Anda di halaman 1dari 11

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KOTABUMI

FAKULTAS HUKUM DAN ILMU SOSIAL


Jl. Hasan Kepala Ratu No.1052, Sindang Sari, Kec. Kotabumi
Utara,
Kabupaten Lampung Utara, Lampung 34517

Nama : Fauzan Wahyu Akbar


Mata Kuliah : Hukum Islam
Semester : II (Dua)
Kelas : Kelas A
Prodi : Ilmu Hukum
Dosen : Al FitriJohar, S.Ag., S.H., M.H.I. CM., CESy

Jawaban UAS !

1. Moderasi beragama adalah cara pandang dalam beragama secara


moderat yakni memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak
ekstrem, baik ekstrem kanan (pemahaman agama yang sangat kaku)
maupun ekstrem kiri (pemahaman agama yang sangat liberal).
Adapun prinsip moderat dalam Islam adalah sebagai berikut :
1) Tawassuth (mengambil jalan tengah)
2) Tawazun (berkeseimbangan)
3) I'tidal (lurus dan tegas)
4) Tasamuh (toleransi)
5) Musawah (persamaan)
6) Syura (musyawarah)
7) Ishlah (reformasi)
8) Aulawiyah (mendahulukan yang peroritas)
9) Tathawur Wa Ibtikar (dinamis Dan Inovatif)
10) Tahadhdhur (Berkeadaban)
Moderasi beragama dianggap berlebihan dan ekstrem kalau atas nama
agama, seseorang melanggar nilai luhur dan harkat mulia kemanusiaan,
karena agama kan diturunkan untuk memuliakan manusia. Kedua,
dianggap ekstrem kalau atas nama agama, seseorang melanggar
kesepakatan bersama yang dimaksudkan untuk kemaslahatan; dan
ketiga, dianggap ekstrem kalau atas nama agama, seseorang kemudian
melanggar hukum. Jadi, orang yang atas nama menjalankan ajaran
agamanya tapi melanggar ketiga batasan ini, bisa disebut ekstrem dan
melebihi batas.

2. Al Quran
Al Quran adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi
Muhammad SAW. Tulisannya berbahasa Arab dengan perantaraan
Malaikat Jibril. Al Quran juga merupakan hujjah atau argumentasi kuat
bagi Nabi Muhammad SAW dalam menyampaikan risalah kerasulan dan
pedoman hidup bagi manusia serta hukum-hukum yang wajib
dilaksanakan. Hal ini untuk mewujudkan kebahagian hidup di dunia dan
akhirat serta untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dalam surat Al
Isra ayat 88, Allah berfirman:
Katakanlah, "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk
membuat yang serupa (dengan) Al-Qur'an ini, mereka tidak akan dapat
membuat yang serupa dengannya, sekalipun mereka saling membantu
satu sama lain."

Al-Sunnah
Seluruh umat Islam telah sepakat dan berpendapat serta
mengakui bahwa sabda, perbuatan dan persetujuam Rasulullah
Muhammad SAW tersebut adalah sumber hukum Islam yang kedua
sesudah Al Quran. Banyak ayat-ayat di dalam Al Quran yang
memerintahkan untuk mentaati Rasulullah SAW seperti firman Allah
SWT dalam Q.S Ali Imran ayat 32:
Katakanlah (Muhammad), "Taatilah Allah dan Rasul. Jika kamu
berpaling, ketahuilah bahwa Allah tidak menyukai orang-orang kafir."

Al-Ijma
Imam Syafi'i memandang ijma sebagai sumber hukum setelah Al
Quran dan sunah Rasul. Dalam moraref atau portal akademik
Kementerian Agama bertajuk Pandangan Imam Syafi'i tentang Ijma
sebagai Sumber Penetapan Hukum Islam dan Relevansinya dengan
perkembangan Hukum Islam Dewasa Ini karya Sitty Fauzia Tunai, Ijma'
adalah salah satu metode dalam menetapkan hukum atas segala
permasalahan yang tidak didapatkan di dalam Al-Quran dan Sunnah.
Sumber hukum Islam ini melihat berbagai masalah yang timbul di era
globalisasi dan teknologi modern.
Ijma dapat dibagi menjadi dua bentuk yaitu ijma sharih dan ijma
sukuti. Ijma sharih atau lafzhi adalah kesepakatan para mujtahid baik
melalui pendapat maupun perbuatan terhadap hukum masalah tertentu.
Ijma sharih ini juga sangat langka terjadi, bahkan jangankan yang
dilakukan dalam suatu majelis, pertemuan tidak dalam forum pun sulit
dilakukan. Bentuk ijma yang kedua dalah ijma sukuti yaitu kesepakatan
ulama melalui cara seorang mujtahid atau lebih mengemukakan
pendapatanya tentang hukum satu masalah dalam masa tertentu
kemudian pendapat itu tersebar luas serta diketahui orang banyak. Tidak
ada seorangpun di antara mujtahid lain yang menggungkapkan
perbedaan pendapat atau menyanggah pendapat itu setelah meneliti
pendapat itu.

