyyatan dhi’afa.
KEDUA: Pentingnya cara berkomunikasi yang baik terhadap anak.
Pentingnya tanggung jawab setiap orang tua pada anaknya tidak hanya bersifat materi, tapi juga
immateri yang dalam konteks ayat ini dinyatakan berupa pendidikan dan pembinaan takwa.
Diantara cara mendidik yang perlu diperhatikan adalah cara berkomunikasi orang tua pada anak-
anak. Salah satu cara komunikasi yang harus diterapkan setiap orang tua adalah qaulan sadida.
Syaikh Ali ash-Shabuni dalam tafsirnya Shafwah al-Tafasir juga mengutip pendapat Imam ath-
Thabari bahwa maksud ‘Qaulan Sadidan’ ialah ucapan yang sesuai dengan kenyataan, benar dan
tidak batil. Adapun dalam tafsir Jalalain, berkaitan asbabun nuzul, bahwa maksud perkataan yang
benar (‫ديدا‬RRR‫وال س‬RRR‫ )ق‬yakni menyuruhnya bersedekah kurang dari sepertiga dan memberikan
selebihnya untuk para ahli waris hingga tidak membiarkan mereka dalam keadaan sengsara dan
menderita.
Meski ayat ini mengambarkan peruntukan qaulan sadida bagi orang tua yang hendak memberikan
wasiat agar berkata yang benar dalam berwasiat pada anak-anaknya, namun pesan komunikasi
berupa qaulan sadida ini berlaku sepanjang pendidikan orang tua terhadap anak.
Orang tua dituntut untuk selalu berkata yang benar di hadapan anak, kisah wasiat di ayat ini
menggambarkan orang tua yang menyalahi qaulan sadida, karena perkataannya menyalahi
kebenaran dan bahkan dikatakan zhalim karena hendak mensedahkan seluruh harta dan tidak
menyisakan untuk anaknya.
Saking pentingnya qaulan sadida dalam lingkungan pendidikan keluarga, sebisa mungkin setiap
orang tua agar jangan sampai berucap sesuatu yang menyalahi kebenaran. Sebab penanaman
qaulan sadida sebagai benih yang akan menghasilkan generasi yang jujur dan faqih serta tegas
membela kebenaran. Dalam sebuah hadis, sangat masyhur kita dengar, sampaikanlah kebenaran
walaupun pahit. (Lihat HR. Ahmad, 5/159).
Tidak hanya ‫( قوال سديدا‬perkataan yang benar), dalam ayat-ayat lainnya, cara komunikasi penting
lainnya yang sepatutnya ditanamkan oleh kita, termasuk orang tua antara lain ‫ا‬RRR‫وال معروف‬RRR‫ق‬
(perkataan yang baik), ‫( قوال لينا‬perkataan yang lembut), ‫( قوال كريما‬perkataan yang mulia), ‫قوال بليغا‬
(perkataan yang mengenai sasaran), dan ‫( قوال ميسورا‬perkataan yang mudah dimengerti).
Kesemua cara komunikasi ini bersifat satu kesatuan, maka hendaknya setiap orang tua selalu
bertutur kata yang benar, baik, jelas, tegas, fasih, mudah dimengerti anak dan lemah lembut di
depan anak-anaknya.
Demikian sekilas mengenai makna dzurriyyatan dhi’afa (keturunan lemah) yang telah diwanti-
wanti alquran sejak berabad-abad lamanya. Maka pendidikan pun hadir sebagai upaya preventif
dari terlahirnya generasi lemah (dzurriyyatan dhi’afa). Bahwa orang tua berkewajiban untuk
mengupayakan pembinaan ketakwaan melalui keteladanan dirinya, juga pentingnya pola asuh
yang memperhatikan cara berkomunikasi yang baik dan benar di depan anak-anak mereka.
6
Dengan upaya di atas, diharapkan akan terlahir generasi yang tangguh dalam segala aspek, baik
agama, akhlak, hingga yang sifatnya materi yang perlu mendapat perhatian orang tua
sebagaimana asbabun nuzul dalam ayat ini.

SAUDARA KU…
PESAN KU UNTUK MU, JIKA KELAK KAU TIDAK MENDAPATI KU DI DALAM SURGA ALLAH,
MAKA CARI AKU DI NERAKA ALLAH, KEMUDIAN TARIK TANGAN KU DAN AJAK AKU
MEMASUKI SURGA ALLAH. SESUNGGUHNYA TANGAN ITU TELAH MENJADI SAKSI DI
HADAPAN ALLAH, BAHWA DAHULU TANGAN ITU PERNAH IKUT ANDIL DALAM MEMBELA
AGAMA ALLAH (MELALUI TULISAN YANG BERMANFAAT).

Anda mungkin juga menyukai