BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kejahatan atau kekerasan adalah suatu fenomena yang sering kita dengar dan
lihat, baik di media massa maupun realitas yang ada di sekitar lingkungan dan
masyarakat kita. Kejahatan adalah hal yang sulit dihilangkan dalam kehidupan, bahkan
sejak zaman Rasulullah sampai para sahabat, tak terlepas dari adanya kejahatan yang
timbul di zamannya. Al-Qur’an sendiri dengan tegas mengatur hukuman bagi
orang-orang yang melakukan tindak kejahatan, tetapi tetap saja sulit untuk mencegah
adanya kejahatan secara menyeluruh.
Kabar terbaru dan yang hangat dibicarakan, khalayak serta media massa dan
elektronik yaitu tindakan makar (Al-Baghyu). Bentuk kejahatan masal yang
mengorbankan banyak nyawa tak berdosa. Pemerintah dan masyarakat bahu-membahu
untuk memberantas danmencegah segala kemungkinan terjadinya tindakan tindakan
makar (Al-Baghyu).
Semoga apa yang pemakalah sajikan dapat bermanfaat bagi pemakalah sendiri
dan umumnya untuk kita semua, hal-hal yang kurang sempurna dan banyak kesalahan
baik dalam penulisan maupun pembahasan, pemakalah memohon maaf yang
sebesar-besarnya dan pemakalah menerima setiap komentar, kritik dan saran untuk
dapat memperbaiki makalah ini yang pemakalah sadari penuh dengan kekurangan.
B. Rumusan Masalah
4. Apa saja hal-hal yang berhubungan dengan tidakan Pemberontakan dalam perspektif
Fiqh Jinayah dan perspektik Hukum Negara Indonesia?
C. Tujuan Penyusunan
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk mensosialikan mengenai perbuatan
Al-Bahyu/Al-Hirabah/Pemberontakan/Terorisme dalam pandangan Fiqh Jinayah
(Hukum Pidana Islam) dan Pandangan Hukum Negara Repubik Indonesia (KUHP).
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Al-Baghyu (Pemberontakan)
Al-Baghyu menurut bahasa adalah mencari, menghendaki, menginginkan,
melampaui batas, zalim.1[1] Pemberontakan menurut kamus besar bahasa Indonesia
adalah proses, cara, perbuatan memberontak; penentangan terhadap
kekuasaan yang sah.2[2] Sedangkan menurut istilah Al-Baghyu adalah keluarnya
seseorang dari ketaatan kepada Imam yang sah tanpa alasan. Pemberontakan
merupakan upaya melakukan kerusakan. Islam memerintahkan Pemerintah untuk
berunding, dan diperangi apabila tidak bersedia kembali bergabung dalam masyarakat.
Bahkan mayatnya tidak perlu dishalati seperti yang lakukan oeh Ali bin Abi
Thalib..3[3]
Kata al-baghyu artinya dzalim atau aniaya, sedangkan kata al-baaghy menurut
istilah ulama adalah orang yang menentang pemerintah yang adil dan tidak mau
melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya.4[4]
2. Jinayah Perbuatan Pemberontakan/Makar/Al-Baghyu/Terorisme
Jarimah mengenai jinayah perbuatan makar atau al-baghyu telah diatur dalam
nash baik al-quran maupun sunnah selain telah diatur dalam hukum pidana islam
perbuatan inipun telah dibahas dalam regulasi pemerintahan Indonesia yang biasa
disebut dalam Undang-undang sebagai kejahatan terorisme.
Pidana tentang terorisme gancar dibuat serentak dengan gencarnya serangan dari
pelaku terorisme. Pidana terorisme dapat dipandang dari dua sudut, yaitu dipandang
dari sudut Fikih Jinayah dan Regulasi pemerintahan Indonesia berupa Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pidana terorisme dapat dipandang dari sudut
5[5] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy. Hukum-Hukum Fiqh Islam. (Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 2001). hal. 478-479.
