Secara etimologis, al-baghyu berasal dari kata بغى – يبغي – بغياyang berarti menuntut sesuatu.
Kalau ada kalimat بغى على الناس بغياartinya ظلم واعتدىberbuat zalim dan menganiaya. Pelakunya
disebut باغyang bentuk jamaknya adalah بغاة. Kata بغىjuga berarti تكبرsombong, takabbur.
Dikatakan demikian karena pelaku jarimah bersikap takabbur dengan melampaui batas dalam
menuntut sesuatu yang bukan haknya. Hal ini disinggung dalam firman Allah berikut :
ِۚ َّ َان ِمنَ ۡٱل ُم ۡؤ ِمنِينَ ۡٱقتَتَلُواْ فَأَصۡ ِل ُحواْ بَ ۡينَ ُه َم ۖا فَإ ِ ۢن بَغ َۡت إِ ۡحدَ ٰى ُه َما َعلَى ۡٱۡل ُ ۡخ َر ٰى فَ ٰقَتِلُواْ ٱلَّتِي ت َۡب ِغي َحتَّ ٰى ت َ ِف ٓي َء إِلَ ٰ ٓى أَمۡ ِر
ِٱّلل ِ طآئِفَتَ َوإِن
٩ َِطين ۡ
ِ ٱّللَ ي ُِحبُّ ٱل ُم ۡقسَّ ط ٓواْ ِإ َّنۖ ۡ
ُ فَإِن فَا ٓ َء ۡت فَأَصۡ ِل ُحواْ َب ۡينَ ُه َما ِبٱل َع ۡد ِل َوأ َ ۡق ِس
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu
damaikan antara keduanya. Akan tetapi, kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang
lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai sampai surut kembali pada
perintah Allah. Kalau ia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan
hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”
(QS. Al-Hujurat (49):9)[1]
Al-baghyu (pemberontakan) sering diartikan sebagai keluarnya seseorang dari ketaatan kepada
imam yang sah tanpa alasan.[2]
Pengertian secara terminologis, al-baghyu adalah usaha melawan suatu pemerintahan yang sah
secara nyata, baik dengan mengangkat senjata atau tidak mengindahkan ketentuan yang
digariskan pemerintah. Asy-Syafi’i, seperti dikutip H.A.Dzajuli, mengatakan, pemberontak
adalah orang muslim yang menyalahi iman, dengan cara tidak menaatinya dan melepaskan diri
dari iman, menolak kewajiban, yang memiliki kekuatan, argumentasi dan pimpinan.[3]
Maksudnya adalah upaya untuk memberhentikan pemimpin negara dan jabatannya. Para
pemberontak tidak mau mematuhi undang-undang yang sah dan tidak mau menunaikan
kewajiban mereka sebagai warga negara.
Namun demikian, para ulama fiqh menyatakan bahwa pemberontakan yang munul karena
pemerintah mengarahkan warganya untuk berbuat maksiat tidak dapat dinamakan al-baghyu.
Alasan ulama adalah sabda Rasulullah SAW berikut :
عن ابن عمررضي هللا عنهماعن النبي صلى هللا عليه وسل قال السمع والطا عة حق مالم يؤمربالمعصية فإذا أمربمعصية فال
سمع والطا عة
Dari Umar RA dari Nabi SAW beliau bersabda,”Mendengar dan menaati pemimpin hukumnya
haq (wajib) selama tidak memerintahkan kemaksiatan. Jika diperintah untuk melakukan
kemaksiatan, tidak wajib mendengar dan menaati”. (HR. Al-Bukhari)[4].
Maksudnya adalah di dukung oleh kekuatan bersenjata. Oleh sebab itu menurut ulama fiqh, sikap
sekadar menolak kepala negara yang telah diangkat secara aklamasi, tidak dinamakan al-
baghyu. Misalnya, sikap Ali bin Abi Thalib yang tidak mau membaiat Abu Bakar atau sikap
Ibnu Umar dan Abdullah bin Zubair yang tidak mengakui keabsahan pemerintahan Yazid bin
Mu’awiyah. Sikap mereka tidak termasuk al-baghyu karena sikap mereka tidak demonstratif.
