Anda di halaman 1dari 50

Al-Baghyu atau Pemberontakan dalam Hukum Pidana Islam

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Kejahatan atau kekerasan adalah suatu fenomena yang sering kita dengar dan
lihat, baik di media massa maupun realitas yang ada di sekitar lingkungan dan
masyarakat kita. Kejahatan adalah hal yang sulit dihilangkan dalam kehidupan, bahkan
sejak zaman Rasulullah sampai para sahabat, tak terlepas dari adanya kejahatan yang
timbul di zamannya. Al-Qur’an sendiri dengan tegas mengatur hukuman bagi
orang-orang yang melakukan tindak kejahatan, tetapi tetap saja sulit untuk mencegah
adanya kejahatan secara menyeluruh.

Kabar terbaru dan yang hangat dibicarakan, khalayak serta media massa dan
elektronik yaitu tindakan makar (Al-Baghyu). Bentuk kejahatan masal yang
mengorbankan banyak nyawa tak berdosa. Pemerintah dan masyarakat bahu-membahu
untuk memberantas danmencegah segala kemungkinan terjadinya tindakan tindakan
makar (Al-Baghyu).

Pada kesempatan kali ini, pemakalah diberikan kepercayaan untuk membahas


tentang “Pidana Tindakan makar (Al-Baghyu) (Pendekatan Fikih Jinayah dan KUHP)”.
Pemakalah akan mencoba membahas, terutama tentang hukuman yang akan
diberikan pada pelaku tindakan makar (Al-Baghyu) berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an
yang sudah ada, dan dari undang-undang negara yang berpedoman pada KUHP (Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana).

Semoga apa yang pemakalah sajikan dapat bermanfaat bagi pemakalah sendiri
dan umumnya untuk kita semua, hal-hal yang kurang sempurna dan banyak kesalahan
baik dalam penulisan maupun pembahasan, pemakalah memohon maaf yang
sebesar-besarnya dan pemakalah menerima setiap komentar, kritik dan saran untuk
dapat memperbaiki makalah ini yang pemakalah sadari penuh dengan kekurangan.

B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Al-Bghyu/Pemberontakan?

2. Apa Dasar Hukum Al-Baghyu/Pemberontakan dalam nash?

3. Apa saja indikasi dari perbuatan Pemberontakan?

4. Apa saja hal-hal yang berhubungan dengan tidakan Pemberontakan dalam perspektif
Fiqh Jinayah dan perspektik Hukum Negara Indonesia?
C. Tujuan Penyusunan

Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk mensosialikan mengenai perbuatan
Al-Bahyu/Al-Hirabah/Pemberontakan/Terorisme dalam pandangan Fiqh Jinayah
(Hukum Pidana Islam) dan Pandangan Hukum Negara Repubik Indonesia (KUHP).
BAB II

PEMBAHASAN
1. Pengertian Al-Baghyu (Pemberontakan)
Al-Baghyu menurut bahasa adalah mencari, menghendaki, menginginkan,
melampaui batas, zalim.1[1] Pemberontakan menurut kamus besar bahasa Indonesia
adalah proses, cara, perbuatan memberontak; penentangan terhadap
kekuasaan yang sah.2[2] Sedangkan menurut istilah Al-Baghyu adalah keluarnya
seseorang dari ketaatan kepada Imam yang sah tanpa alasan. Pemberontakan
merupakan upaya melakukan kerusakan. Islam memerintahkan Pemerintah untuk
berunding, dan diperangi apabila tidak bersedia kembali bergabung dalam masyarakat.
Bahkan mayatnya tidak perlu dishalati seperti yang lakukan oeh Ali bin Abi
Thalib..3[3]

Kata al-baghyu artinya dzalim atau aniaya, sedangkan kata al-baaghy menurut
istilah ulama adalah orang yang menentang pemerintah yang adil dan tidak mau
melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya.4[4]
2. Jinayah Perbuatan Pemberontakan/Makar/Al-Baghyu/Terorisme

Jarimah mengenai jinayah perbuatan makar atau al-baghyu telah diatur dalam
nash baik al-quran maupun sunnah selain telah diatur dalam hukum pidana islam
perbuatan inipun telah dibahas dalam regulasi pemerintahan Indonesia yang biasa
disebut dalam Undang-undang sebagai kejahatan terorisme.

Pidana tentang terorisme gancar dibuat serentak dengan gencarnya serangan dari
pelaku terorisme. Pidana terorisme dapat dipandang dari dua sudut, yaitu dipandang
dari sudut Fikih Jinayah dan Regulasi pemerintahan Indonesia berupa Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pidana terorisme dapat dipandang dari sudut

1[1] Kamus VerbAce-Pro


2[2] Kamus Besar Bahasa Indonesia
3[3]
http://islamwiki.blogspot.com/2010/08/memahami-kembali-hukum-pidana-islam.html
4[4] Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husaini. Kifayatul Akhyar Jilid III. (Surabaya: PT. Bina Ilmu,
1997). hHal. 125.
Fikih Jinayah karena di dalam tindakan terorisme ada unsur-unsur yang serupa dengan
pemberontakan, pembunuhan, dan penganiayaan atau pencederaan. Yang pidananya
telah diatur dalam al-Qur’an dan al-Hadis.

3. Al-Baghyu Dipandang Dari Sudut Pandang Fikih Jinayah

Salah satu bentuk pemberontakan yang terkenal di Indonesia adalah perbuatan


terorisme yang dapat dikatagorikan sebagai pemberontakan, karena kenyataannya
praktek terorisme mengancam keamanan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, oleh karena itu pemakalah memasukkan pidana pemberontakan ke dalam
pidana terorisme.

Para mujtahidin sepakat, apabila seseorang atau sesuatu golongan memberontak


terhadap negara dengan cukup alasan, dibolehkan kepala negara memerangi mereka
sehingga mereka kembali kepada kebenaran. Apabila mereka menyadari kesalahan,
hendaklah dihentikan penumpasan. 5[5] Jadi menumpas pemberontakan adalah wajib
karena dari segi perbuatan ini sudah menyalahi hukum Allah, maka dia termasuk pada
perbuatan maksiat dan oleh karena terhadap pelakunya dikenai ancaman yang bersifat
fisik di dunia, maka tindakan tersebut termasuk pada jinayah atau jarimah hudud.

4. Dasar Hukum ditetapkannya Jarimah Al-Baghyu/Pemberontakan

Yang menjadi dasar diancamnya pelaku makar atau pemberontakan atau


al-baghyu tersebut adalah al-Qur’an dan As-Sunnah.

5[5] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy. Hukum-Hukum Fiqh Islam. (Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 2001). hal. 478-479.
4.1. Dasar Hukum dalam Al-Qur’an
QS. Al-Maidah Ayat 33

¼ã&s!qß™u‘ur ©!$# tbqç/Í‘$ptä† tûïÏ%©!$# (#ätÂt“y_ $yJ¯RÎ)


÷rr& (#þqè=-Gs)ムbr& #·Š$|¡sù ÇÚö‘F{$# ’Îû tböqyèó¡tƒur
ô`ÏiB Nßgè=ã_ö‘r&ur óOÎgƒÏ‰÷ƒr& yì©Üs)è? ÷rr& (#þqç6¯=|Áãƒ
óOßgs9 š•Ï9ºsŒ 4 ÇÚö‘F{$# šÆÏB (#öqxÿYム÷rr& A#»n=Åz
íOŠÏàtã ë>#x‹tã Íot•ÅzFy$# ’Îû óOßgs9ur ( $u‹÷R‘‰9$# ’Îû Ó“÷“Åz
ÇÌÌÈ

“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan


Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau
disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik6[6], atau dibuang
dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan
untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar,” (QS.
Al-Maidah : 33)

QS. As-Syuro Ayat 40

$xÿtã ô`yJsù ( $ygè=÷WÏiB ×py¥ÍhŠy™ 7py¥ÍhŠy™ (#ätÂt“y_ur


•=Ïtä† Ÿw ¼çm¯RÎ) 4 «!$# ’n?tã ¼çnã•ô_r'sù yxn=ô¹r&ur
ÇÍÉÈ tûüÏJÎ=»©à9$#

6[6] Maksudnya Ialah: memotong tangan kanan dan kaki kiri; dan kalau melakukan lagi
Maka dipotong tangan kiri dan kaki kanan.
“Dan Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, Maka barang
siapa memaafkan dan berbuat baik 7 [7] Maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.
Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. As-Syuraa :40 )

