Anda di halaman 1dari 7

A.

Pengertian Muflis

Dalam bahasa Arabnya disebut muflis) ‫ )المفلس‬berasal dari kata iflas (‫ )اإلفالس‬yang
menurut bahasa bermakna perubahan kondisi seseorang menjadi tidak memiliki uang sepeser
pun (atau disebut dengan istilah pailit). Dan muflis, menurut istilah syari’at digunakan untuk
dua makna. Pertama, untuk yang bersifat ukhrawi. Kedua, bersifat duniawi.

B. Hadist

Makna yang pertama telah disebutkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
bersabda :

َ‫س فِينَا َمن ل‬ ُ ‫س قَالُوا ال ُمف ِل‬ُ ‫سل َم قَا َل أَت َد ُرونَ َما ال ُمف ِل‬َ ‫علَي ِه َو‬
َ ُ‫صلى ّللا‬ َ ِ‫سو َل ّللا‬ ُ ‫عن أَبِي ُه َري َرة َ أَن َر‬ َ
‫صيَام َوزَ َكاة‬ ِ ‫صالَة َو‬ َ ِ‫س ِمن أُم ِتي يَأ ِتي يَو َم ال ِقيَا َم ِة ب‬ َ ‫ فَقَا َل إِن ال ُمف ِل‬،‫ع‬َ ‫دِره ََم لَهُ َولَ َمتَا‬
‫طى َهذَا ِمن‬ َ ‫ب َهذَا فَيُع‬ َ ‫ض َر‬ َ ‫سفَ َك دَ َم َهذَا َو‬ َ ‫ف َهذَا َوأ َ َك َل َما َل َهذَا َو‬ َ َ‫شتَ َم َهذَا َوقَذ‬َ ‫َويَأ ِتي قَد‬
َ ‫علَي ِه أ ُ ِخذَ ِمن َخ‬
‫طا َيا ُهم‬ َ ‫ضى َما‬ َ ‫سنَاتُهُ قَب َل أَن يُق‬ َ ‫سنَا ِت ِه فَإِن فَ ِن َيت َح‬َ ‫سنَا ِت ِه َو َهذَا ِمن َح‬ َ ‫َح‬
‫ رواه مسلم‬- ‫ار‬ ِ ‫ط ِر َح ِفي الن‬ ُ ‫علَي ِه ثُم‬
َ ‫ط ِر َحت‬ ُ َ‫ف‬
Dari Abu Hurairah ra berkata, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, 'Tahukah
kalian siapakah orang yang muflis (bangkrut) itu? Para sahabat menjawab, 'Orang
yang muflis (bangkrut) diantara kami adalah orang yang tidak punya dirham dan tidak
punya harta.' Rasulullah SAW bersabda, 'Orang yang muflis (bankrut) dari umatku
adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan (pahala) melaksanakan shalat,
menjalankan puasa dan menunaikan zakat, namun ia juga datang (membawa dosa)
dengan mencela si ini, menuduh si ini, memakan harta ini dan menumpahkan darah si
ini serta memukul si ini. Maka akan diberinya orang-orang tersebut dari kebaikan-
kebaikannya. Dan jika kebaikannya telah habis sebelum ia menunaikan kewajibannya,
diambillah keburukan dosa-dosa mereka, lalu dicampakkan padanya dan ia
dilemparkan ke dalam neraka. (HR. Muslim, Turmudzi & Ahmad)

