Anda di halaman 1dari 10

Makalah Mata Pelajaran Fiqih

BUGHAT (PEMBERONTAKAN)

Disusun oleh:
Zahwa Nabilah Pasya
XI IPS 1/32

KEMENTERIAN AGAMA KOTA SURABAYA


MADRASAH ALIYAH NEGERI KOTA SURABAYA
2022
BAB III
BUGHAT (PEMBERONTAKAN)

1.1 Pengertian

Secara etimologi, kata bughat berasal dari bahasa Arab ‫ َبَغى‬yang memiliki arti yang
sama dengan kata ‫ َظَلَم‬yaitu berlaku zalim, menindas. Pendapat lain menyebutkan bahwa
kata bughat berasal dari kata yang berarti menginginkan sesuatu. Sebagaimana dalam
firman Allah SWT surat Al-Kahfi ayat 64:
]١٨:٦٤[ ‫َقاَل َٰذ ِلَك َم ا ُكَّنا َنْبِغ ۚ َفاْر َتَّد ا َع َلٰى آَثاِرِهَم ا َقَص ًصا‬
“Musa berkata: Itulah (tempat) yang kita cari.” (QS. Al-Kahfi: 64 Dalam ‘urf, kata al-
baghyu diartikan meminta sesuatu yang tidak halal atau melanggar hak

Adapun "Bughat" dalam pengertian syara' adalah orang-orang yang menentang atau
memberontak pemimpin Islam yang terpilih secara sah. Tindakan yang dilakukan Bughat
bisa berupa memisahkan diri dari pemerintahan yang sah, membangkang perintah
pemimpin, atau menolak berbagai kewajiban yang di bebankan kepada mereka.
Seorang baru bisa dikategorikan sebagai Bughat dan dikenai had Bughat jika
beberapa kriteria ini melekat pada diri mereka :
a. Memiliki kekuatan, baik berupa pengikut maupun senjata.
b. Memeiliki takwil (alas an) atas tindakan mereka keluar dari kepemimpinan imam
atau tindakan mereka menolak kewajiban.
c. Memiliki pengikut setia kepada mereka.
d. Memiliki iman yang ditaati.

1.2 Dasar Hukum Bughat

Menurut Imam Syafi'I hukuman bagi pelaku tindak pidana Bughat adalah diperangi
namun memeranginya harus dengan cara cara yang baik dengan tetap menjaga hak-hak
mereka jika kelompok Bughat seorang Muslim, namun jika mereka seorang kafir tanpa
ada ampun.
Bughat tidak dihukumi kafir sehingga kepada para pelaku bughat wajib diupayakan
agar mereka kembali taat kepada imam. Usaha mengajak mereka kembali taat dilakukan
dengan cara bertahap, yaitu dari cara yang paling ringan hingga diperangi.

1.3 Dalil Al-Qur’an


Dalil Bughat pada Al-Qu’an disebutkan dalam QS. Al-A’raf ayat 33 :
ِّ‫ْز لَ نُ يْ مَ لِ هَ ماّٰ لِ بالْ شِ ُر ْك واُ تْ نَ اَ ِّحقَ وْ ل اَ ْبَغيِ َبْغ يِ رْ لَ مَ واْ ثِ ْم َنهاَ َو ماَ َبَطنَ واِ ْالَ رَ َفوِاَح شَ ماَ َظهْ ل‬
‫َي اِّ بَ مَ رَّ رَ ماَ حْ لِ َّانُ قُ ْم َو نَ لْ عَ تْ واَ عَىلِ ّٰه لالَ ما َالُ لُ ْقوَ تْ نَ اٰ ًطناَّ وْ لِ ٖب هُ س‬
Artinya : Katakanlah (Muhammad), “Tuhanku hanya mengharamkan segala perbuatan
keji yang terlihat dan yang tersembunyi, perbuatan dosa, perbuatan zalim tanpa alasan
yang benar, dan (mengharamkan) kamu mempersekutukan Allah dengan sesuatu,
sedangkan Dia tidak menurunkan alasan untuk itu, dan (mengharamkan) kamu
membicarakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui.

