Anda di halaman 1dari 3

Kita semua telah memahami bahwa syarat sah diterimanya sebuah amalan adalah Al-Ikhlas dan Al-Ittiba.

Al-
Ikhlas yaitu memurnikan maksud dan tujuan beribadah hanya kepada Allah dan hanya untuk Allah, dan al-ittiba
yakni meneladani, mencontoh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Namun, usaha kita sebagai seorang mukmin tidak berhenti sampai di situ, tugas kita bukan sekadar
menyelesaikan sebuah amalan, karena ternyata ada tugas yang lebih berat dan tidak kalah penting dari sekadar
beramal, yaitu mempertahankan pahala amalan agar tidak terhapus sia-sia.

Karena seikhlas apapun kita beramal, sebaik apapun kita telah berusaha mencontoh Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam, tetap saja potensi terhapusnya pahala amal sangat bisa terjadi pada semua orang. Oleh
karenanya, kita harus terus mengingatkan diri kita, keluarga kita, dan kaum muslimin agar tidak sekadar puas
setelah beramal. Lebih dari itu, kita berharap agar Allah menerima amalan kita, serta kita merasa takut apabila
amalan kita tidak diterima.
Berikut ini ada beberapa perkara yang bisa mengurangi bahkan menghapus pahala amalan, yang terkadang kita
lakukan tanpa kita sadari. Perkara-perkara ini harus kita ketahui untuk dapat kita hindari.

1. Merasa ujub/bangga terhadap diri sendiri


Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
.‫ وِإْع َج اُب الَم ْر ِء ِبنفِسِه‬: ‫ وذكر منها‬، ‫َثالٌث ُم ْهِلَك اٌت‬
Artinya: “Ada tiga hal yang dapat membinasakan seseorang, di antaranya adalah merasa ujub terhadap diri
sendiri.” (hadits ini hasan)

Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Ujub itu bisa membatalkan atau
menghapus pahala amalan seorang hamba.”
Sebagai contoh, jika kita dimudahkan Allah untuk shalat tahajjud, maka jangan langsung memandang remeh
orang yang kesulitan bangun malam. Jika kita dimudahkan oleh Allah untuk bersedekah, jangan langsung
memandang remeh orang yang jarang terlihat bersedekah. Karena barangkali mereka yang kita pandang remeh
memiliki amalan tersembunyi yang mereka lakukan dengan ikhlas, yang hanya dia dan Allah yang mengetahui.
Karena pada dasarnya semua ibadah yang kita lakukan dan semua prestasi yang kita raih, semata-mata karena
taufiq, pertolongan, dan kemudahan dari Allah azza wa jalla, bukan berasal dari kehebatan kita.

2. Mendzalimi dan menyakiti kaum muslimin


‫َأَتْد ُروَن َمِن اْلُم ْفِلُس َقاُلوا اْلُم ْفِلُس ِفيَنا َم ْن اَل ِد ْر َهَم َلُه َو اَل َم َتاَع َفَقاَل ِإَّن اْلُم ْفِلَس ِم ْن‬
‫ُأَّمِتي َم ْن َيْأِتي َيْو َم اْلِقَياَم ِة ِبَص اَل ٍة َو ِص َياٍم َو َز َك اٍة َو َيْأِتي َقْد َشَتَم َهَذ ا َو َقَذ َف َهَذ ا َو َأَك َل‬
‫َم اَل َهَذ ا َو َس َفَك َد َم َهَذ ا َو َض َرَب َهَذ ا َفُيْع َطى َهَذ ا ِم ْن َح َس َناِتِه َو َهَذ ا ِم ْن َح َس َناِتِه َفِإْن‬
‫َفِنَيْت َح َس َناُتُه َقْبَل َأْن ُيْقَض ى َم ا َع َلْيِه ُأِخ َذ ِم ْن َخ َطاَياُهْم َفُطِرَح ْت َع َلْيِه ُثَّم ُطِرَح ِفي‬
‫الَّناِر‬
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bertanya kepada para sahabat, “Apakah kalian tahu siapa orang yang
bangkrut itu?”
Para sahabat menjawab, “Orang yang bangkrut itu adalah yang tidak mempunyai dirham maupun harta benda.”