Adapun makna muflis yang kedua -banyak bicarakan oleh para ahli fikih- yaitu orang
yang jumlah hutangnya melebihi jumlah harta yang ada (di tangannya). Dinamakan
demikian, karena dia menjadi orang yang hanya memiliki fulus (uang pecahan atau recehan)
setelah sebelumnya memiliki dirham dan dinar. Ini mengisyaratkan bahwa ia tidak lagi
memiliki harta selain yang paling rendah nilainya. Atau karena dia terhalang dari
membelanjakan hartanya, kecuali uang pecahan (receh) yang disebut fulus untuk
membelanjakan sesuatu yang tak berharga. Karena orang-orang dahulu tidaklah
menggunakannya, kecuali untuk membelanjakan sesuatu yang tak berharga. Atau orang yang
kondisinya berubah menjadi tidak memiliki uang sepersen pun Dan makna inilah yang
dimaksudkan oleh para sahabat dalam hadits di atas ketika mereka ditanya tentang hakikat
muflis, maka mereka mengabarkan tentang kenyataan di dunia. Sedangkan Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam ingin mengabarkan, bahwa muflis di akhirat itu lebih parah keadaannya.
Begitulah yang sampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang yang
bangkrut itu adalah orang yang intinya adalah orang yang ketika di dunia ia shalat, puasa dan
membayar zakat tetapi pernah menganiaya orang lain. Dan karena aniayanya itu semua amal
kebaikannya ketika di dunia akan habis, modal amal kebaikan yang dibawanya tidak bersisa
untuk membayar kepada orang yang dianiayanya ketika di dunia. Ketika habis semua modal
pahala itu masih juga dilimpahkan dosa dari orang-orang yang lainnya yang dianiayanya.
Yang pada akhirnya orang tersebut dimasukkan kedalam neraka. Sebuah kesusahan yang tak
berguna lagi penyesalan.

Dari hadits di atas, kita bisa simpulkan bahwa bangkrut di akhirat tidaklah sama
dengan bangkrut di dunia. Jika di dunia, bangkrut identik dengan harta, maka bangkrut di
akhirat berkaitan dengan amalan kita, entah itu kebajikan atau keburukan.

Seseorang akan dinyatakan bangkrut di akhirat jika amal kebajikannya tidak hanya
habis untuk ‘membayar’ kejahatan yang dia lakukan, namun dia harus mendapat
‘sumbangan’ amal keburukan dari orang-orang yang pernah dia aniaya/perlakukan tidak baik.

Di dunia ini, mungkin banyak orang-orang yang merasa kuat dapat membebaskan diri
mereka dari jeratan hukum akibat perbuatan dzalim mereka terhadap orang lain, baik berupa
hutang, membunuh tanpa alasan yang dibenarkan oleh Allah, mencaci maki orang lain dan
sebagainya, namun tidak demikian dengan hukum dan keadilan yang Allah tegakkan di hari
kiamat kelak, pada saat itu tidak seorang-pun yang dapat membebaskan diri dari
kesalahannya selama di dunia yang dia tak pernah bertaubat dan menyesalinya, orang yang
mereka dzalimi datang kehadapan Allah mengadukan kedzaliman orang tersebut sedang ia
bergantung dengan kepala saudaranya sambil berkata : wahai Tuhan-ku tanyakan kepada
orang ini (yang telah membunuhku) kenapa dia telah membunuhku di dunia? Dan
sebagainya, sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat kepada ummatnya
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

“Bersabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Siapa yang merasa pernah berbuat aniaya
kepada saudaranya, baik berupa kehormatan badan atau harta atau lain-lainnya, hendaknya
segera meminta halal (maaf)nya sekarang juga sebelum datang suatu hari yang tiada harta
dan dinar atau dirham, jika ia punya amal shalih, maka akan diambil menurut
penganiayaannya, dan jika tidak mempunyai hasanat (kebaikan), maka diambilkan dari
kejahatan orang yang dianiaya untuk ditanggungkan kepadanya.” (HR. Bukhari, Muslim).

Oleh karena itu, segeralah kita membebaskan diri kita dari mendzalimi orang lain,
penuhilah setiap yang mempunyai hak akan haknya, dan jangan menunggu hari hari esok
karena tidak seorangpun yang mengetahui akan keberadaannya di esok hari.

Ghibah bikin bangkrut

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa kebangkrutan bisa terjadi karena amal baik
kita habis dipakai untuk membayar dosa-dosa yang kita lakukan terhadap orang lain yang
belum sempat minta maaf dan dimaafkan. Bisa jadi seseorang yang rajin beribadah, banyak
amalnya, tapi di akhir tetap bangkrut, karena selain beribadah ia juga rajin berbuat dosa,
bukan hanya kepada Allah, tetapi juga kepada sesama manusia. Justru perbuatan salah dan
dosa kepada manusia inilah yang seringkali menyulitkan kita, karena untuk menebusnya tidak
cukup dengan bertaubat, tapi harus berhadapan langsung dengan yang bersangkutan untuk
meminta maaf. Lebih parah lagi kalau kita melakukan tindakan atau perbuatan yang tidak kita
sadari bahwa sesungguhnya perbuatan kita tersebut berdosa, seperti melakukan ghibah. Kalau
ini terus kita lakukan, sampai tiba saatnya kita meninggal dan belum sempat meminta maaf
kepada orang yang pernah kita pergunjingkan, siap-siap saja kita akan menjadi orang yang
bangkrut. Semua amal baik kita digunakan untuk membayar semua kesalahan kita kepada
orang lain, dan bahkan mungkin tidak cukup, sehingga dosa-dosa orang lain harus kita
tanggung sebagai pengganti dosa kita kepada mereka.

