Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

Antara perampokan pemberontakan terdapat beberapa kemiripin. Perampokan adalah


tindakan memerangi Allah dan RasulNya tanpa menggunakan alas an (ta’wil), melainkan
bertujuan mengadakan kekacauan di muka bumi dan mengganggu keamanan. Sedangkan
pemberontakan adalah juga memerangi Allah dan Rasul, tetapi dengan memakai alas an (ta’wil).
Alasan tersebut biasanya alasan politis sehingga tindakanyang dilakukan bukan hanya sekedar
mengadakaan kekacauan dan menganggu keamanan, melainkan tindakan yang targetnya adalah
mengambil alih kekuasaan atau menjatuhkan pemerintahaan yang sah. Sehubungan dengan
adanyaa kemiripan tersebut maka perlu adanya pembahasan yang sangat detail sehingga tidak
ada kerancuan yang membingungkan.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN PEMBERONTAKAN (Al-BAGHYU)


Pemberontakan atau al-bughyu menurut arti bahasa adalah :

‫ طلب الشيئ‬... ‫ﺍﺍلبغي لغة‬


“….Mencari atau menuntut sesuatu….”1
Pengertian tersebut kemudian menjadi popular untuk mencari dan menuntut sesuatu yang
tidak halal, baik karena dosa maupun kezaliman. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam
firman Allah Surah Al-‘Araf ayat 33 :
          
  
Katakanlah “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak
maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa melanggar hak manusia tanpa alasan yang
benar…” (QS. Al-‘Araf : 33)2
Dalam pengertian istilah terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama
mazhab yang redaksinya berbeda-beda, diantaranya adalah:
1. Pendapat Malikiyah

‫ اإلمتناع عن طاعة من ثبتت إمامته في غير معصية بمغالبته ولو تأوﻴﻼ‬... ‫البغي‬
“Pemberontakan…adalah menolak untuk tunduk dan taat kepada orang yang
kepemimpinannya telah tetap dan tindakannya bukan dalam maksiat, dengan cara
menggulingkannya, dengan menggunakan alas an (ta’wil).”3
Dari definisi tersebut, Malikiyah mengartikan Bughyat atau pemberontakan sebagai
berikut :

‫ فرقة من المسلمين خالفة اإلمام األعظم او نائبه لمنع حق وجب عليها او‬... ‫البغاة‬
‫لخلعه‬
“Pemberontakan adalah sekelompok kaum muslimin yang berseberangan dengan al-
Imam Al-A’zham (kepala negara) atau wakilnya, dengan menolak hak danb kewajiban
atau bermaksud menggulingkannya.”

2. Pendapat Hanafiyah

1
Abd al-Qadir Audah , At-Tasyi’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, Juz II, Dar Al-Kitab Al-‘Arabi, Beirut, tanpa tahun, hlm. 671.
2
T.M Hasbi Ash-Shiddiqi, dkk., Al-quran dan Terjemahan, Mujamma’ Khadim Al-Haraman, Madinah, 141, hlm.
846.
3
Abd Al-Qadir udah Op. Cit. hlm. 226.

2
‫ الخروج عن طاعته إمام الحق بغير حق‬... ‫البغي‬
“Pemberontakan adalah….keluar dari ketaatan kepada imam (kepala negara) yang
benar (sah) dengan cara yang tidak benar (sah).”
3. Pendapat Syafi’iyah dan Hanabilah

‫ هو خروج جماعة ذات شوكة ورئيس مطاع عن طاعة‬... ‫فالبغي‬


‫اإلمام بتأويل فاسد‬
“Pemberontakan….adalah keluarnya kelompok yang memiliki kekuatan dan pemimpin
yang ditaati, dari kepatuhan kepada kepala negara (imam), dengan menggunakan alasan
(ta’wil) yang tidak benar.”
Dari definisi-definsi yang dikemukakan oleh para ulama tersebut, terlihat adanya
perbedaan yang menyangkut persyaratan yang harus dipenuhi dalam jarimah pemberontakan,
tetapi tidak dalam unsur yang prinsipil. Apabila diambil intisari dari definisi-definisi
tersebut, dapat dikemukakan bahwa pemberontakan adalah pembangkangan terhadap kepala
negara (imam) dengan menggunakan kekuatan berdasarkan argumentasi atau alasan (ta’wil).