QS. Al-Hujurot Ayat 9

(#qè=tGtGø%$# tûüÏZÏB÷sßJø9$# z `ÏB Èb$tGxÿͬ!$sÛ bÎ)ur


’n?tã $yJßg1y‰÷nÎ) ôMtót/ .bÎ*sù ( $yJåks]÷•t/ (#qßsÎ=ô¹r'sù
uäþ’Å"s? 4Ó®Lym ÓÈöö7s? ÓÉL©9$# (#qè=ÏG»s)sù 3“t•÷zW{$#
$yJåks]÷•t/ (#qßsÎ=ô¹r'sù ôNuä!$sù bÎ*sù 4 «!$# Ì•øBr& #’n<Î)
šúüÏÜÅ¡ø)ßJø9$# •=Ïtä† ©!$# ¨bÎ) ( (#þqäÜÅ¡ø%r&ur ÉAô‰yèø9$$Î/
ÇÒÈ

“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang
hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar
Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu
perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah
antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya
Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil.(QS. Al-Hujurat: 9)”

4.2. Dasar Hukum Dalam As-Sunnah

‫من أعطى إماما صفقة يده و ثمرة فؤاده فليطعه مااستطاع فإن جاء آخر ينازعه فاضربوا عنقه‬
)‫(مسلم‬

7[7] Yang dimaksud berbuat baik di sini ialah berbuat baik kepada orang yang berbuat jahat kepadanya.
Siapa yang telah memberikan bai’atnya kepada seorang imam (penguasa) dan telah
menyatakan kesetiaan hatinya, maka patuhilah dia semaksimal mungkin. Bila datang
yang lain memberikan perlawanan kepadanya, maka bunuhlah dia. (HR. Muslim)

‫من حمل علينا السالح فليس منا‬

“Barang siapa membawa senjata untuk mengacau kita, maka bukanlah ia termasuk
umatku (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar).

‫من خرج على الطاعة وفارق الجماعة ومات فميتته جاهلية‬

“ Barang siapa keluar dari loyalitas agama dan berpisah dari jama’ahnya kemudian
ia mati maka mayatnya adalah mayat jahiliah (HR. Muslim)

Dari penjelasan Allah dalam al-Qur’an dan hadis Nabi tersebut di atas dapat
dipahami bahwa tindakan yang dilakukan terhadap pemberontak tersebut adalah
sebagai berikut8[8] :

Pertama : melakukan ishlah atau perdamaian dengan pihak pelaku makar, yang
dalam ishlah tersebut imam menuntut para pelaku makar untuk menghentikan
perlawanannya dan kembali taat kepada imam. Bila perlawanan tersebut dilakukan
karena imam telah berlaku zhalim dan menyimpang dari ketentuan agama, maka imam
memberikan penjelasan atau memperbaikinya.

8[8] Amir Syarifuddin. Garis-Garis Besar Fiqh. (Jakarta: Kencana, 2005). hal. 315.
Kedua : bila cara pertama tidak berhasil dalam arti perlawanan masih tetap
berlangsung maka imam memerangi dan membunuh pelaku makar, sampai selesai dan
tidak ada lagi perlawanan.

Di dalam Ensiklopedi Hukum Islam, untuk dapat menentukan hukuman terhadap


pemberontak, ulama fikih membagi pemberontakan menjadi dua bentuk.

Pertama: para pemberontak yang tidak memiliki kekuatan persenjataan dan tidak
menguasai daerah tertentu sebagai basis mereka. Untuk pemberontak seperti ini, ulama
fikih sepakat menyatakan bahwa pemerintah yang sah boleh menangkap dan
memenjarakan mereka sampai meraka sadar dan bertaubat.

Kedua: pemberontak yang menguasai suatu daerah dan memiliki kekuatan


bersenjata. Terhadap para pemberontak seperti ini, pihak pemerintah menghimbau
terlebih dahulu untuk menyerah dan bertaubat, jika masih melawan maka pemerintah
dapat memerangi mereka.
5. Syarat- Syarat Al-Baghyu/Pemberontakan yang dapat dijatuhi Hukuman
a. Pelaku hirabah orang mukallaf.
b. Pelaku hirabah membawa senjata.
c. Lokasi hirabah jauh dari keramaian.
d. Tindakan hirabah secara terang-terangan.
Mengenai syarat-syarat diatas terdapat beberapa pertentang diantara para ulama
sebagian ulam mengatakan bahwa jika hadd al-baghyu ini gugur bagi anak kecil dan
orang gila maka hadd tersebuutpun akan gugur bagi orang dewasa dan berakal namun
yang akan dikenakan haddnya adalah perbuatan yang telah dilakukan misalkan
perbuatan makar tersebut telah menewaskan seseorang maka pelaku makar tersebut
terkena hadd pembunuhan dan seterusnya berlaku bagi perbuatan yang lain.9[9]
Sedangkan menurut madzhab maliki dan dzahiriyah mengatakan bahwa hadd
pemberotakan gugur bagi anak kecil dan orang gila tetapi tidak gugur bagi orang

9[9] Sayyid sabieq. Fiqh Sunnah jilid 9. Bandung: PT.Al-Ma’arif.1993.Hal.177


dewasa dan berakal (mukallaf). Karena hadd ini adalah hak Alloh sedangkan dalam
melaksanakan hak Alloh itu anak kecil dan orang gila tidak boleh disamakan dengan
orang yang mukallaf.
Dalam hal ini tidak ada permasalahan mengenai gender dan status baik itu
laki-laki atau perempuan dan baik itu orang yang merdeka ataupun budak. Mengenai
permasalahn senjata Imam Syafi’i, Maliki, Pengikut Hambali, Abu Yusuf, Abu Tsaur
dan Ibnu Hazm yang dianggap hirabah adalah motif tindakan kejahatannya bukan
dilihat dari senjatanya. Namun berbeda dengan pandangan Imam Abu Hanifah yang
berpendapat bahwa tindakan yang hanya bersenjatakan batu dan tongkat tidak termasuk
hirabah.
Mengenai tempat keramaian sebagian ulama seperti Abu Hanifah, Tsauri,
Ishak, dan mayoritas ulama fiqh dari golongan fiqh berpendapat bahwa jika kejahatan
hirabah ini dilakukan ditempat keramaian maka ini tidak dapat dikatan hirabah karena
sang korban dapat meminta tolong sehingga akan dengan mudah melumpuhkan pelaku
kejahatan. Menurut sebagian ulama lain berpendapat bahwa tindak kejahatan itu
dipadang atau ditempat ramai sekalipun itu dapat dikategorikan hirabah karena ayat
mengenai hirabah secara umum menyangkut segala jenis hirabah baik dipadang
maupun ditempat keramaian.10[10]
Mengenai tindakan secara terang-terangan karena inilah sebagai pembeda dari
tindak kejahatan lainnya jika dilihat dari segi prosesnya apabila perbuatan kejahatan itu
secara senbunyi-sembunyi itu dinamakan pencurian dan jika ia merebut harta kemudian
lari maka itu dinamakan penjambretan atau perampasan.
6. Perbuatan-perbuatan yang Berhubungan dengan Al-Baghyu serta Hukuman
yang dijatuhkan bagi Pelakunya dalam Perspektif Hukum Pidana Islam (Fiqh
Jinayah)
6.1. Pembunuhan

Tidak diragukan lagi, faktanya kejahatan terorisme telah menelan banyak korban,
melihat fenomena itu, maka pemakalah menyamakan pidana terorisme dengan pidana
pembunuhan.

10[10] Ibid. Hal.178


Pembunuhan adalah suatu aktifitas yang dilakukan oleh seseorang dan atau
beberapa orang yang mengakibatkan seseorang dan atau beberapa orang meninggal
dunia.11[11] Hukuman yang akan dibahas adalah pembunuhan yang disengaja, karena
melihat dari motif pelaku terorisme adalah adanya unsur kesengajaan dalam melakukan
kejahatan.

