Anda di halaman 1dari 8

REVIEW KITAB : SIARUS- SALIKIN BAB VI-JUZ KE-II.

Pengarang: Syaikh Abdus As-Samad Al-Palimbani


Penerbit: Al-Haramain
Tahun: 1979 M.

BAB: I PENDAHULUAN

Sekilas Tentang Biografi Syaikh Abdus As-Samad Al-Palimbani

Nama lengkap: Abdus As-Samad bin Abdur-Rahman bin Abdul Jalil bin

Syaikh Abdul Wahab bin Syaik Ahmad Al-Mahdali. Sedangkan nama yang sering

beliau tulis pada berbagai karya intelektualnya, seperti pada naskah Zatul

Muttaqin fi Tauhidi Rabbil ‘Alamin, pada halaman 1 tertulis: “Syaikh Abdus-

Samad Ibnu ‘Abdurrahman al-Jawi al-Palimbani” dan Abdus-Samad al-Jawi

Palimbang” (Naskah al-Urwat al-Wutsqa: 1).

UZLAH (KALUT/BERSUNYI)

A. Pendapat Ulama Dalam Beberapa Mazhab

Pendapat pertama: Menurut beberapa para ulama tabi’in, berbeda

pandangan yaitu: “Bersunyi sendiri lebih afdhal (lebih baik), dari pada bercampur

dengan manusia”.1

Kata sebagian ulama yaitu: “Menjauhi bercampur dengan manusia lebih

afdhal (lebih baik), dari pada bercampur dengan manusia”. Adapun yang memilih

pendapat ini orang-orang Abid (ahli ibadah) dan orang Zuhud (orang yang
1
Syaikh Abdus Shomad al-Palimbani, Sair al-Salikin ila Ibadati Rabbil Alamin, Juz II,
Al-Haramain, 1779, hlm: 145.

1
meninggalkan persoalan duniawi secara materi). Seperti: Sofian As-Sauri, Ibrahim

Bin Idham, Daud At-Thai, Fadhil Bin Iyas, Sulaiman Al-Kahus, Bishir Al-Hafi.

Alasanya pendapat pertama:

1. Karena Sabda Nabi Saw, dari Ibnu Umar bertanya:

“Ya Rasulullah apa yang melepaskan dari pada kejahatan itu, Nabi menjawab:

Hendaklah luaskan akan dikau oleh rumahmu yakni diam engkau didalam

rumahmu dan pegang oleh mu atas agama dan menangislah atas kesalahanmu

itu”.

2. Riwayat Saidina Umar “Ambil oleh kamu dari pada kemenangan kamu dari

menjauhi manusia.

3. Ibnu Sairin mengatakan: “Menjauhi manusia itu adalah ibadah”

Maksud dari perkataan ini adalah: menjauhi manusia yang berbuat

kemungkaran dan kedzaliman dimuka bumi ini, dan manusia-manusia yang jauh

dari Allah Swt.2

Pendapat Kedua: Adapun sebagian ulama lain mengatakan: “Bercampur

dengan manusia lebih afdhal (lebih baik) dari pada bersunyi sendiri”. Alasanya:

Karena yang demikian itu bertolong-tolonganlah sesama manusia pada berbuat

ibadah yang kebajikan kepda Allah Swt:

Firman Allah Swt: Artinya: “Dan bertolong-tolonganlah oleh kamu atas

berbuat kebajikan dan takutlah atas Allah Swt. Dan jangan kamu bertolong-

tolongan atas berbuat durhaka dan berbuat kedzaliman”.

2
Ibid,.. hlm: 146.

2
Penjelasannya:

Ulama-ulama yang cenderung pada pendapat ini adalah: Sayed Musyaib,

Sya’bi, Ibnu Abi Lail, Kisam Ibnu Uruf, Ibnu Syambramah, Syari’ Ibnu Abdullah,

Ibnu Ayaynah, Ibnu Mubarak, Imam Syafi’ie Imam Ahmad Bin Hambali, dan

beberapa jamaah tabi’in lainya.

