Anda di halaman 1dari 20

Ghibah adalah salah satu perbuatan yang tercela dan memiliki kesan negatif yang cukup besar.

Ghibah dapat mencerai-beraikan ikatan kasih sayang dan ukhwah sesama manusia. Seseorang yang berbuat ghibah bererti dia telah menebarkan kedengkian dan kejahatan dalam masyarakat. Definisi Ghibah Definisi ghibah dapat kita lihat dalam hadits Rasulullah SAW berikut ini: Ghibah ialah engkau menceritakan saudaramu tentang sesuatu yang ia benci. Si penanya kembali bertanya, Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu bila apa yang diceritakan itu benar ada padanya ? Rasulullah SAW menjawab, Kalau memang benar ada padanya, itu ghibah namanya. Jika tidak benar, berarti engkau telah berbuat buhtan (mengada-ada). (HR. Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad). definisi ghibah yaitu menceritakan tentang diri saudara kita sesuatu yang ia benci meskipun hal itu benar. Ini berarti kita menceritakan dan menyebarluaskan keburukan dan aib saudara kita kepada orang lain. Allah sangat membenci perbuatan ini dan mengibaratkan pelaku ghibah seperti seseorang yang memakan bangkai saudaranya sendiri. Allah I berfirman: Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Hujurat: 12) Bentuk-Bentuk Ghibah yang Diperbolehkan Imam Nawawi dalam kitab Syarah Shahih Muslim dan Riyadhu As-Shalihin, menyatakan bahwa ghibah hanya diperbolehkan untuk tujuan syara yaitu yang disebabkan oleh enam hal, yaitu: 1. Orang yang mazhlum (teraniaya) boleh menceritakan dan mengadukan kezaliman orang yang menzhaliminya kepada seorang penguasa atau hakim atau kepada orang yang berwenang memutuskan suatu perkara dalam rangka menuntut haknya. Hal ini dijelaskan dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 148: Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. An-Nisa : 148). Ayat ini menjelaskan bahwa orang yang teraniaya boleh menceritakan keburukan perbuatan orang yang menzhaliminya kepada seseorang yang mempunyai kekuasaan, kekuatan, dan wewenang

untuk menegakkan amar maruf nahi munkar, seperti seorang pemimpin atau hakim, dengan tujuan mengharapkan bantuan atau keadilan, maka sudah jelas boleh hukumnya. Tetapi walaupun kita boleh mengghibah orang yang menzhalimi kita, pemberian maaf atau menyembunyikan suatu keburukan adalah lebih baik. Hal ini ditegaskan pada ayat berikutnya, yaitu Surat An-Nisa ayat 149: Jika kamu menyatakan kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa. (QS. An-Nisa: 149) 2. Meminta bantuan untuk menyingkirkan kemungkaran dan agar orang yang berbuat maksiat kembali ke jalan yang benar. Pembolehan ini dalam rangka istianah (minta tolong) untuk mencegah kemungkaran dan mengembalikan orang yang bermasiat ke jalan yang haq. Selain itu, hal ini juga merupakan kewajiban manusia untuk beramar maruf nahi munkar. Setiap muslim harus saling bahu-membahu menegakkan kebenaran dan meluruskan jalan orang-orang yang menyimpang dari hukum-hukum Allah, hingga nyata garis perbedaan antara yang haq dan yang bathil. 3. Istifta (meminta fatwa) akan sesuatu hal. Walaupun kita diperbolehkan menceritakan keburukan seseorang untuk meminta fatwa, untuk lebih berhati-hati, ada baiknya kita hanya menyebutkan keburukan orang lain sesuai yang ingin kita adukan, tidak lebih. 4. Memperingatkan kaum muslimin dari beberapa kejahatan seperti: a. Apabila ada perawi, saksi, atau pengarang yang cacat sifat atau kelakuannya, menurut ijma ulama kita boleh bahkan wajib memberitahukannya kepada kaum muslimin. Hal ini dilakukan untuk memelihara kebersihan syariat. Ghibah dengan tujuan seperti ini jelas diperbolehkan, bahkan diwajibkan untuk menjaga kesucian hadits. Apalagi hadits merupakan sumber hukum kedua bagi kaum muslimin setelah Al-Quran. b. Apabila kita melihat seseorang membeli barang yang cacat atau membeli budak (untuk masa sekarang bisa dianalogikan dengan mencari seorang pembantu rumah tangga) yang pencuri, peminum, dan sejenisnya, sedangkan si pembelinya tidak mengetahui. Maka memberitahu perihal budak tersebut kepada pembelinya adalah boleh. Hal ini dilakukan untuk memberi nasihat atau mencegah kejahatan terhadap saudara kita, bukan untuk menyakiti salah satu pihak. c. Apabila kita melihat seorang penuntut ilmu agama belajar kepada seseorang yang fasik atau ahli bidah dan kita khawatir terhadap bahaya yang akan menimpanya. Maka kita wajib menasehati dengan cara menjelaskan sifat dan keadaan guru tersebut dengan tujuan untuk kebaikan semata. 5. Menceritakan kepada khalayak tentang seseorang yang berbuat fasik atau bidah seperti, minumminuman keras, menyita harta orang secara paksa, memungut pajak liar atau perkara-perkara bathil lainnya. Ketika menceritakan keburukan itu kita tidak boleh menambah-nambahinya dan sepanjang niat kita dalam melakukan hal itu hanya untuk kebaikan agar menghindari pergaulan dengan orang tersebut. Karena bergaul dengan orang fasik atau pun ahli bidah dapat membahayakan agama kita. 6. Bila seseorang telah dikenal dengan julukan si pincang, si pendek, si bisu, si buta, atau sebagainya, maka kita boleh memanggilnya dengan julukan di atas agar orang lain langsung mengerti. Tetapi jika tujuannya untuk menghina, maka haram hukumnya. Jika ia mempunyai nama lain yang lebih baik, maka lebih baik memanggilnya dengan nama lain tersebut.

Ghibah Bismillahirrohmaanirrohiim. Assalamualaikum warohmatullohi wabarokatuh Alhamdulillahirobbil alamin. Allohumma sholli ala Muhammad, waalaa alihi washhbihi ajmaiin. Amiin.

