Anda di halaman 1dari 6

Islam mengatur dengan sempurna hubungan manusia.

Baik itu hubungan secara vertikal (Manusia


dengan Penciptanya), maupun secara horizontal (Manusia dengan sesamanya). Beberapa prinsip
dalam hubungan manusia dengan sesama manusia adalah :
1. Senantiasa berprasangka baik (Husnuzhan) dan menghindari prasangka buruk (su’uzhan);
2. Murah senyum dan menyebarkan salam;
3. Tidak mengumpat dan mencela lewat lisan maupun bahasa tubuh (QS. Al-Humazah : 1);
4. Saat bertiga, tidak boleh dua orang berbisik-bisik tanpa melibatkan yang satunya.
5. Tidak membicarakan keburukan orang lain (ghibah)
Di antara dalil yang berkaitan dengan bab haramnya ghibah adalah:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya:
“Tahukah kamu apa itu ghibah?” Sahabat menjawab: “Allaah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.”
Beliau bersabda: “Kamu menyebut-nyebut saudaramu dengan sesuatu yang dia benci.” Beliau
ditanya: “Bagaimana kalau memang saudaraku melakukan apa yang kukatakan?” Beliau menjawab:
“Kalau dia memang melakukan seperti apa yang kamu katakan, berarti kamu telah meng-ghibah-
inya. Sebaliknya, kalau dia tidak melakukan apa yang kamu katakan, maka kamu telah
memfitnahnya.” (HR. Muslim)
Lalu, apakah ada ghibah yang diperbolehkan ?
Ketika membahas bab ghibah yang diperbolehkan, Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:
“Ketahuilah bahwa ghibah terkadang dibolehkan apabila mempunyai tujuan yang dibenarkan oleh
syari’at, yakni sesuatu yang tidak dapat dicapai selain dengan cara ghibah tersebut. Ada 6 sebab
yang membolehkan ghibah :
1. Pengaduan kezhaliman. Seorang yang dizhalimi boleh mengadukan perkaranya kepada penguasa,
hakim, atau pihak lain yang berwenang. Dengan begitu, mungkin ia dapat menyadarkan orang yang
menzhaliminya dengan berkata: “Fulan telah menzhalimiku karena hal ini …”
2. Meminta pertolongan untuk mengubah kemungkaran guna mengembalikan orang yang
bermaksiat kepada kebenaran.
3. Meminta fatwa kepada orang yang bisa memberikan fatwa.
4. Mengingatkan orang-orang Islam untuk mewaspadai kejahatan dan menasihati mereka.
5. Seseorang yang melakukan kejahatan/dosa secara terang-terangan.
6. Untuk keperluan identifikasi (pengenalan).
KITAB RIYADHUSH SHALIHIN, Penjelasan Tentang Ghibah yang
Diperbolehkan
KITAB RIYADHUSH SHALIHIN, Penjelasan Tentang Ghibah yang Diperbolehkan.

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim..


Assalamu'alaikum wa Rahmatullaah wa Barakaatuh..

Innal hamdalillaah nahmaduhu wanasta'iinuhu wanastaghfiruhu wana'uzdubillaahi minsyururi anfusinaa


wasayyaati 'amaalinaa mayyahdihillaah falaa mudhillalah wamayyudlil falaa hadiyalah

Asyhadu alaa ilaha illallaah wa asyhadu anna muhammadan 'abduhu warasuuluh laa nabiyya ba'da

Yaa ayyuhal ladziina aamanu taqullaah haqqoo tuqootih walaa tamuutunna illaa wa antum muslimuun.

Yaa ayyuhan naasuttaquu robbakumul ladzii kholaqokum min nafsi wa hidah wa kholaqo minhaa
dzaujahaa wa batstsa minhumaa rijaala katsiiran wanisaa a wattaqullaah alladzii tasaa aluunabih wal
arhaama innallaaha kaana 'alaikum roqiibaa

Yaa ayyuha lladziina aamanut taqullaah waquuluu qaula sadiida yushlih lakum a'maalakum wa yaghfir
lakum dzunuubakum wamayyuti 'illaah wa rasuulahuu waqod faaza fauzaa 'adzhiima.