Contoh lain adalah golongan khawarij yang ada pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi
Thalib. Mengenai hal ini, Imam Al-Syafi’i mengatakan, “sesungguhnya sekelompok orang yang
menampakkan sikap seperti kaum Khawarij dengan memisahkan diri dari jama’ah, bahkan
menganggap jama’ah tersebut kafir, tidak menyebabkan diperbolehkannya memerangi kelompok
ini sebab mereka masih berada dibawah perlindungan Iman. Hal tersebut tidak menjadikan
mereka berubah status menjadi (murtad) yang Allah SAW perintahkan untuk diperangi.[5]
Maksudnya adalah usaha untuk menggulingkan pemerintahan yang sah dan berdaulat dengan
cara mengacau ketertiban umum. Apabila tindakan pelaku itu tidak menjurus pada penggulingan
pemerintahan dan tidak pula melakukan tindak pidana (seprerti mebunuh, merampas,
memperkosa, dan merampok), maka ulama fiqh menyatakan bahwa itu tidak termasuk al-
baghyu.[6]
Suatu gerakan anti pemerintah dinyatakan pemberontak dan harus dihukum sebagaimana yang
ditetapkan pada garis hukum.[7] Yaitu pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah
dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi adalah dibunuh atau disalib (dipotong
tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik) atau dibuang dari negeri tempat kediamaannya.
Sanksi hukum tersebut sebagai suatu penghinaan untuk mereka di dunia dan di akhirat
memperoleh siksaan yang besar.
Penerapan hukum dimaksud akan dilaksanakan bila memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Pemisahan pertanggungjawaban pidana dan perdata bagi pelaku tindak pidana al-baghyu
berkaitan dengan waktu terjadinya jarimah ini,[9] yaitu sebelum serta sesudah terjadi
pemberontakan dan pada saat terjadi pemberontakan.
Suluruh tindakan pemberontakan yang bersifat pidana dan perdata yang mereka lakukan
sebelum dan sesudah pemberontakan wajib mereka pertanggungjawabkan. Apabila mereka
melakukan pembunuhan, pencurian dan pemerkosaan mereka harus dikenakan sanksi pidana
sesuai dengan jarimah yang mereka lakukan.
Ulama’ mazhab 4 bersepakat bahwa pemberontakan yang memiliki argumentasi yang kuat, tidak
berkewajiban mengganti harta dan jiwa yang terbunuh ketika terjadi kontak senjata.
Kesimpulan Jarimah al-Baghyu
Al-Baghyu adalah jenis pemberontakan yang sering diartikan keluarnya seseorang atau
kelompok dari ketaatan kepada imam yang sah tanpa alasan. Artinya pemerintah yang sah
dilantik adalah pemerintah yang amar ma’ruf kemudian diancam oleh seorang atau kelompok
yang tidak sepaham dengan pemerintah menggunakan jalan kekerasan, maka itu hukumnya
wajib diperangi. Seperti yang diterangkan dalam Hadits :
عن فجة قال سمعت رسول هللا صلى هللا عليه وسل يقول من أتاكم وأمركم جميع على رجل واحد يريد أن يفرق جما عتكم فا
قتلوه
Dari Fujrah bin Suraih, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah bersabda,’barangsiapa yang
menyarang kalian, padahal kalian berada dalam sebuah kesepakatan, sedangkan orang tersebut
mengacaukan persatuan kalian maka bunuhlah ia.’”(HR. Muslim)
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Jarimah Al-Bagyu (pemberontakan)
Pemberontakan atau Al-Bagyu menurut arti bahasa adalah:
2. pendapat Hanafiyah
pemberontakan adalah keluar dari kekuatan Imam (kepala Negara) yang benar (sah) dengan cara
yang tidak benar.
3. pendapat Syafi’iyah dan Hanbaliyah
pemberontakan adalah keluarnya kelompok yang memiliki kekuatan dan pemimpin yang
ditaati, dari kepatuhan kepada kepala negara (Imam), dengan menggunakan alasan (Ta’wil)
yang tidak benar.
Dari definisi-definisi yang dikemukakan oleh para Ulama’ tersebut , terlihat adanya
perbedaan yang menyangkut persyaratan yang harus dipenuhi dalam Jarimah pemberontakan,
tetapi tidak dalam unsur prinsipil. Apabila diambil intisari dari definisi-definisi tersebuit, dapat
dikemukakan bahwa pemberontakan adalah pembangkangan terhadap kepala negara (Imam)
dengan menggunakan kekuatan berdssarkan argumentasi atau alasan (Ta’wil).
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Jarimah Riddah itu?