Ancaman terhadap pembunuhan sengaja ada tiga bentuk, yaitu:

Pertama: hukuman pokok, terhadap pembunuhan sengaja adalah qishash atau


balasan setimpal. Karena pembunuhan ini mengakibatkan kematian, maka balasannya
yang setimpal adalah kematian juga.(QS. Al-Baqarah: 178).

Kedua: hukuman pengganti, hukuman ini dilaksanakan jika mendapat maaf dari
kerabat yang terbunuh (QS. Al-Baqarah: 178), dengan memberikan 100 ekor unta.

Ketiga: hukuman tambahan, baik qishash maupun diyat merupakan hak bagi
kerabat si terbunuh, mereka dapat menuntut dan pula tidak menuntut. Namun hukuman
tambahan ini merupakan hak Allah yang tidak dapat dimaafkan. Hukuman tambahan
pertama adalah kafarah dalam bentuk memerdekakan budak. Bila tidak dapat
melakukannya diganti dengan puasa dua bulan berturut-turut (QS. An-Nisa: 92).
Hukuman tambahan kedua adalah kehilangan hak mewarisi dari yang dibunuhnya.
6.2. Penganiayaan atau Pencederaan

Kejahatan terorisme menelan begitu banyak korban, tidak sedikit yang


meninggal dunia, tetapi tidak sedikit pula yang mengalami luka-luka, bahkan hingga
cacat atau kehilangan salah satu fungsi organ tubuhnya akibat dari kejahatan terorisme
tersebut. Maka di sini pun pemakalah mengambil pidana penganiayaan atau
pencederaan masuk ke dalam pidana terorisme.

11[11] Zainuddin Ali. Hukum Pidana Islam. (Jakarta: Sinar Grafika, 2007). hal. 25.
Penganiayaan atau pencederaan adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang
dengan sengaja atau tidak sengaja untuk menganiaya atau mencederai orang lain.

Para ulama fiqh12[12] membagi kejahatan penganiayaan atau pencederaan ini


kepada lima bentuk:

a. Memotong bagian-bagian badan seperti tangan, telinga dan alat kelamin.

b. Menghilangkan fungsi bagian-bagian badan seperti murusak pendengaran.

c. Pelukaan di bagian kepala.

d. Pelukaan di bagian tubuh lainnya.

e. Di luar ke empat bentuk tersebut di atas, seperti memukul dengan alat yang tidak
melukai.

Ancaman hukuman terhadap pelaku ada dua tingkat:

Pertama: hukuman pokok yaitu qishash atau balasan setimpal. Dalam lima
bentuk penganiayaan tersebut di atas yang mungkin diberlakukan qishash hanyalah
pada penghilangan atau pemotongan bagian badan dan pelukaan di bagian kepala yang
sampai pada tingkat muwadhihah, yaitu luka yang sampai menampakkan tulang.

12[12] Amir Syarifuddin. Garis-Garis Besar Fiqh. (Jakarta: Kencana, 2005). hal. 269.
Kedua: hukuman pengganti, yaitu diyat yang jumlahnya berbeda antara
kejahatan yang satu dengan yang lainnya. Ketentuan diyat untuk setiap bagian badan
ini dijelaskan oleh Nabi dalam hadisnya dari Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amru
yang dikeluarkan oleh Abu Daud, al-Nasa’i, Ibnu Hibban dan Ahmad bahwa
barangsiapa yang membunuh orang mukmin dan cukup bukti, maka hukumannya
adalah qishash, kecuali bila dimaafkan oleh keluarga yang terbunuh. Pembunuhan
diyatnya adalah 100 ekor unta. Bila hidung terpotong maka hukumannya adalah satu
diyat, untuk dua mata hukumnya adalah satu diyat, untuk lidah satu diyat, untuk dua
bibir satu diyat, untuk zakar satu diyat, untuk dua pelir satu diyat, untuk sulbi satu diyat,
untuk satu kaki setengah diyat, untuk setiap anak jari dari jari kaki dan tangan 10 ekor
unta, untuk sebuah gigi 5 ekor unta.
7. Perbuatan-perbuatan yang Berhubungan dengan Al-Baghyu serta Hukuman
yang dijatuhkan bagi Pelakunya dalam Perspektif Regulasi Pemerintahan
Indonesia (KUHP)
7.1. Terorisme
Berbagai pendapat pakar dan badan pelaksana yang menangani masalah
terorisme, mengemukakan tentang pengertian terorisme secara beragam. Whittaker
(2003) mengutip beberapa pengertian terorisme antara lain menurut Walter Reich yang
mengatakan bahwa terorisme adalah suatu strategi kekerasan yang dirancang untuk
meningkatkan hasil-hasil yang diinginkan, dengan cara menanamkan ketakutan di
kalangan masyarakat umum.13[13]
Pengertian lain yang dapat dikutip dari beberapa badan yang berwenang dalam
menangani terorisme, adalah penggunaan kekerasan yang diperhitungkan dapat
memaksa atau menakut-nakuti pemerintah-pemerintahan, atau berbagai masyarakat
untuk mencapai tujuan-tujuan yang biasanya bersifat politik, agama atau ideologi.14[14]

Pidana terorisme telah diatur dalam KUHP tentang pidana terorisme, tetapi pemakalah
hanya akan mengemukakan pasal-pasal yang di dalamnya terdapat unsur-unsur
kejahatan terorisme,

13[13] A. M. Hendropriyono. Terorisme: Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam.


(Jakarta: Kompas, 2009). hal. 25-26.
14[14] Ibid. hal. 27
1. BAB I (KEJAHATAN TERHADAP KEAMANAN NEGARA).15[15]

Pasal 106:

Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ketangan
musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah negara, diancam dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

Pasal 107:
(1) Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun.
(2) Para pemimpin dan para pengatur makar tersebut dalam ayat 1, diancam dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh
tahun.

Pasal 108:
(1) Barangsiapa bersalah karena pemberontakan, diancam dengan pidana penjara paling
lama lima belas tahun.
1. Orang yang melawan Pemerintah Indonesia dengan senjata;
2. Orang yang dengan maksud melawan Pemerintah Indonesia menyerbu
bersama-sama atau menggabungkan diri pada gerombolan yang melawan
Pemerintah dengan senjata.
(2) Para pemimpin dan para pengatur pemberontakan diancam dengan penjara seumur
hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

15[15] Soenarto Soerodibroto, KUHP DAN KUHAP. (Jakarta: PT. RajaGrafindo


Persada, 2003) hal.79-80
2. BABVII (KEJAHATAN YANG MEMBAHAYAKAN KEAMANAN UMUM BAGI
ORANG ATAU BARANG).16[16]

Pasal 187

Barang siapa dengan sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan atau banjir, diancam:
1. Dengan pidana penjara paling lama 12 tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas
timbul bahaya umum bagi barang;
2. Dengan pidana penjara paling lama 15 tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas
timbul bahaya bagi nyawa orang lain.
3. Dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama 20
tahun, jika karena perbutan tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain dan
mengakibatkan orang mati.

3. BAB XIX (KEJAHATAN TERHADAP NYAWA). 17[17]

Pasal 338:

Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena


pembunuhan dengan penjara paling lama lima belas tahun.

Pasal 340:

16[16]Ibid. hal. 111.


17[17] Ibid. hal. 207.
Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa
orang lan, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau
pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh
tahun.

4. BAB XX (PENGANIAYAAN). 18[18]

Pasal 351:
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan
atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
(5) Percobaan untuk melakukan kejahatn ini tidak dipidana.

5. BAB XXVII (MENGHANCURKAN ATAU MERUSAKKAN BARANG). 19[19]

Pasal 406:
(1) Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan,
membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau
sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Dijatuhkan pidana yang sama terhadap orang yang dengan sengaja dan melawan
hukum membunuh, merusakkan, membuat tak dapat digunakan atau menghilangkan
hewan, yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain.

18[18] Ibid. hal. 212.


19[19] Ibid. hal. 264
Demikianlah pidana bagi kejahatan terorisme yang terdapat di dalam KUHP
(Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) berdasarkan unsur-unsur yang terdapat di
dalamnya.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

AL-Baghyu atau biasa disebut pemberontakan adalah suatu fenomena yang


sering terjadi dalam sebuah negara, tidak terlepas dari negara Indonesia sebagai nagara
domisili kita saat ini juga terdapat banyak tindak pemberontakan yang dilakukan
sekelompok orang untuk menentang pemerintahan yang diakui secara de facto dan de
jure.