B. Syarat-syarat Uzlah

Menurut pendapat Ibrahim Nakh’i, sebelum u’zulah maka tuntutlah ilmu

fiqah, kemudian menjauhi akan manusia itu, semestinya bagi orang yang

berkehendak bersunyi itu. Karena beribadah untuk mempelajari ilmu ushuluddin,

ilmu fiqih, ilmu tauhid, dan ilmu tasawuf agar dapat memperbaiki ibadanya dan

beriman kepada Allah Swt dengan sesungguh-sungguhnya.

Adapun bagi orang yang berkehendak bersunyi itu, mengetahui akan

fardzu puasa dengan syarat yang membatalkan puasa dan barang sebagainya dari

pada segala yang di wajibkan atas fardzuin. Namun bagi orang yang berkehendak

bersunyi mengetahui akan ilmu tasawuf yang sekedar fardzuin.

Kata Fadhil Ibnu Iyas, setengah dari pada tanda orang kurang akal, yang

laki-laki itu yaitu memperbanyakkan berkenalan dengan orang lain.3

Kata Saidina Abdillah Bin Abbas, bermula yang terlebih afdhal tempat

duduk itu yaitu duduk didalam rumahmu, yang tiada engkau melihat akan

manusia. Dan tiada diliaht oleh manusia akan engkau, dari perkataan kedua

3
Ibid,.. hlm:147-148.

3
pendapat itu, cenderung pada mazhab pertama yang mengatakan bahwa menjauhi

bercampur dengan manusia itu akan lebih baik.

Sebab menjauhi manusia itu, dikarenakan kelakuan manusia yakni: jika

tiada selamat agamanya itu melainkan dengan menjauhi manusia. Maka lebih

afdhal untuk menjauhinya. Jika selamat agamanya, dalam becampur dengan

manusia maka itu terlebih baik baginya.

C. Faedah-Faedah Uzlah

Adapun u’zulah ada enam perkara yaitu:

Pertama: dapat menyelesaikan diri dalam beibadah kepada Allah dan

didalam zikir, pikir, dan jinak hati akan Allah Swt. Dan demikian itu tiada dai

dapat melainkan melalui manusia.4

Kedua: lepas dari pada mengerjakan maksiat sebab berkumpul dengan

manusia, seperti empat maksiat yaitu:

1. Mengupat yaitu: mengatakan kejahatan manusia ketika ia tidak

ada, namun ketika mendengar perkataan itu ia tidak suka, dan

perbuatan mengupat itu haram.

2. Ria: memperlihatkan ibadahnya kepada manusia supaya dipuji oleh

orang lain, atau supaya dimulaikan dia, dengan tujuan untuk

mndapatkan harta dan kemudahan.

3. Sifat Diam: dari pada menyuruh kebaikan dan tidak mencegah

orang lain berbuat maksiat.

4
Ibid,.. hlm:148.

4
4. Lemah Iman: Mengikut berbuat maksiat jika dia bersama orang
lain.

Ketiga: lepas dari fitnah, bantahan, dan lepas dari berkelahi, kemudian

akan terpelihara dirinya, agamanya dari kejahatan dan perbuatan maksiat.

Keempat: lepas dari menyakiti hati orang lain dan lepas dari disakiti oleh

orang lain karena bercampur dengan manusia. Hal seperti dikatakan perbuatan

mengupat atau atau di upat.

Kelima: bersunyi sendiri itu memutuskan perbuatan tamak dari manusia

kepadamu dan memutuskan tamakmu kepada manusia.

Keenam: lepas melihat perangai orang lain yang buruk, dan lepas dari

melihat orang yang kurang akal.

Dari penjelasan di atas, Inilah segala faedah-faedah dari menjauhi akan

manusia dan faedah bersunyi dari bercampur dengan manusia.

D. Faedah Bercampur Dengan Manusia

Pertama: dapat mengajarkan ilmu dan belajar ilmu, namun hal itu ibadah

lebih baik dalam kehidupan ini.5

Kedua: dapat memberikan manfaat kepada manusia dan mengambil

manfaat dari padanya, seperti memberi sedekah, bantuan sosial dengan hartanya

atau dengan tenaganya dalam membantu masyarakat yang membutuhkan,

5
Ibid,.. hlm:149-150.

5
sehingga mendapati pahala akan dia di akhirat kelak. Namun hal itu tiada

didapatnya melainkan hidup bersama manusia lain.