Marilah kita sama-sama luruskan niat kita terlebih dahulu, bahwa kita berkumpul di majelis ini semata-mata dalam rangka mengharapkan ridho-Nya. Baiklah, disini saya ingin berbagi pengalaman seputar masalah Ghibah (mengumpat/ngrasani/backbiting). Terkadang kitaberpikira bahwa kita sudah berusaha membebaskan diri dari makanan haram, seperti daging babi, alcohol dll. Tapi sungguh kadang dengan ringannya kita seolah sedang memakan daging bangkai saudara kita sendiri!!!! berapa daging bangkai?, 2 atau 1kah 3 dalam sehari????? Astaghfirullohaladziem. Kenapa? Marilah kita simak firman Alloh dalam QS Al Hujurot ayat 12, yang artinya sebagai berikut: Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka , karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang . (QS Al-Hujurat:12)

Demikianlah .Alloh mengumpamakan antara menggunjing (ghibah) dengan orang yang memakan daging bangkai saudaranya sendiri.

Lalu Apakah ghibah itu ?

Sesuai apa yang diterangkan Nabi SAW: pada Hadits Riwayat Muslim, Abu Daud : Nabi SAW bersabda : "Tahukah kamu apa ghibah itu ? Jawab sahabat : Allahu warasuluhu a'lam (Allah dan Rasulullah yang lebih tahu).

Kemudian Nabi SAW bersabda: Menceritakan hal saudaramu yang ia tidak suka diceritakan pada orang lain. Lalu Sahabat bertanya: Bagaimana jika memang benar sedemikian keadaan saudaraku itu ?

Jawab Nabi SAW : "Jika benar yang kau ceritakan itu, maka itulah ghibah, tetapi jika tidak benar ceritamu itu, maka itu disebut buhtan (tuduhan palsu, fitnah) dan itu lebih besar dosanya".

Dalam kitab al adzkar , Imam AnNawawy memberikan definisi : 'Ghibah, adalah menyebutkan hal-hal yang tidak disukai orang lain, baik berkaitan kondisi badan, agama, dunia, jiwa, perawakan, akhlak, harta, istri, pembantu, gaya ekspresi rasa senang, rasa duka dan sebainya, baik dengan kata-kata yang gamblang, isyarat maupun kode. Di era sekarang ini, meng-ghibah (bukan hibah loh) dapat dilakukan dengan tulisan, sms, email, bahkan lewat bahasa tubuh-pun bisa. Adapun kalau sekedar membathin, belum bisa disebut ghibah, meskipun hal ini juga termasuk prasangka. Dalam QS Al Hujurat ayat 12 tadi disebutkan bahwa ber-prasangka pun kita sebaiknya berhati-hati, karena sebagian dari prasangka adalah dosa. Dalam hal ini adalah prasangka yang buruk (suu dzon). Sebaliknya kita dianjurkan untuk selalu berkhusnudzon atau prasangka yang baik. Ghibah dikatakan mempunyai dosa ganda. Karena selain kita harus memohon ampun kepada Alloh, dan alloh maha pengampun atas dosa-dosa kita. Namun, kita juga harus meminta maaf kepada orang kita gunjing tersebut, ini yang terkadang menjadi sulit bagi diri kita. Apalagi jika yang kita gunjing jumlahnya banyak sekali, naudzubillahi min dzaalik. Dalam Sebuah hadit dari abu hurairoh, nabi Muhammad SAW bersabda :

Whoever has wronged his brother with regard to wealth or honor, should ask for his pardon (before his death), before he pays for it (in the Hereafter) when he will have neither a Dinar nor a Dirham. (He should secure pardon in this life) before some of his good deeds are taken and paid to this (his brother), or (if he has no good deeds) some of the bad deeds of this (his brother) are taken to be loaded on him. (Reported by Al-Bukhari and Muslim) Maaf ya textnya masih asli dalam bahasa inggristapi kurang lebihnya maksudnya begini: barangsiapa bersalah kepada saudaranya maka kita harus minta maaf kepada dia sebelum meninggal, karena jika tidak, maka amal kita akan dilimpahkan kepadanya, atau jika kita tak memiliki amal, maka amal buruk dia akan dilimpahkan kepada kita, Naudzubillahimindzaalik.

Lalu, Apakah ghibah haram 100 persen? Untuk beberapa kondisi, kita diperbolehkan untuk ber-ghibah, yaitu: 1. Orang yang mazhlum (teraniaya) boleh menceritakan dan mengadukan kezaliman orang yang menzhaliminya kepada seorang penguasa atau hakim atau kepada orang yang berwenang memutuskan suatu perkara dalam rangka menuntut haknya.

2. Meminta bantuan untuk menyingkirkan kemungkaran dan agar orang yang berbuat maksiat kembali ke jalan yang benar. Pembolehan ini dalam rangka isti'anah (minta tolong) untuk mencegah kemungkaran dan mengembalikan orang yang bermaksiat ke jalan yang hak. Selain itu ini juga merupakan kewajiban manusia untuk ber-amar ma'ruf nahi munkar. Setiap muslim harus saling bantu membantu menegakkan kebenaran dan meluruskan jalan orang-orang yang menyimpang dari hukum-hukum Allah, hingga nyata garis perbedaan antara yang haq dan yang bathil.

3. Istifta' (meminta fatwa) akan sesuatu hal. Walaupun kita diperbolehkan menceritakan keburukan seseorang untuk meminta fatwa, untuk lebih berhati-hati, ada baiknya kita hanya menyebutkan keburukan orang lain sesuai yang ingin kita adukan, tidak lebih. 4. Memperingatkan kaum muslimin dari beberapa kejahatan contohnya: Apabila kita melihat seorang penuntut ilmu agama belajar kepada seseorang yang fasik atau ahli bid'ah dan kita khawatir terhadap bahaya yang akan menimpanya. Maka kita wajib menasehati dengan cara menjelaskan sifat dan keadaan guru tersebut dengan tujuan untuk kebaikan semata. 5. Menceritakan kepada khalayak tentang seseorang yang berbuat fasik atau bid'ah seperti, minum-minuman keras, menyita harta orang secara paksa, memungut pajak liar atau perkaraperkara bathil lainnya. Ketika menceritakan keburukan itu kita tidak boleh menambahnambahinya dan sepanjang niat kita dalam melakukan hal itu hanya untuk kebaikan

6. Bila seseorang telah dikenal dengan julukan si pincang, si pendek, si bisu, si buta, atau sebagainya, maka kita boleh memanggilnya dengan julukan di atas agar orang lain langsung

mengerti. Tetapi jika tujuannya untuk menghina, maka haram hukumnya. Jika ia mempunyai nama lain yang lebih baik, maka lebih baik memanggilnya dengan nama lain tersebut.