Perbuatan makar ini telah diatur dalam hukum pidana islam (Fiqh Jinayah) yang
diambil dari nash baik dari al-qur’an maupun as-sunnah dan regulasi negara republik
Indonesia yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), diantara perbuatan
yang berhubungan dengan tindakan Al-Baghyu adalah Pembunuhan, tindak pidana
penganiyaan, tindak pidana terorisme, tindak pidana pencurian dan lain-lain.

Terdapat banyak perselisihan mengenai permasalahan perbuatan apa saja yang


dapat dikategorikan sebagai jinayah al-baghyu untuk dapat menentukan jarimah bagi
pelaku tindakan tersebut.

Al-Baghyu atau Pemberontakan dalam Hukum Pidana Islam

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kejahatan atau kekerasan adalah suatu fenomena yang sering kita dengar dan
lihat, baik di media massa maupun realitas yang ada di sekitar lingkungan dan
masyarakat kita. Kejahatan adalah hal yang sulit dihilangkan dalam kehidupan, bahkan
sejak zaman Rasulullah sampai para sahabat, tak terlepas dari adanya kejahatan yang
timbul di zamannya. Al-Qur’an sendiri dengan tegas mengatur hukuman bagi
orang-orang yang melakukan tindak kejahatan, tetapi tetap saja sulit untuk mencegah
adanya kejahatan secara menyeluruh.

Kabar terbaru dan yang hangat dibicarakan, khalayak serta media massa dan
elektronik yaitu tindakan makar (Al-Baghyu). Bentuk kejahatan masal yang
mengorbankan banyak nyawa tak berdosa. Pemerintah dan masyarakat bahu-membahu
untuk memberantas danmencegah segala kemungkinan terjadinya tindakan tindakan
makar (Al-Baghyu).

Pada kesempatan kali ini, pemakalah diberikan kepercayaan untuk membahas


tentang “Pidana Tindakan makar (Al-Baghyu) (Pendekatan Fikih Jinayah dan KUHP)”.

Pemakalah akan mencoba membahas, terutama tentang hukuman yang akan


diberikan pada pelaku tindakan makar (Al-Baghyu) berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an
yang sudah ada, dan dari undang-undang negara yang berpedoman pada KUHP (Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana).

Semoga apa yang pemakalah sajikan dapat bermanfaat bagi pemakalah sendiri
dan umumnya untuk kita semua, hal-hal yang kurang sempurna dan banyak kesalahan
baik dalam penulisan maupun pembahasan, pemakalah memohon maaf yang
sebesar-besarnya dan pemakalah menerima setiap komentar, kritik dan saran untuk
dapat memperbaiki makalah ini yang pemakalah sadari penuh dengan kekurangan.
B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Al-Bghyu/Pemberontakan?

2. Apa Dasar Hukum Al-Baghyu/Pemberontakan dalam nash?

3. Apa saja indikasi dari perbuatan Pemberontakan?

4. Apa saja hal-hal yang berhubungan dengan tidakan Pemberontakan dalam perspektif
Fiqh Jinayah dan perspektik Hukum Negara Indonesia?

C. Tujuan Penyusunan

Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk mensosialikan mengenai perbuatan
Al-Bahyu/Al-Hirabah/Pemberontakan/Terorisme dalam pandangan Fiqh Jinayah
(Hukum Pidana Islam) dan Pandangan Hukum Negara Repubik Indonesia (KUHP).
BAB II

PEMBAHASAN
1. Pengertian Al-Baghyu (Pemberontakan)

Al-Baghyu menurut bahasa adalah mencari, menghendaki, menginginkan,


melampaui batas, zalim.20[1] Pemberontakan menurut kamus besar bahasa Indonesia
adalah proses, cara, perbuatan memberontak; penentangan terhadap
kekuasaan yang sah.21[2] Sedangkan menurut istilah Al-Baghyu adalah keluarnya
seseorang dari ketaatan kepada Imam yang sah tanpa alasan. Pemberontakan
merupakan upaya melakukan kerusakan. Islam memerintahkan Pemerintah untuk
berunding, dan diperangi apabila tidak bersedia kembali bergabung dalam masyarakat.
Bahkan mayatnya tidak perlu dishalati seperti yang lakukan oeh Ali bin Abi
Thalib..22[3]

20[1] Kamus VerbAce-Pro


21[2] Kamus Besar Bahasa Indonesia
22[3]
http://islamwiki.blogspot.com/2010/08/memahami-kembali-hukum-pidana-islam.html
Kata al-baghyu artinya dzalim atau aniaya, sedangkan kata al-baaghy menurut
istilah ulama adalah orang yang menentang pemerintah yang adil dan tidak mau
melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya.23[4]
2. Jinayah Perbuatan Pemberontakan/Makar/Al-Baghyu/Terorisme

Jarimah mengenai jinayah perbuatan makar atau al-baghyu telah diatur dalam
nash baik al-quran maupun sunnah selain telah diatur dalam hukum pidana islam
perbuatan inipun telah dibahas dalam regulasi pemerintahan Indonesia yang biasa
disebut dalam Undang-undang sebagai kejahatan terorisme.

Pidana tentang terorisme gancar dibuat serentak dengan gencarnya serangan dari
pelaku terorisme. Pidana terorisme dapat dipandang dari dua sudut, yaitu dipandang
dari sudut Fikih Jinayah dan Regulasi pemerintahan Indonesia berupa Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pidana terorisme dapat dipandang dari sudut
Fikih Jinayah karena di dalam tindakan terorisme ada unsur-unsur yang serupa dengan
pemberontakan, pembunuhan, dan penganiayaan atau pencederaan. Yang pidananya
telah diatur dalam al-Qur’an dan al-Hadis.

3. Al-Baghyu Dipandang Dari Sudut Pandang Fikih Jinayah

Salah satu bentuk pemberontakan yang terkenal di Indonesia adalah perbuatan


terorisme yang dapat dikatagorikan sebagai pemberontakan, karena kenyataannya
praktek terorisme mengancam keamanan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, oleh karena itu pemakalah memasukkan pidana pemberontakan ke dalam
pidana terorisme.

23[4] Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husaini. Kifayatul Akhyar Jilid III. (Surabaya: PT. Bina Ilmu,
1997). hHal. 125.
Para mujtahidin sepakat, apabila seseorang atau sesuatu golongan memberontak
terhadap negara dengan cukup alasan, dibolehkan kepala negara memerangi mereka
sehingga mereka kembali kepada kebenaran. Apabila mereka menyadari kesalahan,
hendaklah dihentikan penumpasan.24[5] Jadi menumpas pemberontakan adalah wajib
karena dari segi perbuatan ini sudah menyalahi hukum Allah, maka dia termasuk pada
perbuatan maksiat dan oleh karena terhadap pelakunya dikenai ancaman yang bersifat
fisik di dunia, maka tindakan tersebut termasuk pada jinayah atau jarimah hudud.