4.1. Dasar Hukum dalam Al-Qur’an
QS. Al-Maidah Ayat 33
6[6] Maksudnya Ialah: memotong tangan kanan dan kaki kiri; dan kalau melakukan lagi
Maka dipotong tangan kiri dan kaki kanan.
“Dan Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, Maka barang
siapa memaafkan dan berbuat baik 7 [7] Maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.
Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. As-Syuraa :40 )
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang
hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar
Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu
perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah
antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya
Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil.(QS. Al-Hujurat: 9)”
من أعطى إماما صفقة يده و ثمرة فؤاده فليطعه مااستطاع فإن جاء آخر ينازعه فاضربوا عنقه
)(مسلم
7[7] Yang dimaksud berbuat baik di sini ialah berbuat baik kepada orang yang berbuat jahat kepadanya.
Siapa yang telah memberikan bai’atnya kepada seorang imam (penguasa) dan telah
menyatakan kesetiaan hatinya, maka patuhilah dia semaksimal mungkin. Bila datang
yang lain memberikan perlawanan kepadanya, maka bunuhlah dia. (HR. Muslim)
“Barang siapa membawa senjata untuk mengacau kita, maka bukanlah ia termasuk
umatku (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar).
“ Barang siapa keluar dari loyalitas agama dan berpisah dari jama’ahnya kemudian
ia mati maka mayatnya adalah mayat jahiliah (HR. Muslim)
Dari penjelasan Allah dalam al-Qur’an dan hadis Nabi tersebut di atas dapat
dipahami bahwa tindakan yang dilakukan terhadap pemberontak tersebut adalah
sebagai berikut8[8] :
Pertama : melakukan ishlah atau perdamaian dengan pihak pelaku makar, yang
dalam ishlah tersebut imam menuntut para pelaku makar untuk menghentikan
perlawanannya dan kembali taat kepada imam. Bila perlawanan tersebut dilakukan
karena imam telah berlaku zhalim dan menyimpang dari ketentuan agama, maka imam
memberikan penjelasan atau memperbaikinya.
8[8] Amir Syarifuddin. Garis-Garis Besar Fiqh. (Jakarta: Kencana, 2005). hal. 315.
Kedua : bila cara pertama tidak berhasil dalam arti perlawanan masih tetap
berlangsung maka imam memerangi dan membunuh pelaku makar, sampai selesai dan
tidak ada lagi perlawanan.
Pertama: para pemberontak yang tidak memiliki kekuatan persenjataan dan tidak
menguasai daerah tertentu sebagai basis mereka. Untuk pemberontak seperti ini, ulama
fikih sepakat menyatakan bahwa pemerintah yang sah boleh menangkap dan
memenjarakan mereka sampai meraka sadar dan bertaubat.
Tidak diragukan lagi, faktanya kejahatan terorisme telah menelan banyak korban,
melihat fenomena itu, maka pemakalah menyamakan pidana terorisme dengan pidana
pembunuhan.
Kedua: hukuman pengganti, hukuman ini dilaksanakan jika mendapat maaf dari
kerabat yang terbunuh (QS. Al-Baqarah: 178), dengan memberikan 100 ekor unta.
Ketiga: hukuman tambahan, baik qishash maupun diyat merupakan hak bagi
kerabat si terbunuh, mereka dapat menuntut dan pula tidak menuntut. Namun hukuman
tambahan ini merupakan hak Allah yang tidak dapat dimaafkan. Hukuman tambahan
pertama adalah kafarah dalam bentuk memerdekakan budak. Bila tidak dapat
melakukannya diganti dengan puasa dua bulan berturut-turut (QS. An-Nisa: 92).
Hukuman tambahan kedua adalah kehilangan hak mewarisi dari yang dibunuhnya.
6.2. Penganiayaan atau Pencederaan
11[11] Zainuddin Ali. Hukum Pidana Islam. (Jakarta: Sinar Grafika, 2007). hal. 25.
Penganiayaan atau pencederaan adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang
dengan sengaja atau tidak sengaja untuk menganiaya atau mencederai orang lain.
e. Di luar ke empat bentuk tersebut di atas, seperti memukul dengan alat yang tidak
melukai.