Mungkin itu aja dulu ya. Marilah kita berdoa dan berusaha agar lebihdapat menjaga lidah dan hati kita, amiiin.

Sering kita mendengar celotehan sebagian orang jika dia menyaksikan seseorang membantah/menyingkap kesesatan kelompok-kelompok/dai-dai yang menyelisihi alQuran dan Sunnah serta manhaj salaf (ahli sunnah wal jamaah), dia mengatakan (entah dimimbar-mimbar jumat atau dimajlis-majlisnya) : Jagalah lisanmu, janganlah engkau mengghibah (ngrasani) saudaramu sendiri sesama muslim, bukankah Allah berfirman : Janganlah sebagian kamu menghibah (menggunjing) sebagian yang lain sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?. (QS. Al-Hujurat : 12). Apakah benar celotehan mereka ini??? Mari kita simak bersama sebagian ucapanucapan emas para ulama ahlus sunnah dalam masalah ini. Selamat menikmati -semoga Allah menampakkan yang benar itu benar dan memberi kita kekuatan untuk mengikutinya dan semoga Allah menampakkan yang batil itu batil serta memberi kita kekuatan untuk menjauhinya- : 1. Imam Nawawi v (salah seorang ulama madzhab Syafii yang meninggal tahun 676 H) mengatakan dalam kitabnya Riyadhus Shalihin bab penjelasan ghibah yang dibolehkan : Ketahuilah bahwa ghibah dibolehkan untuk tujuan yang benar dan disyariatkan, yang tidak mungkin tujuan itu tercapai kecuali dengan ghibah tersebut. Hal ini ada dalam enam perkara : a. Mengajukan kedzaliman orang lain. Dibolehkan bagi orang yang didzalimi untuk mengajukan yang mendzaliminya kepada penguasa atau hakim dan selain keduanya dari orang-orang yang memiliki kekuasaan atau kemampuan untuk mengadili sidzalim itu. Orang yang didzalimi itu boleh mengatakan si fulan itu telah mendzalimi/menganiaya diriku. b. Meminta pertolongan untuk merubah kemungkaran dan mengembalikan orang yang berbuat dosa kepada kebenaran. Seseorang boleh mengatakan kepada yang memiliki kekuatan yang ia harapkan bisa merubah kemungkaran: si fulan itu berbuat kejahatan

ini dan itu, maka nasehati dia/dan larang dia berbuat jahat. Maksud ghibah disini adalah merubah kemungkaran/kejahatan, jika tidak bermaksud seperti ini maka ghibah tersebut haram. c. Meminta fatwa. Orang itu mengatakan kepada sang pemberi fatwa : ayahku atau saudaraku atau suamiku telah mendzalimi diriku, apakah hal ini boleh? Bagaimana jalan keluarnya? dll. Ghibah seperti ini boleh karena suatu kebutuhan/tujuan (yang syari-pent). Tapi yang lebih utama tidak disebutkan (personnya/namanya) semisal: Bagaimana pendapat Syaikh tentang seorang suami atau ayah yang begini dan begitu? Hal ini juga bisa dilakukan dan dapat mencapai tujuan yang diinginkan meskipun tanpa menyebut nama/personnya. Tapi menyebutkan nama/personnya dalam hal ini hukumnya boleh seperti yang akan disebutkan dalam hasits Hindun -insya Allahd. Memperingatkan kaum Muslimin dari bahaya kesesatan (seseorang/kelompok-pent) dan sekaligus dalam rangka saling menasehati. Yang demikian itu mencakup beberapa hal: - Mencela para perawi-perawi (hadits) atau para saksi yang tidak memenuhi syarat. Hal ini dibolehkan secara ijma kaum muslimin bahkan bisa jadi hal tersebut wajib hukumnya. - Meminta pendapat/musyawarah orang lain dalam hal menikahi seseorang atau bergaul dengannya atau meninggalkannya atau dalam hal bermuamalah dengannya dll. Maka wajib bagi yang diajak bermusyawarah untuk tidak menyembunyikan sesuatupun tentang keadaan orang tersebut bahkan dia harus menyebutkan semua kejelekannya dengan niat saling menasehati. - Apabila seseorang melihat penuntut ilmu sering berkunjung kepada ahli bidah (dai penyesat-pent) atau fasik untuk mengambil ilmu darinya dan dia khawatir si penuntut ilmu itu akan terkena racun kesesatan orang tersebut maka wajib baginya untuk menasehati si penuntut ilmu dengan menjelaskan hakekat (kesesatan) sang guru/dai penyesat itu dengan syarat tujuannya untuk menasehati. Dalam hal ini ada sebagian orang yang salah mempraktekkannya, dia tujuannya bukan untuk menasehati tapi karena hasad/dengki dengan orang yang ditahdzir (dighibahi itu), yang telah dihiasi oleh syaitan seolah-olah dia menasehati tapi hakekatnya dia hasad dan dengki. - Seseorang yang memiliki tanggung jawab/tugas tapi dia tidak menjalankannya dengan baik atau dia itu fasik dan lalai dll. Maka boleh bagi yang mengetahuinya untuk menyebutkan keadaan orang tersebut kepada atasannya agar memecatnya dan

