Anda di halaman 1dari 11

Tugas Terstruktur Dosen Pembimbing

Fiqh Jinayah Dra., Hj., IRDAMISRAINI M.A

JARIMAH PEMBERONTAKAN (AL-BAGHYU)

Disusun Oleh:

Kelompok 10

Abdullah Syani Alamsyah (12120710288)

Selamat Riadi (12120710092)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM
RIAU
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillahirabbil ‘alamin, segala puji syukur atas kehadiran Allah SWT


yang telah melimpahkan berkah, rahmat dan hidayah serta petunjuk-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat dan Salam senantiasa tercurah
kepada Baginda Rasululah Muhammad SAW dengan mengucapkan Allahumma
Shalli’ala Muhammad Wa’alaaihi Syaidina Muhammad yang telah membawa
manusia dari alam jahiliyah kepada alam yang terang menerang yang penuh ilmu
pengetahuan seperti saat sekarang ini.

Penulisan makalah ini diselesaikan guna menyelesaikan salah satu tugas yang diberikan
kepada kelompok 10 dalam mata kuliah Fiqh Jinayah. Adapun judul makalah ini adalah “Jarimah
Pemberontakan”.

Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan-
perbaikan kedepan. Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat membantu menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi para pembacanya. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi
Wabarakatuh.

Pekanbaru, 01 Desember 2023

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................................................. iii
BAB I .............................................................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ................................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................................. 1
C. Tujuan ................................................................................................................................. 1
BAB II ............................................................................................................................................ 2
A. Pengertian Al-Baghyu (Pemberontakan) ........................................................................ 2
B. Dasar Hukum ..................................................................................................................... 3
C. Unsur-unsur Pemberontakan ........................................................................................... 4
D. Sanksi/Hukuman ................................................................................................................ 5
BAB III........................................................................................................................................... 7
A. Kesimpulan ......................................................................................................................... 7
Daftar Pustaka .............................................................................................................................. 8

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum bunuh bagi pemberontak (Hukum Jarimah al-Baghyu) dipahami oleh sebagian
ulama sebagai serangan balik dan hanya ditujukan untuk mematahkan pemberontak guna
mengembalikan ketaatannya kepada penguasa yang sah. Memerangi pemberontak hukumnya
adalah wajib karena menegakkan hukum Allah. Para pemberontak atau Hukum al-Baghyu
merupakan kelompok jahat karena berupaya melakukan kerusakan di muka bumi. Mereka
meresahkan masyarakat, merusak keamanan dan ketentraman negara, dan menimbulkan fitnah
ditengah-tengah masyarakat. Islam memerintahkan pemerintah yang sah untuk mengajak dan
berunding supaya mereka kembali bergabung dengan mayoritas orang islam atau mayoritas warga
negara. Apabila tidak bersedia bergabung, maka pemerintah harus memerangi mereka sampai
mereka sadar dan bergabung dengan pemerintahan yang didukung oleh mayoritas warga negara
muslim. Apabila ada perintah dari pemerintah untuk memerangi kaum pemberontak atau al-
Baghyu, maka setiap muslim yang mampu wajib melaksanakan perintah tersebut, karena taat
kepada permerintah pada hal-hal yang bukan maksiat hukumnya adalah wajib.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Pemberontakan
2. Apa dasar hukum Pemberontakan
3. Bagaimana unsur-unsur Pemberontakan
4. Bagaimana sanksi terhadap Pemberontak

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa pengertian dari Pemberontakan
2. Untuk mengetahui dasar hukum dari Pemberontakan
3. Untuk mengetahui apa unsur-unsur dari Pemberontakan
4. Untuk mengetahui bagaimana sanksi terhadap Pemberontak

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Al-Baghyu (Pemberontakan)


Secara etimologis, Al-Baghyu/Pemberontakan adalah menuntut sesuatu. Adapun secara
terminologis, al-baghyu dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah dengan mengutip pendapat
para ulama mazhab.