Adapun dalil yang disebutkan dalam QS. Al-Maidah ayat 54 :


‫ةَ عَىلَّ زِ عَ اُ ْم ِؤ ِم ْنَينْ لٍ ةَ عَىل اَّ لِ ذَ اۙ ٗٓ هَ نْ وُّ بِ حُ يُّ ُبْهمَ وِ حُّ يِ َبْقٍو مِ تىُ ّٰه لالْ أَ ْس َو فَ يَ فْ مَ ْع نِ ْد ِيٖن هُ كَّ دِ ْم نَ ت‬
‫ُۗا‬
‫ْرَّ يَ ُم ْنواَ ْم نٰ اِ ْذ َينَّ لَ ها اُّ يٰٓ َياَ ُو ّٰه لالَ وِاٌسعَ ِع ْلٌيمَّ َيۤش ءْ ُضلِ ّٰه لالُ ْيِؤ ْتِيهَ ْم نَ فٰۗ ِذ َلكَ ةۤ َإِلىٍ مْ َو مَ لْ َو نُ فَ خاُ ي‬
‫َجِاُهْد َو نِ ْفيَ ِس ْبِيلِ ّٰه لالَ وَالَ يٰ ِك فِ ْر َۖي نْ ل ا‬
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Barangsiapa di antara kamu yang murtad
(keluar) dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, Dia
mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah lembut terhadap
orang-orang yang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang
berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.
Itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah
Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.”

Dalam sebuah hadits dinyatakan :


‫ السمع والطاعة على المرء المسلم فيما احب او كرها مالم يؤمرو بمعصية فال‬:‫ قال‬.‫م‬.‫ عن النبى ص‬.‫ع‬.‫عن ابن عمر ر‬
)‫سمع وال طاعة (رواه البخارى ومسلم‬
Artinya:” dari ibnu umar r.a. dari nabi SAW beliau bersabda: mendengar dan menaati
terhadap imam yang adil merupakan kewajiban orang muslim, baik yang ia sukai
maupun yang ia benci selama ia tidak diperintah melakukan maksiat, tidaklah boleh
didengar dan ditaati”. (H.R. Bukhori dan Muslim)

1.4 Pendapat Para Ulama

Adapun beberapa pendapat dari para ulama mengenai bughat :

1. Ulama Malikiyyah, mendefinisikan bughat sebagai tindakan menolak untuk


tunduk dan taat kepada orang yang kepemimpinannya telah tetap dan tindakannya bukan
dalam maksiat, dengan cara menggulingkannya, dengan menggunakan alasan (ta’wil).
Dengan kata lain, bughat adalah sekelompok orang muslim yang berseberangan dengan
imam (kepala negara) atau wakilnya, dengan menolak hak dan kewajiban atau maksud
menggulingkannya.
2. Ulama Hanafilah, bughat adalah keluar dari ketaatan kepada imam (kepala negara)
yang sah dengan cara dan alasan yang benar.
3. Ulama Syafi’iyyah mendefinisikannya dengan orang-orang Islam yang tidak patuh
dan tunduk kepada pemimpin tertinggi negara dan melakukan suatu gerakan massa yang
didukung oleh suatu kekuatan dengan alas an-alasan mereka sendiri.
4. Ulama Hanabilah mendefinisikannya dengan menyatakan ketidakpatuhan terhadap
pemimpin negara sekalipun pemimpin itu tidak adil dengan menggunakan suatu
kekuatan dengan alasan-alasan sendiri. 4 Dari beberapa definisi di atas, dapat
disimpulkan bahwa pemberontakan adalah pembangkangan terhadap kepala negara
(imam) dengan menggunakan kekuatan berdasarkan argumentasi atau alasan (ta’wil).
Pendapat lain mengatakan bahwa al-baghyu adalah bergeraknya sekelompok orang
bersenjata yang terorganisir melawan pemegang otoritas. Hukum yang legal menurut
syara’ dengan tujuan mencopotnya dari jabatannya dengan dasar prinsip pemahaman
yang mereka pegangi. Bughat memiliki kesamaan dengan hirobah (perampokan), yakni
sama-sama mengadakan kekacauan dengan dalam sebuah negara. Namun jika dilihat dari
motif yang melatarinya, keduanya sangat berbeda. Hirobah hanya bertujuan mengadakan
kekacauan dan mengganggu keamanan di muka bumi tanpa menggunakan alasan
(ta’wil), sedangkan bughat menggunakan alasan (ta’wil) politis. Tegasnya, bughat
merupakan tindakan yang dilakukan bukan hanya sekedar mengadakan kekacauan dan
mengganggu keamanan, melainkan tindakan yang targetnya adalah mengambil alih
kekuasaan atau menjatuhkan pemerintahan yang sah.