menggantinya dengan yang lebih baik atau agar hanya diketahui keadaannya saja lalu diambil tindakan hingga atasannya tidak tertipu dengannya atau agar atasannya tersebut menasehatinya kepada kebaikan e. Menyebutkan aib orang yang menampakkan kefasikan dan bidahnya seperti orang yang bangga meminum khomer, menganiaya orang lain, merampas harta dan melakukan halhal yang batil. Boleh bagi orang yang mengetahui keadaan orang diatas untuk menyebutkan aib-aibnya (agar orang lain berhati-hati darinya-pent) f. Mengenalkan orang lain dengan menyebut gelar (laqob) nya yang sudah terkenal misalnya Al-Amasy (yang cacat matanya), Al-Araj (yang pincang), Al-Ashom (yang tuli) dan selainnya. Boleh mengenalkan dengan julukan-julukan diatas tapi tidak untuk mencela/mengejeknya dan seandainya mengenalkan tanpa menyebutkan julukanjulukan tersebut ini lebih baik. Inilah keenam perkara yang disebutkan oleh para ulama (dalam membolehkan ghibahpent) kebanyakannya telah disepakati dan dalil-dalil keenam perkara tersebut ada dalam hadits-hadits shohih yang sudah masyhur/terkenal, diantaranya: R Dari Aisyah x beliau berkata : Bahwa ada seorang yang meminta ijin untuk (menemui) Nabi r, maka beliau mengatakan : Ijinkanlah dia, dia adalah sejelek-jeleknya kerabat. (HR. Bukhari 6054 dan Muslim 2591). Imam Bukhari berdalil dengan hadits ini dalam membolehkan ghibah terhadap para perusak (penyesat) R Dan dari beliau juga x bahwa Rasulullah r pernah bersabda : Aku kira fulan dan fulan itu tidak mengetahui sesuatupun dari agama kita (HR. Bukhari 6067). Laits bin Saad (salah seorang perawi hadits ini) mengatakan : dua orang tersebut termasuk orang-orang munafik. R Dari Fatimah binti Qois x dia berkata : Aku pernah mendatangi Nabi r lalu aku berkata : Sesungguhnya Abu Jahm dan Muawiyah telah melamarku? Maka Rasulullah r mengatakan : Adapun Muawiyah dia itu miskin tidak punya harta dan adapun Abu Jahm maka dia itu tidak pernah menaruh tongkat dari pundaknya. (HR. Muslim 1480).

Didalam riwayat Muslim yang lain disebutkan: Adapun Abu Jahm maka dia sering memukul perempuan ini adalah penjelasan atas ucapan beliau (dia itu tidak pernah menaruh tongkat dari pundaknya). Ada juga yang menjelaskan bahwa maksudnya adalah sering berpergian jauh/safar. R Dari Aisyah x beliau berkata : Hindun (istri Abu Sufyan) berkata kepada Nabi r : Sesungguhnya Abu Sufyan seorang lelaki yang bakhil dia tidak memberiku dan anak-anakku nafkah yang cukup melainkan jika aku mengambil uangnya tanpa sepengetahuannya? Maka beliau bersabda : Ambillah apa yang mencukupimu dan anak-anakmu dengan cara yang baik (HR. Bukhari 5359 dan Muslim 1714) 2. Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin -Rahimahullah- mengatakan dalam Syarah Riyadhus Shalihin 4/99-101 ketika menjelaskan ucapan Imam Nawawi diatas : Imam Nawawi v menyebutkan dalam bab ini hal-hal yang dibolehkan ghibah didalamnya yaitu ada enam perkara. Ucapan beliau ini sangat baik sekali, semuanya benar dan baik kemudian beliau menjelaskan hadits pertama yang dibawakan oleh Imam Nawawi v : Sabda Nabi r : (ijinkanlah dia, dia itu sejelek-jeleknya kerabat) orang tersebut memang perusak dan penyesat. Maka hal ini menjelaskan bolehnya mengghibah para penyesat umat agar manusia lari dari kesesatannya dan agar mereka tidak tertipu. Jika anda mengetahui ada seseorang yang sesat (dan menyesatkan) tapi dia memiliki keistimewaan gaya bahasa dan retorika dalam menyampaikan (ceramah) serta menarik manusia hingga mereka tidak sadar sudah terjerumus kedalam jaring-jaring kesesatan maka wajib bagimu untuk menjelaskan hakekat orang yang sesat tersebut dan sebutkan kejelekannya (saja) agar manusia tidak tertipu dengannya. Berapa banyak para daidai/penceramah-penceramah yang sangat indah dan fasih bahasanya, jika anda melihatnya anda akan terpesona dan jika dia berbicara anda akan dengan seksama mendengarkannya akan tetapi dia itu hakekatnya (penyesat umat). Maka yang wajib adalah menyingkap hakekat dan kedoknya. 3. Imam Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah yang terkenal dengan sebutan Ibnu Abi Zamanain v (meninggal tahun 399 H) berkata : Senantiasa ahlus sunnah mencela ahlul ahwa/bidah yang menyesatkan (umat), mereka melarang bermajlis dengan ahli bidah, mengkhawatirkan fitnah mereka serta

menjelaskan balasan mereka. Ahlussunnah tidak menganggap hal tersebut sebagai suatu ghibah. (Ushulus Sunnah oleh Ibnu Abi Zamanain hal. 293) Sungguh ahlus sunnah telah sepakat dari dahulu maupun sekarang dalam menyikapi ahli bidah (para penyesat umat-pent). Yang demikian itu dengan mencela dan memperingatkan umat akan bahaya mereka serta memboikot dan melarang bermajlis dengan mereka dalam rangka membendung bahaya dan fitnah para ahli bidah tersebut. Ahlu sunnah menganggap bahwa menyingkap kedok mereka bukanlah ghibah yang haram. Para ulama telah mengecualikan 6 perkara dari ghibah yang diharamkan, seperti yang dikatakan dalam bait-bait ini:
Mencela bukan termasuk ghibah dalam 6 perkara Orang yang terdholimi, yang memperkenalkan, yang memperingatkan Orang yang terang-terangan berbuat kefasikan, orang yang meminta fatwa Dan orang yang meminta bantuan untuk memberantas kemungkaran (Keenam hal ini sama dengan

apa yang dijelaskan oleh Imam Nawawi diatas. Ijma ulama ala hajr wat tahdzir min ahlil ahwa oleh Kholid bin Dhohawi hal. 121) 4. Imam Ahmad v (Imam Ahlu sunnah) mengatakan : Tidak ada istilah ghibah untuk (membantah) ahli bidah (Thobaqoh Al-Hanabilah 2/274) 5. Imam Ibnu Rajab Al-Hambali v mengatakan dalam kitab Syarh ilal At-Tirmidzi 1/43-44 : (Imam Abu Isa (At-Tirmidzi) v berkata: Sebagian orang yang tidak paham akan (agama ini) mencela para ahli hadits dalam ucapan mereka tentang perawi-perawi hadits. Sungguh kita telah mendapati banyak dari para Imam dari kalangan tabiin membicarakan (menggunjing/mencela) para perowi diantara mereka adalah Hasan AlBashri & Thowus mereka berdua mencela Mabad al-Juhani, Said bin Jubeir membicarakan Tholq bin Habib, Ibrahim an-Nakhoi dan Amir asy-Syabi membicarakan a l-Harits al-Awar. Demikian pula yang diriwayatkan dari Ayyub as-Sakhtiyani, Abdullah bin Aun, Sulaiman at-Taimi, Syubah bin Hajjaj, Sufyan ats-Tsauri, Malik bin Anas, al-Auzai, Abdullah bin Mubarak, Yahya bin Said al-Qoththon, Waki bin Jarrah, Abdurrohman bin