4. Dasar Hukum ditetapkannya Jarimah Al-Baghyu/Pemberontakan

Yang menjadi dasar diancamnya pelaku makar atau pemberontakan atau


al-baghyu tersebut adalah al-Qur’an dan As-Sunnah.
4.1. Dasar Hukum dalam Al-Qur’an
QS. Al-Maidah Ayat 33

¼ã&s!qß™u‘ur ©!$# tbqç/Í‘$ptä† tûïÏ%©!$# (#ätÂt“y_ $yJ¯RÎ)


÷rr& (#þqè=-Gs)ムbr& #·Š$|¡sù ÇÚö‘F{$# ’Îû tböqyèó¡tƒur
ô`ÏiB Nßgè=ã_ö‘r&ur óOÎgƒÏ‰÷ƒr& yì©Üs)è? ÷rr& (#þqç6¯=|Áãƒ
óOßgs9 š•Ï9ºsŒ 4 ÇÚö‘F{$# šÆÏB (#öqxÿYム÷rr& A#»n=Åz
íOŠÏàtã ë>#x‹tã Íot•ÅzFy$# ’Îû óOßgs9ur ( $u‹÷R‘‰9$# ’Îû Ó“÷“Åz
ÇÌÌÈ

“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan


Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau

24[5] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy. Hukum-Hukum Fiqh Islam. (Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 2001). hal. 478-479.
disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik 25 [6], atau
dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu
penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar,”
(QS. Al-Maidah : 33)

QS. As-Syuro Ayat 40

$xÿtã ô`yJsù ( $ygè=÷WÏiB ×py¥ÍhŠy™ 7py¥ÍhŠy™ (#ätÂt“y_ur


•=Ïtä† Ÿw ¼çm¯RÎ) 4 «!$# ’n?tã ¼çnã•ô_r'sù yxn=ô¹r&ur
ÇÍÉÈ tûüÏJÎ=»©à9$#

“Dan Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, Maka barang
siapa memaafkan dan berbuat baik 26 [7] Maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.
Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. As-Syuraa :40 )

QS. Al-Hujurot Ayat 9

(#qè=tGtGø%$# tûüÏZÏB÷sßJø9$# z `ÏB Èb$tGxÿͬ!$sÛ bÎ)ur


’n?tã $yJßg1y‰÷nÎ) ôMtót/ .bÎ*sù ( $yJåks]÷•t/ (#qßsÎ=ô¹r'sù
uäþ’Å"s? 4Ó®Lym ÓÈöö7s? ÓÉL©9$# (#qè=ÏG»s)sù 3“t•÷zW{$#

25[6] Maksudnya Ialah: memotong tangan kanan dan kaki kiri; dan kalau melakukan
lagi Maka dipotong tangan kiri dan kaki kanan.
26 [7] Yang dimaksud berbuat baik di sini ialah berbuat baik kepada orang yang berbuat jahat
kepadanya.
$yJåks]÷•t/ (#qßsÎ=ô¹r'sù ôNuä!$sù bÎ*sù 4 «!$# Ì•øBr& #’n<Î)
šúüÏÜÅ¡ø)ßJø9$# •=Ïtä† ©!$# ¨bÎ) ( (#þqäÜÅ¡ø%r&ur ÉAô‰yèø9$$Î/
ÇÒÈ

“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang
hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar
Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu
perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah
antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya
Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil.(QS. Al-Hujurat: 9)”

4.2. Dasar Hukum Dalam As-Sunnah

‫من أعطى إماما صفقة يده و ثمرة فؤاده فليطعه مااستطاع فإن جاء آخر ينازعه فاضربوا عنقه‬
)‫(مسلم‬

Siapa yang telah memberikan bai’atnya kepada seorang imam (penguasa) dan telah
menyatakan kesetiaan hatinya, maka patuhilah dia semaksimal mungkin. Bila datang
yang lain memberikan perlawanan kepadanya, maka bunuhlah dia. (HR. Muslim)

‫من حمل علينا السالح فليس منا‬

“Barang siapa membawa senjata untuk mengacau kita, maka bukanlah ia termasuk
umatku (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar).
‫من خرج على الطاعة وفارق الجماعة ومات فميتته جاهلية‬

“ Barang siapa keluar dari loyalitas agama dan berpisah dari jama’ahnya kemudian
ia mati maka mayatnya adalah mayat jahiliah (HR. Muslim)

Dari penjelasan Allah dalam al-Qur’an dan hadis Nabi tersebut di atas dapat
dipahami bahwa tindakan yang dilakukan terhadap pemberontak tersebut adalah
sebagai berikut27[8] :

Pertama : melakukan ishlah atau perdamaian dengan pihak pelaku makar, yang
dalam ishlah tersebut imam menuntut para pelaku makar untuk menghentikan
perlawanannya dan kembali taat kepada imam. Bila perlawanan tersebut dilakukan
karena imam telah berlaku zhalim dan menyimpang dari ketentuan agama, maka imam
memberikan penjelasan atau memperbaikinya.

Kedua : bila cara pertama tidak berhasil dalam arti perlawanan masih tetap
berlangsung maka imam memerangi dan membunuh pelaku makar, sampai selesai dan
tidak ada lagi perlawanan.

Di dalam Ensiklopedi Hukum Islam, untuk dapat menentukan hukuman terhadap


pemberontak, ulama fikih membagi pemberontakan menjadi dua bentuk.

Pertama: para pemberontak yang tidak memiliki kekuatan persenjataan dan tidak
menguasai daerah tertentu sebagai basis mereka. Untuk pemberontak seperti ini, ulama
fikih sepakat menyatakan bahwa pemerintah yang sah boleh menangkap dan
memenjarakan mereka sampai meraka sadar dan bertaubat.

27[8] Amir Syarifuddin. Garis-Garis Besar Fiqh. (Jakarta: Kencana, 2005). hal. 315.
Kedua: pemberontak yang menguasai suatu daerah dan memiliki kekuatan
bersenjata. Terhadap para pemberontak seperti ini, pihak pemerintah menghimbau
terlebih dahulu untuk menyerah dan bertaubat, jika masih melawan maka pemerintah
dapat memerangi mereka.
5. Syarat- Syarat Al-Baghyu/Pemberontakan yang dapat dijatuhi Hukuman
a. Pelaku hirabah orang mukallaf.
b. Pelaku hirabah membawa senjata.
c. Lokasi hirabah jauh dari keramaian.
d. Tindakan hirabah secara terang-terangan.
Mengenai syarat-syarat diatas terdapat beberapa pertentang diantara para ulama
sebagian ulam mengatakan bahwa jika hadd al-baghyu ini gugur bagi anak kecil dan
orang gila maka hadd tersebuutpun akan gugur bagi orang dewasa dan berakal namun
yang akan dikenakan haddnya adalah perbuatan yang telah dilakukan misalkan
perbuatan makar tersebut telah menewaskan seseorang maka pelaku makar tersebut
terkena hadd pembunuhan dan seterusnya berlaku bagi perbuatan yang lain.28[9]
Sedangkan menurut madzhab maliki dan dzahiriyah mengatakan bahwa hadd
pemberotakan gugur bagi anak kecil dan orang gila tetapi tidak gugur bagi orang
dewasa dan berakal (mukallaf). Karena hadd ini adalah hak Alloh sedangkan dalam
melaksanakan hak Alloh itu anak kecil dan orang gila tidak boleh disamakan dengan
orang yang mukallaf.
Dalam hal ini tidak ada permasalahan mengenai gender dan status baik itu
laki-laki atau perempuan dan baik itu orang yang merdeka ataupun budak. Mengenai
permasalahn senjata Imam Syafi’i, Maliki, Pengikut Hambali, Abu Yusuf, Abu Tsaur
dan Ibnu Hazm yang dianggap hirabah adalah motif tindakan kejahatannya bukan
dilihat dari senjatanya. Namun berbeda dengan pandangan Imam Abu Hanifah yang
berpendapat bahwa tindakan yang hanya bersenjatakan batu dan tongkat tidak termasuk
hirabah.
Mengenai tempat keramaian sebagian ulama seperti Abu Hanifah, Tsauri,
Ishak, dan mayoritas ulama fiqh dari golongan fiqh berpendapat bahwa jika kejahatan
hirabah ini dilakukan ditempat keramaian maka ini tidak dapat dikatan hirabah karena
sang korban dapat meminta tolong sehingga akan dengan mudah melumpuhkan pelaku
kejahatan. Menurut sebagian ulama lain berpendapat bahwa tindak kejahatan itu

28[9] Sayyid sabieq. Fiqh Sunnah jilid 9. Bandung: PT.Al-Ma’arif.1993.Hal.177


dipadang atau ditempat ramai sekalipun itu dapat dikategorikan hirabah karena ayat
mengenai hirabah secara umum menyangkut segala jenis hirabah baik dipadang
maupun ditempat keramaian.29[10]
Mengenai tindakan secara terang-terangan karena inilah sebagai pembeda dari
tindak kejahatan lainnya jika dilihat dari segi prosesnya apabila perbuatan kejahatan itu
secara senbunyi-sembunyi itu dinamakan pencurian dan jika ia merebut harta kemudian
lari maka itu dinamakan penjambretan atau perampasan.
6. Perbuatan-perbuatan yang Berhubungan dengan Al-Baghyu serta Hukuman
yang dijatuhkan bagi Pelakunya dalam Perspektif Hukum Pidana Islam (Fiqh
Jinayah)
6.1. Pembunuhan

Tidak diragukan lagi, faktanya kejahatan terorisme telah menelan banyak korban,
melihat fenomena itu, maka pemakalah menyamakan pidana terorisme dengan pidana
pembunuhan.