Fa inna ashdaqol hadiitsi kitaabullaah wa khairal hadi hadi muhammadin shallallaahu 'alaihi wasallam
wasyarril umuuri muhdatsaa tuhaa wakulla muhdatsa tin bid'ah wakulla bid'atin dholaalah wakulla
dholaalatin fiinnar.

Berikut, Pembahasan Singkat KITAB RIYADHUS SHALIHIN

256. Bab Ghibah yang Diperbolehkan.

Perlu diketahui, ghibah hanya diperbolehkan dalam tujuan yang dibenarkan secara syar'i, dimana tujuan
tersebut tidak bisa dicapai tanpa ghibah. Ada enam sebab yang membolehkan ghibah secara syar'i:

Pertama:

Mengadukan perlakuan zalim. Orang teraniaya boleh mengadukan perlakuan zalim kepada sultan,
hakim, atau pihak lain yang punya  kekuasaan atau kemampuan untuk bertindak adil pada pihak yang
berbuat zalim, misalkan dengan mengatakan, "Si fulan menzalimi saya dengan tindakan ini dan itu."

Kedua:
Ghibah digunakan untuk mengubah kemungkaran dan mengembalikan ahli maksiat kepada jalan yang
benar, misalkan berkata kepada pihak yang kekuasaannya diharapkan bisa menghilangkan
kemungkaran, "Si fulan berbuat begini dan begitu, tolong cegahlah dia," atau semisalnya dengan tujuan
untuk menghilangkan kemungkaran. Jika tidak dimaksudkan untuk menghilangkan kemungkaran maka
hukumnya haram.

Ketiga:

Bertanya, misalkan bertanya kepada mufti, "Ayah, saudara saya, suami saya, atau si fulan menzalimi
saya dengan tindakan ini dan itu. Bolehkah dia melakukan hal itu? Bagaimana caranya agar saya bisa
terlepas dari dia, agar saya mendapatkan hak saya kembali, dan menangkal kezalimannya?" atau, kata-
kata yang serupa lainnya. Ghibah semacam ini diperbolehkan karena diperlukan. Namun begitu, lebih
hati-hati dan lebih baiknya mengatakan demikian, "Bagaimana pendapat Anda terkait seseorang atau
seorang suami yang begini dan begitu?" Dengan cara ini maksudnya tercapai tanpa menyebut orang
tertentu. Meski demikian, menyebut orang secara tertentu hukumnya boleh, seperti yang akan disebutkan
dalam hadits Hindun, in syaa Alloh.

Keempat:

Mengingatkan kaum muslimin dari suatu keburukan atau menasehati mereka melalui beberapa sisi;

Mengkritik para perawi atau saksi yang harus dikritik. Ini boleh berdasarkan ijmak kaum muslimin, bahkan
wajib jika diperlukan.

Bermusyawarah untuk menikahkan seseorang, melibatkan seseorang untuk suatu urusan, menitipkan
sesuatu atau bermuamalah dengan seseorang. Orang yang dimintai pendapat tidak boleh menutup-
nutupi kondisi orang yang dimaksud, bahkan harus menyebutkan segala keburukannya dengan niat
memberikan nasihat.

Ketika seseorang melihat seorang murid sering menemui ahli bid'ah atau berguru pada orang fasik, dan
ia khawatir jika si murid terkena bahayanya, ia harus menasihati si murid dan menjelaskan kondisi
gurunya, dengan syarat berniat memberikan nasihat. Dan sisi inilah yang kadang disalahgunakan.
Kadang orang menyampaikan hal tersebut karena dorongan dengki. Ditambah lagi setan membuat samar
hal itu padanya, dan membuatnya terbayang seakan-akan yang ia sampaikan adalah nasihat. Hal
semacam ini perlu diperhatikan dengan baik.