1.5 Tahapan-tahapan Menghadapi Kaum Bughat

Para bughat harus diusahakan sedemikian rupa agar sadar atas kesalahan yang mereka
lakukan, hingga akhirnya mau Kembali taat kepada imam dan melaksanakan kewajiban
mereka sebagai warga negara.
Proses penyadaran kepada mereka harus dimulai dengan cara yang paling halus. Jika
cara tersebut tidak erhasil maka boleh digunakan cara yang lebib tegas. Jika cara tersebut
masih juga belum berhasil, maka digunakan cara yang paling tegas.
Berikut ini adalah tahap-tahap pemberian tindakan hukum terhadap pelaku bughat
sesuai ketentuan fiqih Islam :
a. Mengirim utusan kepada mereka agar diketahui sebab sebab pemberontakan yang
mereka lakukan.
b. Menasihati dan mengajak mereka agar mentaati imam yang sah.
c. Memberikan uktimatum/ ancaman bahwa mereka akan diperangi.
d. Diperangi sampai mereka sadar dan taat kembali.
1.6 Unsur-unsur Bughat

Terdapat 3 unsur di dalam jarimah bughat, yaitu :


1. Pembangkangan terhadap kepala negara (imam), Pembangkangan di sini dalam
artian menentang kepala negara dan berupaya untuk memberhentikannya, atau
menolak untuk melaksanakan kewajiban sebagai warga negara. Menurut empat
mazhab dan Syi’ah Zaidiyah, haram hukumnya keluar (membangkang) dari imam
yang ada walau dia berlaku fasik atau tidak adil, walau pembangkang tersebut
bermaksud amar ma’ruf nahi munkar. Alasannya adalah pembangkangan terhadap
imam justru akan mendatangkan akibat yang lebih munkar, yaitu timbulnya fitnah,
pertumpahan darah, merebaknya kerusakan dan kekacauan dalam negara, serta
terganggunya ketertiban dan keamanan. Akan tetapi menurut
pendapat marjuh (lemah), apabila seorang imam itu fasik, zalim, dan mengabaikan
hak-hak masyarakat maka ia harus diberhentikan dari jabatannya.
2. Pembangkangan dilakukan dengan kekuatan, Pembangkangan di sini dalam artian
menggunakan kekuatan yang berupa anggota, senjata, sejumlah logistik dan dana
dalam rangka mengadakan pemberontakan terhadap pemerintah. Menurut Imam
Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad sebuah gerakan bisa dikatakan pemberontakan
jika sudah menggunakan kekuatan secara nyata. Sehingga jika baru sebatas ide belum
bisa dikatakan pemberontakan, tapi jika sudah tahap perhimpunan kekuatan
dikategorikan sebagai ta’zir. Berbeda pendapat dengan Abu Hanifah yang sudah
menganggap sebagai pemberontakan walau baru tahap berkumpul untuk menghimpun
kekuatan untuk maksud berperang dan membangkang terhadap imam.
3. Adanya niat yang melawan hukum (al-qasd al-jinaiy) Yang tergolong pemberontak
adalah kelompok yang dengan sengaja berniat menggunakan kekuatan untuk
menjatuhkan imam maupun tidak menaatinya.
Dalam istilah ketatanegaraan, perbuatan pemberontakan dinamakan jarimah
siasiyah (tindak pidana politik) Jarimah Siasiyah belum dinamakan tindak pidana
politik yang sebenarnya, kecuali kalau memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Perbuatan itu ditunjukkan untuk menggulingkan negara dan semua badan eksekutif
lainnya atau tidak mau lagi mematuhi pemerintah nya.
b. Ada alasan yang mereka kemukakan, apa sebabnya mereka memberontak,
walaupun alasan itu lemah sekali.
c. Pemberontak telah mempunyai kekuatan dengan adanya orang yang mereka taati
(pengatur pemberontakan) atau ada pimpinan nya.
d. Telah terjadi pemberontakan yang merupakan perang saudara dalam negara,
sesudah mereka mengadakan persiapan atau rencana.
Setelah diajak berunding dengan bijaksana sebagaimana yang telah dilakukan
oleh khalifah ali ra terhadap ahli ramal dan shiffin. Keterangan tentang persoalan ini
dapat dijumpai dalam sepucuk surat yang dikirim oleh khalifah ali kepada kaum
Bughat