Mahdi dan selain mereka dari para ahli ilmu, mereka semua pernah membicarakan para perawi-perawi dan mendhoifkannya. Tidaklah yang mendorong mereka dalam hal ini (membicarakan/menghibah para perawi) melainkan untuk menasehati kaum muslimin, tidak mungkin mereka hanya ingin mencela dan menghibah saja, akan tetapi mereka ingin menjelaskan kelemahan para perawi tersebut agar diketahui kaum muslimin, karena sebagian perawi yang lemah tersebut adalah ahli bidah, sebagian lagi tertuduh memalsukan hadits dan sebagian lagi ada yang banyak kesalahannya. Maka para imam-imam tersebut ingin menjelaskan hakekat mereka (para perawi) dengan sebenarnya, dalam rangka menjaga agama ini dan menjelaskan hakekat sebenarnya. Karena persaksian dalam agama (tentang hadits-pent) lebih utama untuk diteliti dari pada persaksian dalam masalah hak pribadi dan harta. Ibnu Rajab berkata: Disini Imam Tirmidzi ingin menjelaskan bahwa membicarakan/mengunjing para perowi (Jarh wa Tadil) itu boleh. Hal ini telah disepakati oleh para salaf/pendahulu umat ini dan para imam-imam mereka. Demikian itu untuk membedakan mana perowi/hadits yang bisa diterima dan mana yang tidak. Sebagian orang yang tidak memiliki ilmu mengira itu adalah ghibah (yang diharamkan), padahal tidak demikian, sebab membicarakan aib seseorang jika ada maslahatnya meskipun pribadi- dibolehkan (dalam agama) tanpa ada perselisihan lagi seperti mencela para saksi yang dusta, maka kalau maslahatnya umum untuk muslimin ini lebih dibolehkan lagi 6. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah v berkata dalam majmu fatawa 28/225-232 : Menyebut manusia dengan apa-apa yang mereka benci ada dua macam : 1. Menyebut jenis (golongan), setiap golongan yang dicela Allah dan Rasul-Nya maka wajib untuk mencela mereka, hal ini bukan termasuk ghibah. 2. Menyebut perorangan baik yang masih hidup atau yang telah meninggal dunia. Boleh menyebutkan kejelekan orang tersebut dalam beberapa keadaan, diantaranya: dalam rangka menasehati kaum muslimin tentang agama dan dunia mereka. Menasehati umat dalam kemaslahatan agama yang khusus dan umum adalah suatu kewajiban. Seperti menjelaskan perowi hadits yang salah atau berdusta sebagaimana yang dikatakan oleh Yahya bin Said serta Al-AuzaI tentang seseorang yang tertuduh (memalsukan) hadits dan dia tidak hafal, maka mereka mengatakan: jelaskan hakekat dan jati dirinya!. Pernah seseorang berkata kepada Imam Ahmad v : Aku merasa berat jika mengatakan

si fulan itu demikian dan demikian (dari kesesatannya-pent). Maka Imam Ahmad mengatakan: jika engkau diam dan akupun juga diam maka kapan orang bodoh/awam tahu mana yang benar dan mana yang salah!!! Seperti imam-imam ahli bidah yang memiliki pendapat-pendapat yang menyelisihi alQuran dan Sunnah atau beribadah tapi menyelisihi al-Quran dan Sunnah maka mereka ini wajib (menurut ijma kaum muslimin) dijelaskan kesesatannya dan diperingatkan umat dari bahayanya. Sampai-sampai pernah ditanyakan kepada Imam Ahmad v : Ada seseorang yang puasa, sholat, Itikaf dan ada orang lain yang membantah ahli bidah, manakah yang lebih anda sukai? Beliau menjawab : apabila orang itu sholat, itikaf maka hal itu manfaatnya untuk dia sendiri tapi apabila dia membantah ahli bidah maka manfaatnya bagi kaum muslimin dan inilah yang lebih afdhol/lebih utama. Beliau menjelaskan bahwa manfaatnya lebih luas bagi kaum muslimin di dalam agama mereka, yang hal tersebut termasuk jihad fi sabilillah. Menjernihkan jalan Allah, agama, manhaj serta syariat-Nya dari kesesatan dan permusuhan mereka (ahli bidah) merupakan suatu kewajiban yang kifayah menurut kesepakatan kaum muslimin Seandainya tidak ada yang menolak/membantah bahaya (bidah) nya mereka maka akan rusaklah agama ini. Dan kerusakan yang ditumbuhkan nya (bidah) lebih dahsyat daripada penjajahan. Karena mereka (para penjajah) jika merusak tidaklah merusak hati pertama kali tapi mereka (ahli bidah) pertama kali yang dilakukan adalah merusak hati 7. Imam Hasan Al-Bashri v mengatakan : Tidak ada istilah ghibah dalam membantah ahli bidah. Beliau mengatakan : Tiga golongan manusia yang tidak ada larangan dalam mengghibah mereka, salah satunya adalah ahli bidah yang extrim dalam bidahnya. Beliau juga pernah berkata: tidak ada istilah ghibah dalam mencela pelaku bidah dan orang fasik yang menampakkan kefasikannya. (ucapan-ucapan ini diriwayatkan oleh Al-LalikaI dalam Syarh Ushul Itiqod Ahlis Sunnah 1/140) 8. Ibrahim An-Nakhoi v mengatakan : Tidak ada ghibah dalam membantah ahli bidah (lihat Sunan Darimi 1/120) 9. Sufyan bin Uyainah v berkata : Pengekor hawa nafsu dalam agama ini tidak ada larangan dalam mengghibahnya (lihat Mukhtashor Hujjah oleh Nashr Al-Maqdisy hal.538)