Pembunuhan adalah suatu aktifitas yang dilakukan oleh seseorang dan atau
beberapa orang yang mengakibatkan seseorang dan atau beberapa orang meninggal
dunia.30[11] Hukuman yang akan dibahas adalah pembunuhan yang disengaja, karena
melihat dari motif pelaku terorisme adalah adanya unsur kesengajaan dalam melakukan
kejahatan.

Ancaman terhadap pembunuhan sengaja ada tiga bentuk, yaitu:

Pertama: hukuman pokok, terhadap pembunuhan sengaja adalah qishash atau


balasan setimpal. Karena pembunuhan ini mengakibatkan kematian, maka balasannya
yang setimpal adalah kematian juga.(QS. Al-Baqarah: 178).

29[10] Ibid. Hal.178


30[11] Zainuddin Ali. Hukum Pidana Islam. (Jakarta: Sinar Grafika, 2007). hal. 25.
Kedua: hukuman pengganti, hukuman ini dilaksanakan jika mendapat maaf dari
kerabat yang terbunuh (QS. Al-Baqarah: 178), dengan memberikan 100 ekor unta.

Ketiga: hukuman tambahan, baik qishash maupun diyat merupakan hak bagi
kerabat si terbunuh, mereka dapat menuntut dan pula tidak menuntut. Namun hukuman
tambahan ini merupakan hak Allah yang tidak dapat dimaafkan. Hukuman tambahan
pertama adalah kafarah dalam bentuk memerdekakan budak. Bila tidak dapat
melakukannya diganti dengan puasa dua bulan berturut-turut (QS. An-Nisa: 92).
Hukuman tambahan kedua adalah kehilangan hak mewarisi dari yang dibunuhnya.
6.2. Penganiayaan atau Pencederaan

Kejahatan terorisme menelan begitu banyak korban, tidak sedikit yang


meninggal dunia, tetapi tidak sedikit pula yang mengalami luka-luka, bahkan hingga
cacat atau kehilangan salah satu fungsi organ tubuhnya akibat dari kejahatan terorisme
tersebut. Maka di sini pun pemakalah mengambil pidana penganiayaan atau
pencederaan masuk ke dalam pidana terorisme.

Penganiayaan atau pencederaan adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang


dengan sengaja atau tidak sengaja untuk menganiaya atau mencederai orang lain.

Para ulama fiqh31[12] membagi kejahatan penganiayaan atau pencederaan ini


kepada lima bentuk:

a. Memotong bagian-bagian badan seperti tangan, telinga dan alat kelamin.

b. Menghilangkan fungsi bagian-bagian badan seperti murusak pendengaran.

31[12] Amir Syarifuddin. Garis-Garis Besar Fiqh. (Jakarta: Kencana, 2005). hal. 269.
c. Pelukaan di bagian kepala.

d. Pelukaan di bagian tubuh lainnya.

e. Di luar ke empat bentuk tersebut di atas, seperti memukul dengan alat yang tidak
melukai.

Ancaman hukuman terhadap pelaku ada dua tingkat:

Pertama: hukuman pokok yaitu qishash atau balasan setimpal. Dalam lima
bentuk penganiayaan tersebut di atas yang mungkin diberlakukan qishash hanyalah
pada penghilangan atau pemotongan bagian badan dan pelukaan di bagian kepala yang
sampai pada tingkat muwadhihah, yaitu luka yang sampai menampakkan tulang.

Kedua: hukuman pengganti, yaitu diyat yang jumlahnya berbeda antara


kejahatan yang satu dengan yang lainnya. Ketentuan diyat untuk setiap bagian badan
ini dijelaskan oleh Nabi dalam hadisnya dari Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amru
yang dikeluarkan oleh Abu Daud, al-Nasa’i, Ibnu Hibban dan Ahmad bahwa
barangsiapa yang membunuh orang mukmin dan cukup bukti, maka hukumannya
adalah qishash, kecuali bila dimaafkan oleh keluarga yang terbunuh. Pembunuhan
diyatnya adalah 100 ekor unta. Bila hidung terpotong maka hukumannya adalah satu
diyat, untuk dua mata hukumnya adalah satu diyat, untuk lidah satu diyat, untuk dua
bibir satu diyat, untuk zakar satu diyat, untuk dua pelir satu diyat, untuk sulbi satu diyat,
untuk satu kaki setengah diyat, untuk setiap anak jari dari jari kaki dan tangan 10 ekor
unta, untuk sebuah gigi 5 ekor unta.
7. Perbuatan-perbuatan yang Berhubungan dengan Al-Baghyu serta Hukuman
yang dijatuhkan bagi Pelakunya dalam Perspektif Regulasi Pemerintahan
Indonesia (KUHP)
7.1. Terorisme
Berbagai pendapat pakar dan badan pelaksana yang menangani masalah
terorisme, mengemukakan tentang pengertian terorisme secara beragam. Whittaker
(2003) mengutip beberapa pengertian terorisme antara lain menurut Walter Reich yang
mengatakan bahwa terorisme adalah suatu strategi kekerasan yang dirancang untuk
meningkatkan hasil-hasil yang diinginkan, dengan cara menanamkan ketakutan di
kalangan masyarakat umum.32[13]
Pengertian lain yang dapat dikutip dari beberapa badan yang berwenang dalam
menangani terorisme, adalah penggunaan kekerasan yang diperhitungkan dapat
memaksa atau menakut-nakuti pemerintah-pemerintahan, atau berbagai masyarakat
untuk mencapai tujuan-tujuan yang biasanya bersifat politik, agama atau ideologi.33[14]

Pidana terorisme telah diatur dalam KUHP tentang pidana terorisme, tetapi pemakalah
hanya akan mengemukakan pasal-pasal yang di dalamnya terdapat unsur-unsur
kejahatan terorisme,

1. BAB I (KEJAHATAN TERHADAP KEAMANAN NEGARA).34[15]

Pasal 106:

Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ketangan
musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah negara, diancam dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

32[13] A. M. Hendropriyono. Terorisme: Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam.


(Jakarta: Kompas, 2009). hal. 25-26.
33[14] Ibid. hal. 27
34[15] Soenarto Soerodibroto, KUHP DAN KUHAP. (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2003) hal.79-80
Pasal 107:
(1) Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun.
(2) Para pemimpin dan para pengatur makar tersebut dalam ayat 1, diancam dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh
tahun.

Pasal 108:
(1) Barangsiapa bersalah karena pemberontakan, diancam dengan pidana penjara paling
lama lima belas tahun.
1. Orang yang melawan Pemerintah Indonesia dengan senjata;
2. Orang yang dengan maksud melawan Pemerintah Indonesia menyerbu
bersama-sama atau menggabungkan diri pada gerombolan yang melawan
Pemerintah dengan senjata.
(2) Para pemimpin dan para pengatur pemberontakan diancam dengan penjara seumur
hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

2. BABVII (KEJAHATAN YANG MEMBAHAYAKAN KEAMANAN UMUM BAGI


ORANG ATAU BARANG).35[16]

Pasal 187

Barang siapa dengan sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan atau banjir, diancam:
1. Dengan pidana penjara paling lama 12 tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas
timbul bahaya umum bagi barang;
2. Dengan pidana penjara paling lama 15 tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas
timbul bahaya bagi nyawa orang lain.

35[16]Ibid. hal. 111.


3. Dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama 20
tahun, jika karena perbutan tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain dan
mengakibatkan orang mati.

3. BAB XIX (KEJAHATAN TERHADAP NYAWA). 36[17]

Pasal 338:

Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena


pembunuhan dengan penjara paling lama lima belas tahun.

Pasal 340:

Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa
orang lan, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau
pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh
tahun.

4. BAB XX (PENGANIAYAAN). 37[18]

Pasal 351:
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan
atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

36[17] Ibid. hal. 207.