1. Menurut ulama kalangan Malikiyah. Pemberontakan ialah sikap menolak untuk taat
terhadap seseorang yang dianggap sah kepemimpinannya bukan lantaran kemaksiatan
dengan cara melakukan perlawanan, walaupun dengan argumentasi kuat (takwil).
Ulama kalangan Hanafiyah memberikan definisi al-bughâh yang artinya
segerombolan muslimin yang menentang kepala negara atau wakilnya. Sikap
menentang ini dilakukan karena menolak kebenaran yang wajib atas sekelompok
orang muslim atau karena bertujuan untuk mengganti kepemimpinannya.
2. Menurut ulama kalangan Hanafiyah. Pemberontakan ialah keluar dari kedudukan
terhadap penguasa yang benar. Sementara itu, pemberontak ialah orang yang keluar
dari ketaatan terhadap penguasa yang sah dengan jalan tidak benar.
3. Menurut ulama kalangan Syafi’iyah, Imam Ramli mengemukakan. Para pemberontak
ialah orang-orang Islam yang membangkang terhadap penguasa dengan cara keluar
dan meninggalkan ketundukan atau menolak kebenaran yang ditunjukkan kepada
mereka, dengan syarat adanya kekuatan serta adanya tokoh yang diikuti di kalangan
mereka.
4. Menurut ulama kalangan Hanabilah. Pemberontak ialah kelompok orang yang keluar
dari ketundukan terhadap penguasa, walaupun penguasa itu tidak adil dengan adanya
alasan yang kuat. Kelompok ini memiliki kekuatan, walaupun di dalamnya tidak
terdapat tokoh yang ditaati.

Keempat definisi al-baghyu di atas jika dicermati, tampak berlainan antara satu dan yang
lain. Hal ini karena para ulama dalam merumuskan definisi didasarkan pada syarat yang harus
dipenuhi dan tidak bertolak dari rukun pokok tindak pidana tersebut. Biasanya dalam

2
mendefinisikan suatu konsep, ulama fiqh berusaha untuk memasukkan rukun dan syarat
konsep dimaksud, sehingga definisi yang mereka kemukakan bersifat tuntas dan utuh. Dari
beberapa definisi yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa al-baghyu adalah suatu
usaha atau gerakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang bertujuan
untuk menggulingkan pemerintahan yang sah.1

B. Dasar Hukum
Dasar hukum mengenai jarimah al-baghyu ini dijelaskan dalam al-Qur’an surah Al-
Hujarat ayat 9:

‫علَى اۡلُخ ٰرى فَقَاتِلُوا الَّتِى تَب ِغى‬َ ‫طاٮفَ ٰت ِن ِمنَ ال ُمؤ ِمنِينَ اقتَتَلُوا فَاَص ِل ُحوا بَينَ ُه َماۚ فَاِن بَغَت اِح ٰدٮ ُه َما‬َ ‫َواِن‬
٩ َ‫ّللاَ يُ ِحب ال ُمقس ِِطين‬ّٰ َّ‫طوا ؕ اِن‬ُ ‫س‬ ِ ّٰ ‫َحتّٰى تَ ِفى َء ا ِٰلى اَم ِر‬
ِ ‫ّللا ۚ فَاِن فَا َءت فَاَص ِل ُحوا بَينَ ُه َما بِالعَد ِل َواَق‬

“Dan apabila ada dua golongan orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara
keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka
perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah
Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara
keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang
berlaku adil.”

Juga QS. Al-Ma’idah: 33

‫ط َع اَيدِي ِهم‬َّ َ‫صلَّبُ ۤۡوا اَو تُق‬


َ ُ‫سادًا اَن يقَتَّلُ ۤۡوا اَو ي‬
َ َ‫ض ف‬
ِ ‫سولَه َويَسعَونَ فِى اۡلَر‬ ّٰ َ‫اِنَّ َما َج ٰزؤُا الَّذِينَ يُ َح ِاربُون‬
ُ ‫ّللاَ َو َر‬
ۙ ‫عذَاب ع َِظيم‬ َ ‫اۡل ِخ َر ِة‬ٰ ‫ض ؕۚ ٰذ ِلكَ لَ ُهم ِخزى فِى الدنيَا َو لَ ُهم فِى‬ ِ ‫َواَر ُجلُ ُهم ِمن ِخ ََلف اَو يُنفَوا ِمنَ اۡلَر‬
٣٣

“Hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat
kerusakan di bumi, hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka

1
Markus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm 158

3
secara silang,1 atau diasingkan dari tempat kediamannya. Yang demikian itu kehinaan bagi
mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat azab yang besar.”