Al-Qiyas
Sumber hukum Islam selanjutnya yakni qiyas (analogi). Qiyas
adalah bentuk sistematis dan yang telah berkembang fari ra'yu yang
memainkan peran yang amat penting. Sebelumnya dalam kerangka teori
hukum Islam Al- Syafi'i, qiyas menduduki tempat terakhir karena ia
memandang qiyas lebih lemah dari pada ijma

Al-Istihsan
Para ulama dari mazhab Hanabilah dalam kitab Raudah an-
Nazhir wa Jannat al-Munazhir oleh Ibnu Qudamah menjelaskan
pengertian istihsan adalah berpaling dari hukum dalam suatu masalah
disebabkan adanya dalil khusus yang menyebabkan pemalingan ini, baik
dari Kitab maupun dari Sunah.
Dijelaskan dari kesepakatan di atas, pengertian istihsan adalah
upaya memalingkan suatu dalil dari dalil yang lemah untuk diganti ke
dalil yang lebih kuat, tujuan kegiatan istihsan tak lain untuk
kemaslahatan umat manusia.

3. Talak atau perceraian yang dapat kembali rujuk itu dua kali (setelah itu
boleh memegang mereka) dengan jalan rujuk secara baik-baik tanpa
menyusahkan mereka (atau melepas), artinya menceraikan mereka (dengan
cara baik pula. Tidak halal bagi kamu) hai para suami (untuk mengambil
kembali sesuatu yang telah kami berikan kepada mereka) berupa mahar
atau maskawin, jika kamu menceraikan mereka itu, (kecuali kalau keduanya
khawatir), maksudnya suami istri itu (tidak dapat menjalankan hukum-hukum
Allah), artinya tidak dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah
digariskan-Nya. Menurut satu qiraat dibaca 'yukhaafaa' secara pasif,
Sedangkan 'an laa yuqiimaa' menjadi badal isytimal bagi dhamir yang
terdapat di sana.

Terdapat juga bacaan dengan baris di atas pada kedua fi`il tersebut.
Jika kamu merasa khawatir bahwa mereka berdua tidak dapat menjalankan
hukum-hukum Allah, maka tidaklah mereka itu berdosa mengenai uang
tebusan) yang dibayarkan oleh pihak istri untuk menebus dirinya, artinya tak
ada salahnya jika pihak suami mengambil uang tersebut begitu pula pihak
istri jika membayarkannya. Itulah seperti hukum-hukum yang disebutkan di
atas (peraturan-peraturan Allah, maka janganlah kamu melanggarnya.
Barang siapa yang melanggar peraturan-peraturan Allah, maka merekalah
orang-orang yang aniaya).

Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara


suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Pasal 38 UU
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur, bahwa Perkawinan dapat
putus karena : a. Kematian, b. Perceraian, dan c. atas putusan Pengadilan.
Pasal 39 UU Perkawinan: Perceraian hanya dapat dilakukan di depan
Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan
tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Untuk melakukan
perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan
dapat hidup rukun sebagai suami istri. Tata cara perceraian di depan sidang
Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri. Pasal 40: (1)
Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan. (2) Tata cara mengajukan
gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan
perundangan tersendiri. Dalam Islam salah satu unsur putusnya perkawinan
adalah jika suami menjatuhkan talaq. Putusnya perkawinan yang
disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan
gugatan perceraian (Pasal 114 KHI). Namun untuk menceraikan dengan
talaq tidak boleh sembarangan dengan main-main.