B. DASAR HUKUM PEMBERONTAKAN (BUGHYU)


Dasar hukum yang menjadi acuan sanksi hukum bughyu dalam Al-qur’an di antaranya :
1. Al-qur’an Surah Al-Hujaraat ayat 9
        
  
           
 
       
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu
damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang
lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada
perintah Allah. kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan,
dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang
berlaku adil.”
2. Alqur’an Surah Al-Hujaraat ayat 10
        
  
“Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah
(perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah,
supaya kamu mendapat rahmat.”
3. Al-quran Surat An-Nisa’ ayat 59

3
        
   
          
  
   
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya.”
Ketiga ayat tersebut saling berkaitan dengan erat. Surat An-nisaa’ ayat 59 berisi
perintah untuk tunduk kepada Allah, Rasul, dan ulil amri (pemerintah). Pembangkaan
terhadap ulil amri (pemerintah) yang sudah disepakati keabsahannya merupakan suatu
pengingkaran terhadap pemerintah, dan itu termasuk kepada tindak pidana. Apabila
pengingkaran tersebut diikuti dengan langkah-langkah nyata yang menjurus kepada
pergulingan pemerintah secara sah maka perbuatan tersebut merupakan tindak pidana
pemberontakan. Sedangkan Surat Al-Hujarat ayat 9 berisi tindakan penyerangan oleh
satu kelompok kepada kelompok yang lain, dan upaya penyelesaiaya berupa penumpasan
yang diikiti dengan upaya pendamaian, yang diperkuat oleh Surat Al-Hujarat ayat 10.
Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abdullah bin Umar ra. Dari
Rasulullah SAW. Beliau bersabda :

‫عن أعطى إمام••ا ص••فقة ي••ده و ثم••رة ف•ؤاده فاليطع••ه مااس•تتطاع ف•إن ج•اء آخرينازع••ه‬
‫فاضربوا عنق اآلخر‬
“Barang siapa yang telah memberikan kepercayaan kepada imam (pemimpin) dengan
kedua tangan dan sepenuh tangannya dan sepenuh hatinya maka hendaklah ia
menaatinya sesuai dengan kemampuannya. Apabila datang orang lain yang menentang
dan melawannya maka pukullah leher orang lain tersebut.” 4
Dari ayat-ayat dan hadits yang telah dikemukakan diatas, jelaslah bahwa
pemberontakan terhadap pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah yang sudah
disepakati oleh masyarakat merupakan tindak pidana yang dapat dikenakan hukuman.
C. UNSUR-UNSUR JARIMAH PEMBERONTAKAN
1. Pembangkangan Terhadap Kepala Negara
Untuk terwujudnya jarimah pemberontakan diisyaratkan harus ada upaya
pembangkangan terhadap kepala negara. Pengertian membangkang adalah menentang
kepala negara dan berupaya untuk memberhentikannya, atau menolak untuk