Dasar dari hadis yakni hadis Qudsi yang berbunyi: “Wahai hambaku sesungguhnya aku
telah mengharamkan kezaliman atas diriku dan kami jadikan haram kepada kalian semua,
maka janganlah kalian berbuat zalim. Barang siapa setia kepada imam, maka taatilah sedapat
mungkin, jika orang lain datang dengan mempersengketakan kekuasaan (imam) maka
penggallah leher orang tersebut.”

C. Unsur-unsur Pemberontakan
Dalam tindak pidana pemberontakan terdapat tiga rukun penting, yaitu memberontak
terhadap pemimpin negara yang sah serta berdaulat, dilakukan secara demonstratif, dan
termasuk tindakan pidana.

1. Memberontak terhadap Pemimpin Negara yang Sah dan Berdaulat


Maksudnya adalah upaya untuk memberhentikan pemimpin negara dari
jabatannya. Pkara pemberontak tidak mau mematuhi undang-undang yang sah dan
tidak mau menunaikan kewajiban mereka sebagai warga negara. Namun demikian,
para ulama fiqh menyatakan bahwa pemberontakan yang muncul karena pemerintah
mengarahkan warganya untuk berbuat maksiat tidak dapat dinamakan al-baghyu.
Alasan ulama adalah sabda Rasulullah yang berbunyi “Mendengar dan menaati
pemimpin hukumnya haq (wajib) selama tidak memerintahkan kemaksiatan. Jika
diperintah untuk melakukan kemaksiatan, tidak wajib mendengar dan menaati. (HR.
Al-Bukhari). Dengan demikian, jika seorang kepala negara tidak memerintahkan
rakyatnya untuk berbuat maksiat, sekalipun kebijakannya tidak selalu membawa
kebaikan bagi seluruh rakyat, maka tetap wajib didengar dan ditaati. Masuk dalam
kategori pemimpin negara yang wajib ditaati adalah wakilnya, para menteri, para
hakim, dan semua aparat keamanan. Eksistensi dan keberadaan kepala negara yang
sah dan berdaulat hukumnya fardhu kifayah, seperti halnya lembaga peradilan. Hal ini
dinilai sangat penting karena dengan adanya negara yang sah dan berdaulat, hukum
dan aspek-aspek kehidupan lainnya dapat berjalan sebagaimana mestinya

4
2. Dilakukan Secara Demonstratif
Maksudnya adalah didukung oleh kekuatan bersenjata. Oleh sebab itu menurut
ulama fiqh, sikap sekadar menolak kepala negara yang telah diangkat secara aklamasi,
tidak dinamakan al-baghyu. Misalnya, sikap Ali bin Abi Thalib yang tidak mau
membaiat Abu Bakar atau sikap Ibnu Umar dan Abdullah bin Zubair yang tidak
mengakui keabsahan pemerintahan Yazid bin Mu’awiyyah. Sikap mereka tidak
termasuk al-baghyu karena sikap mereka tidak demonstratif. Menurut Abdul Qadir
Audah, keengganan Ali tersebut hanya berlangsung selama satu bulan. Setelah itu, ia
membaiat Abu Bakar. Adapun orang yang hingga wafat tidak mau membaiat adalah
Sa’ad bin Ubadah.2

3. Termasuk Perbuatan Pidana


Maksudnya adalah usaha untuk menggulingkan pemerintahan yang sah dan
berdaulat dengan cara mengacau ketertiban umum. Apabila tindakan para pelaku itu
tidak menjurus pada penggulingan pemerintahan dan tidak pula melakukan tindak
pidana (seperti membunuh, merampas, memperkosa, dan merampok), maka ulama
fiqh menyatakan bahwa itu tidak termasuk al-baghyu.3

D. Sanksi/Hukuman
Bila dicermati dasar hukum dari pelaku pemberontakan (QS. Al-Hujarat: 33) di atas, maka
sanksi bagi pelaku pemberontak harus diperangi (qathilu). Kata diperangi mengandung makna
suatu kontak senjata yang terjadi yang dapat berakibat hilangnya nyawa (kematian) terhadap
pelaku al-baghyu. Penye- rangan terhadap pemberontak harus didahului dengan menghubungi
dan menanyakan kepada mereka alasan yang menyebabkan mereka keluar dari ketaatan
kepada pemimpin (imam). Dan Imam harus lebih dahulu mengajak mereka kepada ketaatan.
Jika mereka menolak maka mereka boleh diperangi dan bahkan membunuhnya.