2. Apa dasar hukum jarimah riddah?
3. Apa saja unsur-unsur jarimah riddah?
4. Apa saja sanksi/hukuman bagi jarimah riddah?
5. Apa hikmah membunuh orang murtad?
C. Tujuan
Dibuatnya makalah ini diharapkan dapat membantu pembaca agar tau tentang jarimah
murtad dan memahaminya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN AR_RIDDAH
ع ٰلى
َ {و ََلتَ ْرتَد ُّْوا
َ : فالراجع مرتد ومن ذلك قوله تعالى،الردة لغة هي الرجع
ِ أَ ْد َب
ار ُك ْم فَتَ ْنقَ ِلبُ ْوا خَا ِس ِريْنَ } و تعرف الردة شرعا ً بأنها الرجوع عن اإلسالم
]1[
أو قطع اإلسالم وكال التعبرين بمعنى واحد
“Riddah secara bahasa adalah keluar, yakni seorang muslim yang keluar dari keislaman menuju
kekafiran orang yang keluar tersebut dalam Islam disebut murtad. Allah SWT berfirman: (dan
janganlah kamu lari kebelakang (karena takut kepada musuh),maka kamu menjadi orang-orang
merugi) Dan riddah secara istilah adalah keluar dari Islam atau lepas dari Islam, kedua kata ini
bermakna satu yaitu Ar Riddah.”
Secara etimologi, istilah “irtidad”,”riddat” berakar dari kata “raad” berarti “berbalik
kembali”. Menurut al-Raghib al-Asfhani, “murtad”adalah kembali kejalan dari mana kita datang
. ditinjau dari terminology, irtidad atau riddat adalah kembali kepada kekafiran dari keadaan
beriman baikiman itu didahului oleh kekafiran lain atau tidak.
Menurut istilah syara’, riddah yaitu meninggalkan agama islam dan menentanganya
setelah agama tersebut dianutnya, dan “riddah” hanya terjadi dikalangan orang yang telah
memeluk islam.
Imam al-Nawawy yang dikutip oleh Haliman, yang dimaksud dengan riddah adalah
terputus islam dengan niat atau perkataan, atau perbuatan yang membawa kekufuran, seperti
menyangkal adanya pencipta Alam mendustakan Rasul-Rasul, menhalalkan yang haram dan
sebagainya.Sedangkan riddahdanirtidadmenurutal-Raghib,adalah “al-ruju’ fial-thariq al-
ladziyjaaminhu” [kembalikejalandimanaiadatang]. Akan tetapilafadz
riddahkhususuntukkekafiran, sedangkan kata irtidad mencakupkekafiranmaupun yang lain.
B. Unsur-Unsur Riddah dan Macam-Macamnya
Unsur-unsur riddah adalah:
a. Keluar dari Islam
b. Ada itikad tidak baik.
Yang dimaksud dengan keluar dari Islam disebutkan oleh para ulama ada tiga macam:
a. Murtad dengan perbuatan atau meninggalkan perbuatan.
b. Murtad dengan ucapan.
c. Murtad dengan itikad.
Yang dimaksud murtad dengan perbuatan adalah melakukan perbuatan yang haram
dengan menganggapnya tidak haram atau meninggalkan perbuatan wajib dengan
menganggapnya sebagai perbuatan yang tidak wajib, baik dengan di sengaja maupun dengan
menyepelekan. Misalnya sujud kepada matahari atau bulan, melemparkan Al-Qur’an dan berzina
dengan menganggap zina itu bukan suatu perbuatan yang haram.
Murtad dengan ucapan adalah ucapan yang menunjukan kekafiran, seperti menyatakan
bahwa Allah punya anak dengan anggapan bahwa ucapan tersebut tidak dilarang.
Adapun murtad dengan itikad adalah itikad yang tidak sesuai dengan itikad (aqidah)
Islam, seperti beritikad kekalnya alam, Allah itu sama dengan makhluk. Sesungguhnya itikad an
sich tidak menyebabkan seorang menjadi kufur sebelum dibuktikan dalam bentuk ucapan atau
perbuatan, berdasarkan hadits Rasulullah SAW.:
ان هللا تجاوز عن امتى ماوسوست اوحدثت به انفسها مالم تعمل به او تكلم
"Sesunggunhnya Allah memaafkan bagi umatku bayangan-bayangan yang menggoda dan
bergelora dalam jiwanya selama belum diamalkan atau dibicarakan". (HR Muslim dari Abu
Hurairah)
Dengan demikian orang yang baru beriktikad dalam hatinya dengan iktikad yang
bertentangan dengan Islam, belum dianggap keluar dari Islam dan di dunia secara lahiriahnya
tetap dianggap sebagai muslim dan tidak dikenakan hukuman. Adapun di akhirat ketentuan dan
urusannya diserahkan kepada Allah SWT. Apabila iktikadnya itu telah diwujudkan dan
dibuktikan dengan ucapan atau perbuatan maka ia sudah termasuk murtad.