Dalam surat al-Hujurat, Allah melarang kita mencari-cari kesalahan sesama muslim, seperti
manusia pemakan bangkai.

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena


sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan
janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka
memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.
Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang”. (QS. Al Hujurat: 12)

Dalam ayat tersebut Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi peringatan kepada orang-orang
yang beriman, supaya mereka menjauhkan diri dari su’uzhon (prasangka buruk) terhadap
orang-orang beriman. Jika mereka mendengar sebuah kalimat yang keluar dari saudaranya
yang mukmin maka kalimat itu harus diberi tanggapan dan ditujukan kepada pengertian yang
baik, jangan sampai timbul salah paham, apalagi menyelewengkannya sehingga
menimbulkan fitnah dan prasangka. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan
penyebab wajibnya orang mukmin menjauhkan diri dari prasangka yaitu karena sebagian
prasangka itu mengandung dosa.

Mengenai definisi ghibah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Ghibah ialah engkau menceritakan saudaramu tentang sesuatu yang ia benci. “Si penanya
kembali bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu bila yang diceritakannya itu
benar ada padanya? “Rasulullah menjawab, “Kalau memang benar ada padanya, itu ghibah
namanya. Jika tidak benar engkau berbuat buhtan (dusta).” (HR.Muslim, Tirmizi, Abu Daud,
dan Ahmad).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengecam orang yang suka ghibah dan mencari-cari
kesalahan orang. Diriwayatkan oleh Abi Barzah al-Islami, sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam,

“Wahai orang-orang yang beriman dengan lidahnya, tetapi iman itu belum masuk juga dalam
hatinya, jangan sekali-kali kamu berghibah (bergunjing) terhadap kaum muslimin dan jangan
sekali-kali mencari noda atau auratnya. Karena barang siapa mencari-cari noda mereka, maka
Allah akan membalas pula dengan membuka noda-nodanya. Dan barang siapa yang diketahui
kesalahannya oleh Allah, niscaya Dia akan menodai kehormatannya dalam lingkungan
keluarganya sendiri.”

Ghibah seringkali dilakukan tanpa kita rasakan, bahkan sekarang menjadi hiburan yang
dikemas dalam tayangan-tayangan infotainment. Sebagai orang yang peduli dengan akhirat,
maka sudah seharusnya kita menjauhkan diri dan keluarga kita dengan tayangan semacam
itu. Mungkin kita berkilah bahwa kita hanya sekedar menonton, tapi secara tidak langsung
kita telah memberi andil dan paling minimal ridha dengan perbuatan ghibahnya, belum lagi
efek negatif dari gosip-gosip tersebut.

C. Beberapa hikmah yang dapat dipetik dari hadits ini :


1. Pentingnya beramal shaleh berupa ibadah kepada Allah SWT seperti shalat, puasa,
zakat maupun amaliyah ubudiyah lainnya. Karena hal tersebut merupakan amaliyah
yang mendapatkan prioritas untuk dihisab pada yaumul akhir. Hadits di atas
menggambarkan penyebutan shalat, puasa dan zakat lebih awal, daripada bentuk
amaliyah dengan sesama manusia. Dalam sebuah hadits diriwayatkan :

َ َ‫صلَ َحت فَقَد أَفلَ َح َوأَن َج َح َوإِن ف‬


َ ‫سدَت فَقَد خ‬
‫ رواه النسائي‬- ‫َاب َو َخس َِر‬ َ ‫صالَتِ ِه فَإِن‬ َ ‫ِإن أَو َل َما يُ َحا‬
َ ‫سبُ ِب ِه ال َعبد ُ ِب‬

Sesungguhnya yang pertama kali akan dihisab dari seorang hamba adalah shalatnya. Jika baik
shalatnya, maka sungguh ia beruntung dan sukses. Namun jika shalatnya fasad, maka ia akan
menyesal dan merugi. (HR. Nasa'I, Ibnu Majah & Ahmad)