Pertama: hukuman pokok yaitu qishash atau balasan setimpal. Dalam lima
bentuk penganiayaan tersebut di atas yang mungkin diberlakukan qishash hanyalah
pada penghilangan atau pemotongan bagian badan dan pelukaan di bagian kepala yang
sampai pada tingkat muwadhihah, yaitu luka yang sampai menampakkan tulang.
12[12] Amir Syarifuddin. Garis-Garis Besar Fiqh. (Jakarta: Kencana, 2005). hal. 269.
Kedua: hukuman pengganti, yaitu diyat yang jumlahnya berbeda antara
kejahatan yang satu dengan yang lainnya. Ketentuan diyat untuk setiap bagian badan
ini dijelaskan oleh Nabi dalam hadisnya dari Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amru
yang dikeluarkan oleh Abu Daud, al-Nasa’i, Ibnu Hibban dan Ahmad bahwa
barangsiapa yang membunuh orang mukmin dan cukup bukti, maka hukumannya
adalah qishash, kecuali bila dimaafkan oleh keluarga yang terbunuh. Pembunuhan
diyatnya adalah 100 ekor unta. Bila hidung terpotong maka hukumannya adalah satu
diyat, untuk dua mata hukumnya adalah satu diyat, untuk lidah satu diyat, untuk dua
bibir satu diyat, untuk zakar satu diyat, untuk dua pelir satu diyat, untuk sulbi satu diyat,
untuk satu kaki setengah diyat, untuk setiap anak jari dari jari kaki dan tangan 10 ekor
unta, untuk sebuah gigi 5 ekor unta.
7. Perbuatan-perbuatan yang Berhubungan dengan Al-Baghyu serta Hukuman
yang dijatuhkan bagi Pelakunya dalam Perspektif Regulasi Pemerintahan
Indonesia (KUHP)
7.1. Terorisme
Berbagai pendapat pakar dan badan pelaksana yang menangani masalah
terorisme, mengemukakan tentang pengertian terorisme secara beragam. Whittaker
(2003) mengutip beberapa pengertian terorisme antara lain menurut Walter Reich yang
mengatakan bahwa terorisme adalah suatu strategi kekerasan yang dirancang untuk
meningkatkan hasil-hasil yang diinginkan, dengan cara menanamkan ketakutan di
kalangan masyarakat umum.13[13]
Pengertian lain yang dapat dikutip dari beberapa badan yang berwenang dalam
menangani terorisme, adalah penggunaan kekerasan yang diperhitungkan dapat
memaksa atau menakut-nakuti pemerintah-pemerintahan, atau berbagai masyarakat
untuk mencapai tujuan-tujuan yang biasanya bersifat politik, agama atau ideologi.14[14]
Pidana terorisme telah diatur dalam KUHP tentang pidana terorisme, tetapi pemakalah
hanya akan mengemukakan pasal-pasal yang di dalamnya terdapat unsur-unsur
kejahatan terorisme,
Pasal 106:
Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ketangan
musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah negara, diancam dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.
Pasal 107:
(1) Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun.
(2) Para pemimpin dan para pengatur makar tersebut dalam ayat 1, diancam dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh
tahun.
Pasal 108:
(1) Barangsiapa bersalah karena pemberontakan, diancam dengan pidana penjara paling
lama lima belas tahun.
1. Orang yang melawan Pemerintah Indonesia dengan senjata;
2. Orang yang dengan maksud melawan Pemerintah Indonesia menyerbu
bersama-sama atau menggabungkan diri pada gerombolan yang melawan
Pemerintah dengan senjata.
(2) Para pemimpin dan para pengatur pemberontakan diancam dengan penjara seumur
hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.
Pasal 187
Barang siapa dengan sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan atau banjir, diancam:
1. Dengan pidana penjara paling lama 12 tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas
timbul bahaya umum bagi barang;
2. Dengan pidana penjara paling lama 15 tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas
timbul bahaya bagi nyawa orang lain.
3. Dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama 20
tahun, jika karena perbutan tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain dan
mengakibatkan orang mati.