Anak dari yang murtad, baik yang murtad ibu/bapaknya tetap anak muslim. Akan tetapi
setelah dewasa ia harus menyatakan agamanya, sedangkan anak yang di kandung dan dilahirkan
oleh orang murtad untuk selamanya di hukumi sebagai anak kafir.
Suatu prinsip yang di pegang oleh imam Abu Hanifah, Imam Safi’I, Imam Ahmad, dan
Zaidiyah bila seseorang ibu atau bapak masuk islam, maka anak-anaknya yang masih kecil
dihukumi muslim. Akan tetapi, Imam Malik berpendapat bahwa agama anaknya mengikuti
agama bapaknya. Artinya, jika bapaknya islam, maka anak-anaknya yang masih kecil di hukumi
muslim. Namun demikian, tidak halnya ibunya yang muslim.[3]
Jadi, berdasarkan hadits diatas apapun itikad seseorang muslim yang bertentangan dengan
ajaran Islam tidaklah dianggap menyebabkan keluarnya dari Islam sebelum ia mengucapkan atau
mengamalkannya.
Kriteria seseorang dikatakan murtad yang dapat diancam hukuman yaitu apabila didasari
dengan niat, perbuatan/perkataan kufur, baik secara berolok-olok (mempermainkan) atau ingkar
terhadap ke-Esa-an allah SWT.
Konsekuensi seseorang yang murtad berarti telah menjadi kafir dan baginya berlakulah
segala ketentuan hokum terhadapnya, sebagaimana hokum yang berlaku bagi orang kafir.
Sedangkan hal-hal yang dapat menjadikan seseorang itu murtad antara lain disebabkan:
Imam Syafi'i menambahkan syarat pada pidana riddah bahwa pelakunya itu harus berniat
untuk melakukan kekufuran. Sesuai dengan hadits:
Jarimah riddah adalah meninggalkan pembenaran syari’at Islam yang dilakukan dengan
beberapa cara, yaitu: melakukan atau meninggalkan suata perbuatan; mengucapkan; dan
berkeyakinan.[6]
Ketiga cara di atas akan dijelaskan dengan beberapa kaidah di bawah ini:
Kaidah Pertama:
كل من امتنع عن اتيان فعل يوجبه اَلسالم مع استحالل عدم اتيانه فهو راجع عن اَلسالم
]7[
“Setiap orang yang menolak melakukan perbuatan yang diwajibkan Islam kepadanya disertai
dengan keyakinan halal meninggalkannya maka dia telah keluar dari Islam”.
Kaidah ini mengandung arti bahwa orang yang tidak menunaikan kewajiban yang
dibebankan kepadanya oleh syari’at Islam dengan alasan bahwa perbuatan itu bukan wajib, maka
ia dapat dikualifikasikan sebagai orang yang telah keluar dari Islam atau telah berbuat jarimah
riddah. Misalnya, seseorang tidak mau melaksanakan shalat wajib dengan alasan bahwa shalat
tersebut tidak wajib.
Kaidah ini menjadi sarana untuk membedakan antara jarimah riddah dengan jarimah
lainnya. Sebab, pada perbuatan yang tampak lahirnya sama tetapi bisa jadi hukumnya berbeda.
Orang yang tidak melaksanakan shalat wajib karena malas tidak dapat dikualifikasikan telah
keluar dari Islam, melainkan telah fasiq atau ashy (pelaku maksiat). Perbuatan ini termasuk
jarimah ta’zir.[8]
Hal ini didasarkan atas kebijakan Abu Bakar al-Shiddiq yang telah memerangi kaum
yang menolak membayar zakat. Sebagian penduduk menolak kewajiban menyerahkan zakat
dengan alas an bahwa kewajiban itu hanya berlaku kepada Rasulullah SAW saja. Abu Bakar
mengangggap bahwa orang-orang yang menolak kewajiban menyerahkan zakat itu harus
diperangi (dibunuh) karena telah keluar dari Islam.[9]
Kaidah Kedua:
Kaidah ini mengandung arti bahwa orang yang melanggar larangan-larangan syari’at
Islam disertai dengan keyakinan bahwa hal tersebut tidak dilarang, maka ia telah keluar dari
Islam. Misalnya, seorang berzina dengan keyakinan bahwa zina itu tidak haram maka ia telah
keluar dari Islam. Apabila ia melakukannya karena melanggar keharaman diserta keyakinan
bahwa perbuatan tersebut dilarang, ia tidak keluar dari Islam melainkan telah berbuat maksiat
atau melakukan jarimah zina.