Hukum bunuh bagi pemberontak dipahami oleh sebagian ulama sebagai serangan balik dan
hanya ditujukan untuk mematahkan pemberontak guna mengembalikan ketaatannya kepada

2
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar grafika, 2005), hlm. 109.
3
Nurul Irfan, Masyrofah. Fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2015), hlm 62.

5
penguasa yang sah. Memerangi pemberontak hukumnya wajib, karena menegakkan hukum
Allah sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran ayat 9 surah al-Hujarat di atas.

Mereka meresahkan masyarakat, merusak keamanan dan etentraman Negara, dan


menibulkan fitnah di tengah- tengah masyarakat. Islam memerintahkan pemerintah yang sah
untuk mengajak dan berunding supaya mereka kembali bergabung dengan mayoritas orang
Islam atau mayoritas warga Negara. Apabila tidak bersedia bergabung, maka pemerintah
harus memerangi mereka samai mereka sadar dan bergabung dengan pemerintah yang
ddukung oleh mayoritas warga Negara muslim.

Apabila ada perintah dari pemerintah untuk ikut memerangi kaum pemberontak, maka
setiap muslim yang mampu wajib melaksanakan perintah tersebut, karena taat kepada
pemerintah pada hal-hal yang bukan maksiat hukumnya adalah wajib. Pelaku pemberontak
yang terbunuh tetap harus dimandikan, dikafani, dan dikuburkan, hanya saja tidak perlu
dishalati sebagaimana dipraktekkan oleh Ali bin Abi Thalib. Dengan demikian hukuman
hukuman mati bagi pemberontak adalah suatu ketentuan hukum yang tidak bertentangan
dengan syari’at Islam.4

Dalam menentukan sanksi terhadap para pelaku pemberontak, ulama fiqh membagi
jarimah pemberontak itu menjadi dua bentuk, yaitu sebagai berikut:

1. Para pemberontak yang tidak memiliki kekuatan senjata dan tidak menguasai daerah
tertentu sebagai basis mereka, pemerintah boleh memenjarakan mereka sampai
mereka bertaubat.
2. Para pemberontak yang menguasai suatu daerah dan memiliki kekuatan senjata,
pemerintah harus melakukan tindakan sesuai dengan petunjuk Surah Al-Hujurât (49)
ayat 9. Pemerintah harus mengimbau mereka untuk mematuhi segala peraturan yang
berlaku. Apabila usaha ini disambut dengan gerakan senjata, pemerintah boleh
memerangi mereka. 5

4
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm 108.
5
Nurul Irfan, Masyrofah. Fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2013), hlm 59.

6
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Apabila pemberontakan dilakukan oleh sekelompok orang ketika hukum di suatu negara
tidak berjalan dan terjadi kekosongan kepemimpinan resmi, maka itu tidak disebut
pemberontakan. al-baghyu adalah suatu usaha atau gerakan yang dilakukan oleh seseorang
atau sekelompok orang yang bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah.
menjatuhkan sanksi bagi pelaku jarimah al-baghyu ini harus dilakukan secara hati-hati dan
tidak boleh gegabah. Sebab bagaimanapun yang dihadapi oleh pemerintah itu bukan musuh
yang harus dibunuh, melainkan sedang berhadapan dengan pihak yang kecewa terhadap
kebijakan yang selama ini telah dijalankan. Selain itu, sangat mungkin pemberontak itu juga
beragama Islam, sama dengan pemerintah yang

7
Daftar Pustaka

Hakim Rahmat. Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah). Bandung: Pustaka Setia. 2000.
Irfan Nurul, Masyrofa.

Fiqh Jinayah. Jakarta: AMZAH. 2013.

Irfan Nurul, Masyrofa. Fiqh Jinayah. Jakarta: AMZAH. 2019.

Muslich Ahmad Wardi. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika. 2005.

Munajat Markus. Hukum Pidana Islam di Indonesia. Yogyakarta: Teras. 2009.

Anda mungkin juga menyukai