)‫احدا فان فعلتم نفدت اليكم بالحرب (رواه احمد والحكم‬


Dari Abdullah bin Syaddad ia berkata, berkata Ali R.A. kepada kaum khawarij,
“kamu boleh berbuat sekehendak hatimu dan antara kami dan antara kamu
hendaklah ada perjanjian, yaitu supaya kamu jangan menumpahkan darah yang
diharamkan (membunuh). Jangan merampok di jalan, jangan menganiaya seseorang.
Jika kamu berbuat itu, penyerangan akan diteruskan terhadap kamu sekalian (HR.
Ahmad dan Hakim) Dengan keterangan ini, dapat ditegaskan bahwa gerombolan itu
belum boleh diperangi begitu saja selagi mereka bersedia diajak berunding dan belum
merusak.

1.7 Unsur-unsur Bughat

Unsur-unsur Bughat (Pemberontakan) ada tiga, yaitu:


1. Pembangkangan terhadap kepala Negara (imam)
Pengertian membangkang adalah menentang kepala Negara dan berupaya untuk
menghentikannya, atau menolak untuk melaksanakan kewajiban sebagai warga Negara.
Kewajiban atau hak tersebut bisa merupakan hak Allah yang ditetapkan untuk
kepentingan masyarakat, dan bisa juga berupa hak individu yang ditetapkan untuk
kepentingan perorangan, contohnya seperti penolakan untuk membayar zakat, penolakan
untuk melaksannakan putusan hakim. Tetapi berdasarkan kesepakatan para fuqaha,
penolakan untuk tunduk kepada pemerintahan yang menjurus kepada kemaksiatan,
bukan merupakan pemberontakan, melainkan merupakan suatu kewajiban, karena
ketaatan tidak diwajibkan kecuali apabila seorang imam (kepala Negara) memerintahkan
sesuatu yang bertentangan dengan syarat maka tidak ada kewajiban bagi siapa pun untuk
menaatinya.
2. Pembangkangan dilakukan dengan menggunakan kekuatan
Apabila sikap tersebut tidak disertai dengan penggunaan kekuatan maka hal itu tidak
dianggap sebagai pemberontakan. Contohnya seperti keenggangan untuk membaiat
seorang imam, setelah ia didukung oleh suata mayoritas, walupun ia mengajak orang lain
untuk memecat imam tersebut, dan ia tidak tunduk kepadanya, atau menolak untuk
melaksanakan kewajiban tetapi baru sebatas ajakan semata. Contohnya seperti
pembangkangan kelompok khawarij dari Sayyidina Ali. Mereka tidak dianggap sebagai
pemberontak, sampai mereka mewujudkan sikapnya itu dengan menggunakan kekuatan.
Jadi, apabila baru sebatas ide, sikap tersebut belum termasuk pemberontakan.
Akan tetapi terdapat dua pendapat yang berbeda, yang mana Imam Maliki, Imam Syafi’I,
dan Imam Ahmad setuju dengan pendapat di atas, sedangkan menurut Imam Abu
Hanifah, pemberontakan itu sudah dimulai sejak mereka berkumpul untuk menghimpun
kekuatan dengan maksud untuk berperang dan membangkang terhadap imam, bukan
menunggu sampai terjadinya penyerangan secara nyata. Karena kalau sudah terjadi,
maka sulit untuk menolak dan menumpasnya.
3. Adanya niat yang melawan hukum.
Disyaratkan bahwa pelaku bermaksud untuk mencopot (menggulingkan) imam, atau
tidak mentaatinya, atau menolak untuk melaksanakan kewajiban yang dibebankan oleh
syara’. Dengan demikian, apabila niat atau tujuan pembangkangannya itu untuk menolak
kemaksiatan, pelaku tidak dianggap sebagai pemberontakan.
Adapun pendapat lain mengatakan, bahwa suatu golongan dikatakan pemberontak
jika terdapat sifat-sifat sebagai berikut:
 Tidak mentaati perintah yang adil yang diwajibkan Allah atas kaum muslimin sebagai
waliul amri
 Mereka adalah jama’ah yang kuat dan bersenjata
 Mereka mempunyai alas an kuat untuk keliar dari Islam
 Mereka mempunyai pemimin yang ditaati sebagai sumber kekuatan mereka.