Penghalalan yang diharamkan, jika disertai alasan yang kuat (ta’wil) dan ketidaktahuan
hukum yang sebenarnya, belum dapat dikualifikasikan telah keluar dari Islam.
Kidah Ketiga:
Tentang Keyakinan yang Keluar dari Islam
[يعتبر خروجا عن اَلسالم كل اعتقادمناف لالسالم11]
“Setiap keyakinan yang berlawanan dengan (aqidah) Islam menunjukan telah keluar dari
Islam”.
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu) dari padanya, dan Dia di akhirat Termasuk orang-orang yang rugi”. (QS. Ali
imran: 85)
2. Hadis
Rasulullah SAW. bersabda:
“Jiwa seseorang muslim tidak boleh diganggu (dibunuh), kecuali karena salah satu
dari tiga hal, yaitu: orang yang sudah kawin berzina, jiwa karena membunuh jiwa.
Dan orang yang meninggalkan agamanya dan menjauhi golongannya”.
D. SANKSI RIDDAH
Perbuatan riddah diancam dengan tiga macam hukuman: (a) hukuman pokok, (b)
hukuman pengganti, (c) hukuman tambahan.
Jumhur ulama berpendapat bahwa orang yang murtad hukumannya dibunuh baik laki-laki
maupun perempuan. Namun demikian terjadi perbedaan pendapat di kalangan mazhab mengenai
perempuan yang murtad. Menurut abu hanifah, perempuan yang murtad tidak dibunuh
melainkan dihukum penjara dan dipaksa memeluk agama islam kembali. Jika ia mau maka
dilepaskan dari penjara, dan jika tidak mau maka dipenjarakan seumur hidup. Argumentasinya
karena rasulullah SAW. Melarang pembunuhan terhadap perempuan kafir. Secara analogi, jika
perempuan tidak dubunuh karena kekafirannya secara asli, maka kekafiran karena murtad tentu
tidak boleh dibunuh.
Menurut imam malik dan syafi’I, bahwa seorang berpindah agama (murtad) harus
dihukum bunuh, setelah mendapat kesempatan atau keringanan terlebih dahulu untuk bertaubat.
Hal ini berlaku baik bagi laki-laki maupun perempuan.tetapi bagi perempuan yang sedang
menyusui anaknya(mempunyai anak kecil) hukuman bunuh tehadapnya harus ditunda hingga
sempurna susuannya.[13]
Sebelum dilaksanakan hukuman, orang yang murtad itu harus diberi kesempatan untuk
bertobat. Waktu yang disediakan baginya untuk bertobat itu adalah 3 hari 3 malam menurut
Imam Malik. Menurut Imam Abu Hanifah, ketentuan batas waktu untuk bertobat itu harus
diserahkan kepada Ulul Amri, dan batas itu selambat-lambatnya 3 hari 3 malam.
Menurut aturan umum yang dipegangi oleh ulama-ulama syafi’iyah, orang yang tidak
dilindungi jiwanya masih dilindungi dalam hubungan dengan orang lain yang sejenisnya. Orang
murtad misalnya tidak dilindungi lagi jiwanya (boleh dibunuh) akan tetapi masih dilindungi
dalam hubungannya dengan orang murtad lainnya. Jadi orang murtad tidak boleh membunuh
terhadap orang lain sesama murtad, dan kalau ia membunuhnya maka perbuatannya tersebut
dianggap pembunuhan sengaja, meskipun andaikata ia masuk islam lagi. Akan terapi fuqoha-
fuqoha diluar mazhab syafi’i tidak memakai aturan umum tersebut.[14]
Pada dasarnya pembunuhan orang murtad menjadi wewenang penguasa negara. Maka
kalau ada seseorang biasa membunuhnya tanpa persetujuan (izin) dari penguasa tersebut maka
berarti menyerobot (merampas) wewenang tersebut dan ia dijatuhi hukuman karena
penyerobotannya ini, bukan karena pembunuhannya. Akan tetapi dikalangan mazhab maliki ada
satu pendapat yang menyalahi aturan dasar tersebut, yaitu bahwa orang murtad meskipun tidak
dilindungi jiwanya, namun orang yang membunuhnya dijatuhi hukuman ta’zir dan hukuman
diyat yang harus diserahkan kepada baitulmall (perbendaharaan negara).[15]
Tobatnya orang yang murtad cukup dengan mengucapkan dua “kalimah syahadah”.