Tetapi Nabi shallallahu alaihi wasallam berkata, “Orang yang bangkrut dari umatku ialah, orang yang datang
pada hari kiamat membawa (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun (ketika di dunia) dia suka mencaci maki dan
(salah) menuduh orang lain, makan harta orang lain, menumpahkan darah dan memukul orang lain (tanpa hak).
Maka orang-orang yang terdzalimi itu akan diberi pahala dari kebaikan-kebaikan pelaku dzalim. Jika telah habis
kebaikan-kebaikannya, maka dosa-dosa mereka akan ditimpakan kepadanya, kemudian dia akan dilemparkan ke
dalam neraka” (HR. Muslim).
3. Bermaksiat di kala sendiri
Dari Tsauban radhiallahu ‘anhu Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
‫َأَلْع َلَم َّن َأْقَو اًم ا ِم ْن ُأَّمِتي َيْأُتوَن َيْو َم اْلِقَياَم ِة ِبَح َس َناٍت َأْم َثاِل ِج َباِل ِتَهاَم َة ِبيًضا َفَيْج َع ُلَها‬
‫ُهَّللا َع َّز َو َج َّل َهَباًء َم ْنُثوًرا َقاَل َثْو َباُن َيا َر ُسوَل ِهَّللا ِص ْفُهْم َلَنا َج ِّلِهْم َلَنا َأْن اَل َنُك وَن‬
‫ِم ْنُهْم َو َنْح ُن اَل َنْع َلُم َقاَل َأَم ا ِإَّنُهْم ِإْخ َو اُنُك ْم َو ِم ْن ِج ْلَد ِتُك ْم َو َيْأُخ ُذ وَن ِم ْن الَّلْيِل َك َم ا‬
‫َتْأُخ ُذ وَن َو َلِكَّنُهْم َأْقَو اٌم ِإَذ ا َخ َلْو ا ِبَم َح اِرِم ِهَّللا اْنَتَهُك وَها‬
“Sungguh saya telah mengetahui bahwa ada suatu kaum dari ummatku yang datang pada hari Kiamat dengan
membawa kebaikan sebesar gunung Tihamah yang putih, lantas Allah menjadikannya sia-sia tidak tersisa
sedikitpun.”

Tsauban berkata, “Wahai Rasulullah, sebutkanlah ciri-ciri mereka kepada kami, dan jelaskanlah tentang mereka
kepada kami, supaya kami tidak menjadi seperti mereka sementara kami tidak mengetahuinya.”

Beliau bersabda, “Sesungguhnya mereka adalah saudara-saudara kalian dan dari golongan kalian, mereka shalat
malam sebagaimana kalian mengerjakannya, tetapi mereka adalah kaum yang jika menyepi (tidak ada orang lain
yang melihatnya) dengan apa-apa yang di haramkan Allah, maka mereka terus (segera) melanggarnya.” (HR
Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Al-Albani)

4. Menyebut-nyebut sedekah sampai


menyakiti hati orang yang diberi sedekah
Allah ta’ala berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 264
‫ۤا‬ ‫ۡل‬ ‫۟ا‬ ‫۟ا‬ ‫ٰۤـ‬
‫َی َأُّیَها ٱَّلِذ یَن َء اَم ُنو اَل ُتۡب ِط ُلو َص َد َقٰـ ِتُك م ِبٱ َم ِّن َو ٱَأۡلَذ ٰى َك ٱَّلِذ ی ُینِفُق َم اَل ۥُه ِرَئ َء ٱلَّناِس‬
‫َو اَل ُیۡؤ ِم ُن ِبٱِهَّلل َو ٱۡل َیۡو ِم ٱۡل َٔـاِخ ِۖر‬
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan
menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya (pamer) kepada manusia,
dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir.”

Saking pentingnya menjaga perasaan orang lain yang menerima sedekah kita, sampai-sampai Islam memberikan
keutamaan lebih bagi orang yang bersedekah secara diam-diam.