10. Abu Hamid Al-Ghozali setelah membahas masalah ghibah dalam kitabnya Ihya Ulumuddin beliau berkata : Ketahuilah bahwa ghibah itu dibolehkan selama untuk tujuan yang disyariatkan yang tidak mungkin sampai kepadanya kecuali dengan ghibah tersebut, maka tidak ada dosa didalamnya. Hal tersebut ada pada 6 keadaan. (Ihya Ulumuddin 3/152) Dari ucapan para ulama salaf ahli sunnah diatas telah jelas bagi kita akan bolehnya mengghibah para penyesat umat dengan tujuan menjelaskan/menyikap hakekat kesesatan mereka kepada umat ini. Bahkan bisa jadi hal tersebut wajib, tapi perlu diketahui bahwa mengghibah ahli bidah itu dibolehkan dengan syarat-syarat berikut ini : 1. Ikhlas karena Allah dan tujuan dari mencela/membantah ahli bidah adalah menasehati kaum muslimin dan memperingatkan mereka akan bahaya bidah mereka. Selain untuk tujuan ini maka ghibah itu diharamkan, seperti karena permusuhan pribadi, hasad terhadap ahli bidah dll 2. Pelaku bidah tersebut menyebarkan bidahnya. Jika pelaku bidah tersebut menyembunyikan/tidak menyebarkan bidahnya maka tidak boleh mengghibahnya. Karena mengghibah pelaku bidah (penyesat umat) tujuannya untuk amar maruf nahi mungkar dan hal ini tidak bisa dilakukan kecuali kalau bidahnya itu ditampakkan/disebarkan ditengah masyarakat 3. Ahli bidah tersebut masih hidup dan belum meninggal. Jika orang tersebut (penyesat umat) sudah meninggal dunia maka tidak boleh mengghibahnya, kecuali jika dia memiliki buku-buku (tulisan-tulisan) dan pengikut yang memuat dan menyebarkan bidahnya maka wajib untuk memperingatkan umat darinya. 4. Bersikap adil dalam membantah ahli bidah, menjelaskan kesesatan/kebidahannya tanpa berdusta/tanpa mengada-ada. (Lihat Mauqif ahlis sunnah wal jamaah min ahlil ahwa wal bidah oleh DR. Ibrahim Ar-Ruhaily 2/506-509) Sumber : Majalah adz-Dzakhiirah

baitijannati Gosip yang berasal dari bahasa inggris dari kata gossip artinya gunjing, kabar angin, buah mulut. Jadi bentuk kata kerjanya Ngegosip yang berarti menggunjing, atau menyebarkan kabar angin. Yakni suatu aktivitas menyebarkan atau menceritakan sesuatu yang ada pada diri seseorang (biasanya sesuatu yang jelek/rahasia) kepada orang lain, ketika seseorang tadi itu tidak ada dalam forum yang sama.

Dan ternyata sejak berabad-abad yang lalu pun Rosulullah telah mengatakan ada aktivitas semacam ngeghosip ini yang namanya ghibah. Rosulullah saw bersabda:

Tahukah kalian apakah ghibah itu?, para sahabat menjawab, Allah dan RasulNya yang lebih tahu Lalu beliau melanjutkan Yaitu kamu menyebut saudaramu dengan hal-hal yang ia tidak suka untuk disebut lalu seseorang bertanya Bagaimana pendapatmu bila apa yang aku katakan itu ada pada diri saudaraku yang aku ceritakan? Beliau menjawab Bila apa yang kamu ceritakan itu ada pada diri saudaramu, maka kamu telah melakukan ghibah terhadapnya. Dan bila apa yang kamu katakan itu tidak ada pada diri saudaramu, berarti kamu telah mengada-ada tentangnya (menfitnahnya) (H.R Muslim] Dan kalau kita lihat ghibah ini banyak macemnya, yaitu: Ghibah tentang jasad seseorang, Ghibah tentang nasab seseorang , Ghibah tentang menganggap rendah pekerjaan seseorang (padahal halal dan dia tetap orang yang beriman), Ghibah tentang akhlaq seseorang, Ghibah tentang hal-hal yang terkait dengan persoalan agama seseorang, dan Ghibah berkaitan dengan yang dipakai seseorang Hukum Ghibah Dalam Islam Allah berfirman: Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (Q.S Al Israa[17]:36) Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. (malaikan Raqib dan Atid) (Q.S Qaaf[50]:18)
Lebih spesifik lagi Allah Berfirman dalam Surat yang lain:

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (Q.S Al Hujuraat[49]: 12)

Rasulullah SAW bersabda: Ketika saya di Mirajkan saya telah melihat suatu kaum yang berkuku tembaga digunakan untuk mencakar muka dan dada mereka sendiri, maka saya bertanya kepada Jibril: Siapakah mereka itu? Jawabnya: Mereka yang makan daging orang dan mencela kehormatan orang (yakni Ghibah) (H.R Abu Dawud dari Anas ra.) Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata yang baik atau (kalau tidak) hendaklah ia diam (Mutafaqalaih) Orang yang bermuka dua, yang mengadu domba orang lain Dari Abu Hurairah, ia berkata: Nabi SAW berkata: Kelak dihari kiamat, disisi Allah, Engkau akan mendapati orang yang bermuka dua diantara orang-orang yang berbuat keji itu, yang mendatangi satu golongan orang dengan satu wajah dan mendatangi satu golongan yang lainnya dengan wajah yang lain pula(HR Muslim dan Abu Dawud) Dari beberapa dalil diatas jadi jelaslah bahwa aktivitas ghibah secara umum dilarang dalam Islam, dan hukumnya adalah Haram. Hal ini kita ketahui dari adanya celaan dan Ancaman Allah terhadap pelaku ghibah tersebut. Begitu juga halnya ketika kita hanya sebagai pendengar setia saja. Karena diamnya kita disitu berarti kita juga setuju dan mendukung akan aktivitas ghibah tersebut. Yang harus kita lakukan ketika kita tahu bahwasannya ghibah itu haram, seharusnya kita mengingatkan saudara kita yang sedang khilaf tersebut dan bukannnya malah nimbrung dan bikin suasana tambah panas . Rasulullah bersabda: Barang siapa mencegah ghibah yang menyinggung kehormatan saudaranya, maka Allah akan membebaskannya dari neraka (H.R Imam Ahmad) Barang siapa mencegah ghibah yang dilakukan oleh saudaranya, maka Allah akan mencegahnya dari neraka pada hari kiamat (H.R At Tirmidzi) Dan kalau memang Orang yang kita peringati tersebut tidak mau menerima, maka jangan segansegan untuk meninggalkan forum tersebut. Allah SWT berfirman: Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan

menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu). (Q.S Al Anam[6]: 68) Ghibah Yang di Perbolehkan Meskipun Ghibah itu haram, namun ada pengkhususan. Ada beberapa ghibah yang diperbolehkan, antara lain: <![if !supportLists]> <![endif]>Minta pertolongan untuk mengubah kemungkaran dengan cara menceritakan kepada seseorang yang dirasa mampu merubahnya agar jadi kebenaran. Misalkan, Ada seorang anak yang terkena narkoba, maka kita boleh menceritakan kepada orang tua anak tersebut agar bisa memberhentikan pemakaian narkobanya. <![if !supportLists]> <![endif]>Orang yang didzalimi boleh menceritakan kepada Seorang Hakim tentang kedzaliman seseorang tersebut, bisa juga tentang pengkhianatan atau uang suap yang dilakukan orang tersebut. <![if !supportLists]> <![endif]>Cerita kepada Mufti (ahli hukum) untuk meminta fatwa. Misalkan seorang istri yang menceritakan suaminya yang super bakhil sampai menelantarkan keluarganya, maka sang istri tersebut mengambil harta suaminya secara diam-diam. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Hindun binti Utbah yang berkata kepada Rasulullah SAW: Sesungguhnya Abu Sofyan adalah seseorang yang kikir, dan tidak memberi cukup belanja untukku dan anak-anakku kecuali jika saya mengambil diluar tahunya. Jawab Nabi saw: Ambillah secukupmu dan anak-anakmu dengan tidak berlebihan (sederhana) (H.R Bukhari Muslim) <![if !supportLists]> <![endif]>Memperingatkan kaum muslimin dari kejahatan seseorang, soalnya dikhawatirka akan menimpa kaum muslimin. Misalkan kita tahu bahwasannya Laknatullah Bush, Howard, Blair itu ternyata seorang Musuh Islam sejati. So kita bisa menjelaskan kepada umat tentang kejelakan dan konspiransi yang mereka ciptakan terhadap kaum muslimim. <![if !supportLists]> Tidak berdosa kalau kita menceritakan seseorang yang terang-terangan berbuat fasik/dosa. Sistem Sekarang Berperan dan Mendukung Program Ayo Nggosip!

Kita bisa melihat tayangan-tayangan TV Indonesia dan majalah-majalah yang ada, gosip saat ini sudah dijadikan lahan komersiel. Cek and ricek, Kiss, belum lagi majalah Nyata, Bintang, X-File dll. Sehingga saat ini ngomongin orang sudah menjadi hal yang biasa. Meski sepertinya masalah gosip ini hal yang remeh, tapi ini bener-bener menjadi contoh nyata bagi kita betapa peraturan yang diberlakukan kepada masyarakat dengan negara sebagai penjamin terlaksananya peraturan tadi itu sangatlah berperan penting dalam mendidik masyarakat menjadi model masyarakat yang gimana. Bagaimana Seharusnya Kaum Muslimin? Sebagaimana disebutkan dalam banyak Nash, harusnya kaum muslimin itu saling membantu dan saling berkasih sayang. Bukannya saling membuka Aib dan saling mencaci maki. Kaum muslimin tidak boleh cuek dan egois, dia harus punya empati dengan saudaranya yang lain: Barang siapa yang bangun dipagi hari dan ia hanya memikirkan masalah dunianya, maka orang tersebut tidak berguna apa-apa disisi Allah, dan barang siapa yang tidak memperhatikan urusan kaum muslimin, maka ia tidaklah termasuk golongan mereka (kaum muslimin) (HR Thabari dan Abu Dzar Al Ghiffari) Kaum muslimin harus menghormati hak orang lain dan tidak menyakiti hatinya, Demi Allah tidak beriman. Demi Allah tidak beriman. Demi Allah tidak beriman. Seseorang bertanya, Siapa lagi Rosulullah? Rasulullah menjawab: Orang yang tetangganya merasa terganggu dengan ulahnya (HR Bukhari, Muslim dan Ahmad) Orang muslim itu bersaudara, dia akan mencintai saudaranya seperti dirinya sendiri, Orang muslim itu saudara muslim lainnya, tidak mendzaliminya dan tidak membiarkannya. Dan barang siapa yang mencukupi kebutuhan saudaranya maka Allah akan mencukupkan kebutuhannya pula, dan barang siapa yang meringankan beban kesedihan orang muslim maka Allah akan meringankan beban kesedihannya dihari kiamat. Dan barang siapa menutupi (aib) seorang muslim maka Allah akan menutupinya (aibnya) kelak pada hari kiamat (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, An-Nasay dan At-Tirmidzi) At Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shahih.

Orang Muslim itu saling tolong menolong, Orang mukmin itu bagi orang mukmin lainnya seperti sebuah bangunan yang saling memperkokoh lainnya Kemudian Rasulullah mengenyamkan jari jemarinya (HR Bukhari dan At Tirmidzi) Reference: Buku penjelasan Hadits, Adabun Nabi karya Abdul Qadir Ahmad Atha