Selain itu, ia pun mengakui bahwa apa yang dilakuakannya ketika murtad bertentangan dengan
agama Islam.[16]
Hukuman pengganti diberikan apabila hukuman pokok tidak dapat diterapkan. Hukuman
pengganti itu berupa ta’zir.
Namun demikian, pada intinya hukuman bagi orang yang murtad itu diserahkan kepada
Allah kelak.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Ar-riddah secara harfiah berarti kembali. Ar-riddah dalam pembahasan ini adalah
kembalinyaseorang muslim yang berakal dan baligh untuk memmilih keyakinan agama lain atas
dasar pilihannya bukan atas paksaan.
Macam-macam ar-riddah:
1. Riddahdengan sebab ucapan
2. Riddah dengan sebab perbuatan
3. Riddah dengan sebab keyakinan
4. Riddah dengan sebab keraguan
Demikianlah makalah ini kami buat, uraian singkat mengenai pembahasan “Ar-riddah(murtad )”.
Besar harapan kami makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua. Kamimenyadari bahwa
makalah kami masih banyak kekurangan. Untuk itu, kami senantiasamengharapkan masukan dan
kritik yang membangun untuk kemajuan bersama.
BAB I
1. Pengertian
Riddah dalam arti bahasa kembali dari sesuatu dari sesuatu yang lain. Menurut syara’ adalah
keluar dari Islam. Sementara jarimah adalah segala bentuk larangan syara’ yang diancam dengan
hukuman, baik berupa jarimah hudud, jarimah qishash atau jarimah ta’zir. Jarimah riddah adalah
meninggalkan pembenaran syari’at Islam yang dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan; mengucapkan; dan berkeyakinan[1].
Dasar hukum tentang riddah ini terdapat di dalam al-Qur’an dan Hadits. Salah-satunya yang
terdapat dalam al-Qur’an adalah:
“Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu Dia mati dalam kekafiran,
Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah
penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Q.S. Al-Baqarah: 217)
Rasulullah SAW. bersabda: “barangsiapa menggantikan agamanya, maka bunuhlah ia” (HR.
Bukhari dari ibn Abas).
1. Unsur-unsur Riddah
Yang dimaksud dengan keluar dari Islam disebutkan oleh para ulama ada tiga macam:
Yang dimaksud murtad dengan perbuatan adalah melakukan perbuatan yang haram dengan
menganggapnya tidak haram atau meninggalkan perbuatan wajib dengan menganggapnya
sebagai perbuatan yang tidak wajib, baik dengan di sengaja maupun dengan menyepelekan.
Misalnya sujud kepada matahari atau bulan, melemparkan Al-Qur’an dan berzina dengan
menganggap zina itu bukan suatu perbuatan yang haram.
Murtad dengan ucapan adalah ucapan yang menunjukan kekafiran, seperti menyatakan bahwa
Allah punya anak dengan anggapan bahwa ucapan tersebut tidak dilarang.
Adapun murtad dengan itikad adalah itikad yang tidak sesuai dengan itikad (aqidah) Islam,
seperti beritikad kekalnya alam, Allah itu sama dengan makhluk. Sesungguhnya itikad itu tidak
menyebabkan seorang menjadi kufur sebelum dibuktikan dalam bentuk ucapan atau perbuatan,
berdasarkan hadits Rasulullah SAW: “Sesunggunhnya Allah memaafkan bagi umatku bayangan-
bayangan yang menggoda dan bergelora dalam jiwanya selama belum diamalkan atau
dibicarakan”. (HR Muslim dari Abu Hurairah).
Jadi, berdasarkan hadits diatas apapun itikad seseorang muslim yang bertentangan dengan ajaran
Islam tidaklah dianggap menyebabkan keluarnya dari Islam sebelum ia mengucapkan atau
mengamalkannya.