37[18] Ibid. hal. 212.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
(5) Percobaan untuk melakukan kejahatn ini tidak dipidana.

5. BAB XXVII (MENGHANCURKAN ATAU MERUSAKKAN BARANG). 38[19]

Pasal 406:
(1) Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan,
membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau
sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Dijatuhkan pidana yang sama terhadap orang yang dengan sengaja dan melawan
hukum membunuh, merusakkan, membuat tak dapat digunakan atau menghilangkan
hewan, yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain.

Demikianlah pidana bagi kejahatan terorisme yang terdapat di dalam KUHP


(Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) berdasarkan unsur-unsur yang terdapat di
dalamnya.

38[19] Ibid. hal. 264


BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

AL-Baghyu atau biasa disebut pemberontakan adalah suatu fenomena yang


sering terjadi dalam sebuah negara, tidak terlepas dari negara Indonesia sebagai nagara
domisili kita saat ini juga terdapat banyak tindak pemberontakan yang dilakukan
sekelompok orang untuk menentang pemerintahan yang diakui secara de facto dan de
jure.

Perbuatan makar ini telah diatur dalam hukum pidana islam (Fiqh Jinayah) yang
diambil dari nash baik dari al-qur’an maupun as-sunnah dan regulasi negara republik
Indonesia yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), diantara perbuatan
yang berhubungan dengan tindakan Al-Baghyu adalah Pembunuhan, tindak pidana
penganiyaan, tindak pidana terorisme, tindak pidana pencurian dan lain-lain.
Terdapat banyak perselisihan mengenai permasalahan perbuatan apa saja yang
dapat dikategorikan sebagai jinayah al-baghyu untuk dapat menentukan jarimah bagi
pelaku tindakan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Husaini, Abu Bakar, Imam Taqiyuddin. Kifayatul Akhyar. Penerjemah


Achmad Zaidun dan A. Ma’ruf Asrori. Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1997.

Ali, Zainuddin. Hukum Pidana Islam. Jakarta : Sinar Grafika, 2007.


Anton M.Moeliono, dkk. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta :
Erlangga.1992

Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi, Teungku. Hukum-Hukum Fiqh


Islam.Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2001.

Hendropriyono, Mahmud, Abdullah. Terorisme: Fundamen- talis Kristen,


Yahudi, Islam. Jakarta : Kompas, 2009.

Sayyid Sabieq. Fiqh Sunnah jilid 9. Bandung : PT. Al-Ma’arif. 1993.

Soerodibroto, Soenarto. KUHP DAN KUHAP. Jakarta :PT. RajaGrafindo


Persada, 2003.

Sofware Kamus Arab-Indonesia, Indonesia-Arab, VerbAce-Pro

Syarifuddin, Amir. Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta : Kencana., 2005.

Tim Penyusun. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve,
1999.
MAKALAH FIQIH JINAYAH
muhammad safar

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Antara perampokan dengan pemberontakan terdapat beberapa kemiripan.
Perampokan adalh tindakan memerangi Allah dan rasulnya tanpa menggunakan alasan
(Ta’wil), melainkan bertujuan mengadakan kekacauan di muka bumi dan mengganggu
keamanan. Sedangkan pemberontakan adalah juga memerangi Allah dan Rasul, tetapi
dengan memakai alasanpolitis sehingga tindakan yang dilakukan bukan hanya sekedar
mengadakan kekacauan dan mengganggu keamanan, melainkan tindakan yang
tagetnya adalah mengambil alih kekuasaan atau menjatuhkan pemerintahan yang sah.
Jadi latar belakang penulisan makalah kami ini agar kita dapat membedakan mana
yang diktegorikan sebagai perampokan dan mana yang dikategorikan sebagai
pemberontakan.

Rumusan Masalah
Pengertian Jarimah Al-Bagyu..........???
Unsur-unsur Jarimah Al-Bagyu……???
Sansi Jarimah Al-Bagyu..........???

BAB II
PEMBAHASAN

Pengertian Jarimah Al-Bagyu (pemberontakan)


Pemberontakan atau Al-Bagyu menurut arti bahasa adalah:

.....mencari atau menuntut sesuatu.


Pengertian tersebut kemudian menjadi populer untuk mencari dan menuntut
sesuatu yang tidak halal, baik karena dosa maupun kezaliman. Hal ini sebagaimana
yang disebutkan dalam firman Allah SWT dalam surat Al-A’araf ayat 33:

Katakanlah:“Tuhanku hanya mengharamkan prbuatan yang keji, baik yang


tanp[ak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa melanggar hak manusia tanpa
alasan yang benar....“.(QS. Al-A’araf:33)

Sedangkan Al-Bagyu dalam pengertian istilahnya terdapat berbagai definisi


yang dikemukakan oleh Ulama’ mazhab yang redaksinya berbeda-beda.
pendapat Malikiyah
pemberontakan adalah menolak untuk tunduk dan taat kepada orang yang
kepemimpinannya telah tetap dan tindakannya bukan dalam maksiat, dengan cara
menggulingkannya, dengan menggunakan alasan (Ta’wil).
Dari pengertian tersebut, Malikiyah mengartikan bagyu (pemberontakan) sebagai
berikut
Pemberontak adalah sekelompok kaum muslimin yangb bereberanga dengan
Al-Imam Al-A’azham (kepala negara) atau wakilnya. Dengan menolak hak dan
kewajiban atau bermaksud menggulingkannya.

pendapat Hanafiyah
pemberontakan adalah keluar dari kekuatan Imam (kepala Negara) yang benar (sah)
dengan cara yang tidak benar.

pendapat Syafi’iyah dan Hanbaliyah


pemberontakan adalah keluarnya kelompok yang memiliki kekuatan dan pemimpin
yang ditaati, dari kepatuhan kepada kepala negara (Imam), dengan menggunakan
alasan (Ta’wil) yang tidak benar.
Dari definisi-definisi yang dikemukakan oleh para Ulama’ tersebut , terlihat adanya
perbedaan yang menyangkut persyaratan yang harus dipenuhi dalam Jarimah
pemberontakan, tetapi tidak dalam unsur prinsipil. Apabila diambil intisari dari
definisi-definisi tersebuit, dapat dikemukakan bahwa pemberontakan adalah
pembangkangan terhadap kepala negara (Imam) dengan menggunakan kekuatan
berdssarkan argumentasi atau alasan (Ta’wil).

Unsur-unsur Jarimah Al-Bagyu (pemberontakan)


Dari definisi yang telah dikemukakan tadi, dapat kita simpulkan bahwa unsur-unsur
jarimah pemberontakan itu ada tiga yaitu:
1. Pembangkangan terhadap Kepala Negara
2. Pembangkangan dilakukan dengan menggunakan kekuatan, dan
3. Adanya niat yang melawan hukum (Al-Qasd Al-Jinaiy)

Adapun pembahasannya secara rinci sebagai berikut :