Pasal 338:
Pasal 340:
Pasal 351:
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan
atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
(5) Percobaan untuk melakukan kejahatn ini tidak dipidana.
Pasal 406:
(1) Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan,
membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau
sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Dijatuhkan pidana yang sama terhadap orang yang dengan sengaja dan melawan
hukum membunuh, merusakkan, membuat tak dapat digunakan atau menghilangkan
hewan, yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Perbuatan makar ini telah diatur dalam hukum pidana islam (Fiqh Jinayah) yang
diambil dari nash baik dari al-qur’an maupun as-sunnah dan regulasi negara republik
Indonesia yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), diantara perbuatan
yang berhubungan dengan tindakan Al-Baghyu adalah Pembunuhan, tindak pidana
penganiyaan, tindak pidana terorisme, tindak pidana pencurian dan lain-lain.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kejahatan atau kekerasan adalah suatu fenomena yang sering kita dengar dan
lihat, baik di media massa maupun realitas yang ada di sekitar lingkungan dan
masyarakat kita. Kejahatan adalah hal yang sulit dihilangkan dalam kehidupan, bahkan
sejak zaman Rasulullah sampai para sahabat, tak terlepas dari adanya kejahatan yang
timbul di zamannya. Al-Qur’an sendiri dengan tegas mengatur hukuman bagi
orang-orang yang melakukan tindak kejahatan, tetapi tetap saja sulit untuk mencegah
adanya kejahatan secara menyeluruh.
Kabar terbaru dan yang hangat dibicarakan, khalayak serta media massa dan
elektronik yaitu tindakan makar (Al-Baghyu). Bentuk kejahatan masal yang
mengorbankan banyak nyawa tak berdosa. Pemerintah dan masyarakat bahu-membahu
untuk memberantas danmencegah segala kemungkinan terjadinya tindakan tindakan
makar (Al-Baghyu).
Semoga apa yang pemakalah sajikan dapat bermanfaat bagi pemakalah sendiri
dan umumnya untuk kita semua, hal-hal yang kurang sempurna dan banyak kesalahan
baik dalam penulisan maupun pembahasan, pemakalah memohon maaf yang
sebesar-besarnya dan pemakalah menerima setiap komentar, kritik dan saran untuk
dapat memperbaiki makalah ini yang pemakalah sadari penuh dengan kekurangan.
B. Rumusan Masalah
4. Apa saja hal-hal yang berhubungan dengan tidakan Pemberontakan dalam perspektif
Fiqh Jinayah dan perspektik Hukum Negara Indonesia?
C. Tujuan Penyusunan
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk mensosialikan mengenai perbuatan
Al-Bahyu/Al-Hirabah/Pemberontakan/Terorisme dalam pandangan Fiqh Jinayah
(Hukum Pidana Islam) dan Pandangan Hukum Negara Repubik Indonesia (KUHP).
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Al-Baghyu (Pemberontakan)
Jarimah mengenai jinayah perbuatan makar atau al-baghyu telah diatur dalam
nash baik al-quran maupun sunnah selain telah diatur dalam hukum pidana islam
perbuatan inipun telah dibahas dalam regulasi pemerintahan Indonesia yang biasa
disebut dalam Undang-undang sebagai kejahatan terorisme.
Pidana tentang terorisme gancar dibuat serentak dengan gencarnya serangan dari
pelaku terorisme. Pidana terorisme dapat dipandang dari dua sudut, yaitu dipandang
dari sudut Fikih Jinayah dan Regulasi pemerintahan Indonesia berupa Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pidana terorisme dapat dipandang dari sudut
Fikih Jinayah karena di dalam tindakan terorisme ada unsur-unsur yang serupa dengan
pemberontakan, pembunuhan, dan penganiayaan atau pencederaan. Yang pidananya
telah diatur dalam al-Qur’an dan al-Hadis.
23[4] Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husaini. Kifayatul Akhyar Jilid III. (Surabaya: PT. Bina Ilmu,
1997). hHal. 125.