Adapun hukumannya nanti terserah kepada Allah. Diantara contohnya adalah sihir. Para ulama
sepakat terhadap keharaman sihir dan mempelajarinya.[2]Imam Syafi’i menambahkan syarat
pada pidana riddah bahwa pelakunya itu harus berniat untuk melakukan kekufuran. Sesuai
dengan hadits: “Sesungguhnya sahnya segala amal itu tergantung kepada niatnya“. (HR Bukhari
dan Muslim dari Umar ibn Khathab).
Ketiga cara di atas akan dijelaskan dengan beberapa kaidah di bawah ini:
Kaidah Pertama, tentang meninggalkan kewajiban.
“Setiap orang yang menolak melakukan perbuatan yang diwajibkan Islam kepadanya disertai
dengan keyakinan halal meninggalkannya maka dia telah keluar dari Islam”[3].
Kaidah ini mengandung arti bahwa orang yang tidak menunaikan kewajiban yang dibebankan
kepadanya oleh syari’at Islam dengan alasan bahwa perbuatan itu bukan wajib, maka ia dapat
dikualifikasikan sebagai orang yang telah keluar dari Islam atau telah berbuat jarimah riddah.
Misalnya, seseorang tidak mau melaksanakan shalat wajib dengan alasan bahwa shalat tersebut
tidak wajib.
Kaidah ini menjadi sarana untuk membedakan antara jarimah riddah dengan jarimah lainnya.
Sebab, pada perbuatan yang tampak lahirnya sama tetapi bisa jadi hukumnya berbeda. Orang
yang tidak melaksanakan shalat wajib karena malas tidak dapat dikualifikasikan telah keluar dari
Islam, melainkan telah fasiq atau ashy (pelaku maksiat). Perbuatan ini termasuk jarimah
ta’zir.[4]
Hal ini didasarkan atas kebijakan Abu Bakar al-Shiddiq yang telah memerangi kaum yang
menolak membayar zakat. Sebagian penduduk menolak kewajiban menyerahkan zakat dengan
alasan bahwa kewajiban itu hanya berlaku kepada Rasulullah SAW saja. Abu Bakar
mengangggap bahwa orang-orang yang menolak kewajiban menyerahkan zakat itu harus
diperangi (dibunuh) karena telah keluar dari Islam.[5]
“Setiap orang yang melakukan perbuatan yang diharamkan (Islam) disertai dengan keyakinan
halal melakukannya, maka dia telah keluar dari Islam”[6].
Kaidah ini mengandung arti bahwa orang yang melanggar larangan-larangan syari’at Islam
disertai dengan keyakinan bahwa hal tersebut tidak dilarang, maka ia telah keluar dari Islam.
Misalnya, seorang berzina dengan keyakinan bahwa zina itu tidak haram maka ia telah keluar
dari Islam. Apabila ia melakukannya karena melanggar keharaman diserta keyakinan bahwa
perbuatan tersebut dilarang, ia tidak keluar dari Islam melainkan telah berbuat maksiat atau
melakukan jarimah zina.
Penghalalan yang diharamkan, jika disertai alasan yang kuat (ta’wil) dan ketidaktahuan hukum
yang sebenarnya, belum dapat dikualifikasikan telah keluar dari Islam.
“Setiap keyakinan yang berlawanan dengan (aqidah) Islam menunjukan telah keluar dari
Islam”[7].
Diantara contoh-contoh keyakinan yang bertentangan dengan Islam adalah keyakinan bahwa Al-
Qur’an itu bukan dari Allah melainkan kata-kata Nabi Muhammad; Nabi Muhammad adalah
pendusta; ada lagi Nabi yang terakhir setelah kenabian Muhammad; dan Ali bin Abi Thalib
adalah Tuhan. Akan tetapi keyakinan-keyakinan tersebut belum dapat dikualifikasikan jarimah
riddah yang dikenai had jika belum dinyatakan dengan ucapan atau perbuatan. Sebab Allah
memaafkan umat-Nya dari apa yang dibisikan hatinya selama belum diungkapakan atau
dikerjakan.[8]
BAB II
Perbuatan riddah diancam dengan tiga macam hukuman: (a) hukuman pokok, (b) hukuman
pengganti, (c) hukuman tambahan. Hukuman pokok jarimah riddah adalah hukuman mati, sesuai
dengan Hadits “Barang siapa menggantikan agamanya, maka bunuhlah ia” (HR. Bukhari dari
ibn Abbas).
Sebelum dilaksanakan hukuman, orang yang murtad itu harus diberi kesempatan untuk bertobat.