Seseorang yang memiliki kekuasaan namun tidak ia jalankan secara semestinya, mungkin karena tidak
layak menjabat kekuasaan tersebut, atau mungkin pula yang bersangkutan fasik atau lalai. Kondisi ini
harus disampaikan kepada pemimpin tertinggi untuk mencopot orang tersebut, dan menunjuk orang yang
layak, atau seseorang mengetahui kondisi si pemimpin yang tidak layak atau fasik tersebut, agar
pemimpin tertinggi memperlakukannya sesuai kondisinya, tidak terpedaya, dan berusaha untuk
mendorongnya berlaku istiqomah, atau meminta agar diganti dengan yang lain.

Kelima:
Seseorang menampakkan kefasikan atau bid'ah, seperti meminum khamar secara terang-terangan,
merampas harta milik orang lain, memungut pajak, memungut harta orang lain secara semena-mena,
dan membawahi urusan-urusan bathil. Kefasikan orang seperti ini boleh diberitahukan kepada khalayak,
namun haram hukumnya menyebutkan aib-aib lainnya selain kefasikan yang ia perlihatkan secara
terang-terangan (jelas), kecuali jika ada faktor lain yang membolehkan untuk menyebut aib-aib lainnya
seperti yang telah disebutkan sebelumnya.

Keenam:

Untuk memperkenalkan. Jika seseorang dikenal dengan suatu julukan, seperti Al-A'masy (orang yang
kabur penglihatannya), Al-A'raj (pincang), Al-Asham (tuli), Al-Ahwal (juling), dan lainnya, mereka boleh
diperkenalkan dengan julukan-julukan tersebut. Namun tidak boleh menyebut julukan-julukan ini dengan
maksud menghina. Ada baiknya jika pengenalan dilakukan dengan julukan lain.

Demikian enam sebab yang disebutkan ulama, dan sebagian besar di antaranya disepakati. Dalil-dalilnya
adalah hadits-hadits shahih dan masyhur. Sebagian ulama menyatukan sebab-sebab ini dalam bait syair
berikut:

Celaan bukanlah ghibah dalam enam (hal); Mengadukan kezaliman, memperkenalkan, mengingatkan.
Orang yang menampakkan kefasikan dengan jelas, orang yang bertanya, dan orang yang meminta
bantuan untuk menghilangkan kemungkaran.

Diantara hadits-hadits tersebut:

1/1531.
Dari 'Aisyah radhiyallahu'anha, seseorang meminta izin kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam lalu
beliau berkata, "Izinkan dia masuk, dia adalah seburuk-buruk anggota kabilah."
(Muttafaq 'alaih).
[Shahih: Al-Bukhari (6054), dan Muslim (2591)].

Penjelasan:

Hadits ini dijadikan dalil oleh Al-Bukhari terkait bolehnya menggunjing orang-orang yang berbuat
kerusakan dan mencurigakan. Ada yang mengatakan bahwa orang dalam riwayat ini adalah Uyainah bin
Hishn. Yang lain menyebut Makhramah bin Naufal.

2/1532.
Dari ('Aisyah), ia berkata, "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, 'Aku yakin si fulan dan fulan
sama sekali tidak mengetahui agama kita sedikitpun'."
(HR. Al-Bukhari).
[Shahih: Al-Bukhari, 6067].

Penjelasan:
Al-Bukhari berkata, "Laits bin Sa'ad, salah satu perawi hadits ini, berkata, 'Kedua orang tersebut
termasuk golongan orang-orang munafik'."

Ada yang mengatakan, Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam menyampaikan hal itu untuk menjelaskan
kemunafikan yang disembunyikan oleh kedua orang tersebut, agar penampilan luar keduanya tidak
mengelabuhi orang yang tidak mengetahui urusan mereka berdua.