Pembangkangan terhadap kepala Negara (Imam)
Untuk terwujudnya jarimah pemberontakan disyaratkan harus ada upaya
pembangkangan terhadap kepala Negara. Pengertian membangkang adalah menentang
kepala Negara dan berupaya untuk memberhentikannya, atau menolak untuk
melaksanakan kewajiban sebagai warga negara. Kewajiban atau hak tersebut bisa
merupakan hak Allah yang ditetapkan untuk kepentingan masyarakat, dan bisa juga
berupa hak individu yang ditetapkan untuk kepentingan perorangan(individu).
Akan tetapi berdasarkan kesepakatan fuqaha, penolakan untuk tunduk kepada
perintah yang menjurus kepada kemaksiatan, bukan merupakan pemberontakan,
melainkan merupakan suatu kewajiban. Hal ini disebabkan karena ketaatan tidak
diwajibkan kecuali di dalam kebaikan, dan tidak boleh dalam kemksiatan. Oleh karena
itu apabila seorang imam (kepala Negara) memerintahkan sesuatu yang bertentangan
dengan syarat maka tidak ada kewajiban bagi siapapun untuk menaati apa yang di
perintahkannya.
Adapun orang yang yang keluar dari Imam (kepala Negara) tanpa argumentasi dan
tanpa kekuatan, dianngap sebagai perampok, bukan pemberontak. Pendapat ini
dikemukakan oleh Hanafiyah dan Imam Ahmad . demikian pula orang yang keluar
dengan di sertai argumentasi, tetapi tanpa kekuatan, menurut pendpat yang rajih(kuat)
di kalangan mazhab Hanbali, tidak termasuk pemberontakan. Akan tetapi menurut
sebagian Fuqaha Hanbillah, orang yang keluar dari Imam disertai dengan argumentasi
meskipun tanpa kekuatan termasuk pemberontak.
Pembangkan dilakukan dengan kekuatan
Agar tindakan pembangkangan dianggap sebagai pemberontakan, disyaratkan
harus disertai dengan penggunaan dan pengerahan kekuatan. Apabila disertai dengan
penggunaan kekuatan maka hal itu tidak dianggap sebagai pemberopntakan, jadi
apabila baru sebatas ide maka belum dikategorikan sebagai pemberontakan.
Pemberontakan menurut imam malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad dimulai
sejak digunakannya kekuatan secara nyata maka pembangkangan itu belum di anggap
sebagai pemberontakan, dan mereka di perlakukan sebagai orang yang adil (tidak
bersalah). Apabila baru dalam penghimpunan kekuatan saja, maka tindakan mereka
belum dianggap sebagai pemberontakan, melainkan hanya di kategorikan Ta’zir. Akan
tetapi menurut Imam Abi Hanifah, pemberontakan itu sudah di mulai sejak mereka
berkumpul untuk menghimpun kekuatan dengan maksud untuk berperang dan
membangkang terhadap imam, buka menunggu sampai terjadinya penyerangan secara
nyata. Kalau situasinya sudah demikian, justru malah lebih sulit untuk menolak dan
menumpasnya.
Adanya niat Yang Melawan Hukum
Untuk terwujudnya tindak pidana pemberontakan, disyaratkan adanya niat yang
melawan hukum dari mereka yang membangkang. Unsur itu terpenuhi apabila
seseorang bermaksud menggunakan kekuatan untuk menjatuhkan imam atau tidak
menaatinya. Apabila tidak ad maksud untuk keluar dari imam, atau tidak ada maksud
untu kmenggunakan kekuatan maka perbuatan pembangkang itu belum dikata gorikan
sebagai pemberontakan.
Untuk bisa diaggap keluar dari imam, disaratkan bahwa pelaku bermaksud untuk
mencupot (menggulingkan) imam, Atau tidakmenaatinya, atau menolak untuk
menlaksanakan kewajiban yang di bebankan oleh syara’. Denagn demikian , apabila
niat atau tujuan pembanggangannya itu untuk menolak kemaksiatan, pelaku tidak di
anggap sebagai pemberontak. Apabila seorang pembanggang melakukan
jarimah-jarimah sebelum mughalabah (penggunaan kekuatan) atau setelah selesainya
pemberontakan maka disini tidak di perlukan adanya niat untuk pemberontak. Karena
dalam hal ini iya tidak di hukum sebagai pemberontak, melainkan sebagai jarimah
biasa.

SANGSI JARIMAH AL-BAGYU


Pertanggung jawaban tindak pidan pemberontakan, baik pidn maupun perdata,
berbeda-beda sesuai dengan kondisi tindak pidananya. Pertanggung jawaban sebelum
Mughabalah dan sesudahnya berbeda dengan pertanggung jawaban atas tindakan pada
saat terjadinya Mughabalah (penggunaan kekuatan).
1. Pertanggung jawaban sebelum Mughabalah dan sesudahnya
Orang yang melakukan pemberontakan dibebani pertanggung jawaban atas semua
tindak pidana yang dilkukannya sebelum sebelum Mughabalah (pertempuran), baik
perdata maupun pidana, sebagai jarimah biasa. Demikian pula halnya jarimah yang
terjadi setelah selesainya Mughalabah (pertempuran) . apabila sebelum terjadinya
pemberontakan itu ia membunuh orang, ia dikenankan hukuman Qishas. Jika ia
melakukan pencurian maka ia di hukum sebagai pencuri, yaitu potong tangan apabila
syarat-syaratnya terpenuhi. Apabila ia merampas harta milik orang lain maka ia
diwajibkan mengganti kerugian. Jadi, dalam hal ini ia tidak di hukum sebagai
pemberontak, meskipun tujuan akhirya pemberontakan.
2. Pertanggung jawaban atas perbuatan pada saat Mughabalah
Tindak pidana yang terjadi pada saat-saat terjadinya pemberontakan dan pertempuran
ada dua macam yaitu:
Yang berkaitan langsung denag pemberontakan
Tindak pidana yang berkaitan langsug dengan pemberontakan, seperti merusak
jembatan, membom gudang amunisi, gedung-gedung pemerintahan, membunuh para
pejabat atau menawannya, semuanya itu tidak dihukum dengan hukuman untuk
jarimah biasa, melainkan dengan hukuman dengan jarimah pemberontakan, yaitu
hukuman mati apabila tidak ada pengampunan (Amnesti). Caranya degan melakukan
penumpasan yang bertujuan untuk menghentikan pemberontakannya dan
melumpuhkannya. Apabila mereka telah menyerah dan meletakan senjatanya,
penumpasan harus di hentikan dan mereka di jamin keselamatan dan jiwanya.
Tindakan selanjutnya, pemerintah (Ulil Amri) boleh mengampuni mereka atau
menghukum mereka dengan hukuman ta’zir atas pemberontakan mereka, bukan
Karena jarimah atau perbuatan yang mereka lakukan pada saat terjadinya
pemberontakan. Dengan demikian, hukuman yang di jatuhkan atas para pemberontak
setelah mereka dilumpuhkan dan ditangkap adalah hukuman ta’zir.
Hukuman untuk tindakan pemberontakan dalam situasi perang adalah di perangi
atau di tumpas, dengan segala akibat yang timbul, seperti pembunuhan, penukaan, dan
pemotongan anggota badan. Hanya saja dalam pernyataan ny, perag atau penumpasan
tidak bisa di aggap sebagai hukuman, melainkan suatu upaya represif guna mencegah
dan melindas pemberontak, serta mengembalikan nya kepada siakp taat dan patuh
kepada pemerintah yang sah. Andaikata mereka itu merupakan hukuman maka
tentunya di bolehkan membunuh pemberontak setelah mereka di salahkan dalam
pertempuran, karena hukuman merupakan balasan atas apa yang di lakukan oleh
mereka. Akan tetapi, ulamak telah sepakat bahwa apabila situasi perang telah selesai
maka pertempuran dan pembunuhan harus dihentikan dan pemberontak harus dijamin
keselamatan nya, karena pemberontakan itulah yang menyebabkan ia kehilngan
jaminan keselamatannya.
Yang tidak berkaitan langsung dengan pemberontakan
Adapun tindak pidana yang terjadi pada saat berkecamuknya pertempuran tetapi
tidak berkaitan dengan pemberontakan. Seperti minum minuman keras, zina atau
pemerkosaan, di anggap sebagi jarimah biasa, dan pelaku perbuatan tersebut dihukum
dengan hukum hudut sesuai dengan jarimah yang di laukuan nya.dengan demikian,
apabila pada saat berkecamuknya pertempuran seorang anggota pemberontak
memperkosa seorang gadis dan ia ghair muhshan maka ia dikenakan hukuman jilid
(dera) seratus kali di tambah dengan pengasingan.
Adapun pertaggug jawaban perdata bagi para pemberontak tidak ada jika merusak
dan menghancurkan aset-aset negara yang di anggap oleh mereka perlu dihancurkan,
demi kelancaran serangan dan upaya pemberontakan, misalnya harta kekayaan
indipidu maka mereka tetap dibebani pertaggung jawaban perdata. Dengan demikian,
barang yang di ambil harus dikembalikan dan yang di hancurkan harus di ganti.
Pendapat ini di kemukakan oleh imam abu hanifah, dan pendapat yang soheh di
kalangan mazhab syafi’i. Namun, dikalangan mazhap syafi’i ada yang berpendapat
bahwa pemberontak harus bertanggug jawab atas semua barang yang di hancurkan nya,
baik ada kaitan nya dengan pemberontakan atu tidak, karena hal itu mereka lakukan
dengan melawan hukum

Anda mungkin juga menyukai