Waktu yang disediakan baginya untuk bertobat itu adalah 3 hari 3 malam menurut Imam Malik.
Menurut Imam Abu Hanifah, ketentuan batas waktu untuk bertobat itu harus diserahkan kepada
Ulul Amri, dan batas itu selambat-lambatnya 3 hari 3 malam. Tobatnya orang yang murtad
cukup dengan mengucapkan dua “kalimah syahadah”. Selain itu, ia pun mengakui bahwa apa
yang dilakuakannya ketika murtad bertentangan dengan agama Islam.[9]
Hukuman pengganti diberikan apabila hukuman pokok tidak dapat diterapkan. Hukuman
pengganti itu berupa ta’zir.
Hukuman tambahan adalah merampas hartanya dan hilang hak terpidana untuk bertasharuf
(mengelola) hartanya. Menurut Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bahwa bila orang
murtad itu meninggal, maka hartanya menjadi menjadi harta musyi’, yaitu tidak dapat
diwariskan, baik kepada orang muslim ataupun maupun kepada non-muslim.
Menurut ulama lain, harta itu dikuasai oleh pemerintah dan menjadi harta fay’. Menurut mazhab
Hanafi, bila harta tersebut didapatkan pada waktu ia muslim, maka diwariskan kepada ahli
warisnya yang muslim dan harta yang didapatkan ketika ia murtad, maka hartanya menjadi milik
pemerintah.
Faktor penyebab perbedaan mereka adalah perbedaan penafsirkan mereka terhadap hadits:
“Orang kafir tidak dapat mewaris harta pusaka orang muslim dan orang muslim tidak dapat
mewaris harta pusaka orang kafir”. (H.R. Muslim dari Usamah ibn Zayd). Alasan Imam Malik,
Imam Syafi’i dan Imam Ahmad karena sehubungan dengan ketidakbolehan harta orang muslim
diwariskan kepada ahli warisnya yang non-muslim (kafir), begitu pula sebaliknya. Sedangkan
alasan Imam Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya karena sehubungan dengan kebolehan harta
orang murtad diwariskan kepada ahli warisnya yang muslim karena harta orang murtad itu
disamakan dengan harta orang meninggal.
Berkenaan dengan hukuman tambahan, berupa hilangnya hak pengelola harta, para ulama
berbeda pendapat. Menurut pendapat yang rajih dalam mazhab Hanafi, Syafi’i dan Hambali
bahwa orang murtad terhadap hartanya, baik yang didapat sebelum atau sesudah murtad, tidak
mempunyai akibat hukum. Artinya, bila ia menjual atau membeli harta dengan harta miliknya,
maka jual belinya tidak sah.
Apabila ia kembali kepada agama islam, maka hak tasharufnya menjadi menjadi sah, sedangkan
apabila ia mati dalam keadaan murtad maka hak tasharufnya menjadi batal.
Menurut Abu Yusuf Muhammad, tasharuf orang yang murtad tetap sah.
Syaikh Mahmud Syaltut menyatakan bahwa orang murtad itu sanksinya diserahkan kepada
Allah, tidak ada sanksi duniawi atasnya. Alasannya karena firman Allah dalam surat al-Baqarah
ayat 217 di atas hanya menunjukan kesia-siaan amal kebajikan orang murtad dan sanksi akhirat
yaitu kekal dalam neraka, adapun hadits ibn ‘Abbas di atas ternyata mengundang banyak
masalah dikalangan ulama yang berkisar pada masalah yang sama atau bedanya hukuman bagi
laki-laki dan perempuan, perlu dan tidak perlunya orang murtad diberi kesempatan untuk
bertobat serta batas kesempatan tersebut. Alasan lain adalah bahwa kekafiran itu sendiri tidak
menyebabkan bolehnya seseorang dihukum mati, sebab yang membolehkannya hukuman bagi
orang kafir itu adalah karena memerangi dan memusuhi orang Islam.
Adapun kekufuran semata jelas sekali dalam al-Qur’an, yang dalam beberapa kenyataan
ditemukan larangan adanya paksaan dalam agama. Salah satunya surat al-Baqarah ayat 256 dan
surat Yunus ayat 99: “tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).” (Q.S. al-Baqarah:
256)
Dan dalam surat Yunus ayat 99: “Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya
mereka mejadi orang yang beriman semuanya”(Q.S. Yunus: 99). Jadi menurut pendapat ini
hukuman bagi orang murtad itu diserahkan kepada Allah kelak.[10]