1.8 Hukuman Bagi Para Bughat

Para ulama telah sepakat bahwa tindakan pemberontakan yang dilakukan oleh
sebagian kaum muslim haruslah ditumpas. Memerangi mereka itu wajib hukumnya, yang
mana tindakan mereka itu dapat di pandang sebagai hukuman. Dasar hukum untuk
pemberontakan ini yaitu dalam Surat Al-Hujuraat ayat 9 : “Dan jika ada dua golongan
dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu
dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah
golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah,
jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara
keduanya dengan adil, dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berlaku adil”.
Ayat itu menjelaskan, jika ada orang mukmin saling bermusuhan, maka jama’ah yang
memiliki kebijaksanaan wajib segera campur tangan untuk mendamaikannya. Sekiranya
salah satu golongan membangkang, tidak mau berdamai atautidak memenuhi ajakan
damai, maka golongan itu haruslah diperangi.
Para ahli fiqh sepakat bahwa mereka yang membangkang itu belum keluar dari islam
karena pembangkangannya, berdasarkan ayat Al-Qur’an yang berbunyi, “dua golongan
orang-orang mukmin”, dan juga dijelaskan bahwa pemberontakan tidaklah
menghilangkan keimanan. Sewaktu Ali ditanyakan apakah mereka (lawan Ali) itu orang
musyrik?. Ali berkata bukanlah mereka itu orang musyrik. Apakah mereka itu orang
munafik? Ali menjawab : bukan, sebab orang munafik tidak menyebut nama Allah
kecuali sekali. Kalau begitu apakah hal mereka itu?. Ali berkata : saudara-saudara kita
yang memberontak kepada kita.
Karena itu, Para ulama fiqh berpendapat bahwa:
1. Mereka yang lari dari golongan itu tidak boleh diperangi,
2. Orang yang terluka tidak boleh dibunuh,
3. Harta mereka tidak boleh dijadikan ghonimah,
4. Istri-istri dan keluarga tidak boleh ditawan,
5. Segala kerusakan akibat pertempuran tidak boleh dijadikan jaminan, baik itu
berbentuk jiwa ataupun harta
Jika terdapat dari kalangan mereka yang terbunuh, maka wajib dimandikan,
dikafankan, dan dishalatkan. Jika yang terbunuh dari golongan adil maka ia menjadi
syahid. Tida perlu dimandikan dan dishalatkan karena ia gugur di dalam menegakkan
perintah Allah.
Kalau di teliti dari ketentuan Al-Qur’an pad syrat Al-Hujuraat : 9, tampaklah
kedudukan yang sama antara pihak pemberontak dan yang diberontak kedua-duanya
disebut golongan mukmin, dan Al-Qur’an memerintah untuk memerangi pihak yang
melampaui batas, apakah mereka itu yang memberontak atau yang diberontak. Kalau
yang diberontak mempunyai kekuatan dan takwil, dan dalam peperangn kalah, mereka
juga diperlakukan seperti pihak pemberontak. Oleh karena itu dalam peristiwa peperangn
antara Ali dan Muawiyah para ulama tidak menyebut-nyebut siapakah sebenarnya yang
memberontak dari yang diberontak. Keduanya mempunyai kekuatan dan takwil. Secara
yuridis formil Ali adalah kholifah sebab ia dipilih dalam suatu bai;ah, dan kaenanya wajib
dipatuhi. Tetapi secara yuridis formil pula Muawiyah memppunyai takwil tidak mematuhi
Ali sebab Ali tidak mau mengusut siapa pembunuh Ustman, jadi perkembangan
sejarahlah yang menentukan dalam hal seperti tersebut diatas.
Ulama Hanafi tidak menggolongkan pemberontaka itu termasuk hudud, karena kalau
diperhatikan tindak-tindak hukum yang dikenakan pada para pemberontak ternyata tidak
ada ketentuan hukum haad pada mereka, hanya memerangi mereka sehingga mau kembali
taat.