2. Gambaran dan pembelarajaran Rasulullah SAW yang 'visioner' mengenai definisi (


‫ ) المفلس‬atau bangkrut terhadap para sahabatnya. Secara visi jangka pendek,
kebangkrutan adalah orang yang tidak memiliki dinar, dirham maupun harta benda
dalam kehidupannya. Dan hal inilah yang disampaikan para sahabat kepada
Rasulullah SAW ketika beliau bertanya kepada mereka mengenai kebangkrutan.
Namun Rasulullah SAW memberikan pandangan yang jauh ke depan mengenai
hakekat dari kebangkrutan, yaitu pandangan kebangkrutan yang hakiki di akhirat
kelak. Hal ini sekaligus menunjukkan, bahwa seorang mu'min harus memiliki visi
ukhrawi dalam melihat dan menjalankan kehidupan di dunia, seperti visi dalam
bekerja, berumah tangga, berinvestasi, dsb, yang selalu mendatangkan manfaat bukan
hanya di dunia, namun juga di akhirat.

َ‫ض إِن ّللاَ ل‬ ِ ‫سادَ فِي األَر‬ َ ‫َصيبَكَ ِمنَ الدُّنيَا َوأَحسِن َك َما أَح‬
َ ‫سنَ ّللاُ إِلَيكَ َولَ ت َبغِ ال َف‬ َ ‫آلخ َرة َ َو َل تَن‬
ِ ‫سن‬ َ ‫َوابتَغِ فِي َما َءاتَاكَ ّللاُ الد‬
ِ ‫ار ا‬
َ‫ي ُِحبُّ ال ُمف ِسدِين‬

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi dan berbuat
baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah
kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan. (QS. Al-Qashas : 77)
3. Hakekat ( ‫ ) المفلس‬kebangkrutan yang digambarkan oleh Rasulullah SAW. Bahwa
secara bahasa, muflis berasal dari kata ( ‫ ) إفالس‬yang artinya bangkrut, ketidak
mampuan membayar dan kegagalan. Dalam hadits ini, kebangkrutan itu bukan karena
seseorang tidak memiliki sesuatupun di dunia ini, namun orang yang bangkrut adalah
orang kelak pada hari kiamat datang menghadap Allah SWT dengan pahala shalatnya,
puasanya, zakatnya maupun pahala amal ibadahnya yang lain, namun di sisi lain ia
juga membawa dosa karena suka mencela orang lain, menuduh, memakan harta
manusia, menumpahkan darah dan memukul orang lain. Dan karena perbuatan
dosanya kepada orang lain itulah, ia dimintai pertanggung jawaban dengan cara
seluruh khazanah kebaikannya diambil untuk menutupi perbuatannya terhadap orang-
orang yang pernah dizaliminya. Bahkan seluruh khazanah kebaikannya telah ludes
habis, namun belum dapat memenuhi seluruh kedzalimannya yang dilakukan terhadap
orang lain, maka Allah SWT mengambil dosa-dosa orang yang didzaliminya tersebut
lalu dicampakkan pada dirinya. Sehingga jadilah ia orang yang muflis (bangkrut),
karena kebaikannya tidak dapat menutupi keburukannya, sehingga ia dilemparkan ke
dalam api neraka, na'udzubillah min dzalik. Padahal ia adalah ahli shalat, ahli puasa,
ahli zakat maupun ahli ibadah lainnya.

4. Pentingnya berbuat ihsan terhadap sesama insan dalam bermualah sehari-hari, bahkan
terhadap hewan sekalipun. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda :

‫ رواه‬- ‫سانَ َعلَى ُك ِل شَيء فَإِذَا قَت َلتُم فَأَح ِسنُوا ال ِقتلَةَ َوإِذَا ذَبَحتُم فَأَح ِسنُوا الذب َح َولي ُِحد أَ َحد ُ ُكم شَف َرتَهُ فَلي ُِرح‬ َ ‫ِإن ّللاَ َكت‬
َ ‫َب ا ِإلح‬
‫مسلم‬