4
Abd AAl-Qadir Audah, II, Op. Cit. hlm. 673.

4
melaksanakan kewajiban sebagai warga negara. Kewajiban atau hak tersebut bias
merupakan hak Allah yang ditetapkan untuk kepentingan perorangan (individu).
Contohnya, seperti penolakan untuk membayar zakat, penolakan untuk melaksanakan
putusan hakim, seperti hukum had zina atau hukuman qishah.
Akan tetapi berdasarkan kesepakatan para fuqoha, penolakan untuk tunduk
kepada pemerintah yang menjurus kepada kemaksiatan, bukan merupakan
pemberontakan, melainkan merupakan suatu kewajiban. Hal ini oleh karena karena
ketaatan tidak diwajibkan kecuali di dalam kebaikan, dan tidak boleh dalam
kemaksiatan. Oleh karena itu apabila seorang imam (kepala negara) memerintahkan
sesuatu yang bertentangan dengan syarat maka tidak ada kewajiban bagi siapaun untuk
manaati apa yang diperintahkan.
Para Ulama mazhab telah sepakat bahwa memerangi dan menumpas orang-orang
yang membangkang terhadap pemerintah yang sah tidak boleh dilakukan sebrelum
mereka ditanya tentang sebab pembangkangannyaitu. Apabila mereka menyebut
beberapa kezaliman atau penyelewengan yang dilakukan oleh pemerintah dan mereka
memiliki fakta-fakta yang benar maka imam harus berupaya menghentikan kezaliman
dan penyelewengan tersebut. Setelah itu, mereka diajak untuk patuh dan tunduk kepada
imam atau kepala negara.apabila mereka tidak mau kembali maka barulah mereka
diperangi atau ditumpas. Ketentuan ini berdasarkan kepada firman Allah dalam surat al-
Hujarat ayat 9 seperti yang telah dikemukakan didepan. Dari ayat tersebut jelaslah bahwa
urutan penanganan kasus pemberontakan adalah ishlah, baru disusul dengan penumpasan,
bukan sebaliknya.
Sedangkan orang-orang yang keluar atau membangkang itu terdiri dari tiga
kelompok yaitu :
a. Orang-orang yang membangkang tanpa ta’wil (alasan), baik dengan menggunakan
kekuatan maupun tidak dengan kekuatan, mereka mengintimidasi, mengambil harta,
dan membunuh korbannya. Mereka ini termasuk kelompok perampok (Quththa’ Ath-
Thariq)
b. Orang-orang yang membangkang tetapi mereka tidak memiliki kekuatan, meskipun
mereka mempunyai alas an (ta’wil). Mereka juga termasuk kelompok perampok
(Quththa’ Ath-Thariq)
c. Orang-orang yang membangkang kepada pemerintah yang sah dengan alasan (ta’wil)
pemerintahnya menyeleweng, melakukan maksiat, dan lain-lain yang oleh mereka
dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam, lalu mereka menggunakan

5
kekuatan untuk mencapa tujuannya. Mereka inilah yang disebut dengan pelaku
jarimah pemberontakan.5
Adapun yang dimaksud dengan alasan atau argumentasi (ta’wil)adalah suatu
pernyatan berisi penjelasan tentang sebab-sebab dan alasan-alasan pembangkangan
mereka terhadap pemerintah, baik alasan tersebut benar atau tidak (fasid). Contoh
argumentasi yang tidak benar seperti alasan dari orang-orang yang menolak membayar
zakat, karena zakat itu harus diberikan kepada orang yang doanya dapat menentramkan
jiwa mereka. Alasan tersebut didasarkan kepada firman Allah Surat At-Taubah ayat 103 :
          
 
     
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan[658]
dan mensucikan[659] mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu
(menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha
Mengetahui.”
(Maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-
lebihan kepada harta benda, zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati
mereka dan memperkembangkan harta benda mereka)
Adapun yang dimaksud dengan kekuatan adalah adanya jumlah yang banyak dari
para anggota yang memberotak, atau kekuatan fisik dan senjata, serta dukungan logistik
dan dana yang memungkinkan mereka mengadakan perlawanan. Hanabilah mengartikan
kekuatan dengan sesuatu (gabungan orang dan senjata) yang untuk menumpaskannya
diperlukan prajurit yang banyak. 6 Syafi’iyah mensyaratkan untuk terwujudnya kekuatan
diperlukan seorang pemimpin yang ditaati, karena kekuatan tidak akan sempurna kecuali
dengan adanya seorang pemimpin. Pendapat Syafi’iyah ini cukup beralasan, karena
berapapun banyaknya anggota dan betapapun kuatnya suatu kelompok tetapi kalau tidak
ada pemimpinnya yang kharismatik dan berwibawa maka kelompok tersebut dianggap
tidak mempunyai kekuatan. Dengan demikian, pengertian kekuatan itu harus berupa
gabungan dari unsure personil, senjata, logistik, dan pemimpin yang pandai mengatur
taktik dan strategi.
2. Pembangkangan Dilakukan dengan Kekuatan
Agar tindakan pembangkangan dianggap sebagai pemberontakan, disyaratkan harus
sertai dengan penggunaan dan pengerahan kekuatan. Apabila sikap tersebut tidak disertai

5
Abd Ar-Rahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Al-Mazhahib Al-Arba’ah, Juz V, Dar Al-Fikr, Beirut, tanpa tahun, hlm.
418.
6
Abdullah bin Muhammad ibn Qudamah, Al-Muhni, Juz VIII, Dar Al-Manar, 1368H, hlm. 181