Para mujtahidin sepakat, apabila seseorang atau sesuatu golongan memberontak
terhadap negara dengan cukup alasan, dibolehkan kepala negara memerangi mereka
sehingga mereka kembali kepada kebenaran. Apabila mereka menyadari kesalahan,
hendaklah dihentikan penumpasan.24[5] Jadi menumpas pemberontakan adalah wajib
karena dari segi perbuatan ini sudah menyalahi hukum Allah, maka dia termasuk pada
perbuatan maksiat dan oleh karena terhadap pelakunya dikenai ancaman yang bersifat
fisik di dunia, maka tindakan tersebut termasuk pada jinayah atau jarimah hudud.
24[5] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy. Hukum-Hukum Fiqh Islam. (Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 2001). hal. 478-479.
disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik 25 [6], atau
dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu
penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar,”
(QS. Al-Maidah : 33)
“Dan Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, Maka barang
siapa memaafkan dan berbuat baik 26 [7] Maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.
Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. As-Syuraa :40 )
25[6] Maksudnya Ialah: memotong tangan kanan dan kaki kiri; dan kalau melakukan
lagi Maka dipotong tangan kiri dan kaki kanan.
26 [7] Yang dimaksud berbuat baik di sini ialah berbuat baik kepada orang yang berbuat jahat
kepadanya.
$yJåks]÷•t/ (#qßsÎ=ô¹r'sù ôNuä!$sù bÎ*sù 4 «!$# Ì•øBr& #’n<Î)
šúüÏÜÅ¡ø)ßJø9$# •=Ïtä† ©!$# ¨bÎ) ( (#þqäÜÅ¡ø%r&ur ÉAô‰yèø9$$Î/
ÇÒÈ
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang
hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar
Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu
perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah
antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya
Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil.(QS. Al-Hujurat: 9)”
من أعطى إماما صفقة يده و ثمرة فؤاده فليطعه مااستطاع فإن جاء آخر ينازعه فاضربوا عنقه
)(مسلم
Siapa yang telah memberikan bai’atnya kepada seorang imam (penguasa) dan telah
menyatakan kesetiaan hatinya, maka patuhilah dia semaksimal mungkin. Bila datang
yang lain memberikan perlawanan kepadanya, maka bunuhlah dia. (HR. Muslim)
“Barang siapa membawa senjata untuk mengacau kita, maka bukanlah ia termasuk
umatku (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar).
من خرج على الطاعة وفارق الجماعة ومات فميتته جاهلية
“ Barang siapa keluar dari loyalitas agama dan berpisah dari jama’ahnya kemudian
ia mati maka mayatnya adalah mayat jahiliah (HR. Muslim)
Dari penjelasan Allah dalam al-Qur’an dan hadis Nabi tersebut di atas dapat
dipahami bahwa tindakan yang dilakukan terhadap pemberontak tersebut adalah
sebagai berikut27[8] :
Pertama : melakukan ishlah atau perdamaian dengan pihak pelaku makar, yang
dalam ishlah tersebut imam menuntut para pelaku makar untuk menghentikan
perlawanannya dan kembali taat kepada imam. Bila perlawanan tersebut dilakukan
karena imam telah berlaku zhalim dan menyimpang dari ketentuan agama, maka imam
memberikan penjelasan atau memperbaikinya.
Kedua : bila cara pertama tidak berhasil dalam arti perlawanan masih tetap
berlangsung maka imam memerangi dan membunuh pelaku makar, sampai selesai dan
tidak ada lagi perlawanan.
Pertama: para pemberontak yang tidak memiliki kekuatan persenjataan dan tidak
menguasai daerah tertentu sebagai basis mereka. Untuk pemberontak seperti ini, ulama
fikih sepakat menyatakan bahwa pemerintah yang sah boleh menangkap dan
memenjarakan mereka sampai meraka sadar dan bertaubat.
27[8] Amir Syarifuddin. Garis-Garis Besar Fiqh. (Jakarta: Kencana, 2005). hal. 315.