Jadi menurut pendapat saya, sesuai dengan yang dijelaskan


yakni untuk menjatuhkan talaq harus ada sebab musabab yang jelas.
Dan tidak langsung asal main ceraikan saja. Harus di upayakan dahulu
suatu perdamaian antara suami istri. Dan juga tidak boleh dilakukan
melalui media sosial harus dilakukan secara langsung oleh pasangan
suami istri yang bersangkutan. Karena sahnya talaq harus dilakukan di
sidang Pengadilan Agama.

4. ‫اع ۖ َفِإنْ ِخ ْف ُت ْم َأاَّل َتعْ ِدلُوا‬


َ ‫ث َو ُر َب‬ َ ‫اب لَ ُك ْم م َِن ال ِّن َسا ِء َم ْث َن ٰى َو ُثاَل‬ ُ ِ‫َوِإنْ ِخ ْف ُت ْم َأاَّل ُت ْقس‬
َ ‫طوا فِي ْال َي َتا َم ٰى َفا ْن ِكحُوا َما َط‬
‫ت َأ ْي َما ُن ُك ْم ۚ ٰ َذل َِك َأ ْد َن ٰى َأاَّل َتعُولُوا‬ْ ‫َف َوا ِح َد ًة َأ ْو َما َملَ َك‬
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-
hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” [An-
Nisaa’/4: 3].

Imam Ahmad meriwayatkan dari Salim, dari ayahnya, bahwa


Ghailan bin Salamah ats-Tsaqafi masuk Islam dalam keadaan memiliki
10 istri, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya,
“Pilihlah empat orang dari mereka.” Ketika pada masa ‘Umar, dia
menceraikan istri-istrinya dan membagi-bagikan hartanya di antara anak-
anaknya

5. tujuan hukum Islam yang berupa al-maslahah tersebut hendak dicapai


melalui taklîfi yang inplikasinya tergantung pemahaman terhadap sumber
hukum yang utama, yakni al-Qur’an dan al-Hadiś. Ulama ushul atau
fuqaha’ secara umum membagi hukum Islam menjadi dua kategori, yaitu
hukum Islam yang berhubungan dengan ibadah murni (ibadah mahdah)
dan hukum Islam yang berhubungan dengan kemasyarakatan (ibadah
gair al-mahdah).
Dalam kategori pertama, hampir tidak terdapat campur tangan
bagi penalaran, bersifat ta’âbbudiy (diterima apa adanya dan
dilaksanakan sebagaimana bentuk ibadah). Sedangkan yang kedua
terbuka peluang bagi pemikir atau penalaran intelektual untuk melakukan
sebuah penafsiran karena lebih bersifat ta’âqqulîy (dapat menerima
pemikiran dalam pelaksanaannya). Tolok ukur pengembangannya
adalah kepentingan masyarakat (al-maşlahah al-âmmah) dan prinsip
keadilan (al-‟adâlah). Sementara itu, kepentingan masyarakatdan prinsip
keadilan ini secara aplikatif bisa mengalami perubahan atas pengaruh
pergantian zaman, situasi, dan budaya.
6. A. Definisi hukum Islam adalah syariat yang berarti aturan yang diadakan
oleh Allah untuk umat-Nya yang dibawa oleh seorang Nabi SAW, baik
hukum yang berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun
hukum-hukum yang berhubungan dengan amaliyah (perbuatan) yang
dilakukan oleh umat Muslim semuanya.

B. Hukum Syariah menurut Hanafi adalah hukum-hukum yang diadakan


oleh Tuhan untuk para hamba-Nya melalui salah seorang Nabi-Nya, baik
hukum tersebut berkaitan dengan cara mengadakan perbuatan yang
disebut sebagai hukum cabang atau amalan.