6
dengan penggunakan kekuatan maka hal itu tidak dianggap sebagai pemberontakan.
Contohnya seperti keengganan untuk membaiat (mendukung) seorang imam, setelah ia
didukung oleh suara mayoritas, walaupun ia mengajak orang lain untuk memecat imam itu,
dan ia tidak tunduk kepadanya; atau menolak untuk melaksanakan kewajiban tetapi baru
sebatas ajakan semata.
Pemberontakan menurut Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad dimulai sejak
digunakannya kekuatan secara nyata maka pembangkangan itu belum dianggap sebagai
pemberontakan, dan mereka diperlakukan sebagai orang yang adil (tidak bersalah). Apabila
baru dalam tahap penghimpunan kekuatan saja, maka tindakan mereka belum dianggap
sebagai pemberontakan, melainkan hanya dikategorikan sebagai ta’zir. Akan tetapi menurut
Imam Abu Hanifah, mereka itu sudah dianggap sebagai pemberontak. Hal ini karena
menurut Imam Abu Hanifah, pemberontakan itu sudah dimulai sejak mereka berkumpul
untuk menghimpun kekuatan dengan maksud untuk berperang dan membangkang terhadap
imam, bukan menunggu sampai terjadinya penyerangan secara nyata. Kalau situasinya sudah
demikian, justru malah lebih sulit untuk menolak dan menumpasnya.7
3. Adanya Niat Yang Melanggar Hukum
Untuk terwujudnya tindak pidanas pemberontakan, disyaratkan adanya niat yan
melawan hokum dari mereka yang membangkang. Unsure ini yang dipenuhi apabila
seseorang bermaksud menggunakan kekuatan untuk menjathkan imam atau tidak
menaatinya. Apabila tidak ada maksud untuk keluar dari imam, atau tidak ada maksud untuk
menggunakan kekuatan makaperbuatan pembangkang itu belum dikategorikan sebagai
pemberontakan.
Untuk bisa dianggap keluar dari imam, disyaratkan bahwa pelaku bermaksud utuk
mencopot (menggulingkan) imam, atau tidak menaatinya, atau menolak untuk melaksanakan
kewajiban yang dibebankan oleh syara’. Dengan demikian, apabila niat atau tujuan
pembangkangannya itu untuk menolak kemaksiatan, pelaku tidak dianggap sebagai
pemberontak. Apabila seorang pembangkang melakukan jarimah-jarimah sebelum
mughalabah (penggunaan kekuatan) atau setelah selesainya pemberontakan maka di sini
tidak diperlukan adanya niat untuk memberontak, karena dalam hal ini ia tidak dihokum
sebagai pemberontak, melainkan sebagai jarimah biasa.

D. PERTANGGUNGJAWABAN TINDAK PIDANA PEMBERONTAKAN


Pertanggungjawaban tindak pidana pemberontakan, baik pidana maupun perdata,
berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kondisi tindak pidananya. Pertanggungjawaban