Sesungguhnya Allah SWT menwajibkan untuk berbuat baik dalam segala hal. Maka apabila
kamu membunuh, bunuhlah dengan baik. Dan jika kamu menyembelih, maka sembelihlah
dengan baik. Dan hendaklah seorang dari kalian menajamkan pisaunya dan mengistirahatkan
hewan sembelihannya. (HR. Muslim)

Jika terhadap hewan saja, kita diperintahkan untuk berbuat ihsan semaksimal mungkin,
apatah lagi ihsan terhadap sesama manusia. Al-Qur'an dan sunnah banyak sekali
menggambarkan tentang pentingnya berbuat ihsan dalam muamalah sesama manusia, oleh
karenanya kita lihat diantaranya diharamkan menggunjing (baca; ghibah), bahkan disamakan
dengan seseorang memakan bangkai saudaranya yang telah meninggal dunia, dsb. Tidak
baiknya seseorang dalam bermuamalah terhadap sesama manusia akan mengakibatkan
kehancuran dirinya dan menjerumuskannya ke dalam api neraka, kendatipun ia seorang ahli
ibadah.

5. Pentingnya mengikhlaskan atau mengembalikan segala sesuatu kepada Allah SWT


dalam apapun juga. Karena hal yang demikian ini, akan dapat menambah khazanah
kebaikan kita di akhirat kelak. Contoh dari hal tersebut adalah 'sabar' menghadapi
celaan dan cercaan maupun tingkah negatif orang lain. Jika kita bersabar dan
mengembalikannya kepada Allah, insya Allah akan menambah khazanah amal
kebaikan kita di akhirat.
6. Memungkinkannya ditambahkan atau dikuranginya pahala dan dosa seseorang di hari
akhir kelak, dari hasil perbuatan yang dilakukan oleh manusia itu sendiri. Hadits di
atas dengan jelas menggambarkan hal tersebut (‫' ) فيعطى هذا من حسناته وهذا من حسناته‬maka
diberikanlah kebaikan-kebaikannya pada orang (yang didzaliminya tersebut).' Oleh
karena itulah, dalam kondisi apapun, kita tetap harus dapat melakukan perbuatan baik
(baca ; sunnah hasanah). Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda :

‫سن فِي‬
َ ‫ورهِم شَيء َو َمن‬ِ ‫ص ِمن أ ُ ُج‬ُ ُ‫ب َلهُ ِمث ُل أَج ِر َمن َع ِم َل ِب َها َولَ َينق‬ َ ‫سنَة فَعُ ِم َل ِب َها َبعدَهُ ُك ِت‬ ُ ‫سن ِفي ا ِإلسالَ ِم‬
َ ‫سنة َح‬ َ ‫َمن‬
‫ رواه مسلم‬- ‫ص ِمن أَوزَ ِارهِم شَيء‬ ُ ُ‫ب َعلَي ِه ِمث ُل ِوز ِر َمن َع ِم َل ِب َها َولَ َينق‬
َ ‫س ِيئ َة فَعُ ِم َل ِب َها َبعدَهُ ُك ِت‬
َ ‫سنة‬ ُ ‫ا ِإلسالَ ِم‬

Barang siapa yang dalam Islam melakukan suatu sunnah (perbuatan) yang baik kemudian
diikuti oleh orang-orang sesudahnya, maka ia mendapatkan kebaikannya dan kebaikan
(pahala) dari orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun.
Dan barang siapa yang dalam Islam melakukan satu sunnah (perbuatan) yang buruk,
kemudian diikuti oleh orang-orang sesudahnya, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa
orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurani dosa mereka sedikitpun. (HR. Muslim)

7. Indahnya metode Rasulullah SAW dalam mentaujih (baca ; memberikan nasehat) para
sahabatnya, yaitu dengan metode interaktif. Beliau memancing konsentrasi para
sahabatnya dengan tanya jawab, lalu beliau memberikan penjelasan yang tuntas dari
permasalahan yang dilemparkan ke para sahabatnya.
Daftar Pustaka

http://rikzamaulan.blogspot.com/2010/05/hakekat-kebangkrutan.html

https://muslim.or.id/29950-kebangkrutan-besar-akibat-buruknya-lisan-di-sosial-media.html

http://wahdahmakassar.org/jangan-jadi-orang-bangkrut/#ixzz2OhJW1yLN

di akses pada tanggal sabtu 6/10/2018 pukul 23:20

Anda mungkin juga menyukai