C. Tujuan hukum semata-mata untuk mencapai keadilan. Isi hukum


semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran etis mengenai apa yang
adil dan apa yang tidak adil. Pertama kali dikemukakan oleh Aristoteles,
seorang filsuf Yunani dalam bukunya Ethica Nicomachea dan Rhetorica
yang menyatakan ”hukum mempunyai tugas yang suci yaitu memberi
kepada setiap orang yang berhak menerimanya”.
Pada dasarnya hukum senantiasa berkembang mengikuti
perkembangan masyarakat. Pada waktu tertentu hukum menjadi
pengawas dan pelindung masyarakat, sehingga tercipta keamanan,
ketenteraman dan keadilan sekaligus tujuan hukum terwujud dalam
kehidupan nyata. Pada gilirannya masyarakat terhindar dari tindak
kekerasan dan berbagai pelanggaran hak asasi manusia. Menurut
penulis, kondisi demikian hanya dapat terwujud jika hukum
ber1andaskan pada moral yang bersumber pada nilai-nilai religius.
Namun pada kurun waktu yang lain, hukum menyimpang jauh dari
tujuannya, bahkan bertentangan dengan tujuan hukum itu sendiri jika
hukum dijadikan sebagai alat kekuasaan oleh para penguasa serta
hukum dijadikan sebagai kendaraan politik oleh para politisi. Dalam
kondisi demikian masyarakat menjadi korban, yang benar disalahkan
dan yang salah dibenarkan. Apabila masyarakat kecil (lemah) melakukan
pelanggaran dihukum, sedangkan para penguasa dibiarkan bebas
walaupun melakukan berbagai pelanggaran hukum, termasuk korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN) yang merugikan dan menyengsarakan
masyarakat.
Dalam kaitan ini Jimly Asshiddiqie menawarkan beberapa langkah
perbaikan penegakan hukum di tanah air. Menurutnya, dalam arti sempit,
aktor-aktor utama yang peranannya sangat menonjol dalam proses
penegakan hukum itu adalah polisi, jaksa, pengacara dan hakim. Para
penegak hukum ini dapat dilihat pertama-tama sebagai orang atau unsur
manusia dengan kualitas, kualifikasi, dan kultur kerjanya masing-masing.
Dalam pengertian demikian persoalan penegakan hukum tergantung
aktor, pelaku, pejabat atau aparat penegak hukum itu sendiri. Kedua,
penegak hukum dapat pula dilihat sebagai institusi, badan atau
organisasi dengan kualitas birokrasinya sendirisendiri.
Dalam kaitan itu kita melihat penegakan hukum dari kacamata
kelembagaan yang pada kenyataannya, belum terinstitusionalisasikan
secara rasional dan impersonal (institutionalized). Namun, kedua
perspektif tersebut perlu dipahami secara komprehensif dengan melihat
pula keterkaitannya satu sama lain serta keterkaitannya dengan
berbagai faktor dan elemen yang terkait dengan hukum itu sendiri
sebagai suatu sistem yang rasional. Profesi hukum perlu ditata kembali
dan ditingkatkan mutu dan kesejahteraannya.
Dengan demikian untuk menciptakan suatu hukum yang dapat
menjamin dan melindungi hak-hak seluruh anggota masyarakat, hukum
itu harus lahir dan sesuai dengan budaya masyarakat itu sendiri, serta
dilaksanakan oleh aparat penegak hukum yang memiliki kualitas iman
dan takwa di samping profesionalitas para aparat penegak hukum.

7. Snouck Hurgronje (1857-1936) adalah nama yang tak asing bagi banyak
orang Indonesia yang belajar islamologi dan sejarah. Sebagai seorang
orientalis, kepakarannya dalam studi Islam memang sangat diakui.
Dalam The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam Under the
Japanese Occupation, 1942-1945 (1958), Harry J. Benda mengatakan,
memang Snouck lah yang telah merumuskan untuk memisahkan Islam
dari politik dengan memilahnya menjadi dua bagian, yakni Islam religius
dan Islam politik. Kesimpulan ini ia peroleh setelah melakukan penelitian
kesusastraan, sejarah, dan etnografi selama bertahun-tahun.
Sebelum kedatangan Snouck ke Hindia Belanda pada 1889,
kebijakan yang diambil pemerintah kolonial terhadap Islam terkesan
inkonsisten. Di satu sisi, mereka mengembangkan sikap tidak mau ikut
campur dalam urusan-urusan ritual umat Islam, seperti saat ibadah salat,
zakat, ataupun jika umat Islam hendak membangun masjid. Namun di
sisi lain, mereka justru bersikap represif terhadap orang-orang Islam
yang hendak menunaikan ibadah haji. Snouck juga membagi golongan
Islam menjadi tiga kategori pokok berdasarkan lapangan aktivitas, yakni
Islam sebagai ritual keagamaan murni atau ibadat, Islam sebagai bidang
kemasyarakatan, dan Islam dalam bentuk kenegaraan.