7
Abd Al-Qadir Audah, II, Op.Cit., hlm. 688-689

7
sebelum mughalabah dan sesudahnya berbeda dengan pertanggungjawaban atas tindak
pidana pada saat terjadinya mughalabah (penggunaan kekuatan)
1. Pertanggungjawaban Sebelum Mughalabah Dan Sesudahnya
Orang yang melakukan pemberontakan dibebani pertanggungjawaban atas semua
tindak pidana yang dilakukakn sebelim mughalabah (pertempuran, baik perdata maupun
pidana, sebagai pelaku jarimah biasa. Demikian pula halnya jarimah yang terjadi setelah
selesainya mughalabah (pertempuran). Apabila sebelum terjadinya pemberontakan ia
membunuh orang, ia dikenakan hukuman qishah. Jika ia melakukan pencurian maka ia
dihukum sebagai pencuri, yaitu potong tangan apabila syara-syaratnya terpenuhi. Apabila ia
merampas harta mili orang lain a ia diwajibkan mengganti kerugian. Jadi, dalam hal ini ia
tidak dihukum sebagai pemberontak, meskipun tujuan akhirnya pemberontakan.
2. Pertanggungjawaban atas Perbuatan Pada Saat Mughalabah
Tindak pidana yang terjadi pada saat-saat terjadinya pemberontakan dan
pertempuaran ada dua macam yaitu :
 Tindak pidana yang berkaitan langsung dengan pemberontakan
 Tindak pidana yang tidak berkaitan langsung dengan pemberontakan
a) Yang Berkaitan langsung Dengan Pemberontakan
Tindak pidana yang berkaitan langsung dengan pemberontakan, seperti merusak
jembatan, membom gudang amunisi, gedung-gedung pemerintahan, membunuh para pejabat
dan menawannya, semuanya itu tidak dihukum dengan hukuman untuk jarimah biasa,
melainkan dengan hukuman untuk jarimah pemberontakan yaitu, hukuman mati apabila tidak
ada pengampunan (amnesti). Caranya dengan melakukan penumpasan yang bertujuan untuk
menghentikan pemberontakannya dan melumpuhkannya. Apabila mereka telah menyerah
dan meletakkan senjatanya, penumpasan harus dihentikan dan mereka dijamin keselamatan
jiwa dan hartanya. Tindakan selanjutnya, pemerintah (ulil amri) boleh mengampuni mereka
atau menghukum mereka dengan hukuman ta’zir atas tindakan pemberontakan mereka,
bukan karena jarimah atau perbuatan yang mereka lakukan pada saat terjadinya
pemberontakan. Dengan demikian, hukuman yang dijatuhkan atas para pemberontak setelah
mereka dilumpuhkan dan ditangkap adalah hukuman ta’zir.
b) Yang Berkaitan Dengan Pemberontakan
Adapun tindak pidana yang terjadi pada saat berkecamuknya pertempuran tetapi tidak
berkaitan dengan pemberontakan, seperti minum-minuman keras, zina atau pemerkosaan,
dianggap sebagai jarimah biasa, dan pelaku perbuatan tersebut dihukum dengan hukuman
hudud sesuai dengan jarimah yang dilakukannya. Dengan demikian, apabila pada saat
berkecamuknya pertempuran seorang anggota pemberontak memperkosa seorang gadis dan

8
ia ghair muhshan maka ia dikenakan hukuman jilid (dera) seratus kali ditambah dengan
pengasingan.
Adapun pertanggungjawaban perdata bagi para pemberontak tidak ada jika mereka
merusak dan menghancurkan asset-aset negara yang dianggap oleh mereka perlu
dihancurkan, demi kelancaran serangan dan upaya pemberontakan. Adapun perusakan harta
yang berkaitan dengan pemberontakan, misalnya harta kekayaan individu maka mereka tetap
dibebani pertanggungjawaban perdata. Dengan demikian, barang yang diambil harus
dikembalikan dan yang dihancurkan harus diganti. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam
Abu Hanifah, dan pendapat yang shahih dikalangan mazhab Syafi’i. Namun, dikalangan
mazhab Syafi’i ada yang berpendapat bahwa pemberontakan harus bertanggungjawab atas
semua barang yang dihancurkan, baik yang ada kaitannya dengan pemberontakan atau tidak,
karena hal itu mereka lakukan dengan melawan hukum.

E. TUJUAN HUKUMAN BUHGYU (PEMBERONTAKAN)


Keberlakuan hukuman mati terhadap orang yang melakukan hukuman
pemberontakan ter hadap pemerintah yang sah didasari oleh pertimbangan bahwa :
Tanpa pelaksanaan pemerintahan maka masyarakat akan kacau, orang yang melakukan
perlawanan terhadap pemerintahan yang sah berdasarkan hukum Islam berarti sama dengan
orang yang melawan kemauan Allah SWT. Dan rasulNya.

BAB III
PENUTUP
Para pemberontak bertanggungjawab terhadap tindak pidana secara khusus sebelum dan
sesudah pemberontakan. Adapun kejahatan waktu pemberontakan ada dua macam yaitu
kejahatan yang berkaitan langsung dengan pemberontakan dan kejahatan yang tidak berkaitan
langsung.

9
DAFTAR PUSTAKA

1. Abd al-Qadir Audah, At-Tasyi’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-‘Arabi, tanpa
Tahun), Juz 2.
2. Hasbi Ash-Shiddiqi, Al-Quran dan Terjemahan, (Madinah: Mujamma’ khadim Al-Haraman,
2003)
3. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007). Cet. I
4. A. Djazuli, Fiqh jinayah, (Jakarta: Pt. raja Grafindo Persada, 2000). Cet. III

10
11

Anda mungkin juga menyukai