1.9 Hikmah Adanya Hukuman Bagi Pelaku Bughat

Adapun hikmah dari adanya hkuman bagi pelaku buhgat antara lain sebagai berikut :
a. Seseorang atau sekelompok organisasi tidak akan mudah memusuhi atau
membangkang dengan memberontak terhadap negara yang sudah terbentuk secara
sah. Mereka akan menerima sanksi diperangi oleh negara yang sah dan juga tidak
dapat menikmati kehidupan yang bebas dan damai di negara tempat mereka tinggal.
b. Seseorang atau sekelmpok organisasi akan memahami betapa hukum Islam benar-
benar melindungi kedaulatan negara yang sah secara hukum. Karena kehadiran negara
yang damai dan adil dapat mengantarkan umat manusia kedalam kehidupan yang
aman, damai, tentram.
c. Menghindarkan manusia atau sekelompok organisasi dari berbuat kesemena-mena
yang tidak melewati jalur konstitusi yang diakui oleh negara. Oleh karena itu,
pemberontakan sangat berbahaya bagi keutuhan suatu bangsa dan negara yang sah.
d. Memberikan efek jera terhadap pelaku bughat agar tidak memberontak dan dapat
kembali taubat serta mengakui negara yang sah secara konstitusional dan hukum
Islam.
e. Memberikan pemahaman bahwa jika terdapat perbedaan pendapat terkait dengan
jalannya pemerintahan, maka harus disalurkan dengan cara-cara yang benar.
BAB III
PENUTUP

1.10 Kesimpulan

Bughat adalah segolongan kaum muslimin yang menentang imam (pemerintah yang
adil) dengan menyerang, serta tidak mau mengikutinya atau tidak memberikan hak imam
yang menjadi kewajibannya, dan mempunyai alasan yang kuat untuk memberontak, serta
ada seseorang pemimpin yang mereka taati. Bila pemberontak itu sudah di berikan
nasehat oleh imam secara baik-baik dan telah ditempuh cara-cara lain yang baik agar
mereka bersedia mengikuti motiv yang mendorong mereka bersikap keras tidak mau
tunduk kepada imam yang adil, tidak bersedia sadar diri dan bertobat, mereka masih
bersikeras membangkang ,maka sang imam baru dibolehkan memberi tahu, bahwa
mereka akan di bunuh sebagai langkah yang terakhir.
Bughat adalah tindakan buruk yang tidak bertanggung jawab, karena dapat merugikan
tatanan kemasyarakatan yang sudah tertata baik berdasarkan kesepakatan bersama. Bila
ada hal-hal yang dianggap kurang berkenan di dalam kepemimpinan misalnya, maka ada
cara yang baik untuk memperbaikinya. Dengan cara yang baik sajalah yang dapat
menyelesaikan permasalahan baik permasalahan bangsa, Negara dan dalam
kepemimpinan.
Pemerintah yang dhalim adalah pemerintah yang semena-mena dalam membuat
kebijakan hingga masyarakat tedhalimi dengan banyaknya korupsi, kolusi, nepotisme,
pemerasan, lebih berpihak kepada orang kafir dll. Pemerintahan yang dhalim itu boleh
diganti dan diturunkan, cara menurunkan pemerintah ini pun harus dilakukan dengan cara
yang baik, jangan sampai berniat menghindari satu kedhaliman dengan melakukan
kedhaliman yang lebih besar.
Dilarangnya perbuatan bughat mengandung hikmah yang sangat banyak bagi kaum
muslimin, dan umat Islam pada umumnya, di antaranya :
a. Terciptanya situasi dan kondisi negara yang aman, nyaman dan tentram, sehingga
pemerintah dapat melaksanakan program pembangunan dengan lancar.

b. Hilangnya rasa was-was dan ketakutan masyarakat. Sebab pemberontakan selalu


menelan korban yang banyak.

c. Terjalinnya persatuan dan kesatuan antara semua komponen bangsa.

d. Program pembangunan yang dicanangkan pemerintah dapat berjalan dengan mulus,


tanpa adanya hambatan dari kaum pemberontak.

e. Secara bersama-sama dapat menciptakan suatu negara yang subur makmur yang
mendapat ridlo Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA

1. Buku Paket Fikih Tingkat Madrasah Aliyah Kelas XI 2020 Penerbit Kementerian

Agama Republik Indonesia.

2. https://harianto05091995.blogspot.com/2018/11/makalah-tentang-bughat-

pemberontak.html

3. Hasanuddin. Nor, Lc, Ma, dkk, Fiqh Sunnah 3 ,Jakarta, Pena Pundi Aksara, 2006

4. AL-BUGHOT DALAM PERSPEKTIF MAZHAB FIQIH http://journal.uinjkt.ac.id

5. KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia 2021.Edisi VII.

Anda mungkin juga menyukai