hibah (Mengumpat) Apakah ghibah atau mengumpat ? Iaitu mengucapkan perkataan (atau dengan gerak badan, mata, tulisan dan sebagainya) sesuatu yang tidak disukai pada diri orang lain. Tidak kira samada yang tidak disenangi itu ada pada tubuh badannya, gerak lakunya, agamanya dan sebagainya. Menurut Imam al-Ghazali, definasi ini adalah yang telah diijmakan oleh kaum muslimin (tiada seorang pun membangkang). Maksudnya, mereka bersepakat mengatakan bahawa inilah dia definasi ghibah. Ghibah, dalam bahasa Melayu kita disebut mengumpat. Iaitu menceritakan keburukan orang lain di belakangnya. Hukum Ghibah (Mengumpat) Umat Islam seluruhnya juga telah ijma mengatakan bahawa hukum ghibah adalah haram. Namun Imam Al-Ghazali telah menggariskan beberapa jenis Ghibah yang dibenarkan dalam Islam. Atas alasan-alasan syarak ia diperbolehkan. Apakah alasan syarak itu. Iaitu mahu mencapai satu-satu tujuan yang benar menurut pertimbangan syarak, di mana jika tidak melalui cara itu tujuan itu tak mungkin akan tercapai. Walaubagaimanapun, jika ada cara lain seboleh-bolehnya gunakan cara berkenaan. Elakkan ghibah Untuk membela diri. Adalah dibenarkan jika: a) atas tujuan yang dibenarkan oleh syarak b) Jika tiada jalan lain melainkan dengan membuka aib orang lain. Contohnya, saudara telah dituduh mencuri, sedangkan saudara tahu siapa yang mencuri. Saudara terpaksa mempertahankan diri dengan berkata benar. Ini biasa berlaku di mahkamah. Mahkamah terpaksa membuka aib mereka yang terbabit untuk tujuan yang dibenarkan oleh syarak, iaitu membuktikan benar atau salahnya orang yang dituduh (mencari penjenayah). Di bawah ini saya senaraikan enam tempat yang dibenarkan Ghibah.

Pertama: Mahu mengadu kepada qadhi, polis, imam, ketua kampung dsbnya kerana teraniaya. Ketika mengadu tidak boleh tidak kita terpaksa membuka kezaliman yang telah dilakukan terhadap kita. Dengan membuka keburukan orang berkenaan, barulah pengadilan dapat dilaksanakan. Kedua: Mahu mencegah kemungkaran dan kemaksiatan yang berlaku. Keburukan pelaku maksiat itu boleh diceritakan kepada seseorang yang dapat diharapkan boleh menghindarkan kemungkaran itu. Seperti kita melihat sebahagian anak-anak muda di kawasan kita membawa perempuan ajnabi balik ke rumahnya (berkhalwat).Kita hendaklah mencari seseorang yang boleh diharapkan dapat menghalang perkara berkenaan. Kita dibenarkan menceritakan perihal anak-anak muda itu kepadanya. Ketiga: Meminta fatwa dari alim-ulamak. Contohnya dalam masalah rumahtangga, jika si suami melakukan sesuatu yang tidak baik kepada isterinya (contoh: tidak beri nafkah), dia boleh mengadu hal kepada ulamak/mufti meminta fatwa. Suami saya tidak memberi saya nafkah selama sekian lama. Apa hukumnya dia melakukan demikian. Apakah yang harus saya lakukan? Keempat: Memberi peringatan (agar berhati-hati) dan nasihat kepada kaum muslimin tentang kejahatan seseorang. Bahkan jika dapat memberi mudarat kepada seseorang, wajib kita jelaskan keburukannya. Contoh, apabila seseorang datang kepada kita meminta nasihat tentang perkahwinan anak perempuannya. Apakah wajar dikahwinkan dengan si fulan? Sedangkan kita tahu bahawa si fulan itu adalah seorang yang buruk akhlaknya dan lemah agamanya. Jika memadai dengan kata JANGAN, hendaklah kita mengatakan begitu sahaja. Jika dirasakan tidak cukup, wajiblah kita membuka aibnya. Kelima: Mencela orang yang secara terang-terangan melakukan kefasikan, bidah dan kezaliman. Contoh, seorang yang secara terang-terangan meminum arak, atau berjudi, atau melaksanakan projek-projek batil. Yang dibenarkan hanyalah menyebutkan kemaksiatan yang dilakukan secara terang-terangan itu sahaja. Dan diharamkan menyebutkan aib-aib lain. Keenam: Untuk mengenalkan seseorang. Jika seseorang itu memang dikenali dengan julukkan si tempang, si buta dan sebagainya, boleh saudara menyebutkan jolokkan itu dengan niat mengenalkan. Haram jika dengan niat mencemuh. Walaubagaimanapun selagi boleh mengelakkan menyebut julukkan itu, elakkan.. Dalil: Firman Allah Taala: Allah tidak suka kepada perkataan yang tidak baik diperdengarkan, kecuali dari orang-orang yang teraniaya (al-Nisaa, ayat 148)

Hadis: Aisyah r.a. berkata: Seseorang datang minta izin kepada nabi s.a.w. (masuk ke rumah). Lalu nabi s.a.w. bersabda: Izinkanlah. Dia adalah sejahat-jahat orang di kalangan kaumnya. (riwayat Bukhari & Muslim) Hadis: Aisyah r.a. berkata: Hindun binti Uthbah (isteri Abu Sufian) berkata kepada nabi s.a.w.: Sesungguhnya Abu Sufian seorang yang kedekut dan tidak memberi cukup belanja kepada ku dan anak-anakku, kecuali kalau saya ambil di luar pengetahuannya. Nabi s.a.w. menjawab: Ambillah secukupmu dan ank-anakmu dengan sederhana. (Riwayat Bukhari & Muslim) Hadis: Fatimah binti Qais berkata: Saya datang kepada Nabi s.a.w. bertanya tentang dua orang yang meminang saya, iaitu Abu Jahm dan Muawiyah. Maka Nabi s.a.w. bersabda: Adapun Muawiyah, dia adalah seorang yang miskin, manakala Abu Jahm, dia adalah seorang yang suka memukul isteri. (Riwayat Bukhari & Muslim) Hadis di atas menunjukkan bahawa Nabi s.a.w. ada menceritakan keburukan orang lain untuk mencapai maksud yang dibenarkan oleh syarak. Dan tiada pilihan lain melainkan memberitahu aib orang berkenaan. Wallahualam.. Rujukan: Untuk mengetahui lebih lanjut dan terprinci lagi mengenai ghibah sila rujuk al-Ihya Ulumuddin al-Ghazali & al-Azkar Imam al-Nawawi. Untuk mereka yang tidak dapat membaca kitab asalnya yang berbahasa Arab, bolehlah dapatkan terjemahan kedua-duanya.

Anda mungkin juga menyukai