Ketiga: dapat mengajarkan adab dan belajar adab, maksudnya ialah belajar

adab yang dapat mensucikan akan hatinya dari segala sifat yang kecelaan

sehingga berganti sifatnya menjadi sifat yang terpuji.

Keempat: menuntut untuk kejinakan hati dan menunjukannya, maksudnya

adalah menghasilkan kesukaan hatinya dari berkumpul dengan orang-orang yang

alim dan takwa. Sehingga menunjukan akan dirinya untuk senantiasa takut kepada

Allah dan menolong agamanya.

Kelima: menghasilkan pahala bagi dirinya dan bagi orang lain sebab

berkumpul dengan orang lain. Seperti kata imam Al-Ghazali, menghasilkan

pahala bagi dirinya dan orang lain seperti hadir dalam pengurusan jenazah dan

menjenguk orang yang sakit. Juga hadir ia untuk melaksanakan sholat jama’ah

atau mendirikan sholat berjama’ah bersama-sama dengan orang lain.

Keenam: merendahkan diri dan menghinakan akan dirinya, maksudnya

adalah dengan bercampur dengan manusia lain, ia akan merendahkan dirinya dari

merendahkan akan orang lain. Dengan begitu bersih hatinya dari sifat

membesarkan akan dirinya atau takabur (sombong).

Ketujuh: untuk mencoba dirinya, adakah sabar ia atau adakah perangainya

baik, maka ia ketahui akan baik buruk dirinya melainkan dengan bercampur

dengan manusia.

6
KESIMPULAN

Pengertian uzlah adalah: pengasingan diri dengan memusatkan perhatian


dalam beribadah kepada allah dengan tujuan untuk berzikir dan tafakur. Juga
untuk menghindar dari perbuatan maksiat di tengah-tengah keramaian manusia.

Uzulah merupakan aktifitas manusia sehari-hari dalam menjalankan

ibadah kepada Allah. Ada dalam bentuk aktifitas bersunyi sendiri ada juga yang

ikut bercampur dengan manusia. Bersunyi sendiri untuk menjauhi keramaian

supaya terhindar dari perbuatan yang dilarang oleh Allah Swt, dan bercampur

dengan manusia perbuatan saling tolong menolong dalam hal kebaikan. Dari dua

aktifitas tersebut adalah cara manusia mengikuti perintah Allah Swt dan sunnah

Rasulullah Saw.

7
RUJUKAN DAN SUMBER-SUMBER KITAB

Syaikh Abdus Shomad al-Palimbani, Sair al-Salikin ila Ibadati Rabbil Alamin,
Juz II, Surabaya: al-Haramain, 1779.
Dalam karyanya Sairu as-Salikin ila ‘Ibadati Rabbi al-‘Alamin (1779 M),
Syaikh Abdus-Samad al-Palimbani mengumpulkan berbagai sumber informasi
untuk digunakan sebagai rujukan untuk menguraikan dan menjelaskan dengan
mengambil contoh masalah dari:

karya Al-Ghazali berjudul Ihya’ Ulumuddin, Minhaj al-‘Abidin, Al-


Arba’in fi Ushul Al-Din, Bidayah al-Hidayah. Karya Muḥammad bin ‘Abd al-
Karim al- Samman al-Madani berjudul: An-Nafahtul Ilahiyyah. Sumber informasi
dari beberapa kitab karangan Abdul Qadir al‘Aidarus, beberapa kitab Musatafa
Al-Bakri, beberapa kitab karangan “Abdullah Al-Haddad berjudul As-Sairu was
Sulȗk. Sumber informasi lainnya yang digunakan sebagai referensi adalah
beberapa karya dari beberapa sufi terkemuka, seperti Abu Thalib Al-Makki,
Aḥmad al-Qushashi, dan Ibnu ‘Atha’illah Al-Sakandari, Abd al-Wahhab al
Sha‘rani, al-Syinnawi, Al-Jili, al-Kurani, dan al-Nabulusi. Syaikh Abdus-Samad
al-Palimbani juga mengutip tulisan dari sufi aliran filsafat seperti Syaikh
Fadhlullah Al-Burhanpuri dengan karyanya berjudul AlTuhfah l-Mursalah yang
merupakan kesenambungan pemikiran Ibnu Arabi. (Abdus-Samad, 1779 M).

Anda mungkin juga menyukai