Terhadap ketiga unsur Islam yang berbeda ini, ia menawarkan tiga pendekatan
yang berbeda pula. Sebagaimana diungkap Benda, kepada yang pertama,
pemerintah harus berlepas tangan atau tak usah ikut campur di dalamnya.
Sedangkan terhadap yang kedua—jika memungkinkan—pemerintah justru
harus memfasilitasi, seperti membantu dalam urusan ibadah haji. Tetapi untuk
kelompok yang ketiga, pemerintah harus bersikap keras dan tak pandang bulu.

8. Sebagaimana yang sudah diketahui, hukum Islam merupakan hukum yang


berasal dari agama Islam, yakni hukum yang diturunkan oleh Allah untuk
mengatur kemaslahatan hamba-Nya di dunia maupun akhirat. Hukum Islam
juga menjadi salah satu sistem hukum yang juga berlaku di Indonesia
disamping sistem hukum lainnya (Sistem Hukum Adat dan Sistem Hukum Civil
Law) yang pada dasarnya memiliki kedudukan yang sama. Ketiga sistem
hukum tersebut sudah bukan hal asing lagi, bahkan sangat relevan dan kerap
ditemui dalam kehidupan di masyarakat.

Begitu pula halnya yang dilakukan oleh perguruan tinggi. Hukum Islam
djadikan sebagai salah satu unsur yang mutlak untuk kelengkapan pengajaran
ilmu hukum di Fakultas Hukum.

Jadi tujuan mempelajari hukum islam yaitu Untuk dapat menjelaskan dan
menerangkan kembali aspek-aspek yang terdapat pada hukum islam itu sendiri
dan untuk mengetahui hubungan hukum yang terjadi antara hukum islam
dengan hukum-hukum lain yang ada di Indonesia.

9. Latar belakang diadakannya Kompilasi Hukum Islam didasarkan pada


pelaksanaan hukum Islam di lingkungan Peradilan Agama. Proses penyusunan
kompilasi ini berlangsung sejak tahun 1985. Berdasarkan UU No.7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama menjadi dorongan dan memacu lahirnya hukum
materil yaitu Kompilasi Hukum Islam.

Kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam sistem hukum nasional


adalah sebagai pedoman atau petunjuk para hakim Peradilan Agama dalam
memutuskan dan menyelesaikan perkara (yang diatur dalam kompilasi, yaitu
hukum perkawinan, perwakafan, kewarisan).

KHI yang merupakan bentuk pembaharuan atas hukum Islam yang ada
dalam fikih-fikih klasik antara lain: harta bersama dalam perkawinan,
pencatatan nikah, ta’lik talak, wasiat wajibah, sertifikasi wakaf.

10. Agama Islam menetapkan aturan-aturan hukum yang bertujuan untuk


meningkatkan kualitas hidup orang-orang Muslim. Secara umum, aturan hukum
dalam syariat Islam terbagi menjadi dua macam, yaitu hukum taklifi (hukum
untuk penugasan) dan hukum wadh'i (hukum kondisional). Ketaatan pada
kedua macam hukum itu, menurut para ahli usul fikih, merupakan wujud dari
kesadaran beragama umat Islam.

Hukum taklifi adalah hukum yang berlaku dan diterapkan dalam agama
Islam kepada orang yang sudah terkena syarat terhukum, yaitu sudah dewasa
(baligh), berakal (tidak gila), karena hal ini berkaitan dengan perintah dan
larangan Allah Swt. yang terdapat dalam Al-Qur'an dan hadits. Hukum Taklifi
adalah sesuatu yang menuntut suatu pegerjaan dari mukallaf, atau menuntut
untuk berbuat , atau memberikan pilihan kepadanya antara melakukan dan
meninggalkannya. Macam-macam hukum taklifi menurut Jumhur ulama Ushul
Fiqh yaitu: Ijab, Nadb, Ibahah, Karahah, Tahrim.

Sedangkan Hukum wadh'i ialah tuntunan meletakkan sesuatu sebagai


sebab, syarat, atau pencegah bagi lainnya (terciptanya hukum),” (Lihat Khallaf,
Ilmu Ushulil Fiqh, [Kairo: Al-Madani, 2001], halaman 99). Sebagai contohnya itu
ialah shalat shubuh hukumnya adalah wajib.

Anda mungkin juga menyukai