Kedua: pemberontak yang menguasai suatu daerah dan memiliki kekuatan
bersenjata. Terhadap para pemberontak seperti ini, pihak pemerintah menghimbau
terlebih dahulu untuk menyerah dan bertaubat, jika masih melawan maka pemerintah
dapat memerangi mereka.
5. Syarat- Syarat Al-Baghyu/Pemberontakan yang dapat dijatuhi Hukuman
a. Pelaku hirabah orang mukallaf.
b. Pelaku hirabah membawa senjata.
c. Lokasi hirabah jauh dari keramaian.
d. Tindakan hirabah secara terang-terangan.
Mengenai syarat-syarat diatas terdapat beberapa pertentang diantara para ulama
sebagian ulam mengatakan bahwa jika hadd al-baghyu ini gugur bagi anak kecil dan
orang gila maka hadd tersebuutpun akan gugur bagi orang dewasa dan berakal namun
yang akan dikenakan haddnya adalah perbuatan yang telah dilakukan misalkan
perbuatan makar tersebut telah menewaskan seseorang maka pelaku makar tersebut
terkena hadd pembunuhan dan seterusnya berlaku bagi perbuatan yang lain.28[9]
Sedangkan menurut madzhab maliki dan dzahiriyah mengatakan bahwa hadd
pemberotakan gugur bagi anak kecil dan orang gila tetapi tidak gugur bagi orang
dewasa dan berakal (mukallaf). Karena hadd ini adalah hak Alloh sedangkan dalam
melaksanakan hak Alloh itu anak kecil dan orang gila tidak boleh disamakan dengan
orang yang mukallaf.
Dalam hal ini tidak ada permasalahan mengenai gender dan status baik itu
laki-laki atau perempuan dan baik itu orang yang merdeka ataupun budak. Mengenai
permasalahn senjata Imam Syafi’i, Maliki, Pengikut Hambali, Abu Yusuf, Abu Tsaur
dan Ibnu Hazm yang dianggap hirabah adalah motif tindakan kejahatannya bukan
dilihat dari senjatanya. Namun berbeda dengan pandangan Imam Abu Hanifah yang
berpendapat bahwa tindakan yang hanya bersenjatakan batu dan tongkat tidak termasuk
hirabah.
Mengenai tempat keramaian sebagian ulama seperti Abu Hanifah, Tsauri,
Ishak, dan mayoritas ulama fiqh dari golongan fiqh berpendapat bahwa jika kejahatan
hirabah ini dilakukan ditempat keramaian maka ini tidak dapat dikatan hirabah karena
sang korban dapat meminta tolong sehingga akan dengan mudah melumpuhkan pelaku
kejahatan. Menurut sebagian ulama lain berpendapat bahwa tindak kejahatan itu
Tidak diragukan lagi, faktanya kejahatan terorisme telah menelan banyak korban,
melihat fenomena itu, maka pemakalah menyamakan pidana terorisme dengan pidana
pembunuhan.
Pembunuhan adalah suatu aktifitas yang dilakukan oleh seseorang dan atau
beberapa orang yang mengakibatkan seseorang dan atau beberapa orang meninggal
dunia.30[11] Hukuman yang akan dibahas adalah pembunuhan yang disengaja, karena
melihat dari motif pelaku terorisme adalah adanya unsur kesengajaan dalam melakukan
kejahatan.
Ketiga: hukuman tambahan, baik qishash maupun diyat merupakan hak bagi
kerabat si terbunuh, mereka dapat menuntut dan pula tidak menuntut. Namun hukuman
tambahan ini merupakan hak Allah yang tidak dapat dimaafkan. Hukuman tambahan
pertama adalah kafarah dalam bentuk memerdekakan budak. Bila tidak dapat
melakukannya diganti dengan puasa dua bulan berturut-turut (QS. An-Nisa: 92).
Hukuman tambahan kedua adalah kehilangan hak mewarisi dari yang dibunuhnya.
6.2. Penganiayaan atau Pencederaan
31[12] Amir Syarifuddin. Garis-Garis Besar Fiqh. (Jakarta: Kencana, 2005). hal. 269.
c. Pelukaan di bagian kepala.
e. Di luar ke empat bentuk tersebut di atas, seperti memukul dengan alat yang tidak
melukai.