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
‫ ورجٌل تصَّد ق‬: ‫ وفيه‬،‫ فذكر الحديث‬.. ‫سبعة ُيظُّلهم هللا في ظِّله يوم ال ظَّل إال ظُّله‬
.‫ حتى ال تعلم شماُله ما ُتنفق يمينه‬،‫بصدقٍة فأخفاها‬
“Tujuh golongan manusia yang mendapatkan naungan Allah pada hari kiamat, diantaranya adalah: seseorang
yang bersedekah dan menyembunyikan sedekahnya, sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang
disedekahkan oleh tangan kanannya.” (Muttafaq ‘alaihi)

5. Meremehkan seorang mukmin yang


berdosa
Di antara perkara yang dapat mengurangi bahkan menghapus pahala amalan selanjutnya adalah meremehkan
seorang mukmin yang berdosa dengan mengatakan bahwa orang seperti fulan tidak mungkin diampuni
Allah azza wa jalla, dengan menyebut individu orang tersebut.
Dari Jundub bin Abdillah Al-Bajali, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bercerita:

‫ َم ْن َذ ا اَّلِذ ي َيَتَأَّلى َع َلَّي‬: ‫ َو ِإَّن َهَّللا َتَع اَلى َقاَل‬. ‫ َو ِهَّللا اَل َيْغ ِفُر ُهَّللا ِلُفاَل ٍن‬: ‫َر ُج اًل َقاَل‬ ‫َأَّن‬
‫ َأْو َك َم ا َقاَل‬.“ ‫ َو َأْح َبْطُت َع َم َلَك‬، ‫اَل َأْغ ِفَر ِلُفاَل ٍن ؛ َفِإِّني َقْد َغ َفْر ُت ِلُفاَل ٍن‬ ‫َأْن‬
“Pada suatu ketika ada seseorang yang berkata; ‘Demi Allah, sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni si
fulan.’ Sementara Allah berfirman: ‘Siapa yang bersumpah dengan kesombongannya atas nama-Ku bahwasanya
Aku tidak akan mengampuni si fulan? Ketahuilah, sesungguhnya Aku telah mengampuni si fulan dan telah
memutuskan amal perbuatanmu.” Kurang lebih begitulah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.”
Imam Muslim rahimahullah berkata bahwa hadits tersebut adalah larangan membuat seseorang putus asa dari
rahmat Allah azza wa jalla.
Para ulama menjelaskan tidak boleh seseorang yang merasa shalih mengatakan kepada saudaranya dengan
menyebutkan individu orang tersebut bahwa “Orang seperti fulan sudah pasti masuk neraka, orang seperti fulan
sudah tidak mungkin masuk surga, orang seperti fulan tidak mungkin diampuni oleh Allah,” atau kalimat-
kalimat yang semisal dengannya. Karena ucapan seperti ini mendahului keputusan Allah dan meremehkan
seorang muslim, serta merasa diri sudah baik, karena hal ini dapat menyebabkan terhapusnya pahala amal.

6. Menyekutukan Allah
Allah ta’ala berfirman,
‫َو َلَقْد ُأوِح َي ِإَلْيَك َو ِإَلى اَّلِذ يَن ِم ْن َقْبِلَك َلِئْن َأْش َر ْك َت َلَيْح َبَطَّن َع َم ُلَك َو َلَتُك وَنَّن ِم َن‬
‫اْلَخ اِس ِريَن‬
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: “Jika kamu berbuat
syirik, niscaya akan terhapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi” (Qs. Az
Zumar: 65).

Imam Ath-Thabari rahimahullah menafsirkan: “Maksudnya, jika engkau berbuat syirik kepada Allah wahai
Muhammad, maka akan terhapus amalanmu, dan engkau tidak akan mendapatkan pahala, juga tidak
mendapatkan balasan, kecuali balasan yang pantas bagi orang yang berbuat syirik kepada Allah” (Tafsir Ath
Thabari, 21/322).
Kesyirikan adalah pelanggaran paling fatal kepada hak Allah azza wa jalla, sehingga shallallahu alaihi
wasallam yang terjamin maksum pun terkena ancaman dalam ayat ini, apalagi kita manusia biasa yang penuh
dosa.
Barangkali kita telah terhindar dari syirik besar, namun siapa yang menjamin kita bisa mengobati syirik-syirik
kecil dari dalam hati kita. Syirik-syirik kecil yang apabila dibiarkan akan berpotensi menjadi syirik besar, wal
‘iyadzubillah.
Akhirnya, semoga Allah azza wa jalla memberikan kita taufik untuk senantiasa ikhlas dalam beramal dan
menjauhkan kita dari dari perkara-perkara yang dapat menghapus pahala amal. Aamiin.

Disampaikan pada Khutbah Jum’at, 16 Jumadil Akhir 1442 H, oleh Ustadz Hamdani Zahid, Lc di Masjid Al
Fadhl, Pesantren Islam Al-Irsyad Tengaran.

Anda mungkin juga menyukai