3/1533.
Dari Fathimah binti Qais radhiyallahu'anha, ia berkata, "Aku mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam
lalu aku berkata, 'Abu Jahm dan Mu'awiyah meminangku.' Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam
kemudian bersabda, 'Adapun Mu'awiyah, dia miskin, tidak punya harta, sementara Abu Jahm, dia tidak
pernah meletakkan tongkat dari pundaknya."
(Muttafaq 'alaih).
[Shahih: Muslim (1480), Al-Bukhari tidak mengeluarkan hadits ini].

Penjelasan:

Riwayat Muslim menyebutkan; "Adapun Abu Jahm, ia suka memukul wanita." Ini menafsirkan riwayat,
"Dia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya." Pendapat lain mengatakan, artinya ia sering
bepergian.
Pensyarah mengatakan, makna pertama lebih tepat, karena riwayat-riwayat saling menafsirkan satu
sama lain, meski tidak menutup kemungkinan untuk disatukan.

4/1534.
Dari Zaid bin Arqam radhiyallahu'anhu, ia berkata, "Kami pergi bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wasallam dalam suatu perjalanan saat orang-orang tertimpa kesulitan, lalu Abdullah bin Ubai berkata,
'Janganlah kamu bersedekah kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada di sisi Rasulullah sampai mereka
bubar (meninggalkan Rasulullah)' Ia juga berkata, 'Sungguh, jika kita kembali ke Madinah (kembali dari
perang Bani Musthalik), pastilah orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah dari sana.' Aku
kemudian menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dan memberitahukan hal itu kepada beliau.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam kemudian menemui Abdullah bin Ubay, lalu ia bersumpah dengan
sungguh-sungguh bahwa ia tidak mengatakan seperti itu. Mereka kemudian berkata, 'Zaid telah berdusta
kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam'. Karena kata-kata mereka ini, sesuatu yang berat
menimpa diri saya, hingga Allah menurunkan kepada Nabi-Nya pembenaran kata-kata saya; Apabila
orang-orang munafik datang kepadamu (Muhammad)' Setelah itu Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam
memanggil mereka untuk memintakan ampunan bagi mereka, mereka lantas membuang muka'."
(Muttafaq 'alaih).
[Shahih: Al-Bukhari (3900), Muslim (2772)].

Penjelasan:

Perkataan Zaid, "Lalu ia bersumpah dengan sungguh-sungguh," yaitu ia bersumpah dan menegaskan
sumpahnya dengan mengulang-ulangnya.

5/1535.
Dari 'Aisyah radhiyallahu'anha, ia berkata, "Hindun, istri Abu Sufyan, berkata kepada Nabi Shallallahu
'alaihi wasallam, 'Abu Sufyan itu orang pelit, ia tidak memberikan kecukupan nafkah padaku dan anakku,
kecuali yang aku ambil darinya tanpa sepengetahuannya.' Beliau Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
'Ambillah apa yang mencukupimu dan anakmu dengan cara yang patut'."
(Muttafaq 'alaih).
[Shahih: Al-Bukhari (5359), Muslim (1714)].

Penjelasan:

Dalam hadits ini, Asy-Syuhh artinya kikir disertai tamak.


Hadits ini menunjukkan, boleh menyebut-nyebut seseorang dengan sesuatu yang tidak ia sukai dengan
maksud untuk meminta fatwa, mengadu, dan semacamnya. Dan boleh mendengar kata-kata wanita
asing (bukan mahram) di hadapan hukum dan fatwa.
Hadits ini menunjukkan, wajib menafkahi istri. Nafkah istri di ukur berdasarkan kecukupan.
Juga menunjukkan, hal-hal yang tidak ditentukkan dalam syari'at mengacu pada kebiasaan.

Allahu a’lam..
Wassalamu’alaikum wa Rahmatullaah wa barakaatuh..

Anda mungkin juga menyukai