Pertama: hukuman pokok yaitu qishash atau balasan setimpal. Dalam lima
bentuk penganiayaan tersebut di atas yang mungkin diberlakukan qishash hanyalah
pada penghilangan atau pemotongan bagian badan dan pelukaan di bagian kepala yang
sampai pada tingkat muwadhihah, yaitu luka yang sampai menampakkan tulang.
Pidana terorisme telah diatur dalam KUHP tentang pidana terorisme, tetapi pemakalah
hanya akan mengemukakan pasal-pasal yang di dalamnya terdapat unsur-unsur
kejahatan terorisme,
Pasal 106:
Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ketangan
musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah negara, diancam dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.
Pasal 108:
(1) Barangsiapa bersalah karena pemberontakan, diancam dengan pidana penjara paling
lama lima belas tahun.
1. Orang yang melawan Pemerintah Indonesia dengan senjata;
2. Orang yang dengan maksud melawan Pemerintah Indonesia menyerbu
bersama-sama atau menggabungkan diri pada gerombolan yang melawan
Pemerintah dengan senjata.
(2) Para pemimpin dan para pengatur pemberontakan diancam dengan penjara seumur
hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.
Pasal 187
Barang siapa dengan sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan atau banjir, diancam:
1. Dengan pidana penjara paling lama 12 tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas
timbul bahaya umum bagi barang;
2. Dengan pidana penjara paling lama 15 tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas
timbul bahaya bagi nyawa orang lain.
Pasal 338:
Pasal 340:
Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa
orang lan, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau
pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh
tahun.
Pasal 351:
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan
atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 406:
(1) Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan,
membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau
sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Dijatuhkan pidana yang sama terhadap orang yang dengan sengaja dan melawan
hukum membunuh, merusakkan, membuat tak dapat digunakan atau menghilangkan
hewan, yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain.
PENUTUP
KESIMPULAN
Perbuatan makar ini telah diatur dalam hukum pidana islam (Fiqh Jinayah) yang
diambil dari nash baik dari al-qur’an maupun as-sunnah dan regulasi negara republik
Indonesia yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), diantara perbuatan
yang berhubungan dengan tindakan Al-Baghyu adalah Pembunuhan, tindak pidana
penganiyaan, tindak pidana terorisme, tindak pidana pencurian dan lain-lain.
Terdapat banyak perselisihan mengenai permasalahan perbuatan apa saja yang
dapat dikategorikan sebagai jinayah al-baghyu untuk dapat menentukan jarimah bagi
pelaku tindakan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Tim Penyusun. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve,
1999.
MAKALAH FIQIH JINAYAH
muhammad safar
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Antara perampokan dengan pemberontakan terdapat beberapa kemiripan.
Perampokan adalh tindakan memerangi Allah dan rasulnya tanpa menggunakan alasan
(Ta’wil), melainkan bertujuan mengadakan kekacauan di muka bumi dan mengganggu
keamanan. Sedangkan pemberontakan adalah juga memerangi Allah dan Rasul, tetapi
dengan memakai alasanpolitis sehingga tindakan yang dilakukan bukan hanya sekedar
mengadakan kekacauan dan mengganggu keamanan, melainkan tindakan yang
tagetnya adalah mengambil alih kekuasaan atau menjatuhkan pemerintahan yang sah.
Jadi latar belakang penulisan makalah kami ini agar kita dapat membedakan mana
yang diktegorikan sebagai perampokan dan mana yang dikategorikan sebagai
pemberontakan.
Rumusan Masalah
Pengertian Jarimah Al-Bagyu..........???
Unsur-unsur Jarimah Al-Bagyu……???
Sansi Jarimah Al-Bagyu..........???
BAB II
PEMBAHASAN
pendapat Hanafiyah
pemberontakan adalah keluar dari kekuatan Imam (kepala Negara) yang benar (sah)
dengan cara yang tidak benar.